Daarul Ihsan
Daarul Ihsan oleh Al Ustadz Abdurrahman حفظه الله

bila bulan dzulhijjah telah tiba

5 tahun yang lalu
baca 7 menit

Sepantasnya seorang muslim berbahagia tatkala dipertemukan dengan bulan yang memiliki keutamaan dan kehormatan. Jika ia diberi kemudahan untuk menjalankan amal kebaikan, tentu kebahagiaan itu akan semakin lengkap.

Bulan Dzulhijjah adalah bulan yang utama dan terhormat. Ia adalah bulan ke-12 dalam hitungan tahun Hijriah (Islam). Seakan-akan ada isyarat seorang muslim di setiap tahunnya itu ditutup amalnya dengan kebaikan. Tentu saja hal itu akan terwujud jika dirinya mampu memanfaatkan akhir tahunnya dengan amal saleh.

Keutamaan 10 Hari Awal Bulan Dzulhijjah

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda (artinya) : “Tidak ada amalan di 10 hari yang lebih utama dibandingkan amalan di hari-hari ini.” Lalu mereka (para sahabat) bertanya : ‘Tidak pula jihad di jalan Allah ?” Beliau menjawab : “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar berniat mengalahkan musuhnya dengan jiwa dan hartanya lalu tidak kembali satu pun (dari jiwa dan hartanya).” (HR. al-Bukhari)

Yang dimaksud lafazh “…hari-hari ini…” adalah 10 hari awal Dzulhijjah, sebagaimana disebutkan pada riwayat yang lain.

Seiring tetap menjaga amalan yang hukumnya wajib, hendaknya seseorang menambahkannya dengan amalan yang hukumnya sunnah. Dia dapat memperbanyak shalat sunnah yang tidak ada ketentuan jumlah maksimal rakaatnya, puasa, bersedekah, membaca Al Qur’an, zikrullah dan sebagainya. Jika seseorang belum mampu berhaji maupun berkurban tahun ini, maka dirinya dapat memperbanyak amalan saleh di 10 hari awal ini. Sesungguhnya keutamaan Allah amatlah besar dan luas. Akankah keutamaan yang seperti ini akan berlalu begitu saja tanpa makna ? Wallahu al-Musta’an.

Ibadah Kurban Mengandung Pensucian Jiwa

Tak bisa dipungkiri bahwa ibadah yang satu ini merupakan syiar paling menonjol di bulan ini selain haji. Jika kita mencermati sejarah awal ibadah ini (berupa kisah Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail ‘alaihi as-Salam), maka ada bimbingan yang dapat mensucikan jiwa. Bimbingan tersebut adalah :

1) Mendahulukan kecintaan kepada Allah di atas kecintaan kepada selain-Nya.

Berkurban merupakan tanda kecintaan seseorang kepada Allah yang ia dahulukan di atas harta yang ia miliki. Tabiat dirinya sebagai manusia adalah sangat mencintai harta, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (artinya) : “Dan kalian mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan”.(Surah Al Fajr : 20) Ketika berkurban, dia berupaya mengalahkan kecintaan kepada harta yang tidak lain adalah berjuang menundukkan hawa nafsunya dan itu tidaklah ringan. Orang yang berharta dan mengaku muslim sekalipun belum tentu sanggup atau mau menempuh perjuangan seperti ini. Padahal, seseorang tidaklah merasakan lezatnya iman jika ia belum menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya) : “Tidaklah seseorang mendapatkan lezatnya iman hingga ia mencintai seseorang yang tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dirinya dilempar di api lebih ia sukai dibanding harus kembali kafir setelah Allah selamatkan dirinya dari kekafiran dan Allah serta Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain keduanya.” (HR.al-Bukhari)

2) Berserah diri kepada Allah sepenuhnya, tanpa berat hati dan bimbang.

Tatkala berkurban, seseorang dituntut untuk berserah diri kepada Allah sepenuhnya. Sekalipun harus mengorbankan tidak sedikit dari sebagian hartanya, ia jalani dengan penuh penyerahan dan ketulusan.Dalam kisah Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail, sangat terlihat sikap Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tatkala mendapatkan perintah dari Allah sekalipun harus mengorbankan jiwa raga. Mereka berdua telah berserah diri kepada Allah sepenuhnya. Akhirnya Allah ganti penyerahan diri yang tulus ini dengan selamatnya jiwa raga hamba-Nya sekaligus balasan berupa pahala yang besar.

3) Bersabar meniti ujian dari Allah.

Pada awalnya, harta akan terasa berkurang ketika seseorang melaksanakan ibadah kurban. Pada saat itulah ia sedang menghadapi ujian dalam beramal saleh. Bersabarlah ! Kebaikan pasti akan ia raih tatkala bersabar. Ujian apapun (termasuk berkurangnya harta di awal waktu) bukanlah Allah tetapkan untuk merugikan hamba-Nya. Akan tetapi hal itu untuk menguji keimanan sang hamba, apakah ia bersabar yang justru akan membuahkan ganti berupa kenikmatan sekaligus pahala besar, ataukah justru patah arang hingga mencampakkan perintah Allah. Kisah Nabi Ibrahim bersama sang putra adalah salah satu contoh terbaik tatkala keduanya bersabar meniti ujian berupa gambaran akan hilangnya jiwa raga yang sangat dicintai. Ternyata itu semata-mata ujian. Terbukti Allah selamatkan jiwa raga Nabi Ismail dan Allah tebus dengan sesembelihan sekaligus pahala yang besar.

Menjaga Keikhlasan Dalam Berkurban

Allah ingatkan perkara ini melalui firman-Nya (artinya) : “Tidak akan selama-lamanya daging dan darah unta (hewan kurban, pen) itu mencapai (keridhaan) Allah. Akan tetapi yang dapat mencapainya adalah ketakwaan kalian…” (Surah Al Hajj : 37).

Al-Imam as-Sa’di rahimahullah berkata : “Yakni : Bukanlah maksud dari hewan kurban itu adalah semata-mata penyembelihan. Daging-daging dan darah-darah hewan kurban sedikit pun tidak mencapai (keridhaan) Allah, karena Allah adalah Zat Yang Maha Kaya dan Maha Terpuji. Hanyalah yang sampai kepada (keridhaan) Allah adalah keikhlasan dalam berkurban, mengharap pahala dan niat yang benar. Oleh karena itu, Dia berfirman (artinya) : “…Akan tetapi yang dapat mencapainya adalah ketakwaan kalian…” Maka di dalam firman ini ada anjuran dan dorongan untuk ikhlas dalam berkurban. Hendaklah tujuannya adalah wajah Allah semata, bukan bangga diri, riya’ (ingin dilihat lalu dipuji, pen), sum’ah (ingin didengar lalu dipuji, pen) atau sekedar menjalankan kebiasaan. Demikian halnya seluruh bentuk ibadah. Jika ibadah itu tidak bergandengan dengan keikhlasan dan takwa kepada Allah, maka ibadah itu ibarat kulit tanpa isi atau jasad tanpa ruh.” (Tafsir as-Sa’di).

Seiring berjuang mengalahkan penyakit kikir dalam membelanjakan harta di jalan Allah, juga hendaknya seseorang berjuang mengalahkan penyakit tidak ikhlas ketika membelanjakan hartanya tersebut. Jangan sampai seseorang dermawan membelanjakan hartanya dalam urusan agama, namun ada tujuan selain akhirat di balik itu. Demikian pula, jangan sampai dirinya menutupi sifat kikirnya dengan beralasan ‘daripada tidak ikhlas”. Waspadalah ! Manusia itu sering dan mudah tertipu dalam urusan akhirat, sedangkan syaithan senantiasa bersiaga masuk ke celah sesamar apapun demi merusak amalan manusia. Berkurban Adalah Sebuah Ibadah Harta Yang Utama Ini diisyaratkan di dalam 2 ayat Al Qur’an, yaitu :

1) Surah Al An’am ayat ke-163 dan 164, yang artinya : “Katakanlah : ‘Sesungguhnya shalatku, ibadah sesembelihanku, hidupku dan matiku itu untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada ada satu pun sekutu bagi-Nya. Dengan itulah, aku diperintah dan aku adalah orang yang pertama kali berislam.”

Al-Imam as-Sa’di rahimahullah berkata : “Dan penyebutan shalat dan penyembelihan secara khusus (setelah penyebutan ibadah secara umum, pen) dikarenakan kemuliaan dan keutamaan 2 ibadah ini, juga karena keduanya menunjukkan kecintaan kepada Allah Ta’ala, pemurnian ibadah kepada-Nya dan pendekatan diri kepada-Nya melalui kalbu, lisan dan anggota badan. (Demikian pula menunjukkan pendekatan diri) melalui penyembelihan yang merupakan pengorbanan sesuatu yang dicintai jiwa manusia berupa harta untuk Zat yang lebih ia cintai, yaitu Allah Ta’ala. Barangsiapa berhasil ikhlas dalam shalat dan berkurban, maka akan membawa kepada keikhlasan karena Allah dalam segala amalannya.”(Tafsir as-Sa’di)

2) Surah Al Kautsar ayat ke-2, yang artinya : “Maka shalatlah untuk Rabbmu dan berkurbanlah.”

Al-Imam as-Sa’di juga mengatakan : “Allah khususkan penyebutan 2 ibadah ini karena keduanya termasuk seutama-utama ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. Sebab, shalat mengandung ketundukan kalbu dan anggota badan kepada Allah, serta shalat adalah peralihan ragam ibadah. Dalam ibadah kurban terdapat pendekatan diri kepada Allah dengan seutama-utama sesuatu yang dimiliki seorang hamba berupa hewan-hewan kurban dan pendekatan diri kepada Allah dengan mengeluarkan harta yang tabiat jiwa manusia itu sangat mencintainya dan kikir dengannya.” (Tafsir as-Sa’di)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Qasim an-Najdi rahimahullah berkata : “Maka shalat adalah seutama-utama ibadah badan, sedangkan penyembelihan adalah seutama-utama ibadah harta. Hanyalah penyembelihan itu dikatakan seutama-utama ibadah harta karena terkumpul 2 perkara padanya : Pertama : Ketaatan kepada Allah. Kedua : Pengorbanan harta yang jiwanya tenang dengan itu. Memang pengorbanan harta itu sama-sama ada (pada ibadah harta selain berkurban, pen) jika dilihat dari sisi zatnya berupa harta. Namun penyembelihan memiliki kelebihan dibanding ibadah harta lainnya dari sisi bahwa hewan-hewan sesembelihan itu sangat dicintai oleh pemiliknya. Muncul perasaan iba tatkala menyembelihnya karena sangat cintanya ia kepada hewan tersebut. Jika seseorang mengorbankan hewannya untuk Allah dan jiwanya lapang ketika hewannya merasakan kematian, maka jadilah penyembelihan itu lebih utama dibanding keberadaan ibadah harta lainnya…” (Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul)

Tunaikan Ibadah Kurban Ketika Ada Kelapangan Harta !

Para pembaca rahimakumullah, jika telah diketahui bahwa ibadah kurban adalah ibadah harta yang sangat agung dan banyak mengandung pendidikan jiwa hingga menjadi suci, maka tak selayaknya seseorang yang memiliki kelapangan harta untuk mengabaikannya. Ditambah lagi, ibadah ini telah dijalani oleh 2 kekasih Allah sekaligus 2 rasul terbaik, yaitu Ibrahim dan Muhammad ‘alaihima ash-Shalatu Wa as-Salam. Di sisi lain, terdapat sebuah ancaman bagi seseorang yang memiliki kelapangan harta tapi enggan berkurban, yaitu ancaman yang bersumber dari sebuah atsar yang shahih : “Barangsiapa yang memiliki kelapangan (harta) namun ternyata ia tidak berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.”

Wallahu a’lamu bish-Shawab

Oleh:
Al Ustadz Abdurrahman حفظه الله