Mengungkap Hakikat Peringatan Maulid Nabi
Bulan Rabi’ul Awal tidak jarang mengingatkan kaum muslimin tentang peristiwa lahirnya manusia terbaik yang pernah dilahirkan di muka bumi, yaitu Nabi Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.Hanya saja perlu kita ketahui bahwa para ulama sejarah berbeda pendapat tentang penentuan tanggal lahirnya beliau.Ada yang mengatakan tanggal 2, 8, 9, 10, 12 dan 17 Rabi’ul Awal.Bahkan ada yang mengatakan bahwa Nabi lahir di bulan Ramadhan.Nabi sendiri tidak pernah menegaskan penentuan tanggal kelahiran beliau dan para sahabat tidak ada yang bertanya tentang hal itu.Ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang tanggal kelahiran Nabi bukanlah perkara yang penting.Kalau seandainya penting dan memiliki pengaruh dalam penentuan hukum dalam syariat, niscaya hal itu akan disampaikan Nabi atau ditanyakan oleh para sahabat.Kita sangat yakin bahwa Nabi dan para sahabat adalah manusia yang paling mengerti dan bersemangat dalam perkara yang penting.
Apabila tidak ada sama sekali penyebutan tanggal kelahiran Nabi dari lisan beliau sendiri yang mulia, maka atas dasar apa seseorang memperingati hari kelahiran (maulid) Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam pada tanggal tertentu ? Selain itu, apakah Nabi sendiri atau para sahabat pernah mengadakan atau menganjurkan peringatan Maulid Nabi ? Atau para ulama sejarah yang berbeda pendapat tentang tanggal kelahiran Nabi, dapat kita pastikan mereka menganjurkan atau mengadakan peringatan Maulid Nabi ? Bukankah sebelum meyakini lalu berucap atau beramal sesuatu, kita dibimbing oleh agama agar bersikap ilmiah alias berilmu terlebih dahulu ?!
Siapa Yang Pertama Kali Mengadakan Peringatan Maulid Nabi ?
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang siapa yang pertama kali mengadakan peringatan Maulid Nabi.Tetapi yang jelas dan tidak ada keraguan sedikitpun, peringatan ini sama sekali tidak pernah dianjurkan atau diselenggarakan oleh Nabi dan 3 generasi utama umat Islam, yaitu para sahabat beliau, para tabi’in dan para atba’ tabi’in.Tidak pula satu pun dari para imam mazhab yang 4, baik al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik, al-Imam asy-Syafi’i maupun al-Imam Ahmad bin Hanbal.Tidak ada satupun perkataan tentang peringatan Maulid Nabi dari mereka karena memang peringatan tersebut sama sekali tidak dikenal oleh mereka.Kalau orang-orang yang mulia ini (bahkan diantaranya adalah manusia yang telah dijamin masuk surga) tidak mengenal dan menyelenggarakan Maulid Nabi, maka siapa lagi orang yang layak dijadikan panutan untuk menyelenggarakan (lebih-lebih menggalakkan) peringatan Maulid Nabi ?! Apalagi dari pernyataan para ulama ketika menyebutkan orang pertama kali yang mengadakan peringatan Maulid Nabi, kita mengetahui bahwa para khalifah (penguasa) yang berpemahaman Syi’ah-lah yang memiliki andil besar munculnya peringatan ini !! Bagi orang yang mengkaji kiprah gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam tidaklah heran dengan andil Syi’ah dalam perkara bid’ah, karena pemahaman ini merupakan gudang kebid’ahan, bahkan kekufuran yang disusupkan di tengah kaum muslimin.
Hukum Peringatan Maulid Nabi
Para ulama yang berpegang teguh dengan bimbingan Nabi sejak dahulu hingga sekarang telah menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi itu adalah bid’ah (perkara yang dibuat-buat dalam agama).Sedangkan seluruh kebid’ahan adalah kesesatan, sebagaimana hal ini ditandaskan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam.Tidaklah benar bid’ah itu dibagi menjadi bid’ah hasanah (yang baik) dan bid’ah sayyi’ah (yang buruk) menurut tinjauan syariat.
Adapun sebagian ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela, maka mereka sekedar menggunakan kata “bid’ah” menurut tinjauan Bahasa Arab yang artinya : perkara baru, bukan menurut tinjauan syariat.
Lalu dari sisi mana peringatan Maulid Nabi itu dikatakan bid’ah ? Jawab : Peringatan ini dikatakan bid’ah karena sisi-sisi yang sisi-sisi tersebut merupakan syarat sesuatu itu dikatakan sebagai bid’ah.Sisi-sisi tersebut adalah :
1) Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan di masa Nabi.Sedangkan mencintai Nabi yang dijadikan dalih oleh pihak yang mengadakan peringatan ini, sebenarnya sudah ada di masa Nabi.Bahkan para sahabat adalah orang-orang yang jauh lebih besar kecintaan mereka kepada Nabi dibandingkan kecintaan kita kepada beliau.Meski demikian, kecintaan kepada Nabi tidak pernah sama sekali diwujudkan dalam bentuk peringatan Maulid Nabi di masa beliau.
2) Peringatan Maulid Nabi itu disandarkan kepada Islam, atau dengan kata lain diyakini sebagai bagian agama Islam (bukan semata-mata adat istiadat).Hal ini dibuktikan bahwa pihak yang mengadakan acara ini memasukkannya ke dalam hari besar Islam (PHBI).Namun apakah benar Islam yang dibawa Nabi mengajarkan peringatan ini ? Tentu jawabannya sudah kita ketahui.
3) Tidak ada landasan syar’i yang dapat dijadikan dasar peringatan Maulid Nabi.
Peringatan Bid’ah Inipun Semakin Diperburuk Keadaannya
Sub judul ini sengaja disebutkan karena beberapa pemandangan yang memang sering terjadi pada acara Maulid Nabi.Sering terjadi beberapa pemandangan yang menambah buruknya acara Maulid Nabi yang sebelumnya acara ini telah dihukumi sebagai kebid’ahan. Diantara pemandangan tersebut adalah :
a) Dimunculkannya jenis atau lafazh-lafazh shalawat yang tidak pernah diajarkan Nabi.Diantara jenis shalawat tersebut adalah shalawat buatan yang dikenal dengan istilah Shalawat Badar.Isi shalawat tersebut terdapat beberapa kesalahan, seperti : penyebutan Nabi dengan Thaha, Yasin, Habibillah, tawasul dengan Nabi, para mujahidin dan Ahli Badar.Terlepas dari acara Maulid Nabi, apakah kita masih belum merasa cukup dengan beberapa jenis atau lafazh shalawat yang telah diajarkan oleh Nabi kepada kita ?!
b) Shalawat-shalawat buatan yang ternyata diucapkan dengan cara yang tidak syar’i, seperti : didendangkan dengan musik, goyang kepala dan badan, bahkan suara mendayu wanita yang didengar pria yang bukan mahramnya.Na’udzubillahi min Dzalik.
c) Tidak adanya pembatas atau tabir yang memenuhi ketentuan syariat untuk memisahkan jamaah pria dengan wanita dalam sebuah ruangan acara.Keadaan seperti ini dapat menyebabkan ikhtilath (campur baur) antara wanita dan pria atau melihat lawan jenis yang bukan mahram, sekalipun tanpa disertai syahwat.
Apakah pemandangan-pemandangan yang bertentangan dengan bimbingan Nabi ini dan belum yang lainnya, dapat menimbulkan kecintaan kita kepada Nabi ?! Mungkinkah dikatakan cinta yang jujur, bila perkara yang bertentangan dengan orang yang dicintai justru malah dikerjakan ?! Namun jika seandainya pemandangan-pemandangan ini atau sejenisnya ternyata tidak ada sama sekali pada acara Maulid Nabi, maka acara tersebut tetap saja hukumnya bid’ah.
Hukum Makanan Pada Acara Maulid Nabi
Samahatu asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah berfatwa agar kita tidak menerima makanan terkait acara Maulid Nabi.Apabila kita terima karena menghindari kerusakan yang lebih besar, maka kita terima tapi jangan kita makan dan hendaknya kita berikan kepada orang-orang fakir, tanpa kita beritahu bahwa makanan tersebut berasal dari acara demikian dan demikian, atau tanpa memberitahu dari siapa makanan tersebut berasal.(Diunduh secara bebas dari situs vb.noor-alyaqeen.com)
Beberapa Alasan / Dalih Menyelenggarakan Peringatan Maulid Nabi Beserta Bantahannya
Ada beberapa alasan yang mendasari diselenggarakannya acara Maulid Nabi, seperti :
a) Acara ini merupakan wujud penghormatan dan kecintaan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam.
Alasan pertama ini dapat kita bantah : “Siapakah yang lebih dapat menghormati dan mencintai Nabi dibanding para sahabat beliau ?! Kalau ternyata mereka adalah manusia yang paling dapat menghormati dan mencintai Nabi, lalu mengapa mereka tidak mengadakan acara Maulid Nabi ? Atau kita yang justru lebih dapat menghormati dan mencintai Nabi dibanding mereka ? Subhanallah dari ucapan yang terakhir ini ! Bukankah wujud penghormatan dan kecintaan kepada Nabi justru dengan ittiba’ (mengikuti Rasul) dan bukan ibtida’ (membuat atau mengerjakan bid’ah) ?!
b) Acara ini dapat mengingatkan kita terhadap kedudukan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang sangat mulia.
Alasan yang kedua ini dapat kita jawab : Bukankah kita senantiasa mendengar suara adzan “Asyhadu anna Muhammadar Rasuulullaah”, membaca syahadat Rasul dan shalawat dalam tasyahud shalat atau momen-momen lain yang diizinkan oleh syariat untuk diucapkan nama Nabi padanya ?! Apakah semua ini tidak cukup mengingatkan kita terhadap kedudukan Nabi, sehingga perlu mengadakan peringatan khusus ?! Mengapa mengingat atau lebih mengingat kedudukan Nabi harus menunggu 1 tahun ?!
c) Acara ini sekedar adat istiadat, bukan bagian dari agama.
Alasan ketiga ini dapat dikembalikan kepada orang-orang yang menyelenggarakan acara Maulid Nabi, yaitu : Mengapa mereka memasukkan acara ini ke dalam PHBI ?! Bukankah penamaan Peringatan atau Perayaan Hari Besar Islam sudah menunjukkan suatu syiar keagamaan, bukan adat istiadat ?! Dalam tinjauan syariat Islam, perayaan hari besar itu dinamakan ‘id, sedangkan ‘id tahunan dalam Islam itu hanya ada 2 macam : Idul Fithri dan Idul Adha.
d) Acara ini telah diselenggarakan oleh keumuman masyarakat.
Alasan keempat ini bisa kita luruskan bahwa tolok ukur benar atau kelirunya sesuatu itu adalah Al Qur’an dan Sunnah Nabi dengan pemahaman as-salaf ash-shalih, bukan penilaian mayoritas manusia.Apa yang dikatakan benar oleh tolok ukur ini, maka sesuatu itu adalah benar meski dinilai keliru oleh kebanyakan manusia.Demikian pula apa yang dikatakan keliru oleh tolok ukur ini, maka ia adalah keliru meski dinilai benar oleh mayoritas manusia.Tolok ukur ini harus kita pegang teguh agar kita tidak menyimpang, bingung, termakan atau terombang-ambing oleh fenomena yang terjadi di tengah masyarakat.Lebih dari itu, sangat banyak ayat Al Qur’an (sebagaimana pada edisi ke-55 tahun ke-5) yang menerangkan bahwa kebanyakan manusia itu tidak bersyukur, tidak mengetahui, tidak beriman, menyimpang dari jalan Allah, membenci kebenaran dan terjatuh dalam kesyirikan.
Para pembaca rahimakumullah, sedikit yang tersampaikan ini semoga dapat membimbing kita mengetahui hakikat perayaan Maulid Nabi menurut tinjauan ilmiah kemudian bersikap tepat di tengah-tengah masyarakat.
Wallahu a’lamu bish-Shawab