"HIDUP BERNAFAS KETULUSAN"
Oleh Ustadz Mukhtar bin
Rifa'i hafizhahullah
Ah... Dunia yang semakin lama bertambah tua. Dunia yang sesaat
lagi berakhir dan berganti alam. Dunia yang penuh dengan dusta, kepalsuan dan kepura-puraan.
Dunia yang terus diwarnai dengan penghianatan. Adakah setetes embun, penyejuk dari
segala kepenatan itu? Tulus! Setulus apa?
Tulus artinya sebuah kesungguhan. Bersih hati dan benar-benar
bersumber dari hati yang suci. Jujur dan tidak sekadar berpura-pura. Ikhlas, dalam
bahasa keseharian beragama kita. Di hingar bingar, di hiruk pikuk dan di gemerlapnya
dunia ini, ketulusan semakin sulit untuk kita temukan.
Ada banyak hal yang mestinya dilalui dan dijalani dengan ketulusan.
Tanpa ketulusan, semua hal pasti dirasa berat dan susah. Memindahkan barang ringan
dari sebuah tempat ke beberapa senti meter di sebelahnya pun akan menjadi beban
berat, bila tanpa ketulusan.
Lihatlah, ada banyak pekerjaan berat di sana. Akan tetapi, masih
ada juga sejumlah kecil hamba yang amat ringan untuk menjalaninya. Bahkan mereka
mampu menikmatinya! Bukankah shalat lima waktu secara berjama'ah -dan tepat waktu-,
dirasa berat oleh sebagian kalangan? Tetapi bagi kaum yang tulus? Bagi mereka yang
bernafas dalam kekhusyu'-an? Apakah dirasa berat? Tidak!!!
Coba perhatikan firman Allah berikut ini!
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
"Jadikanlah sabar
dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat,
kecuali bagi orang-orang yang khusyu'."[Q.S. Al Baqarah:45]
Iya, hidup bersabar dan teguh menegakkan shalat memang berat.
Bagi siapa? Berat bagi mereka yang tak menjadikan ketulusan sebagai tempat kaki
berpijak. Sementara, kaum yang tulus tidak mengenal istilah "berat" dalam
kamus hidupnya.
Saya terhitung lambat untuk memahami dan meresapi kata-kata hikmah
dari seorang ulama besar bernama Sufyan Ats Tsauri. Ternyata -baru-baru ini saya
tersadar-, ucapan beliau itu memang amat berbobot. Tahukah Anda, seperti apakah
ucapan beliau?
"Maa 'aalajtu syai'an asyadda 'alayya min niyyatii,
liannahaa tanqalibu 'alayya". Kata beliau; "Tidak ada satu hal pun yang
lebih sulit untuk aku hadapi selain niatku sendiri. Sebab, niat itu selalu berubah-ubah!"
Niat di hati memang selalu bergerak. Isi hati di pagi hari belum
tentu masih sama saat petang datang menanti. Semalaman kedua mata terpejam, sebangunnya
di kala fajar maksud hati telah berganti. Hanya karena satu dua kali bisikan di
telinga dari orang, bisa jadi merubah sebuah tekad yang telah membulat. Itulah niat,
yang mengatur ada tidaknya sebuah Ketulusan.
Dalam beribadah, sebagai bukti ketulusan, adalah tidak bergesernya
semangat dalam kondisi apapun. Ia dipuja, dipuji, disanjung dan disebut-sebut orang,
ibadahnya tidak lantas dibuat bertambah. Ketika ia di caci, dihinakan atau dibenci,
tetap saja ibadahnya terjaga. Tiada berkurang.
Saat ia sendirian, tidak ada orang lain, semangatnya untuk beribadah
tetap sama ketika ia sedang berbarengan dengan yang lain. Ah, inti dari ketulusan
dalam berniat adalah semangat yang sama dalam kondisi apapun. Memang benar kata-kata
Yahya bin Abi Katsir! Selalulah belajar tentang ketulusan niat, sebab hal itu lebih
dalam berbobot dibanding amalan nyata.
Nah, hidup tulus dalam bersahabat juga bisa menjadi tetesan-tetesan
penyegar dalam kegersangan dunia. Bersahabat dengan tulus bukanlah sebuah mimpi
yang mudah diimpikan setiap orang. Bersahabat dengan tulus kini menjadi sumber mineral
hati yang ditambang.
Seorang kenalan Nabi datang di tengah-tengah sahabat. Ternyata
ia hendak menagih Rasulullah. Rupanya, Nabi pernah meminjam seekor hewan miliknya.
Namun para sahabat marah besar bahkan hendak melakukan tindakan fisik. Kenapa? Orang
itu berbicara dengan kasar di hadapan Nabi! Namun, Rasulullah dengan bijak menanggapi
santai.
Beliau meminta sahabat untuk menyiapkan seekor hewan untuk menggantinya.
Sesuai dengan umurnya! Namun, para sahabat tidak menemukan. Ketulusan seperti apakah
yang diajarkan oleh Rasulullah saat itu? Beliau bersabda dalam hadits Abu Hurairah
riwayat Bukhari Muslim, "Berikan untuknya dengan umur yang lebih baik! Sungguh,
salah satu orang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik dalam melunasi."
Subhanallah! Seindah itulah Rasulullah mencontohkan! Walaupun
orang tersebut berucap kasar, beliau tetap menanggapi dengan tenang. Bahkan beliau
memberi ganti dengan yang lebih baik. Inilah salah satu bentuk ketulusan di dalam
bersahabat! Walaupun disakiti, ia berusaha untuk tetap menjaga persahabatan.
Dalam pengertian beberapa ulama, sahabat itu adalah orang yang
shadaqaka bukan yang shaddaqaka. Dengan huruf dal tanpa tasydid artinya selalu tulus
dalam bersikap. Maksudnya? Ia tidak berharap dipuji saat mendukung kebaikan sahabatnya.
Ia siap dibenci hanya karena menegur kesalahan sahabatnya. Ia tidak kecewa ketika
dilupakan dan ia tetap merendah bila diingat.
Profil Sahabat yang Tulus
Shaddaqaka-dengan dal bertasydid- artinya selalu mengatakan iya
kepadamu. Tanpa melihat benar salah, tidak mempertimbangkan untung rugi dan bukan
memperhatikan baik buruk, orang itu selalu mendukung dan mengatakan iya. Apakah
orang semacam ini pantas dianggap sebagai sahabat? Tidak! Jangan pernah dekat-dekat
dengan orang semacam ini!
Mencari sahabat yang tulus bak menemukan jarum di tingginya tumpukan
jerami. Susah. Berat. Tidak mudah. Hamdun Al-Qashar menyebut, "Orang mukmin
itu selalu berusaha menemukan udzur (mencari alasan) untuk sahabatnya. Adapun orang
munafik, selalu mencari-cari kesalahan sahabatnya.
Inilah salah satu profil sahabat tulus yang kita cari-cari selama
ini, bukan? Kita memang banyak salah. Kita memang selalu khilaf. Namun, mencari
orang yang bisa memahami kita adalah usaha yang sulit. Bukan berarti tidak ada.
Ada! Namun, jarang ditemukan. Al-Imam Ibnul A'rabi berpesan, "Berusahalah untuk
melupakan kesalahan sahabatmu! Cinta dan persahabatan itu pasti akan bertahan lama".
Kesalahan yang untuk dilupakan adalah kesalahan yang bersifat
pribadi. Bukan terkait prinsip-prinsip beragama. Jika prinsip beragama yang dilanggar,
tidak ada alasan bagi kita untuk mendiamkan dan membiarkannya. Inilah persahabatan
yang tulus! Mencari sahabat yang tulus, mungkinkah? Mungkin, jawabannya.
Seorang sahabat yang dinyatakan oleh Abu Shalih Al Mizzi adalah,
"Dia yang bergaul dengan baik bersamamu. Ia yang selalu mengarahkan dirimu
untuk yang terbaik, dunia maupun akhiratmu". Ia tidak memerhatikan apa maumu.
Ia tidak peduli dengan apa keinginanmu dan bagaimanakah caranya untuk meraih keinginan
itu. Akan tetapi, ia selalu berpikir tentang kebaikanmu dan manakah yang terbaik
untukmu. Untuk dunia dan akhiratmu.
Menurut Umar bin Khatthab, seperti apakah caranya untuk menjaga
ketulusan di dalam bersahabat? Dengan mengucapkan salam untuknya, memberi tempat
yang lapang untuk duduknya dan engkau panggil dia dengan sebutan yang ia senangi.
Mudah dan simpel bukan? Mulai dari hal-hal yang sederhana semacam inilah kita mulai
mencari sahabat yang tulus.
Toh, bukan sesuatu yang mustahil untuk menemukannya. Lagipula,
tidak semua orang itu buruk. Masih ada banyak orang yang pantas untuk disebut sebagai
sahabat sejati. Namun, sebelum menuntut dan meminta orang lain menjadi sahabat yang
tulus, buatlah dirimu sebagai sahabat yang tulus terlebih dahulu. Akur, bukan? Baarakallaahu
fiik
Sumber : Majalah Qudwah Edisi 21 Vol 02 2014 Halaman 45