Wasiat ini sebenarnya adalah permintaan dari Abul Qasim bin Yusuf As-Sabtiy kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah untuk memberinya wasiat yang ringkas namun padat.
Berkata Abul Qasim As-Sabtiy;
Dipersilakan untuk guru kami, Asy-Syaikh, Al-Faqih, Al-Humam, Al-Fadhil, Al-Alim, generasi salaf yang masih tersisa, panutan generasi yang setelahnya, Al-Mubdi', Al-Mughrib, Al-Mu'rib, Al-Mushfih, orang paling berilmu yang pernah aku jumpai di timur dan barat, Taqiyyuddin Abul Abbas bin Taimiyyah; semoga Allah melanggengkan berkah-Nya kepada beliau.
Supaya berkenan memberi wasiat kepadaku dengan;
1. Hal-hal yang padanya terdapat kebaikan untuk agama dan duniaku.
2. Menunjuki kepadaku satu kitab yang bisa menjadi peganganku dalam mempelajari ilmu hadits maupun ilmu-ilmu syar'i yang lain.
3. Memberitahukan kepadaku amalan-amalan yang paling utama setelah amalan-amalan yang wajib.
4. Dan menjelaskan kepadaku profesi yang paling baik.
Semuanya ini kami mengharapkan wasiat yang ringkas.
Semoga Allah menjaga beliau, serta salam sejahtera, berkah-Nya, dan rahmat-Nya tercurah kepada beliau.
Syaikhul Islam menjawab;
Segala puji milik Allah; Rabb semesta Alam.
Aku tidaklah mengetahui sebuah wasiat yang lebih bermanfaat daripada wasiat Allah dan rasul-Nya, bagi siapa yang mau memahami dan mengikutinya.
Allah Ta'ala berfirman;
وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَاِيَّاكُمْ اَنِ اتَّقُوا اللّٰهَ
"Dan sungguh, Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang diberi kitab sebelum kalian, dan juga kepada kalian supaya kalian bertakwa kepada Allah". Qs. An-Nisa: 131
Nabi ﷺ ketika mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman berkata kepadanya;
يا معاذ، اتق الله حيثما كنت، و أتبع السيئة الحسنة تمحها، و خالق الناس بخلق حسن
"Wahai Muadz, bertakwalah kamu kepada Allah di manapun kamu beradan, ikutilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik niscaya (perbuatan baik itu) akan menghapusnya, dan pergauilah manusia dengan budi pekerti yang baik". HR. Tirmidzi.
Mu'adz radhiyallahu'anhu itu memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Nabi ﷺ, beliau pernah bersabda kepadanya, "Wahai Muadz, demi Allah! Sesungguhnya aku mencintaimu". Beliau juga pernah memboncengnya. Diriwayatkan bahwa beliau berkata tentang Muadz bahwasannya Ia adalah ummatnya yang paling tahu perkara halal dan haram. Dan bahwa Ia nanti dibangkitkan selangkah di depannya para ulama.
Dan di antara yang menunjukkan keutamaan Muadz adalah bahwasannya Nabi ﷺ mengutusnya ke Yaman sebagai Muballigh, pendakwah, pengajar ilmu, mufti, dan hakim.
Dahulu para shahabat menyerupakan Muadz dengan Nabi Ibrahim Al-Khalil. Dan Nabi Ibrahim adalah panutan manusia.
Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata; "Sesungguhnya Muadz adalah sosok panutan, taat kepada Allah, lurus tauhidnya, dan bukan termasuk golongan orang-orang yang menyekutukan Allah".
Pun demikian Nabi ﷺ memberi wasiat kepadanya dengan wasiat ini (bertakwa kepada Allah). Maka diketahuilah bahwa wasiat ini merupakan wasiat yang Jami'ah; ringkas nan mencakup. Dan wasiat ini juga seperti itu bagi siapa yang mau memahaminya. Di samping itu, wasiat ini merupakan penjelasan wasiat yang terkandung di dalam Al-Qur'an; Qs. An-Nisa: 131.
Adapun penjelasan bahwa wasiat ini merupakan wasiat yang ringkas nan mencakup adalah setiap hamba itu diberi kewajiban untuk menunaikan dua hak; yaitu hak Allah, dan hak para hamba.
Kemudian, di dalam menuaikan hak ini, seorang hamba pastilah ada kekurangan dalam menuaikannya. Adakalanya meninggalkan perintah, atau menerjang larangan.
Karenanya, Nabi ﷺ bersabda, "Bertakwalah kamu di manapun kamu berada". Sebagai perwujudan butuhnya seorang hamba terhadap ketakwaan, baik saat sendirian maupun ketika di tengah khayalak ramai.
Kemudian beliau ﷺ bersabda, "Dan ikutilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik niscaya (perbuatan baik itu) akan menghapusnya".
Sesungguhnya dokter ketika mendapati pasien yang sakit karena mengkonsumsi sesuatu yang bermudarat, ia akan memerintahkan kepadanya untuk mengkonsumsi sesuatu yang memperbaikinya (penawarnya).
Dosa itu sudah kepastian dilakukan oleh hamba. Maka orang yang cerdas adalah yang selalu melakukan kebaikan-kebaikan yang akan menghapus kejelekan-kejelekan.
Dan di dalam lafazh hadits kata kejelekan didahulukan -meskipun ia berupa maf'ul- karena yang dimaksudkan dengannya adalah penghapusannya, bukan melakukan kebaikannya. Maka jadilah sabda Nabi ﷺ ini seperti sabdanya kepada seorang badui, "Siramlah air kencingnya dengan setimba air".
Dan hendaknya kebaikan yang dia lakukan itu kebalikan dari perbuatan jeleknya karena yang demikian akan lebih dalam menghapusnya.
#TERJEMAH KITAB
https://t.me/RaudhatulAnwar1