Para pembaca rahimakumullah, kita sebagai muslimin bersepakat bahwa al-Qur’an merupakan pedoman kita dalam mengarungi kehidupan dan menjalankan agama yang benar ini. Membacanya terhitung sebagai bentuk ibadah, terlebih di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Pahalanya bisa dilipatgandakan hingga sepuluh kali lipat, bahkan lebih.Namun mencukupkan diri hanya dengan membacanya saja, apalagi hanya pada waktu-waktu tertentu saja tanpa ada tekad untuk mengkajinya lebih dalam lalu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, tentu bukan merupakan tindakan yang cerdas. Ini dikarenakan al-Qur’an merupakan pedoman hidup, bukan sekedar kitab bacaan.
Asy-Syaikh Ahmad an-Najmi rahimahullah ketika ditanya tentang mana yang lebih utama antara mengkhatamkan bacaan al-Qur’an berkali-kali dengan mengkhatamkan sekali tapi diiringi dengan mengkaji tafsirnya, maka beliau menjawab, “Demi Allah, mengkhatamkannya sekali atau dua kali diiringi dengan mengkaji tafsirnya itu jauh lebih utama.”
Maka dari itu, di bulan yang penuh keistimewaan dan padanya diturunkan al-Qur’an ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk mengkaji salah satu surah di dalam al-Qur’an, yaitu Surah al-Fatihah.
Sebagian Keutamaan Surah al-Fatihah
Surah ini merupakan induknya al-Qur’an (Ummu al-Kitab), al-Qur’an yang agung, 7 ayat yang senantiasa diulang dan salah satu rukun shalat (menurut satu pendapat) yang tidaklah sah shalat kecuali dengannya.
Tafsir Ringkas Surah Ini
“Bismillaah”, maksudnya : Aku memulai dengan seluruh nama yang dimiliki Allah, karena kata “ism” (dari kalimat “bismillah”) bentuknya kata tunggal yang disandarkan kepada lafazh “Allah”, sehingga maknanya mencakup seluruh al-Asma’ al-Husna. Sedangkan lafazh “Allah” maknanya : Dia yang diibadahi, yang berhak untuk diesakan dengan peribadahan disebabkan sifat-sifat Uluhiyah yang Dia sandang, yang merupakan sifat-sifat kesempurnaan.
“ar-Rahmaanirrahiim” : Dua nama yang menunjukkan Allah memiliki rahmat yang luas dan agung, meliputi segala sesuatu dan merata pada seluruh makhluk hidup. Allah menetapkan rahmat tersebut bagi orang-orang yang bertakwa yang senantiasa mengikuti para nabi dan rasul-Nya. Merekalah orang-orang yang mendapatkan rahmat secara mutlak. Adapun selain mereka, maka hanya mendapatkan sebagian kecil saja dari rahmat tersebut.
Ketahuilah, bahwasanya diantara kaidah yang telah disepakati oleh para pendahulu umat ini dan para imam mereka, yaitu : beriman terhadap nama-nama, sifat-sifat Allah dan hukum-hukum sifat. Mereka beriman -misalnya- bahwasanya Dia adalah Rahmaan dan Rahiim, yang artinya : memiliki rahmat yang Dia bersifat dengannya dan terkait dengan makhluk yang dirahmati. Seluruh nikmat merupakan pengaruh dari rahmat-Nya. Demikian seterusnya dalam seluruh nama-Nya.
Dikatakan tentang nama “al-‘Aliim” : Bahwasanya Dia adalah Zat Yang Maha Berilmu, memiliki ilmu yang dengannya Dia mengetahui segala sesuatu. Nama “Qadiir” : Yang Maha Mampu, memiliki kemampuan yang dengannya Dia mampu atas segala sesuatu.
“al-Hamdulillaah” : Sanjungan atas Allah dengan sifat-sifat kesempurnaan dan perbuatan-perbuatanNya yang berporos antara keutamaan dan keadilan. Sehingga bagi-Nya segala pujian dengan segala sisinya.
“Rabbil ‘aalamiin” : Makna “Rabb” adalah Zat yang mengatur seluruh alam –sedangkan mereka (alam) adalah segala sesuatu selain Allah- dalam bentuk Dia menciptakan mereka, menyediakan beragam sarana untuk mereka, memberikan mereka beragam nikmat yang agung, yang andaikata mereka kehilangan nikmat-nikmat tersebut niscaya mereka tidak akan tetap ada. Maka, nikmat apapun yang sampai pada mereka itu semata-mata karunia dari-Nya Ta’ala.
Pengaturan Allah Ta’ala terhadap makhluk-Nya ada dua macam, yaitu : bersifat umum dan bersifat khusus. Adapun pengaturan yang bersifat umum adalah penciptaan, pemberian rizki dan petunjuk Allah kepada makhluk terhadap perkara-perkara yang mengandung kemaslahatan bagi mereka, yang dengannya mereka dapat tinggal di dunia.
Adapun pengaturan yang bersifat khusus adalah pengaturan-Nya terhadap para wali-Nya, yang Dia membimbing mereka dengan keimanan, memberikan taufik kepada mereka terhadap iman tersebut, menyempurnakan iman untuk mereka, melindungi mereka dari perkara-perkara yang dapat memalingkan serta menghalangi mereka dari keimanan tersebut. Hakekatnya adalah pengaturan taufik terhadap segala kebaikan dan penjagaan dari segala kejelekan. Barangkali inilah rahasia di balik doa-doa para nabi yang kebanyakannya menggunakan lafazh “Rabb”, karena permohonan-permohonan mereka semuanya masuk di bawah sifat Rububiyah-Nya yang khusus.
Jadi, firman-Nya : “Rabbil ‘aalamiin” menunjukkan atas keesaan-Nya dalam hal mencipta, mengatur, memberi nikmat dan kesempurnaan kekayaan-Nya, sangat bergantungnya makhluk terhadap diri-Nya dengan segala sisinya.
“Maaliki yaumiddiin” : “al-Malik” adalah Zat yang menyandang sifat kekuasaan yang diantara pengaruh sifat tersebut adalah Dia berwenang untuk memerintah dan melarang, memberi pahala dan hukuman serta melakukan tindakan terhadap seluruh bawahan-Nya dengan segala jenis tindakan.
Dia menyandarkan kekuasaan terhadap “yaumiddin” (yakni hari kiamat yang merupakan sebuah hari yang seluruh manusia dibalas atas amalan mereka yang baik maupun yang buruk) karena pada hari itu tampak sangat jelas bagi makhluk kesempurnaan kekuasaan, keadilan dan hikmah-Nya serta terputusnya kekuasaan makhluk hingga sama pada hari itu antara para raja dan rakyat, budak dan orang merdeka.
Semuanya mengakui kebesaran-Nya dan tunduk terhadap keperkasaan-Nya, menunggu keputusan-Nya, mengharapkan pahala-Nya, takut dari hukuman-Nya. Karena itulah, Dia menyebutkan “yaumiddin” secara khusus. Bagaimana pun juga, Dia adalah yang menguasai hari pembalasan dan hari-hari lainnya.
Firman-Nya : “Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin”, maksudnya : Kami mengkhususkan Engkau satu-satunya dengan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong). Sebab, (dalam kaidah Bahasa Arab) mendahulukan obyek kalimat memberikan faedah pembatasan, yakni : menetapkan hukum bagi apa yang disebutkan dan meniadakan hukum tersebut dari selainnya. Seolah-olah Dia berfirman yang maknanya : “Kami menyembah-Mu dan kami tidak menyembah selain-Mu, kami memohon pertolongan kepada-Mu dan kami tidak memohon pertolongan kepada selain-Mu”.
Didahulukannya penyebutan ibadah atas isti’anah termasuk bab mendahulukan yang umum dari yang khusus serta menaruh perhatian serius dengan mendahulukan hak-Nya atas hak hamba-Nya.
Adapun yang disebut dengan ibadah : Nama yang mencakup segala perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah berupa amalan-amalan dan ucapan-ucapan yang zhahir maupun yang batin. Sementara isti’anah adalah bersandar kepada Allah Ta’ala dalam memperoleh manfaat dan menolak bahaya diiringi kepercayaan yang tinggi terhadap-Nya dalam mencapai hal itu.
Menunaikan ibadah kepada Allah dan beristi’anah kepada-Nya merupakan sarana untuk menggapai kebahagiaan yang abadi dan keselamatan dari seluruh kejelekan. Sehingga, tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan melaksanakan keduanya. Hanyalah ibadah itu disebut sebagai ibadah sesunguhnya jika dia diambil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang dengan itu diharapkan wajah Allah semata. Dengan dua perkara inilah suatu ibadah akan teranggap sebagai ibadah.
Disebutkannya isti’anah setelah ibadah seiring masuknya isti’anah dalam cakupan ibadah, disebabkan butuhnya seorang hamba dalam seluruh ibadahnya terhadap isti’anah kepada Allah Ta’ala. Sebab, jika Allah tidak menolongnya, niscaya keinginannya berupa menjalankan perintah dan menjauhi larangan tidak akan tercapai.
Kemudian Dia berfirman : “Ihdinashshiraathal mustaqiim”, maksudnya : Tunjukilah kami, bimbinglah kami serta berilah kami taufik menuju jalan yang lurus. Yaitu : jalan terang yang menyampaikan kepada Allah dan surga-Nya. Yakni : Mengetahui kebenaran dan beramal dengannya. Maka, tunjukilah kami kepada jalan tersebut dan tunjukilah kami di dalam jalan tersebut.
Adapun hidayah menuju ash-Shirath (jalan) adalah menetapi agama Islam dan meninggalkan agama-agama selainnya. Sementara hidayah di dalam ash-Shirath mencakup hidayah terhadap seluruh rincian agama secara ilmu dan amal. Sehingga doa ini adalah doa yang paling mencakup serta paling bermanfaat bagi seorang hamba. Karena itu, wajib atas seseorang untuk berdoa kepada Allah dengannya pada tiap-tiap rakaat shalatnya disebabkan sangat butuhnya dia terhadap hal itu.
Jalan yang lurus ini adalah “Shiraathalladziina an’amta ‘alaihim”, yakni : jalannya para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin. “Ghairi (bukan)” jalannya “al-Maghdhubi ‘alaihim (orang-orang yang dimurkai atas mereka)”, yaitu : orang-orang yang mengerti kebenaran namun meninggalkannya, semisal orang-orang Yahudi dan yang sejenisnya. Bukan pula jalan “adh-Dhaalliin (orang-orang yang sesat)”, yaitu : orang-orang yang meninggalkan kebenaran di atas kebodohan dan kesesatan sebagaimana orang-orang Nashara dan yang sejenisnya.
Jadi, surah ini (al-Fatihah) seiring ringkasnya ternyata mengandung apa yang terkandung di dalam surah-surah lainnya dari al-Qur’an. Surah ini memuat 3 jenis tauhid, yakni :
Tauhid ar-Rububiyah, terambil dari firman-Nya : “Rabbil ‘aalamiin”.
Tauhid al-Ilahiyah, yakni : mengesakan Allah dengan peribadahan. Terambil dari lafazh “Allah” dan firman-Nya : “Iyyaaka na’budu”.
Tauhid al-Asma’ wa ash-Shifat, yakni : menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah yang Dia sendiri telah menetapkan sifat-sifat tersebut bagi diri-Nya dan rasul-Nya juga telah menetapkan sifat-sifat tersebut bagi diri-Nya tanpa ta’thil (menolak sifat-sifat tersebut), tamtsil (menggambarkan hakekat sifat-sifat tersebut) dan tasybih (menyerupakan sifat-sifat tersebut dengan sifat-sifat makhluk-Nya).
Sungguh, lafazh “al-Hamdu” telah menunjukkan hal itu sebagaimana penjelasan yang telah lewat.
Al-Fatihah juga memuat penetapan terhadap an-Nubuwwah (kenabian) melalui firman-Nya : “Ihdinashshiraathal mustaqiim (tunjukilah kami jalan yang lurus)”. Sebab, hal itu akan terhalangi tanpa adanya risalah kenabian.
Al-Fatihah juga memuat penetapan adanya balasan terhadap segala amalan melalui firman-Nya : “Maaliki yaumiddiin (Yang menguasai hari pembalasan)” dan bahwasanya balasan itu terwujud dengan adanya keadilan. Sebab “ad-Diin” di sini maknanya adalah balasan dengan keadilan.
Al-Fatihah juga memuat tentang penetapan takdir, dan bahwasanya seorang hamba adalah pelaku (subyek) secara hakiki. Berbeda halnya dengan kaum Qadariyah (yang mengingkari takdir) dan Jabriyah (yang mengingkari perbuatan makhluk secara hakiki). Bahkan surat ini merupakan bantahan atas seluruh ahli bid’ah dan kesesatan melalui firman-Nya : “Ihdinashshiraathal mustaqiim (tunjukilah kami jalan yang lurus)”. Sebab, maknanya adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya. Sementara setiap ahli bid’ah dan kesesatan justru menyelisihi hal itu.
Al-Fatihah juga memuat tentang pemurnian ketaatan untuk Allah semata dengan ibadah dan isti’anah melalui firman-Nya : “Iyyaka na’budu waiyyaaka nasta’iin (hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan).”
Segala puji hanya milik Allah Rabb seluruh alam.
(Dikutip bebas dari kitab Taisir al-Kariimirrahman fii Tafsiir al-Kalaam al-Mannaan karya al-Imam Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah).