Tata Cara Qunut Witir Sesuai Bimbingan Sunnah Rasulullah
Bismillah, berikut tanya jawab tentang Qunut Witir yang kami kutip dari Majalah Asy Syariah (asysyariah.com) dan situs salafy.or.id. Berikut rangkumannya yang insyaallah memberikan manfaat bagi kita semua. Barakallahu fiikum.
Hukum Qunut Witir
Pertanyaan : Apa hukum qunut dalam shalat witr. Apakah ada kewajiban tertentu jika meninggalkannya?
Jawab : Hukumnya mustahab, tidak wajib. Barangsiapa meninggalkannya maka tidak mengapa. Barangsiapa melaksanakannya maka itu mustahab.
(asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Fatawa Nur ‘ala ad-Darb 10/205)
Penjelasan tentang Dalil Disyari’atkannya Qunut Witir
Pertanyaan : Apakah qunut witr yang biasa dilakukan itu memiliki dasar hukum? Apa dalilnya?
Jawab : Ya, qunut merupakan sunnah pada shalat Witr di malam hari. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkannya kepada al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu. Pengajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada salah seorang dari shahabat, hakekatnya adalah pengajaran kepada umat beliau semuanya. Jadi qunut adalah sunnah, selayaknya bagi seorang mukmin apabila dia shalat (witr) pada rakaat terakhir, apabila dia bangkit dari rukuknya, untuk mengangkat kedua tangannya berqunut. Berdoa : Allahumahdini fi man hadait, …dst baru kemudian sujud. Sebagaimana ini dikerjakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sebagaimana dikerjakan oleh para shahabat.
(asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Fatawa Nur ‘ala ad-Darb 10/210)
Hukum Mengangkat Tangan Ketika Qunut
Pertanyaan : Dalam shalat witir, ketika doa qunut aku mengangkat tangan. Apakah ini boleh ataukah tidak?
Jawab : Iya. Mustahab (dianjurkan) untuk mengangkat tangan dalam qunut. Mustahab, tidak mengapa dikerjakan, baik oleh pria maupun wanita.
(asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Fatawa Nur ‘ala ad-Darb 10/222)
Pertanyaan : Apakah termasuk sunnah mengangkat kedua tangan dalam doa qunut? Apa dalilnya?
Jawab : Iya, termasuk sunnah seseorang mengangkat kedua tangannya dalam doa qunut. Karena itu terdapat dalilnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada qunut beliau, qunut Nawazil dalam shalat-shalat fardhu. Demikian pula telah shahih diriwayatkan dari Amirul Mukmin ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau mengangkat tangan dalam qunut witr. Sementara beliau salah satu dari para khulafaur rasyidin yang kita diperintah untuk mengikuti sunnahnya.
Jadi, mengangkat tangan dalam qunut witr adalah sunnah, baik dia sebagai imam atau sebagai makmum. Setiap kali qunut, maka dia mengangkat tangan.
(asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin, Fatawa Arkanil Islam, no. 277)
Terus Menerus Melakukan Qunut Witir
Pertanyaan : Aku dengar bahwa qunut witir tidak harus terus menerus. Namun aku senang mengerjakannya. Apakah boleh?
Jawab : Qunut tidaklah wajib, hanya mustahab. Apabila seorang mukmin atau mukminah kadang-kadang meninggalkannya, maka tidak mengapa. Namun mengerjakannya terus menerus maka itu lebih utama. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari cucu beliau Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma doa qunut, beliau ajari untuk diucapkan dalam shalat Witr dan beliau tidak mengatakan “kadang-kadang saja”. Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya yang menunjukkan bahwa itu dikerjakan dalam semua waktu. Yaitu mengucapkan doa, “Allahumah dini fi man hadait … dst”
Jadi, seseorang mengerjakan qunut witr sepanjang tahun, ini bagus. Demikian menurut pendapat yang paling benar di kalangan ‘ulama. Tidak mengapa. Kalau ditinggalkan kadang-kadang, maka juga tidak mengapa. Maksudnya, bahwa itu sunnah saja, bukan wajib. Kalau dikerjakan terus menerus maka itu lebih utama, sebagaimana yang tampak dari teks hadits Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma. Para shahabat mengerjakannya kadang-kadang, meninggalkannya kadang-kadang. Masalah ini terdapat kelonggaran. Alhamdulillah. Namun terus menerus mengerjakkannya, berdasarkan yang tampak dari teks hadits shahih tersebut, maka itu lebih utama.
(asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Fatawa Nur ‘ala ad-Darb 10/212)
Qunut witr sunnah, namun terus menerus melakukannya tidak termasuk sunnah. Namun apabila melakukan qunut kadang-kadang, maka itu baik. Apabila tidak mengerjakan, juga baik. Karena qunut, diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada cucunya Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma, namun beliau sendiri Shallallahu ‘alaihi wa sallam aku tidak tahu bahwa beliau berqunut dalam witir-nya.
(asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin, Majmu Fatawa wa Rasail 14/176)
Sumber: https://salafy.or.id/blog/2014/07/14/tanya-jawab-tentang-qunut-witr/
|
Tata Cara Qunut Witir Sesuai Bimbingan Rasulullah via Pexels |
Hukum Qunut Witir
Terdapat perbedaan pendapat yang cukup alot di antara ulama mengenai hukum qunut witir dan intensitas pelaksanaannya. Kami menyimpulkan pendapat-pendapat itu menjadi tiga golongan.
- Golongan yang tidak qunut witir dan mengingkari qunut witir.
- Golongan yang berpendapat tidak ada ada hadits yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang qunut witir, tetapi dari ‘Umar radhiallahu ‘anhu dan sekelompok sahabat lainnya pada separuh terakhir Ramadhan
- Golongan yang berpendapat telah datang hadits yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang qunut witir secara mutlak dan didukung oleh amalan sekelompok sahabat yang melakukan qunut witir sepanjang tahun, tanpa pembatasan di separuh terakhir Ramadhan.
Golongan pertama, ulama yang tidak qunut witir dan mengingkari qunut witir.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa beliau tidak qunut witir. Diriwayatkan pula pengingkaran terhadap qunut witir dari al-Imam Malik.
Ibnu Abdil Barr menerangkan dalam kitab al-Istidzkar (2/Kitab ash-Shalah fi Ramadhan, Bab Ma Ja’a fi Qiyam Ramadhan) bahwa ada perbedaan versi riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, “Salah satunya adalah riwayat Ibnu Numair, dari ‘Ubaidillah bin ‘Umar, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma,
إِنَّهُ كَانَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ وَلاَ فِي الْوِتْرِ
“Sesungguhnya Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma tidak pernah qunut pada shalat subuh dan shalat witir.”[1]
Riwayat Malik dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma semisal dengan itu.”
Riwayat dengan versi lain dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma akan disebutkan pada pengkhususan qunut witir di pertengahan terakhir Ramadhan.
Dalam kitab al-Istidzkar, Ibnu ‘Abdil Barr menukil pengingkaran al-Imam Malik terhadap riwayat ahlu Mishr (sahabat Malik dari kalangan penduduk Mesir, yaitu Ibnul Qasim, Asyhab, dan Ibnu Wahbin) bahwa Malik ditanya apakah disyariatkan seseorang melakukan qunut witir? Ia menjawab, “Tidak.”
Golongan kedua, yang berpandangan tidak ada hadits yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang qunut witir, tetapi dari ‘Umar dan sekelompok sahabat lainnya pada separuh terakhir Ramadhan.
Al-Khallal meriwayatkan bahwa al-Imam Ahmad berkata, “Tidak ada hadits sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut witir. Akan tetapi, ‘Umar radhiallahu ‘anhu lah yang melakukan qunut witir.”
Kata Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab al-Istidzkar, “Tidak ada hadits musnad (yang sanadnya bersambung) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sahih tentang qunut witir.”
Ibnul ‘Abdil Barr juga berkata, “Adapun (pengamalan) qunut witir oleh sahabat radhiallahu ‘anhum telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat radhiallahu ‘anhum.”
Ibnu ‘Abdil Barr kemudian berkata, “Ulama yang membolehkan qunut pada shalat witir pada rangkaian shalat tarawih di sepuluh terakhir Ramadhan berhujah dengan riwayat-riwayat tersebut. Sebab, hal itu telah dicontohkan oleh sejumlah sahabat yang mulia. Ia adalah amalan yang nyata di kota Madinah di zaman itu, dan tidak diketahui seorang pun dari kalangan sahabat yang mengingkarinya.”
Di antara riwayat-riwayat itu adalah riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (2/no. 1100, terbitan al-Maktab al-Islami) dengan sanad yang dinilai sahih oleh al-Albani[2] dengan lafadz,
أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ لَيْلَةَ فِي رَمَضَانَ، فَخَرَجَ مَعَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ الْقَارِي، فَطَافَ بِالْمَسْجِدِ وَأَهْلُ الْمَسْجِدِ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّيْ الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّيْ الرَّجُلُ فَيُصَلِّيْ بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ.
فَقَالَ عُمَرُ: وَاللهِ إِنِّيْ أَظُنُّ لَوْ جَمَعْنَا هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ. ثُمَّ عَزَمَ عُمَرُ عَلَى ذَلِكَ وَأَمَرَ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ أَنْ يَقُوْمَ لَهُمْ فِي رَمَضَانَ، فَخَرَجَ عُمَرُ عَلَيْهِمْ وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ.
فَقَالَ عُمَرُ: نِعْمَ الْبِدْعَةُ هِيَ، وَالَّتِيْ تَنَامُوْنَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ تَقُوْمُوْنَ–يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ–فَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ.
وَكَانُوْا يَلْعَنُوْنَ الْكَفَرَةَ فِي النِّصْفِ: اللَّهُمَّ قَاتِلِ الْكَفَرَةَ الَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ، وَيُكَذِّبُوْنَ رُسُلَكَ، وَلاَ يُؤْمِنُوْنَ بِوَعْدِكَ، وَخَالِفْ بَيْنَ كَلِمَتِهِمْ، وَأَلْقِ فِي قُلُوْبِهِمُ الرُّعْبَ، وَأَلْقِ عَلَيْهِمْ رِجْزَكَ وَعَذَابَكَ، إِلهُ الْحَقُّ.
ثُمَّ يُصَلِّيْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَدْعُو لِلْمُسْلِمِيْنَ بِمَا اسْتَطَاعَ مِنْ خَيْرٍ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِيْنَ. وَكَانَ يَقُوْلُ إِذَا فَرَغَ مِنْ لَعْنَةِ الْكَفَرَةِ وَصَلاَتِهِ عَلَى النَّبِيِّ وَاسْتِغْفَارِهِ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَمَسْأَلَتَهُ: اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ، وَلَكَ نُصَلِّيْ وَنَسْجُدُ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، وَنَرْجُوْ رَحْمَتَكَ رَبَّنَا، وَنَخَافُ عَذَابَكَ الجِدَّ، إِنْ عَذَابَكَ لِمَنْ عَادَيْتَ مُلْحِقٌ؛ ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَهْوِيْ سَاجِدًا.
Sesungguhnya Umar radhiallahu ‘anhu pernah keluar dari rumahnya di bulan Ramadhan dan Abdur Rahman bin Abdil Qari ikut keluar bersamanya. Umar radhiallahu ‘anhu berkeliling di dalam masjid, sementara penghuni masjid shalat tarawih berjamaah dengan berpencar-pencar; setiap imam mengimami sekitar 3—10 orang.
Lantas Umar berkata, “Demi Allah, sungguh aku beranggapan bahwa seandainya kami kumpulkan mereka semua dengan seorang imam, hal itu lebih sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Umar kemudian bertekad atas hal itu dan memerintah Ubay bin Ka’ab mengimami mereka shalat tarawih pada bulan Ramadhan. Lalu Umar keluar untuk melihat mereka, sementara mereka shalat tarawih berjamaah dengan imam mereka.
Umar berkata, “Ini adalah sebaik-baik perkara baru (yang dihidupkan kembali setelah lama ditinggalkan). Shalat tarawih di akhir malam (saat kalian tidur) lebih baik daripada shalat yang kalian laksanakan sekarang di awal malam.”
Mereka melaksanakannya di awal malam. Mereka berdoa qunut melaknat orang-orang kafir di separuh terakhir Ramadhan, “Ya Allah, perangilah orang-orang kafir yang menghalangi dari jalan-Mu, mendustakan para rasul-Mu, tidak beriman dengan janji-Mu. Cerai-beraikanlah persatuan mereka, campakkanlah ke dalam kalbu-kalbu mereka rasa takut, timpakanlah azab atas mereka. Engkaulah Ilah (sembahan) yang Mahabenar.”
Ubay kemudian bershalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendoakan semampunya kebaikan bagi kaum muslimin, kemudian memintakan ampun bagi mereka. Setelah melaknat orang-orang kafir, bersalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beristigfar untuk kaum mukminin dan mukminat, dan apa yang dimintanya, Ubay membaca,
“Ya Allah, hanya kepada-Mu kami menyembah, hanya untuk-Mu kami shalat dan sujud, hanya kepada-Mu kami bergegas dan bersegera dalam beramal, kami berharap rahmat-Mu, wahai Rabb kami. Kami takut azab-Mu yang benar adanya, sesungguhnya azab-Mu pasti akan menimpa orang yang memusuhi-Mu.”
Ia kemudian bertakbir dan sujud.
Abdur Razzaq dan Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan riwayat Ibnu Juraij dari Atha’ dari Umar radhiallahu ‘anhuma,
قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: قُلْتُ لِعَطَاءٍ: الْقُنُوتُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ؟ قَالَ: عُمَرُ أَوَّلُ مَنْ قَنَتَ. قُلْتُ: النِّصْفُ الْآخِرُ؟ قَالَ: نَعَمْ.
Kata Ibnu Juraij, “Aku berkata kepada Atha’, apakah qunut dilakukan pada bulan Ramadhan?”
Atha’ menjawab, “Yang pertama kali melakukannya adalah ‘Umar radhiallahu ‘anhu.”
Ibnu Juraij berkata, “Di pertengahan terakhir Ramadhan?”
Atha’ menjawab, “Ya.”[3]
Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya dan Abu Dawud dalam Sunan-nya juga mengeluarkan riwayat al-Hasan al-Bashari bahwa Umar radhiallahu ‘anhu memerintah Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu untuk mengimami kaum muslimin shalat tarawih dan menyuruhnya qunut witir di separuh terakhir Ramadhan.
Namun, riwayat ini divonis dha’if (lemah) oleh al-Albani dalam kitab Dha’if Sunan Abi Dawud—al-Umm (2/no. 258, terbitan Muassasah Ghiras), karena sanadnya putus antara al-Hasan dan ‘Umar radhiallahu ‘anhu.
Hal ini juga telah diamalkan oleh Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma pada riwayat versi kedua darinya yang dinukil oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab al-Istidzkar, yaitu riwayat Ibnu ‘Ulayyah, dari Ayyub, dari Nafi’, dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma,
أَنَّهُ كَانَ لاَ يَقْنُتُ إِلاَّ فِي النِّصْفِ مِنْ رَمَضَانَ.
“Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma tidak melakukan qunut witir kecuali pada separuh terakhir Ramadhan.”[4]
Kata asy-Syaukani dalam Nailul Authar (Kitab ash-Shalah, Bab Waqti Shalatil Witri wal Qira’ah fiha wal Qunut), “Muhammad bin Nashr telah meriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma tidak qunut subuh dan tidak qunut witir selain pada separuh terakhir Ramadhan.”
Berdasarkan ini, muncullah pendapat bahwa qunut hanya disunnahkan pada rakaat terakhir shalat witir pada separuh terakhir Ramadhan (setelah 16 Ramadhan), tidak di malam-malam selainnya sepanjang tahun. An-Nawawi menukil dalam kitab al-Majmu’ (3/510) bahwa ini yang masyhur pada mazhab Syafi’i, yang dipegang oleh jumhur fuqaha Syafi’iyah dan telah ditegaskan langsung oleh al-Imam asy-Syafi’i.
Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Istidzkar menukil pendapat ini dari Malik pada riwayat penduduk Madinah.
Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni (2/580) dan al-Murdawi dalam kitab al-Inshaf (2/170) menukil bahwa ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad.
Ibnu Qudamah juga menukil bahwa ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan az-Zuhri dari kalangan tabi’in, sebagaimana telah diriwayatkan hal itu dari keduanya.[5]
Golongan ketiga, yang berpendapat telah datang hadits yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang qunut witir secara mutlak dan didukung oleh amalan sekelompok sahabat melakukan qunut witir sepanjang tahun di setiap shalat, tanpa pembatasan pada separuh terakhir Ramadhan.
Hadits itu adalah hadits al-Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma,
عَلَّمَنِي رَسُولُ اللهِ كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي الْوِتْرِ : اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِي وَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku kalimat-kalimat untuk kubaca pada qunut witir,
“Ya Allah, berilah aku hidayah bersama orang-orang yang Engkau beri hidayah; berilah aku keselamatan dunia akhirat bersama orang-orang yang Engkau beri keselamatan dunia akhirat; perhatikan dan jagalah urusan-urusanku bersama orang-orang yang Engkau perhatikan dan jaga urusannya; berkahilah aku pada apa-apa yang yang Engkau berikan; jagalah aku dari kejelekan apa saja yang Engkau tetapkan; sesungguhnya tidak akan hina orang yang menjadi wali-Mu (dalam penjagaan dan pertolongan-Mu) dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi; Mahaberkah Engkau, wahai Rabb kami, lagi Mahatinggi.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, al-Hakim, al-Baihaqi, dan lainnya; dinilai sahih oleh al-Albani dalam kitab al-Irwa’ [2/no. 429] dan al-Wadi’i dalam al-Jami’ ash-Shahih [2/144—147])[6]
Hal ini didukung pula oleh beberapa amalan sahabat melakukan qunut witir sepanjang tahun. Di antaranya adalah atsar Umar, Ali, dan Ibnu Mas’ud yang dikeluarkan oleh Muhammad bin Nashr, sebagaimana kata al-Albani dalam kitab Ashlu Shifati ash-Shalah.
Berdasarkan ini semua, sebagian ulama berpendapat disunnahkan qunut pada rakaat terakhir setiap shalat witir yang dilakukan sepanjang tahun, bukan hanya pada separuh terakhir Ramadhan.
Setelah meriwayatkan hadits al-Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma tersebut, at-Tirmidzi dalam Sunan at-Tirmidzi (2/Kitab ash-Shalah, bab Ma Ja’a fil Qunut fil Witri) mengatakan, “Ini adalah pendapat sebagian ulama. Yang berpendapat dengan ini ialah Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ishaq, dan ulama penduduk Kufah.”
Ini juga pendapat al-Imam Ahmad—pada riwayat lain darinya—yang dipilih oleh mayoritas fuqaha mazhab Hanbali dan menjadi pegangan pada mazhab tersebut.
Ibnu Qudamah menukil riwayat al-Marrudzi dari Ahmad bahwa beliau rujuk kepada pendapat ini dan meninggalkan pendapat yang mengkhususkan qunut witir hanya dilakukan pada pertengahan terakhir Ramadhan. Al-Murdawi juga menukil riwayat Khaththab dari Ahmad mengenai rujuknya beliau dalam masalah ini.
Al-Imam Ibnu Baz mendukung pendapat ini dalam Majmu’ al-Fatawa (30/32—33) dengan hujah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari al-Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma doa qunut witir, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahnya untuk terkadang meninggalkannya ataupun untuk terus-menerus melakukannya.
Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa qunut witir disunnahkan terus-menerus sepanjang tahun.
Menurut Ibnu Baz, amalan Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu meninggalkannya pada separuh pertama Ramadhan, barangkali untuk menunjukkan bahwa qunut witir tidak wajib.
Adapun al-‘Utsaimin dan al-Albani, keduanya berpendapat bahwa qunut witir disunnahkan secara mutlak kapan saja sepanjang tahun, tidak khusus pada separuh terakhir Ramadhan. Hanya saja, qunut tidak dilakukan terus-menerus setiap kali witir, tetapi terkadang dilakukan dan terkadang tidak.
Kata al-‘Utsaimin dalam asy-Syarh al-Mumti’ (4/19-20), “Yang mengamati shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak qunut pada witirnya, tetapi hanya mengakhiri shalat malamnya dengan satu rakaat witir. Inilah yang terbaik.
“Anda jangan melakukan qunut witir terus menerus karena hal itu tidak tsabit (benar) riwayatnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari al-Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma doa yang dibaca pada qunut witir, yang menunjukkan bahwa qunut witir hukumnya sunnah. Hal itu berdasarkan sabdanya, bukan berdasarkan amalannya shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Bahkan, dalam hal ini al-Albani menilai sahih hadits Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu dengan lafadz,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ فَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ.
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa qunut witir sebelum rukuk.” (HR. an-Nasa’i, Ibnu Majah, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, dan lainnya)
Dengan pendapat ini, al-Albani menyelisihi sejumlah imam-imam ahli hadits masa lalu yang memvonis hadits ini dha’if (lemah), terutama al-Imam Ahmad—sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Abu Dawud memvonis hadits ini cacat dengan alasan penyebutan qunut pada riwayat ini berstatus syadz (keliru/ganjil). Begitu pula Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir, dan al-Baihaqi memvonisnya dha’if.
Akan tetapi, al-Albani berupaya menghukuminya dengan menilainya sebagai tambahan riwayat dari sejumlah rawi tsiqah (tepercaya) yang patut diterima (ziyadah ats-tsiqah) dan dikuatkan pula oleh hadits-hadits yang semakna dengannya (syawahid).[7]
Lantas al-Albani berkata dalam Ashlu Shifat ash-Shalah (3/970), “Ketahuilah, kami mengatakan bahwa qunut witir hanyalah disunnahkan dengan sifat kadang-kadang (tidak terus-menerus setiap kali witir). Sebab, kami telah menelusuri/meneliti hadits-hadits mengenai witir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—yang jumlahnya banyak—lantas kami menemukan mayoritas hadits-hadits itu tidak menyinggung qunut sama sekali, seperti hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, dan lainnya.
“Kaidah menuntut untuk memadukan antara hadits-hadits itu, hadits Ubay, dan hadits yang semakna dengannya, dengan mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang qunut witir dan terkadang tidak. Sebab, andaikan beliau melakukan qunut terus-menerus, tentulah tidak akan tersembunyi dari pengetahuan mayoritas sahabat yang telah meriwayatkan shalat witir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[8]
Inilah yang terbaik dalam masalah ini. Wallahul muwaffiq.
_____________________________
[1] Riwayat ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf (Kitab ash-Shalah, bab Man Kana La Yaqnutu fil witri, no. 7018).
[2] Pada kitab Shifat ash-Shalah (hlm. 180).
[3] Lihat kitab Mushannaf Abdir Razzaq (4/Kitab ash-Shiyam, bab Qiyam Ramadhan, no. 7728, terbitan al-Maktabah al-Islami) dan Mushannaf Ibni Abi Syaibah (Kitab ash-Shalah, bab Man Qala al-Qunut fi an-Nishfi min Ramadhan, no. 7009).
[4] Riwayat ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf (Kitab ash-Shalah, bab Man Qala al-Qunut fi an-Nishfi min Ramadhan, no. 7005)
[5] Sebagian ulama berpendapat disunnahkan qunut pada shalat witir pada rangkaian shalat tarwih di bulan Ramadhan sebulan penuh, tidak di luar Ramadhan. Ibnu ‘Abdil Barr menukil pendapat ini dari al-Auza’i; dan an-Nawawi menukilnya dari sebagian fuqaha mazhab Syafi’i.
[6] Guru besar kami, Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah, menukil bahwa hadits ini termasuk dari sederetan hadits-hadits yang ad-Daraquthni menuntut al-Imam al-Bukhari dan Muslim seharusnya mengeluarkannya dalam kitab Shahih keduanya.
[7] Lihat kitab Talkhish Habir (2/39, no. 533, Muassasah Qurthubah), al-Irwa’ (2/167-168, no. 426), dan Ashlu Shifat ash-Shalah (3/968-969).
[8] Kata al-Albani dalam kitab Ashlu Shifati ash-Shalati (3/970) , “Hal itu menunjukkan bahwa qunut witir tidak wajib, tetapi hanya sunnah sebagaimana mazhab jumhur sahabat, tabi’in dan ulama setelahnya. Ini pula mazhab Abu Yusuf dan Muhammad (asy-Syaibani), berbeda dengan mazhab ustadz mereka yang mengatakan bahwa qunut witir wajib.” Maksudnya, wajib pada setiap kali witir.
Qunut Witir Pada Rakaat Terakhir
Qunut witir dilakukan pada rakaat terakhir dari shalat witir. Ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ( muttafaq ‘alaih) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut nazilah pada shalat zhuhur, isya, dan subuh pada rakaat terakhir. Sebab, qunut nazilah dan qunut witir adalah dua ibadah yang sejenis.
Waktu Qunut Witir
Ada perbedaan pendapat, apakah qunut witir dilakukan sebelum rukuk atau setelahnya?
Sebelum rukuk, seusai membaca surah.
Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Malik.
Setelah rukuk, seusai membaca zikir i’tidal.
Ini adalah pendapat asy-Syafi’i dan Ahmad.
Sebelum rukuk atau setelahnya.
Ini riwayat lain dari Ahmad. Ini yang dipilih oleh Ibnu Baz, al-Albani, dan Ibnu ‘Utsaimin.
Dalil pendapat pertama adalah hadits Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut witir sebelum rukuk. Telah diterangkan sebelumnya bahwa hadits ini diperselisihkan kebenarannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan al-Albani menghukuminya sahih. Di antara hadits yang dijadikan penguat oleh al-Albani adalah hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. ‘Ashim al-Ahwal berkata,
سَأَلْتُهُ عَنِ الْقُنُوتِ قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَ الرُّكُوعِ؟ فَقَالَ: قَبْلَ الرُّكُوعِ. قُلْتُ: فَإِنَّ نَاسًا يَزْعُمُونَ أَنَّ رَسُولَ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ. فَقَالَ: إِنَّمَا قَنَتَ رَسُولُ اللهِ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أُنَاسٍ قَتَلُوا أُنَاسًا مِنْ أَصْحَابِهِ يُقَالُ لَهُمْ الْقُرَّاءُ
Aku bertanya tentang qunut, apakah sebelum rukuk atau sesudahnya. Anas menjawab, “Sebelum rukuk.”
Aku berkata, “Sekelompok orang menyangka bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut setelah rukuk.”
Anas menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah melakukan qunut (setelah rukuk) selama sebulan penuh mendoakan kejelekan terhadap sekelompok orang yang membunuh beberapa sahabat beliau yang disebut para qurra.” (Muttafaq ‘alaih)
Menurut al-Albani, sudah pasti yang dimaksud dengan ‘qunut sebelum rukuk’ oleh Anas radhiallahu ‘anhu adalah qunut witir, tidak mungkin qunut nazilah, sebagaimana hal itu tampak pada seluruh riwayat hadits ini—bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut nazilah setelah rukuk.[1]
Hal ini didukung pula oleh atsar Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa ia melakukan qunut witir sebelum rukuk (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dengan sanad yang dinilai hasan oleh al-Albani).
Ibnu Abi Syaibah mengeluarkannya dalam Mushannaf-nya dengan sanad yang dinilai hasan oleh al-Albani, dengan lafadz,
أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ وَأَصْحَابَ النَّبِيِّ كَانُوا يَقْنُتُونَ فِي الْوِتْرِ قَبْلَ الرُّكُوعِ
“Ibnu Mas’ud dan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu melakukan qunut witir sebelum rukuk.”[2]
Dalil pendapat kedua adalah penyamaan hukum terhadap qunut nazilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan setelah rukuk menurut qiyas, sebagaimana pada hadits Anas radhiallahu ‘anhu di atas dan semisalnya.
Pada kitab Qiyamul Lail karya Muhammad bin Nashr al-Marwazi disebutkan bahwa al-Imam Ahmad ditanya tentang qunut pada shalat witir, apakah sebelum rukuk atau setelahnya? Apakah kedua tangan diangkat pada doa qunut witir?
Ahmad menjawab, “Qunut witir dilakukan setelah rukuk dan mengangkat kedua tangan, berdasarkan qiyas terhadap amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada qunut nazilah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di shalat subuh.”
Yang beliau maksud adalah hadits Anas radhiallahu ‘anhu dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, keduanya muttafaq ‘alaih.
Al-Imam Ahmad rahimahullah beralih kepada qiyas dalam masalah ini sepertinya karena beliau memvonis dha’if hadits Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu tentang qunut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum rukuk, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Dasar qiyas ini adalah mengingat bahwa keduanya amalan sejenis, samasama qunut dalam shalat sehingga keduanya sama dalam hal ini.
Qiyas ini didukung oleh amalan Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu qunut witir setelah rukuk pada separuh terakhir Ramadhan, sebagaimana pada riwayat Ibnu Khuzaimah yang telah disebutkan.
Dari keterangan di atas, tampaklah bahwa pendapat ketiga lebih tepat. Qunut witir sebelum rukuk atau setelah rukuk termasuk amalan yang beragam, terkadang yang ini dan terkadang yang itu.[3]
Qunut dengan Mengangkat Kedua Tangan
Terdapat perbedaan pendapat mengenai mengangkat kedua tangan ketika qunut witir. Yang benar, disunnahkan mengangkat kedua tangan.
Ini adalah mazhab Hanbali, sebagaimana dalam al-Mughni (2/584) dan al-Inshaf (2/172).
Ini pula yang dianggap benar pada mazhab Syafi’i oleh mayoritas fuqaha mazhab Syafi’i, termasuk al-Baihaqi dan an-Nawawi, sebagaimana dalam kitab al-Majmu’ (3/479 & 487).
Pendapat ini telah difatwakan oleh Ibnu Baz dalam Majmu’ al-Fatawa (30/51) dan Ibnu ‘Utsaimin dalam asy-Syarh al-Mumti’ (4/18).
Pendapat ini berdalil dengan hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu tentang qunut nazilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkenaan dengan 70 qari’ (penghafal Qur’an) dari kalangan sahabat yang dibantai oleh kaum musyrikin.
Kata Anas,
لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ كُلَّمَا صَلَّى الْغَدَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ يَدْعُو عَلَيْهِمْ
“(Demi Allah), sungguh, aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap kali shalat subuh mengangkat kedua tangannya mendoakan kebinasaan atas mereka (para pembantai itu).” ( HR. Ahmad, ath-Thabarani, dan al-Baihaqi; dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Ashlu Shifat ash-Shalah, 3/957—958)
Telah sahih pula atsar dari ‘Umar radhiallahu ‘anhu,
كَانَ عُمَرُ يَقْنُتُ بِنَا فِي صَلَاةِ الْغَدَاةِ وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يخرج ضَبْعَيْهُ
“Adalah ‘Umar radhiallahu ‘anhu melakukan qunut bersama kami pada shalat subuh dan mengangkat kedua tangannya hingga mengeluarkan kedua lengan atasnya.” (Riwayat Ibni Abi Syaibah, al-Bukhari dalam kitab Raf’ul Yadain, Ibnu Nashr, dan al-Baihaqi; dinyatakan sahih oleh al-Bukhari, al-Baihaqi, dan al-Albani dalam kitab Ashlu Shifat ash-Shalah (3/958—959)
Meskipun dalil-dalil ini pada qunut nazilah, tetapi keduanya adalah amalan yang sejenis sehingga disamakan secara metode qiyas.
Berdasarkan atsar-atsar tersebut, al-Imam Ahmad rahimahullah menyatakan bahwa kedua telapak tangan diangkat setinggi dada dengan bagian telapak menghadap ke atas, sebagaimana dalam al-Mughni dan al-Inshaf.
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menambahkan dalam asy-Syarh al-Mumti’ (4/18) bahwa yang tampak dari keterangan ulama adalah kedua telapak tangan ditempelkan satu sama lainnya seperti halnya orang yang meminta sesuatu. Adapun memisah dan menjauhkan antara keduanya, Ibnu ‘Utsaimin menimpali bahwa hal itu tidak ada asal usulnya, baik dari as-Sunnah maupun dari keterangan ulama.
Teks Doa Qunut Witir
Adapun teks doanya adalah yang disebutkan pada hadits al-Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma. Pada riwayat Ibnu Mandah dalam kitab at-Tauhid ada tambahan lafadz doa di akhir yang dinilai tsabit (benar) oleh al-Albani dan ditetapkan olehnya pada kitab Qiyam Ramadhan, yaitu,
وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ
“Tidak tempat berlindung dari-Mu kecuali hanya kepada-Mu.”[4]
Adapun menutup lafadz doa dengan shalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal itu disebutkan pula pada tambahan riwayat an-Nasa’i dengan lafadz,
وَصَلَّى اللهُ عَلَى النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ
“Semoga shalawat dan salam tercurah atas Nabi Muhammad.”
Riwayat ini dinilai sahih oleh an-Nawawi, tetapi dibantah oleh Ibnu Hajar dan al-Albani yang memvonisnya dha’if (lemah). Meski demikian, al-Albani menetapkan shalawat di akhir doa qunut pada kitab al-Irwa’ dan Talkhish Shifat ash-Shalah (hlm. 38), berdasarkan amalan sahabat pada qunut witir di separuh terakhir Ramadhan pada masa ‘Umar radhiallahu ‘anhu, sebagaimana pada riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah yang telah disebutkan di atas.[5]
Al-Albani berpendapat dalam kitab Qiyam Ramadhan (hlm. 23) bahwa tidak mengapa menambah selain doa ini dengan mendoakan laknat atas orang-orang kafir dan mendoakan kaum muslimin pada qunut witir dalam rangkaian tarawih di separuh terakhir Ramadhan, berdasarkan amalan sahabat di masa ‘Umar radhiallahu ‘anhu. Hal ini sebagaimana pada riwayat Ibnu Khuzaimah di atas.
Ibnu Baz berfatwa dalam Majmu’ al-Fatawa (11/355) bahwa yang lebih utama bagi imam tarawih apabila melakukan qunut witir agar memilih kalimat-kalimat singkat dan bermakna luas dan tidak memperpanjang doa yang akan memberatkan para makmum. Imam hendaknya membaca doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada al-Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma dan menambahnya dengan doa-doa yang baik yang dimudahkan baginya, sebagaimana ‘Umar radhiallahu ‘anhu menambahnya.
Begitu pula fatwa Ibnu ‘Utsaimin dalam Majmu’ al-Fatawa war Rasa’il (14/no. 775, 778, & 779).
Pada shalat witir berjamaah, seperti halnya qunut witir di separuh terakhir Ramadhan, dalam rangka mencontoh sahabat, imam men-jahrkan (memperdengarkan) bacaannya dan mengganti lafadz dhamir mufrad (tunggal) dengan lafadz dhamir jam’in (jamak), yaitu,
اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنَا فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنَا فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لَنَا فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنَا شَرَّ مَا قَضَيْتَ
“Ya Allah, berilah kami hidayah bersama orang-orang yang engkau beri hidayah, berilah kami keselamatan dunia akhirat bersama orang-orang yang engkau beri keselamatan dunia akhirat, dekatkanlah kami kepadamu dan tolonglah kami bersama orang-orang yang engkau dekatkan dan engkau tolong, berkahilah kami pada apa-apa yang yang engkau berikan, jagalah kami dari kejelekan apa-apa yang engkau tetapkan/takdirkan.”[6]
Adapun makmum, cukup mengaminkan setiap penggalan doa yang dibaca oleh imam. Dengan itu, mereka juga terhitung telah berdoa dengan doa tersebut untuk diri mereka secara hukum. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma,
الظُّهْرِ قَنَتَ رَسُولُ اللهِ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ إِذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ؛ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ، عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut sebulan berturut-turut pada shalat zhuhur, asar, maghrib, isya, dan shalat subuh, pada setiap akhir shalat setelah mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah’ pada rakaat terakhir. Beliau mendoakan kebinasaan bagi sekelompok orang dari Bani Sulaim, Ri’subhanahu wa ta’ala, Dzakwan, dan ‘Ushayyah. Orang-orang yang di belakang beliau mengaminkannya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dinilai berderajat hasan oleh al-Albani dalam al-Irwa’, 2/163)
Ini pada qunut nazilah dan begitu juga hukumnya pada qunut witir, karena keduanya adalah amalan sejenis. Masalah ini seperti halnya mengaminkan bacaan al-Fatihah imam pada shalat jahriyah, sebagaimana kata Ibnu ‘Utsaimin dalam Majmu’ al-Fatawa war-Rasa’il (13/139).
Perhatikan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
قَالَ قَدۡ أُجِيبَت دَّعۡوَتُكُمَا فَٱسۡتَقِيمَا وَلَا تَتَّبِعَآنِّ سَبِيلَ ٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَ ٨٩
“Sungguh, doa kalian berdua telah dikabulkan.” (Yunus: 89)
Yang berdoa hanya Nabi Musa ‘alaihissalam, sedangkan Nabi Harun ‘alaihissalam hanya mengaminkan.
Ini telah ditegaskan oleh Ahmad dan menjadi mazhab fuqaha Hanbali, sebagaimana dalam kitab al-Inshaf (2/172).
Ini pula yang dianggap paling benar pada mazhab Syafi’i sebagaimana dalam al-Majmu’ (3/481—482, 511). Pendapat ini yang difatwakan oleh Ibnu Baz dalam Majmu’ al-Fatawa (9/397) dan Ibnu ‘Utsaimin dalam asy-Syarh al-Mumti’ (4/47).
Apabila makmum tidak mendengar doa qunut imam,
terdapat dua pendapat.
Makmum mengaminkan saja.
Makmum membaca doa qunut sendiri.
Pendapat kedua difatwakan oleh al-Imam Ahmad, sebagaimana dalam kitab al-Mughni (2/584).
Pendapat ini yang paling benar pada mazhab Syafi’i (yaitu cukup mengaminkan), sebagaimana dalam al-Majmu’ (3/481 & 511).
Wallahu a’lam.
Sumber : http://asysyariah.com/seputar-qunut-witir-2/
http://asysyariah.com/seputar-qunut-witir/
______________________
[1] al-Irwa’ (92/168)
[2] Lihat al-Irwa’ (2/166) dan Ashlu Shifat ash-Shalah hlm. 971.
[3] Lihat kitab al-Mughni (2/581-582), al-Inshaf (2/171), al-Majmu’ (3/520-521), al-Irwa’ (2/163-164), Ashlu Shifat ash-Shalah (3/970-971), Talkhish Shifat ash-Shalah (hlm. 27), Majmu’ Fatawa Ibni Baz (11/357), asy-Syarh al-Mumti’ (4/20).
[4] Lafadz adalah tambahan pada riwayat Ibnu Mandah dalam kitab at-Tauhid dan Abu Bakr al-Ashbahani dalam kitab Fawaid-nya. Riwayat ini sempat divonis dha’if (lemah) oleh al-Albani pada kitab Ashlu Shifat ash-Shalah (3/972 & 976). Namun, kemudian al-Albani condong menyatakan sahih riwayat ini dalam kitab al-Irwa’ (2/168-169) dan menetapkannya pada kitab Sifat ash-Shalah (hlm. 181), Talkhish Shifat ash-Shalah (hlm. 38), dan Qiyam Ramadhan (hlm. 23).
[5] Lihat selengkapnya Talkhish al-Habir (1/448), Ashlu Shifat ash-Shalah (3/976-978), dan al-Irwa’ (2/176-177).
[6] asy-Syarh al-Mumti’
Penjelasan Tentang Doa Qunut yang Dilakukan dalam Salat Witir, dari Perspektif Hadits dan Perspektif Fiqih
(Disampaikan oleh Shaykh Muhammad Bin Umar bin Salim Bazmul saat mengajar di Universitas Umm al-Quraa, Saudi Arabia)
Pelajaran terbagi menjadi dua bagian utama :
Bagian Pertama: Riwayat-riwayat yang diperbincangkan kesahihannya
Bagian Kedua : Masalah yang berhubungan dengan do’a qunut yang dilakukan dalam sholat Witir
Penyusun mengumpulkan seluruh riwayat yang shahih dari Nabi (Shallallahu ‘alaihi wasallam) dan pernyataan para sahabatnya yang berhubungan dengan qunut dalam sholat witir.
Kemudian beliau mengumpulkan yang termasuk dalam kategori sahih, agar supaya membedakan antara (riwayat) orang-orang yang tak dapat diterima dan yang bisa diterima, dalam rangka memusatkan pada prinsip dasar dalam pelajaran tersebut yang layak diambil, yang didasarkan semata-mata pada masalah yang berkenaan dengan doa qunut dalam sholat Witir.
Beliau juga mengumpulkan dari madzhab fiqih terkenal yang telah yang menjelaskan tentangnya, termasuk madzhab Dhahiriyyah.
Penyusun kemudian kembali dan meneliti masalah tersebut satu-persatu, memilah sesuai dengan riwayat yang sahih, menggunakan manhaj para Ulama meneliti,berargumentasi, dan mengambil kesimpulan.
Sebagian dari kesimpulan dalam studi (beliau) sebagai berikut:
1. Bahwa doa qunut dalam sholat witir (di bulan Ramadhan, red) diperbolehkan dilakukan semua sepanjang tahun. [Ishaq bin Rahawaih memilih qunut (witir) dilaksanakan sepanjang tahun, simak Mukhtasar Qiyamullail 125, lihat juga kitab at-Tarjih fii Masaailil Thaharah was Shalah oleh DR. Muhammad bin ‘Umar Bazmul hal 362-385. Dan kata Ma’mar:”Sesungguhnya aku qunut witir sepanjang tahun kecuali awal Ramadhan sampai dengan pertengahan saya tidak qunut, demikian juga dikalukan oleh Hasan al-Bahsri, ia menyebutkan dari Qatadah dan lainnya. Lihat Mushannaf ‘Abdurrazzaq 3/120 dengan sanad yang shahih. Serta Dari Ibrahim an-Nakha’i telah berkata ‘Abdullah:”ia tidak pernah qunut Shubuh sepanjang tahun dan ia qunut witir setiap malam sebelum ruku’.” Kata Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah:”Ini atsar yang kami pegang. HR Ibnu Abi Syaibah 2/305-306 atau 2/205]”.
2. Termasuk sunnah Nabi ( Shallallahu ‘alaihi wasallam) yakni kadang-kadang melaksanakannya dan kadang-kadang meninggalkannya.
3. Menyambung (di atas), yakni setiap malam yang telah ditetapkan adalah separuh malam terakhir dari bulan Ramadhan, yakni dimulai dengan malam yang yang keenambelas.[Dari ‘Amr dari Hasan, bahwasanya ‘Umar radiyallaahu ‘anhu menyuruh Ubay radiyallaahu ‘anhu mengimami shalat tarawih pd bulan Ramadhan, dan beliau menyuruh Ubay radiyallaahu ‘anhu untuk melakukan qunut pada pertengahan Ramadhan mulai malam 16 Ramadhan. HR Ibnu Abi Syaibah 2/205 no.10]
4. Qunut (semestinya) ditinggalkan saat separuh pertama dari bulan Ramadhaan, terlebih jika sholat tersebut dilakukan berjamaah dengan orang-orang, sebab hal ini menyimpang dari Sunnah, dan tidak dikenal luas.
5. Diperbolehkan melakukan doa qunut pada (malam) pertama dan kedua dari separoh bulan Ramadhaan.
6. Do’a qunut dalam witir dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruku’, walaupun yang terbaik dilaksanakan sebelum ruku’.[Hadits Ubay bin Ka’ab:”bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam qunut dalam shalat witir sebelum ruku’. HR Abu Dawud no 1427, Ibnu Majah no 1182, sanad hadits shahih (lihat ‘Irwaul Ghalil 1/167 hadits no 426 dan Shahih Sunan Abi Dawud no 1266). Dan sebagaimana hadits Hasan bin Ali radiyallaahu ‘anhuma, dan ini riwayat yg shahih dari ‘Abdullah bin Mas’ud dan ‘Abdullah bin Umar radiyallaahu ‘anhuma, bahkan diriwayatkan dari jumhur Sahabat, sebagaimana diriwayatkan Ibrahim al-Qamah:”Sesungguhnya Ibnu Mas’ud dan para Sahabat Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam qunut dalam shalat witir sebelum ruku’.”Simak Diriwayatkan olsyaieh Ibnu Abi Syaibah 2/302 atau 2/202 no 12, dikatakan oleh al-hafizh dalam “Addirayah” sanadnya hasan. Syaikh Albani berkata sanadnya jayyid menurut syarat Muslim (Irwaa’ul Ghalil 2/166). Juga Syaikh al-Albani rahimahullah berkata : “Boleh juga doa qunut sesudah ruku’ dan ditambah dengan melaknat orang2 kafir, lalu shalawat kepada Nabi shallalaahu ‘alayhi wasallam dan mendoakan kebaikan untuk kaum muslimin, pada pertengahan Ramadhan, karena ada dalil dari para Shahabat radiyallaahu ‘anhuma di zaman Umar radiyallaahu ‘anhu. Simak Qiyamu Ramadhan hal.31-32]
7. Termasuk menyimpang dari Sunnah yakni bertakbir (Allahu akbar) sebelum dan sesudah qunut, ketika (memilih) berdoa qunut sebelum ruku’.
8. Termasuk Sunnah adalah bahwa imam mengeraskan suaranya saat berdo’a qunut, dan para jama’ahnya mengucapkan “amiin”.
9. Termasuk Sunnah, untuk tidak memanjangkan do’a qunut, dan yang terbaik adalah mencukupkan diri untuk merujuk pada apa yang telah yang diberitakan Nabi (Shallallahu ‘alaihi wasallam), sehingga dia hanya diperbolehkan untuk memperpanjang sesuai pernyataan yang telah tetap.
10. Tidak ada ketetapan yang mengharuskan orang-orang untuk berdo’a qunut dengan cara tertentu, tidak bebas melakukan apapun, sebab cara yang terbaik adalah yang telah shahih riwayatnya.
11. Merupakan Sunnah bagi imam orang-orang untuk tidak berdo’a qunut pada separuh pertama bulan Ramadhaan, (akan tetapi) melakukan qunut tersebut pada separuh terakhir, serta memohon (dalam qunut) untuk membinasakan kaum kafir pada doa qunutnya.
12. Diperbolehkan mengangkat tangan pada do’a qunut, atau membiarkan tangan tetap di samping (seperti posisi sebelumnya/tidak mengangkat tangan), atau mengangkat tangan di awal qunut dan menurunkan tangan di akhir qunut, semua cara ini diperbolehkan.
13. Tidak diizinkan untuk menyeka/menyapu wajah dengan tangan setelah qunut.
14. Diperbolehkan mengucapkan shalawat kepada Nabi (Shallallahu ‘alaihi wasallam) di (dalam) do’a qunut.
15. Abdullaah ibn Mas’ud dan Ubay ibn Ka’b (semoga Allah meridloi keduanya) yang telah meriwayatkan banyak tentang do’a qunut di (dalam) sholat witir.
16. Sholat yang paling menyerupai sholat witir adalah paling adalah Maghrib, sebab sholat Maghrib adalah witir di sore [/siang] hari.
17. Apa saja yang dikerjakan dalam qunut nazilah (yang dilakukan dalam sholat wajib) juga dapat dikerjakan dalam doa qunut dalam sholat witir. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa sesuatu yang disahkan dalam amalan wajib adalah juga disahkan untuk amalan sunnah, kecuali jika disana ada dalil khusus yang melarangnya.
Dan beliau berharap kiranya dapat membantu menghidupkan kembali manhaj Ulama’ di (dalam) meneliti, mengumpulkan dalil-dalil, menerimanya dan menolaknya dalil dalam kaitan dengan kesahihannya, dan kemudian membuat kesimpulan yang berdasar padanya.
Semoga Allaah mengabulkan doa penyusun, sera memberikan bimbingan, dan keteguhan.
[Dari abstrak pelajaran yang disampaikan Syaikh Muhammad Bazmul pada Universitas Umm al-Quraa, Saudi Arabia]
Masalah yang keempat: Apakah posisi tangan diangkat dalam do’a qunut ?
Berikut hukum yang ditetapkan dalam do’a qunut :
1) Yakni seseorang mengangkat tangannya;
[keterangan ust Abu Hamzah Yusuf : Dzahir perkataan Ahlul ilmi (tentang kaifiyat mengangkat tangan) :” bahwasanya kedua tangan digandengkan seperti orang yang sedang memohon, meminta dari orang lain agar memberikannya sesuatu. Adapun dibentangkan dan saling berjauhan antara kedua tangan , maka aku tidak mengetahui ada asalnya dalam Sunnah tidak pula dari perkataan ulama”
2) Yakni seseorang membiarkan tangannya berada disampingnya;
3) Yakni seseorang mengangkat tangannya di awal qunut dan menurunkan tangannya di akhir qunut.
Dalil (yang berkenaan dengan poin di atas):
1) Nabi (Shallallaahu ‘ alaihi wasallam) menaikkan tangannya yang digunakan untuk berdo’a qunut an-nazilah, yakni memohon (kepada Allah, red) untuk membinasakan kaum (kafir). [Sahihh: Ahmad 3/137, al-Mu’jam as-Saghir, dan al-Baihaqi didalam Dalaa’il an-Nubuwwah dan As-Sunan Al-Kubraa. Lihat juga: Irwaa’ Al-Ghalil ( 2/181)].
Dan ‘Abdullaah ibn Mas’ud dahulu mengangkat tangannya saat qunut.
2) Az-Zuhri meriwayatkan, mengacu pada perbuatan Shahabat Nabi : “Mereka dahulu tidak menaikkan tangannya dalam Witir di bulan Ramadhan.”
3) Az-Zuhri meriwayatkan bahwa Ibn Mas’ud dahulu mengangkat tangannya di(dalam) Witir, dan setelah itu membiarkan tangannya di sampingnya.
Musa Abul-‘Abbaas Musa ibn John Richardson (‘Aziziyyah, Makkah, Saudi Arabia) menyatakan : bahwa tindakan Ibn Mas’ud sesuai disini, sebab beliau adalah sahabat Nabi dan perbuatan ini adalah tauqifi, dibatasi oleh dalil, maka beliau tidak akan melakukan berbagai hal didalam shalat menurut pendapatnya sendiri, melainkan beliau mempelajari hal tersebut dari Nabi (Shallallaahu ‘ alaihi wasallam). Dan Allah Ta’ala mengetahui yang terbaik.
Masalah yang keenam: Apakah do’a qunut dan ucapan “Amiin” para makmum/jama’ah dilaksanakan dengan suara keras?
[Ringkasan]
Mengingat tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka dulu (sahabat) mengucapkan “Amiin” di belakang imam mereka sepanjang qunut witr, maka dapat diambil dalil melihat perbuatan Sahabat pada qunut an-naazilah (do’a untuk memohon perlawanan atas orang-orang (musuh, red) yang dilakukan pada sholat yang wajib), karena ucapan mereka “Amiin” di belakang Imam dalam sholat adalah amalan (yang) dilaksanakan dalam sholat wajib. Hal ini telah tetap dalilnya dilakukan dalam sholat Maghrib, yang mana [sholat Magrib ini merupakan, red] witir yang wajib, dengan begitu diperbolehkan juga untuk melakukannya didalam sholat yang tidak wajib, berdasarkan pada prinsip yang disebutkan dalam kaidah berikut :
“… Apa saja yang telah ditetapkan untuk qunut nazilah (yang dilakukan pada sholat yang wajib) adalah juga dapat diamalkan dalam qunut pada sholat witir. Hal ini didukung oleh bahwa amalan apapun yang disyariatkan dalam amalan wajib adalah juga disyariatkan dalam amalan sunnah, kecuali jika disana ada dalil khusus yang melarang hal tersebut.
(1) Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits hasan dalam Musnad Ahmad (2746), Abu Dawud (1443), Ibn Khuzaimah (618), al-Haakim (1/225), al-Bayhaqi dalam as-Sunan al-Kubraa (2/200). Dan telah disepakati oleh al-Haakim, Ibn Khuzaimah, dan al-Albaani (Irwaa’ al-Ghalil:2/163).
[Datang dari sahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu]
Dan Allah Ta’ala mengetahui yang terbaik.
Sumber : https://salafy.or.id/blog/2004/11/08/petunjuk-tentang-qunut-witir-rasulullah-shalallahu-alaihi-wassalam/