Asbabun Nuzul
Al-Ustadz Abu Hafy Abdullah حفظه الله تعالى
Di antara surat yang agung nan mulia dan sering diperdengarkan oleh para imam adalah surat Al-Ma'un. Dalam surat ini Allah سبحانه وتعالى menerangkan tentang beberapa sifat tercela yang merupakan ciri orang yang mendustakan adanya hari pembalasan. Selain itu juga memuat keterangan tentang ancaman bagi orang-orang yang melalaikan shalatnya.
Surat Al-Ma'un merupakan salah satu surat Makkiyah (diturunkan sebelum hijrahnya Nabi ke Madinah). Surat yang terdiri dari tujuh ayat ini seluruhnya mengatur tentang pelaksanaan hubungan vertikal seseorang dengan Rabbnya dan hubungan horizontal dengan sesamanya. Allah berfirman
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (١)
"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan hari pembalasan?" [Q.S. Al-Ma'un: 1]
Di awal ayat Allah سبحانه وتعالى menjelaskan tentang salah satu kewajiban yang telah dilalaikan oleh kebanyakan manusia. Yaitu kewajiban untuk memercayai adanya hari pembalasan. Allah menyatakan kepada Rasul-Nya, “Tidakkah engkau saksikan wahai Muhammad, orang-orang yang mendustakan hari pembalasan?” Meskipun yang diajak bicara dalam ayat ini adalah Rasulullah ﷺ, namun sasarannya adalah umum bagi seluruh umatnya.
Allah سبحانه وتعالى mengingatkan kita mengenai orang yang mendustakan hari pembalasan. Mengingkari terhadap hari pembalasan adalah perbuatan kufur sebagaimana Allah sebutkan dengan tegas dalam firman-Nya yang artinya, "Orang-orang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan pernah dibangkitkan.
Katakanlah, 'Tidak demikian. Demi Rabbku benar-benar kamu akan dibangkitkan. Kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”' [Q.S. At-Taghabun: 7]
Kemudian pada ayat berikutnya akan diterangkan bagaimana kriteria orang-orang yang mendustakan hari pembasalan ini. Allah berfirman:
فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (٢)
“Itulah orang yang menghardik anak yatim.”
Sifat yang pertama adalah tidak adanya belas kasih terhadap anak yatim. Padahal statusnya sebagai anak yatim menjadikannya sangat pantas dan layak untuk mendapatkan kasih sayang dan uluran tangan dari sesama manusia. Betapa tidak, anak yatim adalah seseorang yang ditinggal mati ayahnya dalam keadaan belum mencapai usia baligh.
Anak kecil yang kehilangan figur seorang ayah yang selama ini mencarikan nafkah dan memberikan perlindungan untuknya. Namun orang ini justru menghardik anak yatim, menzalimi haknya, tidak memberikan makanan kepadanya, dan berbagai perbuatan tercela yang lainnya. Jikalau terhadap anak yatim saja dia tidak menaruh belas kasihan lalu bagaimana dengan yang lainnya.
Ini menjadi tanda yang menunjukkan bahwa qalbunya telah mati sehingga tidak punya keinginan untuk meraih pahala dengan berbuat baik kepada anak yatim. Di sisi lain ia juga tidak merasa takut kepada hukuman Alah سبحانه وتعالى terhadap orang yang berbuat zalim kepada anak yatim. Sementara begitu banyak nash dalam Al-Ouran dan hadits yang memerintahkan supaya berbuat baik kepada anak-anak yatim.
وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ (٣)
“Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin."
Kemudian sifat yang kedua adalah tidak memberikan dorongan kepada orang lain supaya memberi makan kepada orang miskin. Kalau memberi dorongan saja tidak, terlebih lagi memberikan bantuan makanan kepada mereka. Sebagaimana kondisi anak yatim, seorang hamba yang miskin juga sangat layak untuk mendapatkan bantuan dan kasih sayang.
Sebagaimana diterangkan oleh para ulama bahwa orang miskin adalah seseorang yang tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan seutuhnya. Kedua sifat tercela di atas juga Allah sebutkan secara beruntun dalam firman-Nya yang artinya, “Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya kalian tidak memuliakan anak yatim dan tidak saling mengajak supaya memberi makan orang miskin." (Q.S. Al-Fajr: 17-18).
Salah satu tema penting yang dibahas dalam ayat ini adalah ancaman bagi orang-orang yang lalai dari shalatnya. Allah سبحانه وتعالى menyatakan:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (٤) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (٥)
"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya."
Para ulama ahli tafsir telah menerangkan bahwa kelalaian yang dimaksud dalam ayat ini adalah sebagai berikut:
1. Melalaikan shalat dengan meninggalkan sebagian pelaksanaan shalat sebagaimana dilakukan oleh orang-orang munafik. Tatkala mereka berada bersama kaum muslimin, mereka pun melaksanakan shalat. Namun ketika sendirian mereka tidak melaksanakannya sama sekali. Inilah pendapat yang dipilih oleh Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما dan yang lainnya.
2. Melalaikan shalat dengan tidak melaksanakannya pada waktu yang telah ditentukan oleh syariat. Sehingga mereka melaksanakan shalat ketika waktu shalat telah berlalu secara keseluruhan. Demikian dijelaskan oleh Masruq dan Abu Adh-Dhuha. Oleh karenanya Atha' bin Dinar رحمه الله mengatakan, “Segala puji bagi Allah yang telah berfirman, 'orang-orang yang lalai dari shalatnya' dan tidak mengatakan, 'orang-orang yang lalai dalam shalatnya.”
Lalai dari shalat adalah sesuatu yang tercela sebagaimana jenis yang kedua ini. Adapun lalai dalam shalat artinya lupa gerakan shalatnya, jumlah rakaatnya atau yang lainnya dari rukun atau kewajiban shalat. Bahkan Nabi ﷺ pernah lupa dalam shalatnya sehingga beliau sujud sahwi untuk menggantikan kekurangan tersebut. Padahal beliau adalah orang yang paling khusyuk dalam melaksanakan shalat.
3. Melalaikan shalat dengan tidak melaksanakannya di awal waktu. Namun ia sering, bahkan selalu menangguhkan pelaksanaan shalatnya di akhir waktu.
4. Melalaikan shalat dengan tidak melaksanakan rukun-rukun dan syarat-syarat shalat sesuai yang dituntunkan oleh Nabi ﷺ.
5. Melalaikan shalat dengan tidak menghadirkan kekhusyukan dalam shalat dan tidak menghayati bacaan shalatnya.
Ibnu Katsir رحمه الله berkata dalam tafsirnya setelah menyampaikan tafsiran di atas, “Lafazh ayat tersebut mencakup seluruh tafsir yang telah disebutkan di atas. Sehingga siapa saja yang melakukan salah satu kelalaian di atas, maka telah masuk dalam celaan ayat tersebut.
Terlebih lagi seseorang yang melakukan seluruh kelalaian di atas, sungguh telah sempurna nifaq amali (kemunafikan secara lahir) yang dia lakukan. Sebagaimana telah diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Itu adalah shalatnya orang munafik, itu adalah shalatnya orang munafik.
Dia duduk sambil menunggu terbenamnya matahari, hingga tatkala matahari telah berada di antara dua tanduk setan, dia pun bangkit lalu mengerjakan shalat empat rakaat bagaikan burung mematuk-matuk makanannya (dengan cepat). Dia tidaklah mengingat Allah dalam shalatnya melainkan hanya sedikit sekali."
Yang dimaksud dalam hadits ini adalah akhir waktu shalat Ashar atau shalat wustha sebagaimana telah tersebut dalam hadits. Dan waktu tersebut merupakan waktu yang dibenci untuk mengerjakan shalat Ashar.
Dia bangkit untuk shalat di akhir waktu tersebut, lantas shalat sebagaimana seekor burung gagak mematuk makanannya. Dia tidak tuma'ninah dan tidak pula khusyuk dalam shalatnya. Oleh karenanya beliau menyatakan bahwa orang tersebut tidak berdzikir kepada Allah kecuali sangat sedikit."
الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (٦)
“Merekalah orang yang berbuat riya'."
Allah menyifatkan mereka sebagai orang yang selalu berbuat riya dalam beribadah. Riya adalah melakukan suatu amal ibadah dengan tujuan supaya dilihat manusia. Dia bersedekah dengan tujuan supaya dikatakan sebagai orang yang dermawan. Berjihad supaya mendapat julukan sebagai pahlawan pemberani dan demikian pula dengan ibadah-ibadah yang lainnya.
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (٧)
"Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.''
Mereka tidak mau memberikan atau meminjamkan barang-barang yang tidak akan merugikan pemiliknya. Seperti misalnya bejana, timba, pisau dan peralatan ringan yang lainnya. Padahal saling meminjam atau memberi barang-barang seperti itu telah menjadi kebiasaan dan adat istiadat di berbagai negeri.
Jikalau mereka enggan memberikan bantuan berupa barang-barang semacam ini, maka tentunya mereka lebih enggan lagi untuk memberikan bantuan yang lebih besar dan berharga darinya.
Surat ini secara keseluruhan memberikan sebuah faedah yang sangat berharga bagi setiap muslim. Yaitu ia harus senantiasa memperbaiki serta menjaga hubungan dengan Allah سبحانه وتعالى dan hamba-hamba-Nya. Sungguh, takwa kepada Allah tidak akan bisa dimiliki dengan mengabaikan salah satu dari keduanya. Karena kriteria orang yang bertakwa adalah senantiasa berbuat ihsan terhadap Allah سبحانه وتعالى dan hamba-hamba-Nya.
الله أعلم.
Sumber || Majalah Qudwah Edisi 14 || t.me/majalah_qudwah