Seakan tidak percaya, hari ini keranda membawa sahabatku menuju liang lahad. Baru kemarin ia berjalan bersamaku, bergurau denganku. Aku pun tidak menyangka secepat itu sahabatku meninggalkan dunia, negeri yang fana, melanjutkan perjalanan panjang yang tidak akan pernah usai. Itulah sunnatullah. Hari ini sahabatku pergi, kemudian besok atau lusa ajal pasti menjemputku. Allah subhanahu wata'ala berfirman yang artinya, “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” [Q.S. Al A’raf:34]
Seharusnya manusia selalu ingat bahwa dunia bukan negeri kekekalan. Telah meninggalkan dunia ini sekian generasi. Orang tua dan kakek-kakek kita pun telah meninggalkan dunia.
Masih teringat saat tangan ini dituntun orang tua bermain, sekarang tangan ini yang menuntun anak-anak. Sementara orang tua-orang tua kita telah mangkat. Subhanallah, betapa cepat waktu berlalu menuju ketetapan Allah subhanahu wata'ala:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” [Q.S. Ali Imran:185].
Itulah Al Maut (Kematian), berpisahnya roh dengan jasad. Kematian memiliki rasa sakit yang sangat yaitu sakarat. Tentang betapa sakitnya sakaratul maut, Allah sebutkan di beberapa ayat dalam Al Quran. Dalam surat Qaf Allah subhanahu wata'ala berfirman (yang artinya):
“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.” [Q.S. Qaaf:19].
Dalam surat Al Qiyamah Allah subhanahu wata'ala berfirman yang artinya, “Sekali-kali tidak. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya), ‘Siapakah yang dapat menyembuhkan?’, dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan).” [Q.S. Al-Qiyamah:26-29]
Ya, kematian itu memiliki masa sekarat, nafas tersengal-sengal, roh sampai ke kerongkongan, betis-betis bertautan, sakit tiada tara, tidak ada seorang pun mampu menyembuhkan.
Terlebih orang-orang kafir dan munafik. Roh mereka dicabut dalam keadaan terhina. Dicabut dengan sangat kasar. Dicabut sebagaimana dicabutnya sebilah kawat barkarat dari wol yang basah, hingga terputus-putuslah urat-uratnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
وَإِنَّ الْعَبْدَ الْكَافِرَ إِذَا كَانَ فِي انْقِطَاعٍ مِنْ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنْ الْآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مِنْ السَّمَاءِ مَلَائِكَةٌ سُودُ الْوُجُوهِ مَعَهُمْ الْمُسُوحُ فَيَجْلِسُونَ مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَجِيءُ مَلَكُ الْمَوْتِ حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَيَقُولُ أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْخَبِيثَةُ اخْرُجِي إِلَى سَخَطٍ مِنْ اللهِ وَغَضَبٍ قَالَ فَتُفَرَّقُ فِي جَسَدِهِ فَيَنْتَزِعُهَا كَمَا يُنْتَزَعُ السَّفُّودُ مِنْ الصُّوفِ الْمَبْلُولِ
“Sesungguhnya hamba yang kafir ketika berpisah dengan kehidupan dunia dan menuju akhirat, turun kepadanya malaikat-malaikat dari langit dengan wajah-wajah hitam membawa kafan dari neraka. Mereka duduk sejauh mata memandang. Lalu datanglah malaikat Maut duduk di sisi kepalanya seraya mengatakan, ‘Wahai jiwa yang busuk, keluarlah menuju kebencian dan kemurkaan Allah.’ Maka roh berpencar-pencar dari jasadnya dicabut sebagaimana dicabutnya sebilah kawat barkarat dari wol yang basah.”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam merasakan sakaratul maut lalu bagaimanakah kita?
Wahai jiwa, jangan dirimu berangan terbebas dari rasa sakit sakaratul maut. Sungguh manusia paling mulia, Rasul Allah dan kekasih-Nya, Muhammad bin Abdillah merasakan sakaratul maut. Ummul Mukminin, Aisyah mengisahkan detik menjelang wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana diriwayatkan Al Bukhari dalam Shahihnya (5/2387 no 6145):
إِنَّ رَسُولَ اللهِ كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ رَكْوَةٌ أَوْ عُلْبَةٌ فِيهَا مَاءٌ يَشُكُّ عُمَرُ فَجَعَلَ يُدْخِلُ يَدَيْهِ فِي الْمَاءِ فَيَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ وَيَقُولُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ
“Menjelang wafat, di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ada sebuah bejana dari kulit (Rakwah) atau bejana dari kayu (‘Ulbah) berisi air. Beliau memasukkan tangan ke dalamnya dan mengusap wajah dengan air itu seraya bersabda:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ
“Laa ilaha illallah, sungguh kematian memiliki sakarat.”
Rasa sakit yang dirasakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melebihi yang lain karena pahala yang beliau dapatkan lebih dari yang lain.
Wafatlah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di pangkuan Aisyah radhiyallahu 'anha, setelah beberapa waktu beliau sakit. Kekasih Allah merasakan sakaratul maut, lalu bagaimana dengan kita? Aisyah berkata:
مَا أَغْبِطُ أَحَدًا بِهَوْنِ مَوْتٍ بَعْدَ الَّذِي رَأَيْتُ مِنْ شِدَّةِ مَوْتِ رَسُولِ اللهِ
“Aku tidak lagi iri dengan seorang pun dengan mudahnya kematian sesudah aku melihat sakitnya kematian pada diri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.” [H.R. At Tirmidzi (3/309), dishahihkan Al Albani].
Kontradiksikah?
Berita betapa sakitnya sakaratul maut tidak bertentangan dengan kabar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa roh seorang mukmin keluar sebagaimana keluarnya air dari wadahnya. Ya, Allah mudahkan keluarnya roh bagi kaum mukmin, namun bersamaan dengan itu sekarat dirasakan. Allahu a’lam.
Lebih sakit dari seribu kali pukulan pedang ?
Masyhur di tengah kita bahwa sakaratul maut lebih pedih dari seribu bacokan pedang. Perkataan ini bersandar pada sebuah riwayat, namun riwayat tersebut lemah dan tidak bisa dijadikan argumen.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, sungguh menyaksikan malaikat maut lebih pedih dari seribu kali pukulan pedang, Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, tidak akan keluar roh seorang hamba dari dunia sehingga semua urat-urat merasakan sakit.”
Hadits ini seandainya shahih memberikan gambaran betapa sakitnya sakaratul maut. Hadits diriwayatkan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (V/186), namun riwayat ini tidak shahih. Sebagaimana diisyaratkan sendiri Abu Nu’aim. Al Imam Ibnul Jauzi memasukkannya dalam Al Maudhu’at dan mengatakan, “Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.” Al Maudhu’at (3/518-519). Dilemahkan pula oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Adh Dhaifah 3/654. Allahu a’lam.
Husnul Khatimah
Hanzhalah bin Abi ‘Amir radhiyallahu 'anhu, salah seorang shahabat yang mulia. Namanya tertulis bersama deretan syuhada Uhud.
Seruan jihad di perang Uhud menggema di Kota Madinah. Dengan penuh keimanan berangkatlah shahabat Hanzhalah. Padahal saat itu ia sedang bersama sang istri di malam pengantin. Beliau pun bergegas berangkat berjihad tertunda untuk mandi janabah.
Perang berkecamuk hebat. Perang di tahun 3 H itu menjadi sebab wafatnya. Tubuh Hanzhalah rebah meraih syahid. Menutup kehidupan dunianya dengan Husnul Khatimah.
Saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melihat jenazahnya beliau bersabda yang artinya, “Sesungguhnya shahabat kalian ini sedang dimandikan malaikat-malaikat Allah.”
Sejak saat itulah Hanzhalah mendapati julukan: Ghasil Malaikah (orang yang dimandikan malaikat). Husnul Khatimah, itulah saat-saat indah yang kita harapkan dan mohonkan kepada Rabbul ‘Izzah.
Kisah Hanzhalah diriwayatkan Al Hakim (3/204). Beliau menshahihkan hadits ini dan disepakati Adz Dzahabi. Al Albani menghasankannya dalam Ash Shahihah (4/36 no: 326).
Upaya Menuju Husnul Khatimah
Memperoleh husnul khatimah bukan sekadar angan-angan. Untuk meraihnya, seorang haruslah jujur memohon kepada Allah dan bersungguh-sungguh memperolehnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ اللهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ
“Siapa memohon kepada Allah dengan jujur mencapai kedudukan syuhada, niscaya Allah akan sampaikan ia kepada derajat syuhada meskipun mati di atas peraduannya.” [H.R. Muslim].
Tanda-tanda Husnul Khatimah
Kita tidak memastikan seseorang mendapatkan jannah (surga) kecuali mereka yang disebut dalam nash (dalil yang tegas). Seperti Al Khulafa Ar Rasyidin. Namun demikian, ada tanda-tanda yang menunjukkan seorang mati dalam keadaan Husnul Khatimah, dan kita berharap bahwa saudara kita tersebut termasuk mereka yang mendapatkan kemuliaan di sisi Allah berupa Al Jannah. Di antara tanda-tanda husnul khatimah adalah:
1. Meninggal dalam keadaan mengucapkan kalimat tauhid. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa yang ucapan terakhirnya adalah Laa ilaha illallah, ia akan masuk surga.” [H.R. Al Hakim dari Shahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu, dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Ahkamul Janaiz].
2. Meninggal karena penyakit perut. Dalam sebuah hadits:
مَنْ قَتَلَهُ بَطْنُهُ لَمْ يُعَذَّبْ فِي قَبْرِهِ
“Siapa yang meninggal karena sakit perut, ia tidak akan diazab dalam kuburnya.” [H.R. At Tirmidzi dan lainnya, dari Shabahat Salaiman bin Shard radhiyallahu 'anhu dan Khalid bin Urfuthah radhiyallahu 'anhu, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Ahkamul Janaiz].
3. Meninggal di hari atau malam Jumat:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
“Tidak seorang muslim pun yang meninggal pada hari Jumat atau malam Jumat kecuali Allah akan melindunginya dari fitnah kubur." [H.R. Ahmad, dari shahabat Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhuma, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Ahkamul Janaiz].
4. Mati di medan jihad. Termasuk pula meninggal dalam keadaan ribath atau berjaga di daerah perbatasan:
رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ ، وَإنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُ، وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ، وَأَمِنَ الفَتَّانَ
“Berjaga-jaga di daerah perbatasan selama sehari semalam lebih baik dari pada puasa dan shalat malam sebulan penuh. Apabila ia meninggal dalam amalan ini, maka pahala amalannya akan terus mengalir, ia akan selalu mendapatkan rezeki, dan diberikan keamanan dari berbagai fitnah.” [H.R. Muslim, dari shahabat Salman Al Farisi radhiyallahu 'anhu].
5. Meninggal karena tenggelam, kena runtuhan, atau wabah tha’un.
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِيقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Syahid itu ada lima: mati karena wabah tha’un, sakit perut, tenggelam, kena runtuhan, dan mati di medan jihad.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu]. Dalam hadits lain juga disebutkan karena sebab terbakar.
6. Wanita yang meninggal karena melahirkan.
قَالَ رَسُولَ الله أَتَدْرُونَ مَنْ شُهَدَاءُ أُمَّتِي قَالُوا قَتْلُ الْمُسْلِمِ شَهَادَةٌ قَالَ إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيلٌ قَتْلُ الْمُسْلِمِ شَهَادَةٌ وَالطَّاعُونُ شَهَادَةٌ وَالْمَرْأَةُ يَقْتُلُهَا وَلَدُهَا جَمْعَاءَ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Tahukah kalian siapakah para syuhada dari umatku?” Para shahabat menjawab, “Terbunuhnya seorang muslim (di jalan Allah) adalah mati syahid.” Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Kalau demikian para syahid dari umatku sangat sedikit. Terbunuhnya seorang muslim adalah syahid, kena thaun adalah syahid, dan seorang wanita yang anak dalam perutnya menyebabkan kematiannya adalah syahid.” [H.R. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Ahkamul Janaiz].
7. Orang yang terbunuh dalam rangka membela agama, jiwa, atau hartanya.
مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
“Siapa yang terbunuh karena membela hartanya maka ia mati syahid, siapa yang terbunuh karena membela agamanya (Islam) maka ia mati syahid, siapa yang terbunuh karena membela jiwanya maka ia mati syahid, dan siapa yang terbunuh karena membela keluarganya maka ia mati syahid.” [H.R. Abu Dawud dan yang lainnya, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Ahkamul Janaiz].
8. Meninggal dalam keadaan beramal saleh.
مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Siapa yang mengucapkan Laa Illaha Illa Allah, ia menutup amalannya dengan kalimat ini, ia akan masuk surga. Siapa yang bersedekah dengan sebuah sedekah yang hanya mengharap Wajah Allah, dan ia tutup amalannya dengannya maka ia akan masuk surga. Dan siapa yang puasa sehari yang ia harapkan dengannya Wajah Allah, ia mengakhiri dengan amalan ini sekarang, ia akan masuk surga. [H.R. Ahmad dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Ahkamul Janaiz].
Dan tanda-tanda lainnya. Allahu a’lam.
Baca kisah perjalanan selanjutnya dalam buku Perjalanan Kehidupan Setelah Kematian.
https://telegra.ph/Sakaratul-Maut-05-21