Daarul Ihsan
Daarul Ihsan oleh Al Ustadz Abdurrahman حفظه الله

ambisi yang mengorbankan agama

6 tahun yang lalu
baca 8 menit
Ambisi Yang Mengorbankan Agama
بِسمِ اللهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Dari Ka’ab bin Malik al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya) : “Tidaklah 2 srigala lapar yang dilepas memangsa seekor kambing itu lebih merusak dibandingkan ambisi seseorang terhadap harta dan kedudukan bagi kerusakan agamanya.” (HR. at-Tirmidzi yang dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dan asy-Syaikh Muqbil al-Wadi’i)

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan bahwa ini adalah permisalan yang agung sekali dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Permisalan yang menggambarkan rusaknya agama seseorang karena ambisi dirinya terhadap harta dan kedudukan di dunia. Tidaklah ambisi terhadap harta dan kedudukan itu lebih sedikit kerusakannya dibandingkan 2 srigala tersebut, bisa jadi sama atau bahkan lebih besar kerusakannya. Ini mengisyaratkan bahwa sedikit orang yang selamat agamanya karena ambisi terhadap harta dan kedudukan di dunia, sebagaimana sedikit pula kambing yang selamat karena 2 srigala yang demikian keadaannya. Permisalan ini mengandung puncak peringatan dari buruknya ambisi terhadap harta dan kedudukan di dunia.

Macam Ambisi Terhadap Harta

Ambisi terhadap harta itu ada 2 macam :

1)

Sangat cinta terhadap harta yang diiringi ambisi mencarinya dengan cara yang halal.

Cukuplah ambisi terhadap harta itu (meski dicari dengan cara yang halal) merupakan perkara yang tercela, manakala ia akan menyia-nyiakan umur yang berharga hanya untuk sesuatu yang tidak bernilai. Umur yang memungkinkan seseorang untuk mencari kemenangan dan kenikmatan abadi (di surga), ternyata ia sia-siakan untuk berambisi mencari harta yang sebenarnya telah dijamin dan ditakdirkan oleh Allah. Setelah dirinya meraih ambisinya, ia pun akan mati berpisah dari hartanya dan ia wariskan kepada orang lain. Dirinya mendapat hisab (perhitungan) kelak di hari kiamat, sedangkan manfaat duniawinya untuk orang lain. Seorang sahabat Nabi yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata : “Sifat yakin itu adalah engkau tidak membuat ridha manusia dengan mengundang murka Allah dan tidak dengki kepada seseorang atas rizki yang Allah berikan (kepadanya). Jangan engkau mencela seseorang karena sesuatu yang tidak Allah berikan kepadamu ! Sesungguhnya rizki Allah itu tidaklah menghampiri seseorang karena ambisi orang yang berambisi dan tidak pula tertolak dari seseorang karena kebencian orang yang membenci. Sesungguhnya Allah dengan keadilan-Nya akan memberikan ketenangan dan kegembiraan pada sifat yakin dan ridha, serta memberikan keresahan dan kesedihan pada sifat ragu dan marah.” Sebuah untaian kata yang patut kita renungkan !

2)

Sangat cinta terhadap harta hingga mencarinya dengan cara yang haram dan menolak dari hak harta yang wajib.

Ini merupakan sejelek-jelek kebakhilan (asy-Syuh). Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya) : “…Takutlah kalian dari asy-Syuh ! Sesungguhnya asy-Syuh itu telah membinasakan orang-orang sebelum kalian. Ia telah menyeret mereka untuk menumpahkan darah manusia dan merampas kehormatan manusia.” (HR. Muslim).

Sekelompok ulama mengatakan : “asy-Syuh adalah ambisi kuat yang menyeret pelakunya untuk mengambil perkara-perkara duniawi yang bukan sepatutnya dan menolak dari hak-hak perkara tersebut.”

Barangsiapa yang mencukupkan diri dengan harta yang dihalalkan baginya, dialah seorang mukmin. Barangsiapa yang melampaui batas hingga melanggar larangan Allah, itulah asy-Syuh yang tercela dan meniadakan kesempurnaan iman. Sampai-sampai dikatakan : “Sesungguhnya kemaksiatan itu seluruhnya berasal dari asy-Syuh.” Dari sini kita mengetahui makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam (artinya) : “…dan tidak berkumpul antara asy-Syuh dengan iman pada kalbu (hati) seorang muslim.” (HR. an-Nasa’i yang dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani).

Kapan saja seseorang berambisi terhadap harta sampai pada tingkatan asy-Syuh, maka berkuranglah kesempurnaan agama dan imannya. Jika ditambah dengan menahan kewajiban harta, maka semakin berkurang agama dan imannya hingga tidak tersisa kecuali sedikit sekali.

Macam Ambisi Terhadap Kedudukan

Adapun ambisi terhadap kedudukan itu lebih membinasakan pelakunya dibandingkan ambisi terhadap harta. Sesungguhnya harta justru dibelanjakan demi mendapatkan kepemimpinan dan kedudukan. Ambisi ini ada 2 macam :

💰

Mencari kedudukan melalui kekuasaan dan harta.

Ini sangat berbahaya. Seringnya menghalangi seseorang dari kebaikan akherat. Allah Ta’ala berfirman (artinya) : “Itulah negeri akherat yang Kami (Allah) berikan kepada orang-orang yang tidak menginginkan kedudukan di muka bumi dan tidak pula kerusakan. Akibat yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.” (Surah Al Qashash : 83).

Sebagian salaf berkata : “Tidak ada seseorang yang berambisi memperoleh kekuasaan itu akan berbuat adil.” Ketahuilah ! Ambisi mendapatkan kedudukan dengan mencari kekuasaan akan menuntut kejelekan yang besar berupa cara-cara kotor ketika belum mendapatkannya, dan kejelekan berupa kezaliman serta kesombongan ketika telah mendapatkannya.
Tak mengherankan, jika Nabi kita melarang umatnya untuk meminta jabatan dan beliau pun tidak memberi jabatan kepada seseorang yang memintanya. Beliau bersabda (artinya) : “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan ! Apabila engkau diberi jabatan karena engkau memintanya, maka engkau akan diabaikan (oleh Allah). Namun apabila engkau diberi jabatan bukan karena memintanya, maka engkau akan ditolong (oleh Allah)…” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Beliau bersabda (artinya) : “Sesungguhnya kami – demi Allah – tidak memberi jabatan ini kepada siapa saja yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi terhadapnya”. (HR. Muslim. Lihat riwayat al-Bukhari) Bahkan, jabatan itu dapat mendatangkan kehinaan dan penyesalan di akherat.

Beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya) : “…Sesungguhnya jabatan itu adalah tanggung jawab. Sesungguhnya jabatan itu adalah kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali bagi orang yang layak memegangnya dan sanggup mengembannya.” (HR. Muslim).

Maka sungguh mengherankan, keadaan sebagian manusia di zaman sekarang ! Mereka begitu ambisi dan bangga mencalonkan diri untuk menduduki kursi jabatan serta meminta manusia mendukungnya !…Wallahu al-musta’an. Tidakkkah mereka yang meminta jabatan itu takut terhadap sabda Nabi (artinya) : “Tidaklah seseorang yang memimpin 10 orang, melainkan dirinya akan didatangkan pada hari kiamat dalam keadaan kedua tangannya terbelenggu dengan lehernya, hingga ditetapkan keputusan antara dirinya dengan mereka (10 orang) tersebut.” (Shahih at-Targhib wa at-Tarhib). Bila itu 10 orang, lalu bagaimana jika yang dipimpinnya ternyata berjumlah sekian ribu, bahkan jutaan manusia ?!

💰

Mencari kedudukan melalui penampilan agama.

Orang yang seperti ini tidaklah bermanfaat ilmu agama yang ia miliki. Ilmu agama yang semestinya membimbing dirinya ke kedudukan tinggi di surga, justru ia jadikan sebagai sarana meraih kedudukan sangat rendah dan hina. Tak berlebihan jika diibaratkan hal itu seperti menukar permata berharga dengan kotoran binatang ternak, bahkan lebih buruk daripada ibarat tersebut. Demi mencari kedudukan di hadapan penguasa, ia rela diam seribu bahasa, bahkan di kemudian hari berdusta dan membela kesalahan penguasa. Tidak ada amar ma’ruf maupun nahi mungkar padanya. Nabi mengancam orang seperti ini melalui sabda beliau (artinya) : “…Barangsiapa mendekati pintu-pintu penguasa lalu membenarkan kedustaan mereka dan membantu kezaliman mereka, maka ia bukan dari golonganku, aku pun bukan dari golongannya dan ia tidak dapat menghampiri telagaku…” (HR. at-Tirmidzi yang dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani).

Amar ma’ruf dan nahi mungkar tetap harus ditegakkan dengan cara yang syar’i dan selalu berhati-hati dari pintu para penguasa. Diantara bentuk lain mencari kedudukan melalui penampilan agama adalah seseorang yang mempopulerkan diri dengan perbuatan atau ucapan hingga ia senang dikunjungi manusia, dicari berkah dan doanya atau dicium tangannya. Padahal, para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah di masa lalu sangat membenci popularitas, semisal : Ayyub as-Sakhtiyani, Ibrahim an-Nakha’i, Sufyan, Ahmad bin Hanbal, Fudhail bin ‘Iyadh dan Dawud ath-Tha’i rahimahumullah.

Ambisi Terhadap Harta & Kedudukan, Darimana Asalnya ?

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menukilkan ucapan Wahb bin Munabbih rahimahullah : “Dari mengikuti hawa nafsu akan menyebabkan cinta kepada dunia, dan dari cinta kepada dunia akan menyebabkan cinta kepada harta dan kedudukan, lalu dari cinta kepada harta dan kedudukan akan dapat menghalalkan perkara-perkara yang diharamkan.”

Allah pun mensifati penghuni neraka berkaitan dengan keberadaan harta dan kedudukan. Dia berfirman (artinya) : “Dan adapun barangsiapa yang diberi catatan amalnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata : “Duhai kiranya aku tidak diberi catatan ini. Dan aku tidak tahu apa hisab terhadap diriku. Duhai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku dariku. (Allah pun berkata kepada para malaikat) : “Pegangi dan belenggulah dia ! Kemudian masukkan dia ke neraka yan menyala-nyala ! Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya 70 hasta !” (Surah Al Haqqah : 25-32).

Ambisi Terhadap Harta & Kedudukan, Apa Obatnya ?

Ada beberapa obat yang menumbuhkan sifat zuhud (lawan ambisi) terhadap harta dan kedudukan, diantaranya :

  1. Pandangan seorang hamba terhadap jeleknya akibat orang yang berambisi besar terhadap harta dan kedudukan kelak di akherat.
  2. Pandangan seorang hamba terhadap mulianya akibat orang yang zuhud terhadap harta dan kedudukan.

Mengharapkan Kemuliaan Di Sisi Allah Niscaya Akan Dimuliakan Oleh Allah & Manusia

Al-Hafizh Ibnu Rajab menukilkan ucapan Budail al-‘Uqaili rahimahullah : “Barangsiapa berharap dengan ilmu agamanya untuk (melihat) wajah Allah, maka Allah akan menghadapnya dengan wajah-Nya dan menghadapkan kalbu (hati) manusia kepadanya. Barangsiapa beramal bukan karena Allah, maka Allah akan memalingkan wajah-Nya darinya dan memalingkan kalbu manusia darinya.”

Bila akherat yang dicari, maka kedudukan di dunia justru akan diraih sekalipun tidak dicari dan diinginkan. Adapun jika kedudukan di dunia yang dicari, maka kedudukan di akherat akan terhalang darinya dan keduanya tidak akan berkumpul. Orang yang bahagia adalah orang yang mendahulukan kehidupan akherat yang kekal daripada kehidupan dunia yang fana.

Wallahu a’lamu bish-Shawab

(Disarikan dari kitab “Dzammu al-Hirsh ‘ala al-Maal wa asy-Syaraf” karya al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah dengan beberapa penyesuaian).

Oleh:
Al Ustadz Abdurrahman حفظه الله