“Betapa banyak orang tua yang telah menyengsarakan buah hatinya di dunia dan di akhirat dengan menyia-nyiakannya dan tidak mendidiknya. Bahkan, para orang tua tersebut memberikan berbagai sarana untuk membantu buah hati mereka memenuhi berbagai keinginan syahwatnya. Mereka menyangka bahwa dengan hal itu mereka telah memuliakan buah hati mereka. Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah mereka telah menghinakan si anak.”
“Orang tua beranggapan telah mengasihi si buah hati, padahal ia telah menzaliminya. Hingga pada akhirnya, hilanglah kesempatan orang tua untuk mengambil kemanfaatan dengan adanya si buah hati. Hilang pula bagian kebaikannya dengan adanya anak di dunia dan di akhirat. Sungguh, kalau Anda perhatikan kerusakan yang menimpa anak, pada umumnya penyebabnya adalah dari orang tua itu sendiri.”
Demikian penuturan Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.
Memfokuskan perhatian pada pemenuhan kebutuhan jasmani, seperti makanan dan minuman, gizi yang baik, pakaian, dan kesehatan badan keluarga secara umum dan kesehatan badan anak secara khusus—inilah yang dilakukan oleh mayoritas orang tua. Kalau tindakan tersebut disertai tindakan yang lebih besar dan lebih utama, yaitu pemenuhan tarbiyah agama yang mencakup pendidikan akhlak yang mulia dan penjagaan fitrah anak dari perubahan dan kerusakan, hal itu adalah kesuksesan yang hakiki dan kebahagiaan yang sempurna. Namun, kalau orang tua hanya memfokuskan perhatian pada pemenuhan kebutuhan jasmani, bisa dikatakan bahwa hal tersebut tidak ubahnya seperti perilaku binatang ternak dan akan berakibat kerusakan dan kemudaratan. Yang pasti, akibatnya adalah kemudaratan dalam kehidupan akhirat si anak.
Terdapat di dalam khabar (hadits) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa saat terlahir, anak berada di atas fitrah yang selamat, yang senantiasa menerima kebaikan. Oleh karena itu, ketika pengajaran kebaikan itu disajikan kepada anak, dengan segera ia menerimanya tanpa sedikit pun kesulitan yang berarti. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan fitrah pada setiap anak, yang ia senantiasa menerima kebaikan yang bersesuaian dengan fitrahnya. Ketika terjadi pergeseran dari fitrahnya kemudian si anak berperilaku menyimpang, bisa dipastikan ada kekeliruan di dalam penjagaan atas fitrah yang selamat tersebut.
Orang tualah yang paling bertanggung jawab atas perubahan fitrah si anak, dari yang baik ke berbagai bentuk penyelewengan. Orang tualah pihak yang paling dekat dengan anak dan paling berpengaruh atas pertumbuhan dan perkembangan perilaku anak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak terlahir di atas fitrah yang selamat. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Penanaman perilaku yang kurang baik dan pendidikan yang kurang tepat, bahkan pendidikan yang keliru terhadap anak, dapat menghalangi perkembangan fitrah kebaikan anak. Anak justru dikenalkan dengan perilaku orang-orang yang menyimpang, baik terkait dengan akidahnya, akhlak dan perilakunya, cara berpikir tentang urusan dunia dan tujuan hidup di dunia, pengambilan suri teladan dan tokoh idola, maupun hal lainnya. Orang tua memiliki andil besar dalam masalah tersebut.
Oleh karena itu, yang wajib diketahui dan dilakukan oleh para orang tua adalah menjaga fitrah kebaikan (baca: keislaman) yang telah ada pada anak semenjak terlahir. Orang tua harus menjaganya dari berbagai perubahan dan pergeseran, dari yang baik ke berbagai bentuk penyelewengan. Tugas penjagaan fitrah tersebut hendaklah diberi porsi yang lebih besar daripada penjagaan terhadap urusan jasmani mereka.
Di awal masa pertumbuhannya, anak belum mengetahui berbagai akibat yang akan menimpanya ketika ia melakukan berbagai hal. Ia tidak mengetahui mana yang bermanfaat dan mana yang bermudarat. Hal ini sebagaimana keadaannya yang belum memiliki kemampuan untuk menyediakan bagi dirinya berbagai kebutuhannya, baik berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, maupun kebutuhan lainnya. Orang tuanyalah yang menyediakan semua kebutuhan anak tersebut.
Oleh karena itu, jangan sampai orang tua berpikiran keliru, bahwa karena ingin membahagiakan anak dan karena mengasihi dan menyayangi si buah hati, orang tua memberikan segala sesuatu yang menjadi keinginan anak, terutama keinginan yang melampaui batasan syariat. Apabila orang tua mampu mengalihkan si anak ke perkara lain yang tidak melanggar batasan syariat, dengan dasar fitrah yang baik tersebut si anak akan tetap mengikuti orang tuanya. Yang namanya anak (kecil) tidak mungkin mampu memutuskan sesuatu untuk dirinya sendiri dalam segala perkara.
Rasa kasihan orang tua kepada anak ketika si anak menangis karena menginginkan sesuatu (yang melanggar batasan syariat) harus ditepis dan dikalahkan. Ketika orang tua larut dalam perasaannya, pada saat itulah sesungguhnya setan telah melemahkannya. Maka dari itu, dibutuhkan kekokohan iman dan kesabaran dalam mendidik anak. Pada saat itu pulalah fungsi orang tua sebagai penjaga fitrah anak dituntut.
Karena tugas berat orang tua di dalam menjaga fitrah baik anak di masa pertumbuhannya ini, si anak diwajibkan untuk mensyukuri kebaikan orang tua tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala memerintah para anak untuk mendoakan rahmat bagi orang tua, sebagaimana para orang tua telah memberikan kasih sayang penuh saat anak masih kecil dan lemah. Orang tuanya telah membesarkannya, memenuhi kebutuhannya, membimbing akhlak dan perilakunya, serta memberikan pendidikan ilmu agama baginya sehingga luruslah pemahaman dan amalan agamanya, dan baiklah akhlak dan perilakunya.
Allah subhanahu wa ta’ala memerintah para anak untuk mengucapkan doa kebaikan bagi orang tua mereka dengan doa,
رَّبِّ ٱرۡحَمۡهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرٗا ٢٤
“Wahai Rabbku, kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka berdua telah mendidikku sewaktu aku masih kecil.” (al-Isra’: 24)
Adalah kewajiban orang tua melakukan pendampingan kepada anak semenjak dini ketika anak di rumah, di sekolah, di jalan, dan di mana pun anak berada. Orang tua wajib menciptakan lingkungan yang baik dengan selalu menitikberatkan penjagaan amalan agama yang benar—yang mencakup akhlak karimah (mulia) dan adab-adab yang syar’i—dan menjauhkan anak dari berbagai sarana dan fasilitas yang merusak agama dan akhlaknya.
Orang tua wajib pula memilihkan bagi anaknya tempat tarbiyah atau pendidikan yang baik. Harus dilihat dan diperhatikan siapa pengelola lembaga pendidikan tersebut, siapa mudir (kepala sekolah) dan seluruh pengasuhnya. Janganlah orang tua menutup mata, tidak memedulikan masalah-masalah tersebut.
Menjadi kewajiban orang tua, sebagai wali santri atau wali siswa, turut serta membantu lembaga pendidikan yang menjadi tempat membentuk perilaku anaknya tersebut. Hendaknya orang tua menjalin komunikasi dengan segenap pengasuh di lembaga pendidikan tersebut. Dengan demikian, semua pihak bisa bersama-sama mengantarkan anak-anak menjadi anak yang saleh dan salihah, biidznillah ta’ala. Akan tetapi, tanggung jawab utama atas anak tetap ada di pundak para orang tua.
Di dalam masalah pendidikan anak ini tidak dibutuhkan spekulasi. Anak juga bukanlah objek uji coba. Oleh karena itu, para orang tua harus melihat dan memerhatikan lembaga pendidikan tempat anaknya belajar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu mengikuti agama sahabat dekatnya, maka hendaknya ia melihat siapa yang dia jadikan sahabat dekat.”
Nabi n juga bersabda, “Permisalan teman duduk yang baik dan teman duduk yang jelek adalah seperti berteman dengan penjual minyak wangi dan berteman dengan pandai besi.” (al-Hadits)
Kebutuhan seseorang terhadap masalah adab sangatlah besar. Bahkan, Ibnul Mubarak rahimahullah menuturkan, “Sedikit dari masalah adab lebih kita butuhkan daripada banyaknya ilmu.” (Dinukil dalam Syarhu al-Adabil Mufrad)
Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan, “Adab baik seseorang merupakan alamat kebahagiaan dan keberuntungannya. Adapun sedikitnya adab yang dimiliki oleh seseorang merupakan alamat kesengsaraannya. Tidaklah didapatkan kebaikan dunia dan akhirat kecuali dengan adab, dan tidaklah seseorang dihalangi dari kebaikan dunia dan akhirat kecuali karena sedikitnya adabnya.” (Madarijus Salikin 2/407)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajari anak-anak para sahabat adab-adab yang baik di dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, beliau mengajarkan perkara yang sifatnya mubah. Di antaranya adalah adab ketika makan atau minum.
Disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari ‘Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengatakan kepadaku,
سَمِّ اللهَ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
“Sebutlah nama Allah (bacalah bismillah, -ed.), makanlah dengan tangan kanan, dan ambillah makanan yang di dekatmu.”
Bahkan, saat seseorang lupa membaca bismillah sebelum makan, masih terdapat bimbingan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terdapat riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian makan, hendaklah ia menyebut nama Allah subhanahu wa ta’ala. Apabila ia lupa menyebut nama Allah ketika hendak makan, hendaklah membaca doa,
بِسْمِ اللهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ
Hadits ini dan yang semisalnya merupakan dalil bahwa seyogianya kita mengajarkan kepada anak-anak kita adab secara umum, dan dalam hal ini adalah adab ketika makan dan minum.
Apalagi hal-hal lain yang lebih besar, seperti urusan ibadah shalat dan selainnya, kita harus mengajarkannya kepada anak-anak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Perintahlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat saat mereka berumur tujuh tahun, dan boleh kalian memukul mereka ketika mereka berumur sepuluh tahun apabila meninggalkan shalat tersebut.”
Adab lainnya adalah adab ketika hendak tidur, adab ketika hendak masuk rumah, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan pentingnya penanaman akhlak karimah pada anak-anak sejak dini. Lebih jauh lagi, hal ini menunjukkan begitu besarnya perhatian agama ini terhadap tarbiyah anak-anak. Dengan pembiasaan akhlak mulia dan tata cara ibadah yang lain, anak-anak akan terbiasa menjalankannya dan ringan mengerjakannya nanti, saat mereka telah tumbuh dewasa atau telah balig. Dengan demikian, saat telah mukallaf, anak merasa ringan dan terbiasa mengerjakannya.
Di antara ibadah yang perlu dibiasakan kepada anak-anak adalah ibadah puasa. Pada suatu kesempatan, dalam dars (pelajaran) Tafsir Ayatil Ahkam pada surat al-Baqarah ayat 183, pada pertengahan bulan Sya’ban 1426 H, asy-Syaikh Abu ‘Abdillah ‘Abdurrahman al-Mar’ie al-‘Adeni hafizhahullahu ta’ala menuturkan, “Anak yang belum mencapai umur balig belum wajib berpuasa Ramadhan sebagaimana telah dijelaskan. Akan tetapi, jika anak tersebut memiliki kemampuan untuk menjalankan puasa tanpa adanya kemudaratan, disyariatkan bagi orang tua atau walinya memerintah anak tersebut untuk mengerjakan puasa, dalam rangka membiasakan dan melatihnya. Hal ini untuk kebaikan anak tersebut. Bahkan, orang tua atau wali anak tersebut boleh memukulnya, sebagai upaya perbaikan bagi si anak, bukan sebagai hukuman (‘uqubah) atasnya. Artinya, tidak apa-apa anak-anak tersebut diberi penekanan dengan porsi yang lebih. Di antaranya, dipukul jika orang tua memandang bahwa anak tersebut telah mampu berpuasa tanpa termudaratkan ketika menjalankannya tetapi si anak tidak mau berpuasa.”
“Tindakan orang tua memukul anak adalah untuk membiasakan kebaikan bagi si anak, bukan untuk menghukumnya. Sebab, yang namanya hukuman diberikan oleh orang tua kepada anaknya tatkala si anak meninggalkan suatu kewajiban syariat (padahal ketika si anak belum mencapai umur balig, tidak dikatakan meninggalkan kewajiban, karena si anak belum terbebani kewajiban syariat apa pun). Hanya saja, pemukulan tersebut dilakukan dalam rangka membiasakan kebaikan dan melatih mereka, agar anak di masa mendatang tumbuh dengan baik. Demikian juga agar si anak tersebut nantinya mampu dengan mudah menjalankan puasa di saat telah mencapai umur balig, dan terbiasa mendapat pengajaran tentang perkara-perkara yang diwajibkan di dalam agama ini.”
“Perlu diketahui, masalah memerintahkan puasa kepada anak tidaklah terkait dengan umur anak. Namun, hal ini terkait dengan kemampuan anak di dalam menjalankan puasa. Terdapat perbedaan antara memerintah anak untuk berpuasa dan memerintahnya untuk mengerjakan shalat.”
“Shalat, kapan seorang anak diperintah untuk mengerjakannya? Saat si anak telah menginjak umur tujuh tahun. Diperbolehkan bagi wali atau orang tuanya memukulnya ketika dia telah berumur sepuluh tahun jika tidak mau mengerjakan shalat. Adapun puasa, dikembalikan kepada kemampuan si anak. Mengapa? Karena terkadang seorang anak telah mampu mengerjakan shalat pada umur tujuh tahun, tetapi belum mampu menjalankan puasa.”
Sampai pada penuturan beliau hafizhahullah, “Dalil tentang masalah ini (membiasakan anak dalam perkara ibadah, terkhusus ibadah puasa) adalah tindakan yang dilakukan oleh para sahabat terhadap anak-anak mereka pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam‘. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits riwayat al-Bukhari dengan lafadz beliau, demikian juga riwayat Muslim, dari Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha. Ia mengatakan, ‘Pada suatu pagi di hari ‘Asyura, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang ke tengah-tengah penduduk Anshar untuk menyampaikan bahwa barang siapa yang pada pagi hari ini telah makan, hendaknya ia menahan diri dan menyempurnakan sisa waktu pada hari tersebut dengan berpuasa. Adapun barang siapa yang pagi ini telah berpuasa, hendaknya ia lanjutkan puasanya’.”
“Kemudian, Rubayyi’ bintu Mua’wwidz radhiyallahu ‘anha mengatakan, ‘Ketika itu kami berpuasa dan mengajak anak-anak kami untuk mengerjakan puasa pula. Kami buatkan untuk mereka mainan dari pelepah kurma yang telah kering. Jika salah satu dari mereka menangis karena menahan lapar dan ingin makan, kami berikan mainan tersebut sampai datang waktu berbuka’.”
“Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafadz, ‘Jika anak-anak tersebut meminta makan, kami berikan mainan tersebut sehingga mereka senang (terhibur) bermain hingga sempurna puasa mereka’.”
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Pernah aku membonceng di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengatakan, ‘Nak, aku akan mengajarkan beberapa kalimat kepadamu. Jagalah (hukum-hukum) Allah, maka Allah akan senantiasa menjagamu. Jagalah (hukum-hukum) Allah, maka engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau memohon sesuatu, mohonlah hanya kepada Allah. Jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan hanya kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat ini bersatu untuk memberikan suatu kemanfaatan kepadamu, sungguh mereka tidak akan pernah mampu memberikan kemanfaatan kepadamu kecuali yang telah dicatat oleh Allah. Sebaliknya, seandainya mereka semua bersatu untuk menimpakan suatu kemudaratan kepadamu, sungguh mereka tidak akan mampu memudaratkanmu kecuali dengan sesuatu yang telah dicatat oleh Allah untukmu. Telah diangkat pena-pena, dan telah kering lembaran-lembaran catatan takdir’.” (al-Hadits)
Wallahu ta’ala a’lam.
Sumber : arsip website qonitah.com