SYUBHAT DZULQARNAIN = SYUBHAT RUHAILY
Ibrahim Ar-Ruhaily berkata sebagaimana yang dikutip oleh Asy-Syaikh
Rabi bin Hady hafizhahullah ketika membantahnya di dalam kitab beliau
yang berjudul Bayaan Maa Fii Nashiihati Ibrahim Ar-Ruhaily Minal Khalal
wal Ikhlaal hal. 60-61:
6- الرد على المخالف من فروض الكفايات، فإذا قام به أحد العلماء وتحقق
المقصود الشرعي برده على المخالف وتحذير الأمة، فقد برئت ذمم العلماء بذلك
على ما هو مقرر عند العلماء في سائر فروض الكفايات.
ومن الأخطاء الشائعة عندما يصدر رد من عالم على مخالف، أو فتوى بالتحذير من
خطأ، مطالبة كثير من الطلبة المنتسبين للسنة العلماء وطلبة العلم بيان
موقفهم من ذلك الرد، أو تلك الفتوى، بل وصل الأمر إلى أن يطالب من طلبة
العلم الصغار، بل العوام تحديد موقفهم من الراد والمردود عليه، ثم يعقدون
على ضوء ذلك الولاء والبراء ويتهاجر الناس بسبب ذلك، حتى لربما هجر بعض
الطلبة بعض شيوخهم الذين استفادوا منهم العلم والعقيدة الصحيحة سنين طويلة
بسبب ذلك، ولربما عمت الفتنة البيوت فتجد الأخ يهجر أخاه والابن يجفو
والديه، ولربما طلقت الزوجة وفرق الأطفال بسبب ذلك.
وأما إذا ما نظرت إلى المجتمع فتجد أنه انقسم إلى طائفتين أو أكثر، كل
طائفة تكيل للأخرى التهم وتوجب الهجر لها، وكل هذا بين المنتسبين للسنة ممن
لا تستطيع طائفة أن تقدح في عقيدة الطائفة الأخرى وفي سلامة منهجها قبل أن
ينشأ هذا الخلاف، وهذا مرجعه إما إلى الجهل المفرط بالسنة وقواعد الإنكار
عند أهل السنة أو إلى الهوى، نسأل الله العافية والسلامة.
“6. Bantahan terhadap orang yang
menyelisihi kebenaran termasuk amal yang hukumnya fardhu kifayah, jadi
jika salah seorang ulama telah melakukannya dan tujuannya yang dimaksud
oleh syariat telah tercapai dengan adanya bantahan seorang ulama
tersebut terhadap orang yang menyelisihi kebenaran dan dengan
mentahdzirnya agar umat mewaspadainya, maka dengan hal itu telah gugur
kewajiban ulama yang lain berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh
para ulama pada semua amal yang sifatnya fardhu kifayah.
Dan termasuk kesalahan yang telah menyebar adalah ketika muncul
sebuah bantahan dari seorang ulama terhadap seseorang yang menyelisihi
kebenaran, atau muncul sebuah fatwa yang mentahdzir sebuah kesalahan,
ada permintaan dari banyak para penuntut ilmu yang mengaku sebagai Ahlus
Sunnah kepada para ulama dan para penuntut ilmu untuk menjelaskan sikap
mereka terhadap bantahan atau fatwa tersebut. Bahkan perkaranya hingga
menuntut kepada para penuntut ilmu yang masih baru belajar, bahkan
hingga menuntut orang-orang awam untuk memperbarui sikap mereka terhadap
pihak yang membantah dan pihak yang dibantah. Kemudian setelah itu
mereka menjadikannya sebagai dasar untuk membangun sikap loyalitas dan
permusuhan, akhirnya manusia pun saling menghajr (memutus hubungan atau
memboikot –pent) karenanya. Sampai terkadang sebagian penuntut ilmu
menghajr sebagian masayikh (guru-guru –pent) mereka yang darinya mereka
menimba ilmu dan akidah yang benar selama sekian tahun lamanya dengan
sebab itu. Dan terkadang pula fitnah tersebut merembet ke rumah-rumah
sehingga engkau menjumpai ada seorang saudara memutus hubungan dengan
saudaranya dan seorang anak bersikap kasar kepada kedua orang tuanya,
dan bahkan terkadang seorang istri dicerai dan anak-anak dipisahkan
gara-gara hal tersebut.
Adapun jika engkau memperhatikan masyarakat maka engkau akan
menjumpai mereka terbagi menjadi dua kelompok atau lebih. Masing-masing
kelompok melemparkan berbagai tuduhan buruk kepada kelompok yang lain
dan mengharuskan untuk menghajr kelompok yang lain tersebut. Semua ini
terjadi diantara orang-orang yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah yang
salah satu kelompok tidak mampu untuk membuktikan bahwa kelompok yang
lain telah melakukan kesalahan dalam masalah akidah dan manhaj sebelum
munculnya perselisihan semacam ini. Dan hal ini sebabnya bisa jadi
karena kebodohan yang keterlaluan terhadap As-Sunnah dan terhadap
kaedah-kaedah Ahlus Sunnah dalam mengingkari kemungkaran, atau karena
hawa nafsu. Kita memohon keselamatan kepada Allah.”
–selesai kutipan perkataan Ar-Ruhaily–
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hady hafizhahullah membantahnya dengan mengatakan:
“Saya katakan:
Ucapanmu: Bantahan terhadap orang yang menyelisihi kebenaran termasuk
amal yang hukumnya fardhu kifayah, jadi jika salah seorang ulama telah
melakukannya dan tujuannya yang dimaksud oleh syariat telah tercapai
dengan adanya bantahan seorang ulama tersebut terhadap orang yang
menyelisihi kebenaran dan dengan mentahdzirnya agar umat mewaspadainya,
maka dengan hal itu telah gugur kewajiban ulama yang lain berdasarkan
apa yang telah ditetapkan oleh para ulama pada semua amal yang sifatnya
fardhu kifayah.
Saya katakan: memang, jika tujuan yang dimaksud oleh
syariat telah tercapai, maka telah gugur kewajiban kaum Muslimin yang
lain. Tetapi jika tujuan yang dimaksud oleh syariat belum tercapai
dengan bantahan yang hanya dilakukan oleh satu orang tersebut terhadap
pihak yang menyelisihi kebenaran, yaitu dengan munculnya sikap
penentangan dari mubtadi’ yang dibantah, dan di medan dakwah masih
dijumpai orang-orang yang mengaku punya ilmu yang mendukung orang yang
dibantah tersebut, dan mereka merasa senang dengan bantahan-bantahannya
yang zhalim dan bathil terhadap ulama yang membantah berbagai bid’ah dan
kebathilan itu. Dan juga masih ada ulama lain yang diam tidak
menjelaskan kesalahan dan kebathilan orang yang dibantah tadi. Bahkan
orang yang dibantah tersebut berusaha menggunakan sikap diam dari para
ulama yang lain ini sebagai senjata dan berusaha mengesankan kepada
manusia bahwa para ulama yang diam itu bersamanya dan mendukungnya. Dia
juga mengesankan kepada manusia bahwa jika dia di atas kebathilan, tentu
para ulama itu akan menjatuhkannya.
Maka sungguh ketika itu terjadi, wajib atas para ulama yang diam itu
untuk menjelaskan kebenaran kepada manusia, sebagai bentuk nasehat bagi
Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin serta mereka
semuanya. Juga dalam rangka membela kebenaran dan menghancurkan
sumber-sumber fitnah dan perselisihan yang muncul karena sikap diam,
atau karena dukungan terselubung kepada pembawa kebathilan yang mana
kedua hal ini menyebabkan tidak tercapainya tujuan, yang dengannya baru
bisa menggugurkan dosa pihak yang lain. Dan tidak boleh mengatakan bahwa
telah gugur kewajiban para ulama yang lain.
Jadi, jika tujuan belum tercapai dengan bantahan yang dilakukan oleh
satu orang atau sepuluh orang ulama, maka belumlah gugur kewajiban ulama
yang lain hingga mereka bangkit atau sebagian mereka bangkit yang
dengannya tercapai tujuan dan fitnah pun padam serta sampai kebenaran
nampak jelas diketahui oleh manusia, yaitu para penuntut ilmu dan
orang-orang awam, sebagaimana kebathilan nampak jelas bagi mereka.
Jadi mengatakan bahwa tujuan telah tercapai sementara keadaan
sebenarnya seperti ini, kekacauan serta kegoncangan masih terjadi, jelas
ini merupakan perkara yang aneh, dan yang lebih aneh lagi adalah ucapan
orang yang mengatakan: “Kewajiban ulama yang lain telah gugur.”
Wajib atas Dr. Ibrahim dan para ulama yang diam serta yang lainnya
untuk bergerak menghadang fitnah atau fitnah-fitnah yang jerat-jeratnya
telah memakan korban, dan hendaknya fakta yang memilukan ini menjadi
pendorong bagi mereka untuk bangkit melakukan kewajiban yang sifatnya
fardhu kifayah ini.
Dan bukan mustahil yang menjadi sebab dari fitnah yang besar ini serta
dampak buruknya adalah sikap diam orang-orang yang diam yang menolak
atau tidak mau untuk melakukan kewajiban yang sifatnya fardhu kifayah
ini, yang tujuannya tidak tercapai hanya dengan satu orang saja yang
melakukannya. Dan perhatikanlah bagaimana fikih Ahlus Sunnah terdahulu
dan usaha mereka yang melakukan kewajiban besar ini secara bersama-sama.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata di dalam Madaarijus
Saalikiin (1/372) ketika menjelaskan pengingkaran beliau terhadap ahli
bid’ah: “Dan oleh karena inilah pengingkaran Salaf dan para imam sangat
keras terhadap bid’ah, dan mereka lantang menyebutkan para pengusung
bid’ah tersebut dari berbagai belahan bumi, dan mereka memperingatkan
ummat dari bahaya kesesatan mereka dengan sekeras-kerasnya dan
bersungguh-sungguh melakukannya, yang mana hal semisal itu tidak mereka
lakukan ketika mengingkari perbuatan-perbuatan keji, kezhaliman dan
permusuhan. Karena bahaya bid’ah dan pengaruhnya dalam menghancurkan dan
merusak agama lebih besar.”
Dan saya bertanya kepada Dr. Ibrahim, sebagai contoh misalnya jihad
fi sabilillah termasuk amal yang sifatnya fardhu kifayah; jika ada satu
orang pergi untuk berjihad melawan sebuah negara kafir yang mengancam
keselamatan Islam dan kaum Muslimin, apakah akan tercapai tujuan yang
dimaksudkan oleh syariat dengan kepergian satu orang ini saja?! Atau
ratusan orang yang pergi, tetapi dengan kepergian sejumlah itu masih
belum tercapai tujuan yang dimaksudkan oleh syariat, dan jumlah mereka
yang sebanyak itu belum bisa menghilangkan ancaman ini?! Maka apakah
dalam keadaan seperti ini boleh bagi para ulama untuk bersikap diam,
ataukah wajib atas mereka untuk membangkitkan semangat manusia untuk
berjihad agar mereka melaksanakan kewajiban yang sifatnya fardhu kifayah
ini?! Ataukah harus terpenuhi jumlah yang mencukupi untuk melaksanakan
kewajiban ini dan untuk menggugurkan kewajiban kaum Muslimin yang
lainnya?! Dan jika mereka tidak memenuhi jumlah yang mencukupi ini, maka
sesungguhnya kaum Muslimin dalam keadaan seperti ini mereka semua
berdosa, dan mereka memikul tanggung jawab jika muncul bahaya yang
menimpa Islam dan kaum Muslimin.
Dan katakan yang semisal itu dalam perkara amar ma’ruf nahi mungkar;
yaitu harus terpenuhi jumlah yang mencukupi untuk memadamkan fitnah,
jika fitnah itu tidak bisa dipadamkan dengan satu atau sepuluh atau dua
puluh orang.
Maka jelaslah dengan pemaparan ini bahwa: permintaan dari para
penuntut ilmu yang menyatakan sebagai Ahlus Sunnah kepada para ulama
agar menjelaskan sikap mereka, ini merupakan hal yang benar dan bukan
termasuk kesalahan, jika permintaan semacam ini memang benar-benar ada.
Yang salah justru pihak yang menyalahkan mereka. Dan sungguh sikap
diamnya para ulama ketika dibutuhkan atau ketika darurat untuk
menjelaskan kebenaran, ini termasuk sikap menyembunyikan kebenaran dan
termasuk kesalahan besar yang akan mengakibatkan berbagai kerusakan dan
fitnah serta terpecahnya manusia menjadi dua kelompok atau beberapa
kelompok yang saling bermusuhan dan saling menjauh dan seterusnya.
Terakhir, maka wajib atas dirimu untuk menjelaskan mana pihak yang
zhalim dan membangkang yang menjadi sumber fitnah yang mengerikan ini
yang telah mencapai batas yang telah engkau gambarkan. Agar manusia
–terkhusus orang-orang awam– mengetahui urusan agama mereka dengan
jelas, sehingga mereka bisa mengambil kebenaran dan menolak kebathilan,
dan juga agar loyalitas serta permusuhan mereka berdasarkan ilmu. Dan
ini termasuk kewajiban atas penulis kitab An-Nashiihah ini (Ar-Ruhaily
–pent).” –selesai kutipan perkataan Asy-Syaikh Rabi’ bin Hady hafizhahullah–
Setelah kita mengetahui syubhat Ar-Ruhaily dan bantahan Asy-Syaikh
Rabi’ bin Hady hafizhahullah, maka mari kita bandingkan ucapan dan
syubhat yang dilontarkan oleh Dzulqarnain Al-Makassary, lalu kita uji apakah ucapannya haq ataukah bathil?! Alangkah serupanya malam ini dengan tadi malam!!
Dzulqarnain mengatakan: “…Jadi
sebenarnya permasalahan Ihyaut Turats ini, hanya dimunculkan oleh
sebagian orang, oleh Salafiyin sendiri sudah lama selesai dari Ihyaut
Turats. Ya… sudah lama selesainya, bahwa mereka ini yayasan hizbiyyah,
memecahbelah dan seterusnya, itu sudah lama selesainya. Tapi ada
sebagian orang yang… apa namanya… ingin menjadi pahlawan kesiangan,
bahwa dia memunculkan masalah-masalah yang seperti ini, menyibukkan
Salafiyin dari ilmu. Dan sebagian orang lain seakan-akan seluruh ushul
Ahlussunnah itu adalah mentahdzir Ihyaut Turats. Di mana-mana kerjanya
hanya itu saja, atau kebanyakan pembicaraan adalah itu, yang kadang
menyebabkan berbalik sangka pada sebagian orang …iya, disebabkan karena
masalah sikap terhadap Ihyaut Turats…”
Syubhat Dzuqarnain ini dibantah dengan sebagian perkataan Asy Syaikh Rabi’ hafizhahullah di atas:
“Memang, jika tujuan yang dimaksud oleh syariat telah tercapai, maka
telah gugur kewajiban kaum Muslimin yang lain… Jadi jika tujuan belum
tercapai dengan bantahan yang dilakukan oleh satu orang atau sepuluh
orang ulama, maka belum gugur kewajiban ulama yang lain hingga mereka
bangkit atau sebagian mereka bangkit yang dengannya tercapai tujuan dan
fitnah pun padam dan SAMPAI KEBENARAN NAMPAK JELAS DIKETAHUI OLEH
MANUSIA, YAITU PARA PENUNTUT ILMU DAN ORANG-ORANG AWAM, SEBAGAIMANA
KEBATHILAN NAMPAK JELAS BAGI MEREKA. Jadi mengatakan bahwa tujuan telah
tercapai, sementara keadaan sebenarnya seperti ini, kekacauan serta
kegoncangan masih terjadi, jelas ini merupakan perkara yang aneh, dan
yang lebih aneh lagi adalah ucapan orang yang mengatakan: “Kewajiban
ulama yang lain telah gugur.”
sumber : http://forumsalafy.net/syubhat-dzulqarnain-syubhat-ruhaily/