Atsar.id
Atsar.id oleh Unknown

sekuntum surat buat kawanku

10 tahun yang lalu
baca 15 menit


Syukur dan tahmid terbingkai indah dalam sanjungan hamba untuk Dzat Yang Maha Pemurah. Dia-lah, dengan taufik dan hikmah-Nya, yang memilihkan derajat tinggi untuk hamba atau hina berkepanjangan.

Shalawat serta salam terangkai elok dalam doa hamba kepada baginda agung, Muhammad bin Abdillah. Beliaulah, dengan penuh kasih dan sayang, yang telah mengarahkan jalan-jalan mudah menuju keabadian surga.

Kawan…
Lama sudah rasanya kita tidak berjumpa. Ada rindu yang mengejar sebenarnya, jika sekian waktu berpisah. Sebab, engkau adalah kawan dekatku. Karena kita pernah berjalan dan hidup bersahabat.

Namun, itu dahulu kala…
Saat kita masih disatukan oleh majlis ilmu. Saat semangatku dan semangatmu dalam thalabul ilmi bagai banjir bandang yang tak terbendung. Ya, momen-momen indah kita dalam suka duka belajar agama.

Kawan…
Masihkah teringat olehmu? Saat orangtua kita terlihat marah karena cara berpakaian kita yang berubah. Apalagi ketika kita mulai senang dan gemar menilai segala sesuatu dengan pandangan agama?

Dan, orang tua kita pun akhirnya memaklumi. Sebab, kita masih berdarah muda. Suka dengan hal-hal baru dan menantang.
Masihkah pula engkau teringat? Saat nama-nama kita dipanggil dalam sebuah dewan guru. Karena kita terlambat masuk kelas demi menegakkan shalat dzuhur berjama’ah?
Dan, akhirnya kita pun menang. Sebab sebagian guru pun mendukung. Sekali lagi, sebab kita msih muda. Semangat dan sikap idealis kita begitu tinggi.

Kawan…
Masihkah engkau seperti yang dulu? Bersemangat membara untuk fokus belajar ilmu-ilmu agama? Kawan… Engkau begitu cerdas. Daripada menghafal rumus dan aksioma dalam ilmu matematika, apakah tidak sebaiknya engkau menghafal ayat-ayat suci Al Qur’an? Aku yakin engkau pasti mampu menjadi seorang penghafal Al Qur’an.

Engkau sungguh pintar. Daripada menghafal nama-nama latin tumbuhan lengkap dengan ordo dan familianya, apakah tidak sebaiknya engkau menghafal hadits-hadits Nabi lengkap dengan sanadnya? Aku yakin engkau pasti bisa menjadi seorang penghafal hadits.

Engkau benar-benar pandai. Daripada engkau menghafal vocabulary dan rumus-rumus tense dalam bahasa inggris, apakah tidak sebaiknya engkau menghafal mufradat bahasa arab dan menguasai tata bahasa arab? Aku yakin engkau dapat menjadi seorang ahli nahwu dan sharaf.

Engkau memiliki kekuatan mengingat yang tinggi. Daripada engkau meghafal tahun dan peristiwa yang terjadi dalam lintasan sejarah romawi dan daratan eropa, apakah tidak sebaiknya engkau menghafal tahun dan peristiwa yang terjadi dalam sejarah kehidupan Nabi? Aku yakin engkau mampu menjadi seorang ahli tentang sejarah islam.

Kawan…
Dengan kemampuan, kecerdasan dan kemauan juga tentu dengan pertolongan dari Allah, aku yakin engkau bisa menjadi seorang pembimbing agama.

Namun…
Dimana engkau sekarang?
Kemana engkau pergi?
Apalagi yang sedang engkau kejar?

Kawan…
Sedih rasanya saat mendengar tentangmu kini. Cahaya ilmu di wajahmu telah tertukar dengan gelapnya dosa. Sujud dan rukukmu yang lalu telah berubah menjadi langkah-langkah cela. Doa dan dzikirmu telah berganti nada dan lagu.
Engkau bukan yang dahulu lagi.

Kawan…
Sekuntum surat ini aku rangkaikan untukmu. Moga-moga engkau teringat kembali akan tekad dan cita-citamu untuk menjadi seorang ulama’, penerang umat manusia. Sungguh, do’aku selalu ada untukmu.

(Ditulis ulang dari buku “PEMUDA DI WARNA WARNI THALABUL ‘ILMI” Karya Ustadz Abu Nashim Mukhtar “Iben” Rifai La Firlaz.)


Selanjutnya ada seorang ikhwan yang menulis di blog pribadinya, (Allahu a'lam, mungkin blog inilah yang dimaksud oleh Ustadz Abu Nashim Mukhtar di buku lanjutan dari Pemuda di Warni warni Thalabul 'lmi yaitu "Duri Kelabu",,, karena nampak bahwa tulisan tersebut dibuat pada tanggal 24 November 2012 (11 Muharram 1434 H) sedangkan Ustadz Abu Nashim Mukhtar menulis kata pengantar dari buku Duri Kelabu pada tanggal 23 Muharram 1434 H)

Berikut sekilas tulisan beliau dikutip dari blog pribadi.

Aku pada awalnya yakin bahwa pasti surat ini ditujukkan padaku setelah kurang lebih selama satu tahun penuh aku tidak berjumpa dengan dia. Dia? Dia seorang guruku yang terkadang aku menganggap beliau sebagai sahabatku sendiri. Tutur kata dan perilaku Beliau yang menenangkan hati. Apalagi ketika mengikuti kajian yang menghadirkan dia selaku pembicara. Menurutku, cara beliau menyampaikan ilmu bagus dan komunikatif.

Rasa rindu yang aku rasakan untuk berjumpa kembali dengannya, ternyata juga ia rasakan.
Aku mendapat pesan singkat dari salah seorang kawanku yang kurang lebihnya seperti ini,
“Bi, ini Bagas, Bagas MKI. kemarin aku bertemu Ustadz Mukhtar, dan tanpa basa-bai beliau langsung ngomong, 'Bagas, ana minta tolong, antum ada kontaknya Hasbi, mbok besok pas dauroh SMA, dia diajak dateng. Ana kangen nih, udah setahun nggak liat Hasbi.' kurang lebih seperti itu, Bi. Mungkin temen2 MKI laen juga ngrasa lho, kangen antum Bi. Tolong dibales ya, Bi.”

Semenjak mendapat pesan singkat tersebut, rasa rindu juga lahir teruntuk rekan-rekan seperjuanganku waktu di SMA, terlebih rindu akan belaja ilmu agama.
Berbagai janji dan omongan atas undangan-undangan yang diberikan kepadaku untuk bertemu mereka kembali di ruang kajian, aku tebarkan dengan kata yang hampir sama, yakni “sanggup datang”.

Tetapi, seperti seorang munafik pada umumnya, aku masih saja terlelap dengan noktah-noktah di hatiku. Berbagai pesan singkat yang aku terima, terkadang tidak aku balas. Saat itu, jiwa ini masih terlena dengan kehidupan dunia, terlebih organisasi, melupakan tentang indahnya mencari ilmu.

Sekitar tanggal 20 November aku mendapatkan kabar, bahwasnya Helga La Firlaz akan terbang kembali Ke Yaman. Kalau boleh dikatakan, seperti medapati petir yang menggelegar siang hari. Sendu pikiranku, ketika hati ini mencoba memulai untuk bangkit, beliau sudah mempersiapkan diri untuk pergi. Akhirnya, pada 27 Senin aku mendatangi kajian terakhirnya.

Di sana, beliau menceritakan perihal nasehat untuk belajar ilmu agama. Dan di sesi terakhir, beliau mencurahkan isi hati beliau. Ya, bisa dibilang, itu perpisahan yang cukup mengharukan bagiku. Selain mendapati nasehat yang berharga, aku juga mendapati perasaan yang beliau rasakan selaku makhluk yang butuh akan ilmu.
“Menghayati rindu dengan mata terpejam erat, dan detik-detik waktu berbicara sedang kata-kata tanpa ucap dan jari-jemariku masih tepaku pada tombol telepon genggam”

Al-Ustadz Abu Nashim Mukhtar “Iben” Rifai La Firlaz (penulis warna-warni thallabul ilmi) melanjutkan tulisan beliau di buku kedua dengan judul "Duri Kelabu"


Abdullah bin Mubarak pernah ditanya: “Seandainya anda dibangkitkan dari kematian apa yang akan anda lakukan?” Beliau menjawab: “Aku akan thalabul ilmu lagi sampai malaikat maut datang kepadaku untuk kedua kalinya.”

Memang panjang.
Thalabul ilmi adalah perjalanan yang panjang tanpa batas. Garis finishnya hanyalah kematian. Selama nafas masih berhembus, selagi badan menngandung hayat, tidak ada kata berakhir untuk thalabul ilmi. Moga-moga Allah mewafatkan kita di atas Islam, Sunnah dan thalabul ilmi.

Ibarat perjalanan di hamparan bumi terbentang, Thalabul ilmi pun demikian. Ada duri-duri tajam bertebaran. Selepas onggokan duri terlewat, masih menanti lambak dedurian berikutnya. Terkadang perjalanan mesti tertunda bahkan harus berakhir hanya disebabkan sebuah duri tajam. Meski telah berhati-hati, tetap juga tak bermata telapak kaki.

Duri-duri sepanjang thalabul ilmi juga tak boleh dipandang sebelah mati. Konflik dengan orang tua, pekerjaan, keluarga, sekolah, kuliah, masa lalu, usia, tingkat kecerdasan dan masih sekian lagi, boleh jadi berubah sebagai dinding pemisah dengan ruang thalabul ilmi. Lalu, bagaimanakah langkah harus diayunkan agar terhindar dari duri-duri itu?

Inilah buku yang berjudul Duri Kelabu. Buku ini merupakan lanjutan dari buku yang berjudul Pemuda warna warni thalabul ilmi yang ditulis oleh Abu Nashim Mukhtar “Iben” Rifai La Firlaz.

Dalam buku ini, penulis memaparkan di hadapan pembaca tentang permasalahan-permasalahan dalam perjalanan ketika menuntut ilmu berikut hukum-hukum syar’i yang berkaitan dengannya disertai penjelasan solusi dari kendala-kendala yang ada padanya, disertai kisah-kisah ulama-ulama salaf sebagai penggugah jiwa.



Ustadz Abu Nashim Mukhtar “Iben” Rifai La Firlaz melanjutkan lagi tulisan beliau di buku ketiga dengan judul "Dari Ayunan Sampai Liang Lahat, Imam Ahmad Pemuda Ilmu dari Negeri Baghdad"


Subhanallah! Pernahkah terbayang momen luar biasa semacam ini terjadi pada kita ???
Jika terbayang saja tidak, maka Imam Ahmad Pernah Melakukannya!!!


Tekad ke Shan’a telah utuh bulat. Mereguk Segarnya riwayat hadist dari Abdurrazaq bin Hammam telah terpahat dan tertatah indah dalam sanubari. Angan-angan menererawang langit. Sejak semula, niatan itu hadir dalam benaknya. Meski ke Shan’a berapa pun lamanya waktu.

Yahya bin Ma’in, kawan sepengiringannya, dengan semangat menyampaikan, “Abdurrazaq ada disini!!! Tidak perlu ke Shan’a cukup di Mekkah kita mendengar riwayat hadistnya.” Ya, dalam kesempatan yang sama, Abdurrazaq dan dua sekawan Thalabul Ilmi sedang menunaikan haji.

“Sejak di Baghdad aku telah berniat ke Shan’a! aku tidak akan merubah niatku selama-lamanya!!!” ucap Ahmad bin Hanbal. Luar biasa! Imam Ahmad tetap memilih untuk menempuh perjalanan jauh menuju Shan’a.

Pernah terbayang momen luar biasa semacam ini terjadi pada kita ??? Jika terbayang saja tidak, maka Imam Ahmad pernah melakukannya!!!
Ruang penginapan Ahmad bin Hanbal di Mekkah disatroni pencuri.Seluruh barang perbekalan beliau dibawa lari. Saat si pemilik penginapan memberitahukan berita “buruk” itu, tidak ada pertanyaan yang mengalir dari lisan Ahmad bin Hanbal. Ia tidak menanyakan barang perbekalannya!!!

“Bagaimanakah dengan catatan-catatan hadist milikku???”. Satu-satunya pertanyaan yang diucapkan Ahmad bin Hanbal.
Harta yang paling berharga bagi beliau adalah lembaran-lembaran ilmu. Hatiny pun gembira saatsi pemilik penginapan mengatakan, “Catatan-catatan hadist milikmu masih tersimpan di lubang angin”

Dari Ayunan Sampai Liang Lahat akan menghantarkan kita menuju alam ajaib. Sebuah alam yang pernah dilalui seorang pemuda ilmu dari negeri Baghdad. Seorang tokoh yang pernah berucap tentang semangat Thalabul Ilmi, “Dari sejak mengenal tinta hingga jasad diusung di atas bahu menuju kubur.”

Allahu Akbar! Salam Thalabul ilmi
Oleh:
Unknown