Sikap Lembut & Keras Dalam Dakwah
Kedua sikap dalam dakwah ini adalah tuntunan Islam yang tidak sepantasnya seorang muslim (terkhusus juru dakwah) menetapkan salah satunya dan menolak yang lainnya pada setiap keadaan.Akan tetapi semestinya ia menempatkan sikap keras atau lembut sesuai keadaannya dan itulah hikmah (bijak) dalam berdakwah.Adapun sikap keras pada keadaan yang justru menuntut kelembutan adalah kebodohan, sedangkan sikap lembut pada keadaan yang justru menuntut sikap keras adalah kelemahan.
Para ulama pun telah menerangkan perkara ini melalui beberapa penjelasan, diantaranya apa yang dapat kami tuangkan dalam tanya jawab berikut ini :
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah pernah ditanya : “Kapan kita menggunakan kelembutan dan kapan pula sikap keras dalam berdakwah menuju jalan Allah atau berinteraksi dengan manusia ?”
Maka beliau menjawab : “Hukum asal dalam berdakwah adalah kelembutan dan kebijakan.Inilah hukum asalnya.Apabila (semoga Allah memberkahi anda) menjumpai orang yang menentang, tidak menerima kebenaran padahal telah tegak hujjah padanya dan meninggalkan (kebenaran atau hujjah tadi), maka ketika itu digunakan (tahapan) bantahan.Apabila anda seorang penguasa, sedangkan orang yang menentang tadi adalah dai penyeru kesesatan, maka anda hukum orang tersebut dengan pedang.Kadangkala bisa sampai pada tingkat membunuh orang tersebut jika dirinya terus menerus menebar kerusakan.Di sana ada sejumlah ulama dari beragam mazhab berpandangan bahwa orang seperti ini lebih besar kerusakannya dibanding para preman jalanan.Orang seperti ini (awalnya) dinasehati lalu disampaikan kepadanya hujjah.Namun jika dirinya menolak, maka ketika itu hakim syar’i menempuh tahapan menghukum.Kadangkala dengan dipenjara, diasingkan atau dibunuh.Para ulama pun telah menghukum al-Jahm bin Shafwan, Bisyr al-Marisi, al-Ja’d bin Dirham atau selain mereka dengan bunuh.Ini adalah hukuman para ulama terhadap orang yang menentang dan terus menerus menebarkan kebid’ahan.Apabila Allah memberi manfaat kebenaran kepada orang ini dan akhirnya kembali ke jalan yang benar, maka inilah yang diharapkan.Ya”.(Lihat www.rabee.net)
Beliau juga pernah ditanya : “Apakah ditempuh sikap keras dalam membantah kebatilan ataukah sikap lembut ?”
Maka beliau menjawab : “Ini sesuai keadaannya.Apabila seseorang memiliki kehormatan diri, kemuliaan dan sikap lembut itu dapat bermanfaat baginya, maka anda gunakan tahapan kelembutan dan sikap bijak.Ini adalah hukum asal dalam dakwah, baik terhadap seorang muslim atau kafir.Namun apabila orang tersebut sombong dan menentang, tidak bermanfaat baginya lagi sikap lembut dan justru bermanfaat baginya sikap keras, maka anda tempuh sikap keras.Pada setiap keadaan itu ada ucapan yang sesuai tempatnya.Allah Ta’ala berfirman tentang para pezina (artinya) : “Dan janganlah rasa belas kasihan kepada dua orang pezina tersebut mencegah kalian dari (menjalankan) agama Allah, apabila kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir”.(An Nur : 2).
Maksudnya : Hukum cambuk.Ajaklah dan kumpulkan manusia untuk menyaksikan para pezina tersebut, cambuklah dan janganlah rasa belas kasihan jenis apapun mencegah anda.Ini adalah salah satu kekuatan dalam agama.Orang kafir yang menentang dan memerangi (Islam) itu dihunuskan pedang atau dituliskan pena (bantahan) terhadapnya sesuai apa yang mudah bagi anda.Islam itu padanya ada sikap keras dan ada pula sikap lembut.Allah berfirman (artinya) : “Muhammad adalah utusan Allah.Orang-orang yang bersamanya itu memiliki sikap keras terhadap orang-orang kafir dan sikap kasih sayang diantara mereka (kaum mukminin)…”(Al Fath : 29)
Sikap penyayang terhadap kaum mukminin yang jujur dan murni keimanannya, bukan ahlul bid’ah.Adapun ahlul bid’ah, maka mereka mendapat satu bagian dari sikap keras terhadap orang kafir, karena mereka telah mengambil satu sisi kekufuran atau kejahiliahan dari orang-orang kafir.
Yang wajib ketika mereka menentang adalah kita benar-benar menghukum mereka di atas kebenaran dengan setiap cara yang kita mampu lakukan, jika kita memiliki kekuasaan.(Sekarang ini) kita memiliki pena yang memungkinkan untuk mematahkan mereka.Pena itu dapat menggoncang mereka lebih dahsyat daripada pedang”.(Fatawa Fil ‘Aqidah Wal Manhaj – pertemuan kedua oleh asy-Syaikh Rabi’)
Asy-Syaikh Ubaid al-Jabiri hafizhahullah pernah ditanya : “Semoga Allah memberikan kebaikan kepada anda.Apa hukum asal dalam dakwah menuju jalan Allah ? Sikap lembut atau keras ? Bagaimana kita menyikapi ahlul bid’ah ? Perlu diketahui bahwa ahlul bid’ah tersebut dulunya adalah teman-teman kami dan berjalan di atas manhaj (metode) Ahlussunnah.Namun harta telah menjadikan mereka buruk”.
Maka beliau menjawab : “Hukum asalnya adalah apa yang dikandung di dalam ayat Surat An Nahl (artinya) : “Ajaklah (mereka) menuju jalan Rabbmu dengan hikmah, nasehat yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik”.(An Nahl : 125)
Apa itu hikmah ? Hikmah adalah menempatkan sesuatu sesuai tempatnya.Maka kadangkala suatu perkara itu menuntut sikap keras.Ini adalah sikap ketika membantah.Kadangkala pula menuntut sikap lembut.Ini dalam bentuk pembicaraan atau penjelasan yang baik dan mengurai permasalahan.Dengan cara hikmah : Membedakan antara seseorang yang telah menjadi juru dakwahnya kebid’ahan dengan yang bukan juru dakwahnya.Kami telah menyebutkan hal ini di awal tanya jawab atau di tengah pelajaran tadi.
Adapun debat, ditempuh tatkala tampak seseorang itu memiliki kelembutan dan mencintai kebaikan.Anda debat dia dengan baik, menjelaskan kebatilan yang dia yakini atau dia dakwahkan dan menjelaskan bahwa kebenaran justru telah menyelisihi kebatilannya sambil menyebutkan dalilnya dengan pembicaraan yang lembut.
Mereka (para ulama) menyebutkan salah satu kisah unik bahwa Harun ar-Rasyid (sebatas yang saya duga) ditemui oleh seseorang yang kacau pemikirannya, tidak ada sikap hikmah padanya.Dia berkata : “Wahai, amirul mukminin, ijinkan aku.Sesungguhnya aku menasehati anda dan keras dalam nasehat.Sebagian ulama menyebutkan bahwa orang ini adalah Abu Ja’far al-Manshur.Maka Harun berkata : “Maha Suci Allah ! Allah telah berfirman kepada Musa dan Harun (artinya) : “Maka katakan kepada dia (Fir’aun) ucapan yang lembut…”(Thaha : 44)
Aku (wahai saudaraku) bukanlah lebih buruk daripada Fir’aun dan anda bukanlah lebih berilmu dibanding Musa”.(Di sini) Harun berdalil atas wajibnya melembutkan pembicaraan bagi penasehat yang sedang marah dan kacau pemikirannya.Beliau berdalil untuk orang tadi bahwa Allah memerintahkan dirinya memiliki sifat lembut.Ini adalah keadaan orang yang sikap lembut itu dapat bermanfaat bagi dirinya.
Adapun membantah (yakni cara membantah), maka dengan sikap keras itu lebih tepat.Hanya saja harus dijauhi celaan, cercaan atau umpatan.Bantahan yang ilmiah adalah bantahan yang dibangun di atas pokok-pokok yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah yang shahih sesuai manhaj as-salaf ash-shalih.Bagaimana as-salaf ash-shalih memahami interaksi terhadap manusia dan bagaimana pula penerapan Al Qur’an dan as-Sunnah.Sesungguhnya perjalanan hidup mereka adalah penerapan amaliah dalam memahami Al Qur’an dan as-Sunnah.As-salaf ash-shalih, generasi pokok mereka adalah para sahabat Nabi kemudian generasi setelah mereka yang berjalan di atas metode para sahabat dengan baik.Inilah bantahan.
Bantahan dengan gambaran seperti ini, orang yang melakukannya akan memperoleh salah satu dari 3 atau 4 perkara di bawah ini :
a) Hidayah bagi orang yang menyimpang dan pengikutnya yang berlaku adil.Sekalipun belum menerima bantahan tapi ia tidak sanggup sedikit pun berbicara.Apa yang (sanggup) dia ucapkan di hadapan Al Qur’an, as-Sunnah dan ucapan seorang ulama Ahlussunnah as-Salaf ?!
b) Memisahkan antara umat Islam dengan ahlul bid’ah.Sesungguhnya barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya, maka dirinya akan diberi pemahaman dan mengerti bahwa orang yang membantah orang yang menyimpang tidaklah memiliki tujuan tertentu.Tujuannya adalah memperjelas kebenaran dari perkara yang telah disusupkan oleh orang yang menyimpang tadi.
c) Sikap menerima bantahan yang tampak pada orang-orang yang berlaku adil dari pengikut orang yang menyimpang.Mereka menerima dan berkata : “Demi Allah, (bantahan) ini adalah kebenaran”.Diantara pengikut orang yang menyimpang ini ada yang kembali kepada tokohnya dan berkata : “Engkau tidak berbuat baik dalam perkara ini”.Dia marah terhadap tokohnya, sekalipun dia sendiri tidak menerima bantahan secara umum.Diantara manusia juga ada yang keluar dari kebid’ahan yang selama ini ia bergabung dengan orang yang menyimpang di dalamnya.(Akhirnya) ia menerima kebenaran dan menyambutnya”.(Lihat ar.miraath.net)
Wallahu a’lamu bish-Shawab