Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kriteria-kriteria hadits shahih (syarah mandzumah al baiquniyah)

5 tahun yang lalu
baca 28 menit

Kriteria-kriteria Hadits Shahih (Syarah Mandzumah al Baiquniyah)

Kriteria-kriteria Hadits Shahih (Syarah Mandzumah al Baiquniyah)
Kriteria-kriteria Hadits Shahih (Syarah Mandzumah al Baiquniyah)

Dalam matan Baiquniyah :

 أَوَّلُهَا الصَّحِيحُ وَهْوَ مَا اتَّصَلْ … إسْنَادُهُ وَلَمْ يَشُذَّ أَوْ يُعَلْ

Yang pertama adalah shahih, yaitu yang bersambung…sanadnya dan tidak syadz atau mengandung illat (penyakit).

٤ – يَرْوِيهِ عَدْلٌ ضَابِطٌ عَنْ مِثْلِهِ … مُعْتَمَدٌ فِي ضَبْطِهِ وَنَقْلِهِ

Diriwayatkan oleh orang yang adil, kokoh (dalam periwayatan) mendapatkan (khabar dari orang) yang semisal dengannya…yang diakui dalam kekokohan dan penukilan

Penjelasan:

al-Imam al-Baiquniy rahimahullah menyebutkan kriteria atau persyaratan hadits shahih ada 5, yaitu:
  1. Sanadnya bersambung.
  2. Para perawinya adil.
  3. Para perawinya kokoh dalam periwayatan (dhobth).
  4. Tidak syadz
  5. Tidak memiliki illat (penyakit/ cacat) yang tercela

Masing-masing poin itu akan dijelaskan secara lebih mendetail

1. SANADNYA BERSAMBUNG

Salah satu kriteria suatu hadits dikatakan shahih adalah jika sanadnya bersambung. Masing-masing perawi benar-benar mendengar langsung dari perawi di atasnya.

Berikut ini adalah contoh hadits dalam Shahih al-Bukhari yang menunjukkan sanadnya bersambung. Al-Imam al-Bukhari menyatakan:

حَدَّثَنَا خَلَّادُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ طَهْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ نَزَلَتْ آيَةُ الْحِجَابِ فِي زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ وَأَطْعَمَ عَلَيْهَا يَوْمَئِذٍ خُبْزًا وَلَحْمًا وَكَانَتْ تَفْخَرُ عَلَى نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَتْ تَقُولُ إِنَّ اللَّهَ أَنْكَحَنِي فِي السَّمَاءِ

Telah menceritakan kepada kami Khollaad bin Yahya (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Isa bin Thohmaan, ia berkata: Aku mendengar Anas bin Malik –semoga Allah meridhainya- berkata: Ayat (perintah) Hijab turun terkait dengan Zainab bintu Jahsy. Pada saat itu Nabi memberikan makan (kepada tamu undangan) berupa roti dan daging (kambing). Zainab berbangga di hadapan para istri Nabi shollallahu alaihi wasallam yang lain. Zainab berkata: Sesungguhnya Allah menikahkan aku dari atas langit (H.R al-Bukhari).

Sanad dalam hadits itu terdapat perawi dari al-Imam al-Bukhari sampai Anas bin Malik adalah: Khollaad bin Yahya, Isa bin Thohmaan, dan Anas bin Malik.

Al-Imam al-Bukhari mendengar langsung dari Khollaad bin Yahya. Khollaad bin Yahya mendengar langsung dari Isa bin Thohmaan. Isa bin Thohmaan mendengar langsung dari Anas bin Malik.

Jika ditelusuri dalam kitab-kitab biografi para perawi hadits, akan bisa dipastikan bahwa masing-masing perawi itu memang benar-benar pernah mendengar hadits (berguru) pada perawi yang setingkat di atasnya.

Shighotut Tahammul

Dalam penyampaian hadits, seseorang perawi akan mengungkapkan bagaimana perawi yang satu tingkat di atasnya menyampaikan hadits itu kepada dia. Cara pengungkapan tersebut dinamakan shighotut tahammul.

Ada beberapa contoh shighotut tahammul yang mengisyaratkan ketersambungan sanad, di antaranya adalah:

حَدَّثَنَا : telah menceritakan kepada kami
أَخْبَرَنَا : telah mengkhabarkan kepada kami
سَمِعْتُ : saya mendengar
حَدَّثَنِي : telah menceritakan kepadaku
أَنْبَأَنَا : telah memberitahukan kepada kami

Ungkapan-ungkapan ini adalah beberapa contoh shighotut tahammul yang menunjukkan bahwa perawi itu benar-benar mendengar langsung dari perawi yang setingkat di atasnya.

Berbeda dengan penggunaan shighotut tahammul seperti:
عَنْ : dari

Penggunaan kata ‘an (dari) sebagai pengungkapan bagaimana suatu perawi menerima hadits itu, tidaklah secara tegas memastikan bahwa perawi itu benar-benar mendengar langsung dari perawi yang setingkat di atasnya. Penggunaan shighotut tahammul ‘an disebut juga periwayatan ‘an-anah atau mu’an-‘an.

Perhatikan perbedaan penggunaan shigotut tahammul berikut ini dalam contoh yang berbeda.

Contoh pertama:

الزُّهْرِي حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ

Az-Zuhriy (berkata) telah menceritakan kepada kami Said bin al-Musayyab

Contoh kedua:

الزُّهْرِي عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ

Az-Zuhriy dari Said bin al-Musayyab

Contoh pertama menunjukkan bahwa az-Zuhriy mendengar hadits itu langsung dari Said bin al-Musayyab. Sedangkan contoh kedua adalah riwayat an-anah atau mu’an-‘an, yang tidak menunjukkan secara tegas bahwa az-Zuhriy menerima hadits itu langsung dari Said bin al-Musayyab. Bisa juga az-Zuhriy mendengar dari orang lain yang orang itu mendengar dari Said bin al-Musayyab.

✅ Beberapa Kondisi Tidak Bersambungnya Sanad

Jika sanadnya tidak bersambung, riwayat itu lemah, tidak shahih. Ada beberapa keadaan sanad yang terputus atau tidak bersambung, yaitu:
  1. Munqothi’ : terputus pada bagian manapun dalam sanad. Berapapun jumlah perawi yang terputus.
  2. Mursal, terputus pada perawi Sahabat. Dari seorang Tabi’i (murid Sahabat Nabi) langsung menisbatkan hadits pada Nabi.
  3. Mu’dhol, terputus pada 2 atau lebih perawi secara berurutan.
  4. Mu’allaq, terputus di awal sanad
  5. Mudallas, tidak meyakinkan sebagai sanad yang bersambung karena perawinya suka menyamarkan keadaan perawi lain.
Kelima istilah tersebut akan dibahas pada bagian tersendiri dalam penjelasan Mandzhumah al-Baiquniyyah ini, insyaallah beserta contoh-contohnya.

Ada pula hadits yang tidak memiliki sanad sama sekali. Hadits ini masuk kategori Laa Ashla Lahu (tidak ada asalnya). Lebih parah kondisinya dibandingkan hadits lemah yang bersanad.

Contoh hadits yang Laa Ashla Lahu karena tidak memiliki sanad riwayat, adalah:

Hendaknya kalian berpegang teguh dengan agamanya para wanita-wanita tua (Ihya’ Ulumuddin karya al-Ghozaliy)

Para Ulama menilai hadits ini sebagai hadits yang tidak asalnya. Di antara Ulama yang menilai demikian adalah: Tajuddin as-Subkiy dan as-Sakhawiy.

Tajuddin as-Subkiy meneliti kitab Ihyaa’ Ulumuddin karya al-Imam al-Ghozali dan mengumpulkan hadits-hadits yang beliau tidak menemukan sanadnya. Beliau sendirikan kumpulan hadits itu dalam bagian tersendiri pada kitab Thobaqoot asy-Syafiiyyah al-Kubro. Sedangkan as-Sakhowiy menilai hadits itu tidak memiliki sanad di dalam kitab al-Maqooshidul Hasanah. Baik Tajuddin as-Subkiy maupun as-Sakhowiy adalah Ulama Syafiyyah.

✅ Silsilah Sanad Paling Shahih

Di antara sanad-sanad yang shahih, para Ulama ada yang menyebutkan tentang silsilah sanad paling shahih. Menurut al-Imam al-Bukhari, silsilah sanad paling shahih adalah Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar.

Berikut ini adalah contoh hadits yang berisi sanad paling shahih menurut al-Bukhari:

عَنْ مَالِك عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الَّذِي تَفُوتُهُ صَلَاةُ الْعَصْرِ كَأَنَّمَا وُتِرَ أَهْلَهُ وَمَالَهُ

Dari Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Orang yang terlewatkan dari sholat Ashar bagaikan orang yang kehilangan keluarga dan hartanya (Muwaththa’ al-Imam Malik, juga dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim)

Sedangkan menurut al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih, silsilah sanad yang paling shahih adalah: az-Zuhriy dari Salim dari ayahnya, yaitu Ibnu Umar radhiyallahu anhu. Contoh hadits yang sanadnya melalui jalur tersebut adalah:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنَتْ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ فَلَا يَمْنَعْهَا

(al-Imam al-Bukhari menyatakan) telah menceritakan kepada kami Musaddad (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai’ dari Ma’mar dari az-Zuhriy dari Salim bin Abdillah dari ayahnya dari Nabi shollallahu alaihi wasallam: Jika seorang wanita (istri) meminta ijin kepada kalian (untuk sholat di masjid), janganlah melarangnya (H.R al-Bukhari dalam Shahihnya)

2. PERAWI ADIL DAN 3. KOKOH (DHOBITH)

Salah satu syarat hadits dikatakan shahih adalah jika semua perawinya adil dan kokoh (dhobith) dalam meriwayatkan.

Al-Imam al-Baiquniy rahimahullah menyatakan:

يَرْوِيهِ عَدْلٌ ضَابِطٌ عَنْ مِثْلِهِ … مُعْتَمَدٌ فِي ضَبْطِهِ وَنَقْلِهِ

Diriwayatkan oleh orang yang adil, kokoh (dalam periwayatan) mendapatkan (khabar dari orang) yang semisal dengannya…yang diakui dalam kekokohan dan penukilan (Mandzhumah al-Baiquniyyah)

Adil artinya lebih dominan kebaikan dibandingkan keburukannya, juga menghindari dosa-dosa besar maupun kebid’ahan. Sedangkan dhobith artinya kokoh dalam meriwayatkan, baik secara hafalan atau tulisan. Benar saat menerima riwayat dan tepat pula saat menyampaikan riwayat.

Jika seorang perawi memenuhi kriteria adil dan kokoh (dhobit), disederhanakan penyebutannya menjadi tsiqoh. Perawi yang tsiqoh artinya dia adil dan kokoh dalam periwayatan.

Ada beberapa kondisi perawi yang tidak memenuhi adil dan dhobith, di antaranya:

1. Tidak dikenal.

Kondisi perawi yang tidak dikenal, di antaranya adalah:

a. Mubham, tidak diketahui nama perawinya.

b. Majhul (tidak dikenal). Bisa berupa majhul ain atau majhul haal.

Majhul ‘ain artinya tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali satu perawi saja (definisi al-’Iraqiy). Sedangkan majhul haal setidaknya ada 2 adil yang meriwayatkan darinya, tapi kondisi perawi itu apakah ada jarh (celaan) atau ta’dil (pujian) tidak diketahui.

2. Perawi tidak adil, misalkan karena kefasikan (suka mencuri, minum khamr, dan sebagainya), atau berpemikiran bid’ah (khawarij, qodariy, dan sebagainya).

3. Perawi tidak dhobith, misalkan karena lemah dalam hafalan atau sering salah dalam periwayatannya.

4. Perawi mudallis

Perawi tersebut suka menyamarkan kondisi perawi di atasnya. Dalam riwayat mu’an-’an bisa ternilai sebagai riwayat yang sanadnya tidak bersambung.

Berikut ini adalah contoh hadits yang lemah karena perawi yang mubham:

Hadits dalam Sunan Abi Dawud:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الزُّهْرِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنِي ِإسْمَعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ سَمِعْتُ أَعْرَابِيًّا يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ مِنْكُمْ { وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ } فَانْتَهَى إِلَى آخِرِهَا { أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ } فَلْيَقُلْ بَلَى وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِين…

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad az-Zuhriy (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Sufyan (ia berkata) telah menceritakan kepadaku Ismail bin Umayyah (ia berkata): aku mendengar seorang Badui (pedalaman) berkata: Aku mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang membaca wattiini waz zaytuun kemudian sampai pada akhirnya kalimat: alaysallaahu bi ahkamil haaakimiin, hendaknya ia mengucapkan : Balaa wa ana minasy syaahidiin…. (H.R Abu Dawud).

Di dalam sanad hadits itu terdapat seorang yang tidak diketahui dengan jelas siapa namanya, sehingga tidak diketahui pula siapa orangnya. Hanya disebut seorang Badui yang mengaku mendengar dari Abu Hurairah.

Contoh lain hadits yang tidak memenuhi kriteria perawinya semua adil dan dhobith adalah hadits berikut ini, yaitu hadits yang mengandung perawi yang lemah (tidak dhobith) dan majhul (tidak dikenal).

Hadits Ali tentang bersedekap di bawah pusar saat sholat dalam Sunan Abi Dawud:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَحْبُوبٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ زِيَادِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ مِنَ السُّنَّةِ وَضْعُ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِي الصَّلَاةِ تَحْتَ السُّرَّةِ

(Abu Dawud as-Sijistaniy menyatakan) telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mahbuub (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats dari Abdurrahman bin Ishaq dari Ziyaad bin Zaid dari Abu Juhaifah bahwasanya Ali radhiyallahu anhu berkata: Termasuk Sunnah adalah meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan dalam sholat di bawah pusar (H.R Abu Dawud)

Abdurrahman bin Ishaq (al-Waasithiy) lemah. Sedangkan Ziyaad bin Zaid majhul (menurut adz-Dzahabiy dalam Miizaanul I’tidal fii Naqdir Rijaal).

✅ Kitab Referensi Biografi para Perawi Hadits

Para Ulama menulis karya-karya yang berisikan biografi (taraajum) para perawi hadits. Kitab tersebut ada yang mengkhususkan pada perawi yang terpercaya (tsiqoh) saja. Ada pula yang hanya berisikan perawi lemah dan yang ditinggalkan periwayatannya. Ada pula yang berisi kumpulan perawi baik yang lemah maupun yang terpercaya.

Berikut ini akan ditampilkan beberapa di antara karya para Ulama tersebut berdasarkan klasifikasi masing-masing.

☑ Kitab biografi para perawi hadits khusus untuk yang terpercaya saja
  1. ats-Tsiqoot karya Ibnu Hibban.
  2. Ma’rifatus Tsiqoot karya Ahmad bin Abdillah bin Sholih Abul Hasan al-‘Ijliy
☑ Kitab biografi para perawi hadits yang lemah dan ditinggalkan periwayatannya
  1. adh-Dhu’afaa’ al-Kabiir karya al-Uqailiy.
  2. adh-Dhu’afaa’ ash-Shoghir karya al-Bukhari.
  3. adh-Dhu’afaa’ wal Matrukiin karya Ibnul Jauziy.
  4. adh-Dhu’afaa’ wal Matrukiin karya anNasaai.
  5. adh-Dhu’afaa’ karya Abu Nuaim al-Ashbahaaniy.
  6. al-Majruuhiin karya Ibnu Hibban.
  7. al-Mughniy fid Dhu’afaa’ karya Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabiy.
☑ Kitab biografi para perawi hadits baik yang terpercaya maupun tidak
  1. al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim.
  2. Tahdziibul Kamaal karya Yusuf bin az-Zakiy Abdurrahman Abul Hajjaaj al-Mizziy.
  3. Taqriibut Tahdziib karya Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqolaaniy.
  4. Miizaanul I’tidaal fii Naqdir Rijaal karya Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabiy.
  5. atTaariikh al-Kabiir karya al-Bukhariy.

4. TIDAK SYADZ

Salah satu kriteria agar suatu hadits disebut sebagai hadits yang shahih dan bisa diterima adalah tidak syadz. Artinya, riwayat itu tidak menyelisihi riwayat lain yang perawinya lebih tsiqoh atau lebih banyak.

Al-Imam al-Baiquniy rahimahullah menyatakan tentang kriteria hadits shahih:

أَوَّلُهَا الصَّحِيحُ وَهْوَ مَا اتَّصَلْ … إسْنَادُهُ وَلَمْ يَشُذَّ أَوْ يُعَلْ

Yang pertama adalah shahih, yaitu yang bersambung…sanadnya dan tidak syadz atau mengandung illat (penyakit) (Mandzhumah al-Baiquniyyah)

Kita ambil contoh periwayatan dalam penyampaian berita pada kejadian sehari-hari. Seorang guru menyampaikan informasi pada murid-muridnya. Ada sepuluh siswa yang mendengar informasi langsung dari gurunya. Gurunya berharap, sepuluh siswa itu nanti meneruskan informasi itu kepada rekan-rekannya sesama siswa yang lain.

Kesepuluh siswa ini adalah tsiqoh. Informasi yang disampaikan oleh guru adalah: besok kita akan melakukan rihlah (perjalanan) ke pantai. Namun, satu siswa yang bernama Ahmad mengaku bahwa guru menyampaikan informasi bahwa besok kita akan melakukan rihlah (perjalanan) ke gunung. Informasi yang ditangkap dan disampaikan Ahmad itu berbeda dengan kesembilan rekannya yang lain. Informasi yang disampaikan oleh Ahmad itu lemah, meski Ahmad adalah perawi yang tsiqoh, karena periwayatannya dalam berita itu syadz, menyelisihi periwayatan dari para perawi lain yang lebih tsiqoh atau lebih banyak jumlahnya, yang juga tsiqoh.

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan:

إِنَّمَا الشَّاذُ مِنَ الْحَدِيْثِ : أَنْ يَرْوِيَ الثِّقَاتُ حَدِيْثاً ، فَيَشُذَّ عَنْهُمْ وَاحِدٌ ، فَيُخَالِفَهُمْ

Riwayat syadz dalam hadits adalah jika para perawi yang tsiqoh meriwayatkan hadits. Namun ada satu yang menyelisihi riwayat mereka (al-Kifaayah fii ilmir Riwaayah karya al-Khothib (1/141))

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaaniy berkata:

الشَّاذُ: مَا رَوَاهُ الْمَقْبُوْلُ مُخَالِفاً لِمَنْ هُوَ أَوْلَى مِنْهُ

Syadz adalah apa yang diriwayatkan oleh orang yang diterima periwayatannya namun menyelisihi periwayatan dari orang yang lebih utama dibandingkan dia (Nuzhatun Nadzhor fii taudhiih Nukhbatil Fikar (1/213))

✅ Contoh Hadits Syadz

Berikut ini akan disebutkan sebuah contoh hadits syadz. Hadits itu tentang sholat Isya yang dilakukan oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam.

Ada 4 jalur periwayatan. Tiga jalur periwayatan menjelaskan bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam sholat Isya menjelang tengah malam. Sedangkan 1 jalur periwayatan menjelaskan bahwa beliau melakukannya setelah lewat tengah malam. Satu jalur periwayatan ini syadz, sehingga lemah.

Hadits tersebut ada dalam musnad atThoyaalisi, sebagai berikut:

حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ ، قَالَ : حَدَّثَنَا قُرَّةُ ، عَنْ قَتَادَةَ ، عَنْ أَنَسٍ ، قَالَ : نَظَرْنَا النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِي الْعِشَاءِ حَتَّى مَضَى شَطْرُ اللَّيْلِ ، ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى بِنَا كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى وَبِيصِ خَاتِمِهِ مِنْ فِضَّةٍ فِي يَدِهِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Dawud (at Thoyaalisiy) ia berkata: telah menceritakan kepada kami Qurrah dari Qotadah dari Anas ia berkata: Kami melihat Nabi shollallahu alaihi wasallam di waktu Isya hingga telah berlalu setengah malam. Kemudian beliau keluar sholat bersama kami. Seakan-akan aku melihat pada kilauan cincin beliau yang terbuat dari perak pada tangan beliau (H.R Abu Dawud atThoyaalisiy dalam Musnadnya)

Sekalipun jalur riwayat ini para perawinya tsiqoh semua dan sanadnya bersambung, namun riwayat ini menyelisihi riwayat lain yang juga tsiqoh dengan sanad bersambung. Setidaknya ada 3 jalur periwayatan yang berbeda dengan 1 riwayat itu.

Riwayat pertama:

Jalur riwayat dari Said bin ar Robi’ dari Qurrah dari Qotadah dari Anas bin Malik:

حَتَّى كَانَ قَرِيبٌ مِنْ نِصْفِ اللَّيْلِ

Hingga mendekati setengah malam (H.R Muslim)

Riwayat kedua:

Jalur riwayat dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas bin Malik:

إِلَى شَطْرِ اللَّيْلِ أَوْ كَادَ يَذْهَبُ شَطْرُ اللَّيْلِ

Menuju pertengahan malam atau hampir berlalu setengah malam (H.R Muslim)

Riwayat ketiga:

Jalur riwayat dari Kholid bin al-Harits dari Humaid dari Anas bin Malik:

إِلَى قَرِيبٍ مِنْ شَطْرِ اللَّيْلِ

Hingga mendekati pertengahan malam (H.R anNasaai dan Ibnu Majah)

Hal ini menunjukkan bahwasanya riwayat Abu Dawud atThoyaalisiy tersebut lemah karena syadz, menyelisihi setidaknya 3 jalur lain yang sanadnya shahih.

Perlu diketahui bahwasanya Abu Dawud atThoyaalisiy adalah Ulama yang berbeda dengan Abu Dawud as-Sijistaaniy penyusun Sunan Abi Dawud.

Dari pemaparan tersebut kita mengetahui bahwasanya untuk menilai suatu hadits itu shahih atau tidak, kita tidak bisa berpatokan pada satu jalur riwayat saja. Jangan terburu-buru menilai suatu hadits shahih, sampai terkumpul semua riwayat yang berkaitan dengan itu. Mungkin saja suatu jalur riwayat sanadnya shahih, namun periwayatan itu menyelisihi jalur lain yang lebih shahih sehingga hukumnya adalah hadits syadz, yang masuk kategori lemah. Karena itu, penilaian shahih tidaknya suatu hadits semestinya dilakukan oleh Ulama pakar hadits.

Terkait pelaksanaan sholat Isya, waktu terakhir adalah pada tengah malam. Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda:

وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ

Waktu sholat Isya hingga tengah malam (H.R Muslim)

Sebagai contoh, jika Maghrib adalah jam 18.00 WIB dan Subuh pada 04.00 WIB, maka rentang waktu malam adalah 10 jam. Jadi, waktu Isya berakhir pada 5 jam setelah Maghrib, yaitu jam 23.00 WIB.

Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu pernah mengirim surat kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk tidak lalai dari sholat Isya’ jangan sampai melakukannya hingga lewat tengah malam:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَتَبَ إِلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ…وَأَنْ صَلِّ الْعِشَاءَ مَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ ثُلُثِ اللَّيْلِ فَإِنْ أَخَّرْتَ فَإِلَى شَطْرِ اللَّيْلِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِين

Bahwa Umar bin al-Khoththob menulis kepada Abu Musa al-Asy’ariy:…Sholatlah Isya’ pada sepertiga malam (pertama). Jika engkau mau mengakhirkan, silakan lakukan hingga pertengahan malam, jangan termasuk orang yang lalai (H.R Malik, Abdurrozzaq, al-Baihaqy, Syaikh al-Albaniy menyatakan sanad riwayat ini shahih dalam Tamaamul Minnah)

5. TIDAK MEMILIKI ILLAT YANG TERCELA (QODIHAH)

Salah satu persyaratan agar suatu hadits ternilai shahih adalah tidak memiliki illat yang tercela. Illat secara bahasa bermakna penyakit atau cacat.

Al-Imam al-Baiquniy rahimahullah menyatakan:

أَوَّلُهَا الصَّحِيحُ وَهْوَ مَا اتَّصَلْ … إسْنَادُهُ وَلَمْ يَشُذَّ أَوْ يُعَلْ

Yang pertama adalah shahih, yaitu yang bersambung…sanadnya dan tidak syadz atau mengandung illat (penyakit)(Mandzhumah al-Baiquniyyah)

Illat itu baru bisa terlihat jika seluruh riwayat yang terkait hadits itu dikumpulkan. Illat suatu hadits tidaklah diketahui kecuali oleh Ulama yang benar-benar pakar dalam ilmu hadits.

Adakalanya suatu illat tidak tercela. Hal itu jika tidak berimplikasi pada hukum tertentu.

Sebagai contoh, berapakah harga unta Jabir saat dibeli oleh Nabi? Pada beberapa riwayat nampak berbeda-beda. Namun perbedaan itu tidaklah mengapa. Tanpa diketahui secara benar berapa harganya, kita sudah bisa mengambil faidah dari hadits itu baik secara fiqh, adab, dan sebagainya.

Contoh lain adalah berapa jumlah istri Nabi Sulaiman saat beliau bersumpah akan ‘menggilir’ istrinya dan lupa mengucapkan insyaallah? Pada riwayat-riwayat yang shahih berbeda-beda. Ada riwayat yang menyatakan 100. Sebagian riwayat ada yang menyatakan 70, ada pula yang 90. Tapi perbedaan ini tidaklah mengapa. Tidak berimplikasi terhadap kandungan pelajaran yang bisa dipetik dari hadits itu.


✅Contoh Hadits yang Memiliki Illat yang Tercela

Bagaimana dengan illat yang tercela? Berikut ini kita akan menyimak contoh suatu hadits yang terlihat secara dzhahir sebagai hadits yang shahih, padahal sebenarnya lemah karena adanya illat yang tercela.

☑ Contoh Pertama Hadits yang Memiliki Illat Qodihah

Hadits ini adalah hadits riwayat Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Hadits tersebut menunjukkan larangan kencing dengan berdiri.

(…عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( لَا تَبُلْ قَائِمًا )

"…dari Ibnu Juraij dari Nafi’ dari Ibnu Umar ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Janganlah engkau kencing berdiri" (H.R Ibnu Hibban dalam Shahihnya).

Secara dzhahir, nampak bahwa sepertinya potongan sanad ini shahih. Ibnu Juraij memang tsiqoh, namun ia tergolong perawi yang mudallis. Riwayat ini pun adalah riwayat mu’an-‘an, yang menunjukkan bahwa Ibnu Juraij tidak secara tegas menyatakan bahwa ia mendengar hadits itu secara langsung dari Nafi’.

Jika dilihat pada jalur riwayat yang lain, ternyata memang Ibnu Juraij tidak mendengar hadits itu langsung dari Nafi’, namun melalui satu perawi yang lain. Sayangnya, perawi itu lemah, yaitu Abdul Karim bin Abi Umayyah. Mari kita lihat riwayat berikut ini:

حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ قَالَ رَآنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبُولُ قَائِمًا فَقَالَ يَا عُمَرُ لَا تَبُلْ قَائِمًا

.…telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dari Abdul Karim bin Abi Umayyah dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Umar ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melihat saat aku kencing berdiri. Nabi bersabda: Wahai Umar, janganlah kencing berdiri (H.R Ibnu Majah)

Abdul Karim bin Abi Umayyah dinilai sebagai perawi yang lemah oleh para Ulama, di antaranya Abu Zur’ah.

سُئِلَ أَبُوْ زُرْعَةَ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيْمِ بْنِ أَبِى أُمَيَّةَ فَقَالَ هُوَ لَيِّنٌ

Abu Zur’ah ditanya tentang Abdul Karim bin Abi Umayyah, dia menjawab: Orang tersebut lemah (al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim ar Raaziy nomor perawi 311 (6/60)).

Bahkan, al-Imam Ahmad menilai perawi tersebut menyerupai matruk (ditinggalkan periwayatannya).

Faidah lain yang bisa ambil dari pemaparan ini adalah bahwa hadits dalam Shahih Ibnu Hibban tidak seluruhnya shahih.

☑ Contoh Kedua Hadits yang Memiliki Illat Qodihah

Ada sebuah hadits tentang anjuran mengganti di hari lain bagi seseorang yang membatalkan puasa sunnah. Namun hadits tersebut menurut sebagian para Ulama adalah lemah, karena mengandung illat qodihah.

Hadits tersebut ada dalam Muwattha’ Imam Malik sebagai berikut:

حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ زَوْجَيْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْبَحَتَا صَائِمَتَيْنِ مُتَطَوِّعَتَيْنِ فَأُهْدِيَ لَهُمَا طَعَامٌ فَأَفْطَرَتَا عَلَيْهِ فَدَخَلَ عَلَيْهِمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقَالَتْ حَفْصَةُ وَبَدَرَتْنِي بِالْكَلَامِ وَكَانَتْ بِنْتَ أَبِيهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصْبَحْتُ أَنَا وَعَائِشَةُ صَائِمَتَيْنِ مُتَطَوِّعَتَيْنِ فَأُهْدِيَ إِلَيْنَا طَعَامٌ فَأَفْطَرْنَا عَلَيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْضِيَا مَكَانَهُ يَوْمًا آخَرَ

Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Ibnu Syihab bahwasanya Aisyah dan Hafshah kedua istri Nabi shollallahu alaihi wasallam pada pagi harinya berpuasa sunnah. Kemudian keduanya diberi hadiah makanan sehingga keduanya berbuka. Kemudian Rasulullah shollallahu alaihi wasallam masuk menemui keduanya. Aisyah berkata: Hafshah mendahuluiku dalam berbicara. Ia memang benar-benar putri ayahnya (seperti Umar). Hafshah menyatakan: Pada pagi hari aku dan Aisyah berpuasa sunnah. Kemudian kami diberi hadiah makanan. Kami pun berbuka (membatalkan puasa) dengannya. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Gantilah puasa itu di hari lain (H.R Malik dalam al-Muwattha’)

Hadits ini periwayatannya terputus antara Ibnu Syihab (az-Zuhriy) dengan Aisyah. Biasanya Ibnu Syihab mendengar hadits dari Aisyah melalui Urwah bin az-Zubair, Abu Salamah, atau Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah.

Ada jalur riwayat lain semakna dengan hadits itu yang menunjukkan bahwa Ibnu Syihab (az-Zuhriy) mendengar hadits itu dari Urwah bin az-Zubair:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَانَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْتُ أَنَا وَحَفْصَةُ صَائِمَتَيْنِ فَعُرِضَ لَنَا طَعَامٌ اشْتَهَيْنَاهُ فَأَكَلْنَا مِنْهُ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَدَرَتْنِي إِلَيْهِ حَفْصَةُ وَكَانَتْ ابْنَةَ أَبِيهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا صَائِمَتَيْنِ فَعُرِضَ لَنَا طَعَامٌ اشْتَهَيْنَاهُ فَأَكَلْنَا مِنْهُ قَالَ اقْضِيَا يَوْمًا آخَرَ مَكَانَهُ

(atTirmidzi berkata) telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’ (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Katsir bin Hisyam (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Burqon dari (Ibnu Syihab) az-Zuhriy dari Urwah dari Aisyah ia berkata: Aku dan Hafshah pernah berpuasa. Kemudian kami diberi makanan yang kami senangi. Kami pun memakannya. Kemudian datanglah Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Hafshah mendahuluiku dalam menyampaikan kepada Nabi. Ia memang putri ayahnya. Hafshah berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami berdua berpuasa, kemudian diberikan kepada kami makanan yang kami inginkan. Kami pun memakannya. Nabi menyatakan: Gantilah di hari lain (H.R atTirmidzi)

Jika dilihat sepintas, seakan-akan hadits riwayat Malik itu dikuatkan oleh riwayat atTirmidzi ini. Sanad yang terputus pada riwayat Malik – Ibnu Syihab tidak pernah bertemu dengan Aisyah – seakan-akan terjembatani oleh riwayat atTirmidzi bahwa Ibnu Syihab mendengarnya dari Urwah bin az-Zubair.

Namun, nampak jelas pada riwayat lain bahwa Ibnu Syihab mengaku tidak mendengar riwayat itu dari Urwah bin az-Zubair. Ia hanya mendengar dari beberapa orang yang tidak disebut namanya (mubham).

Mari disimak nukilan riwayat Ibnu Rahawaih berikut ini:

عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ : قُلْتُ : لِابْنِ شِهَابٍ : أَحَدَّثَكَ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْر عَنْ عَائِشَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ :”مَنْ أَفْطَرَ فِي تَطَوُّعٍ ؛ فَلْيَقْضِهِ” ؟ قَالَ : لَمْ أَسْمَعْ مِنْ عُرْوَةَ فِي ذَلِكَ شَيْئاً ، وَلَكِنِّي سَمِعْتُ فِي خِلَافَةِ سُلَيْمَانَ ابْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ مِنْ نَاسٍ عَنْ بَعْضٍ مِنْ نِسَاءِ عَائِشَةَ أَنَّها َقَالَتْ:…

Dari Ibnu Juraij ia berkata: Aku berkata kepada Ibnu Syihab : Apakah Urwah bin az-Zubair meriwayatkan kepada anda dari Aisyah dari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda kepada orang yang berbuka dari puasa Sunnah: hendaknya ia menggantinya (di hari lain)? Ibnu Syihab berkata: Aku tidak mendengar dari Urwah tentang hal itu. Akan tetapi aku mendengar pada masa kekhalifahan Sulaiman bin Abdil Malik dari seseorang dari sebagian (hamba sahaya) wanita Aisyah bahwasanya ia berkata:…(Musnad Ibnu Rahawaih (1/94), dinukil dalam Silsilah al-Ahaadits adh-Dhaifah karya Syaikh al-Albaniy (11/838))

Jelaslah bahwa Ibnu Syihab tidak mendengar hadits itu dari Urwah. Tapi mendengar dari beberapa orang yang tidak jelas apakah tsiqoh atau tidak. Hal itu menunjukkan kelemahan riwayat tersebut.

Jika ada yang bertanya: Mengapa dalam riwayat atTirmidzi dinyatakan bahwa periwayatan Ibnu Syihab itu melalui Urwah? Jawabannya adalah: Itu adalah kesalahan Ja’far bin Burqoon. Meski ia adalah perawi yang tsiqoh, namun khusus periwayatan dia dari az-Zuhriy adalah periwayatan yang guncang. Artinya, ia sering salah dalam periwayatan dari az-Zuhriy.

Al-Imam adz-Dzahabiy menyatakan:

جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَان عَنْ مَيْمُوْن بْنِ مِهْرَان قَالَ أَحْمَدُ يُخْطِىءُ فِي حَدِيْثِ الزُّهْرِي

Ja’far bin Burqoon (periwayatannya biasanya) melalui Maimun bin Mihraan. Ahmad (bin Hanbal) berkata: Dia (Ja’far bin Burqoon) sering salah dalam (meriwayatkan hadits) az-Zuhriy (al-Mughniy fid Dhu’afaa’ (1/131))

Al-Imam Ibnu Abi Hatim ar-Raaziy menukil ucapan Ibnu Numair tentang Ja’far bin Burqoon:

جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَان ثِقَةٌ، أَحَادِيْثُهُ عَنِ الزُّهْرِي مُضْطَرِبَة

Ja’far bin Burqoon tsiqoh (terpercaya), (namun) hadits-haditsnya dari az-Zuhriy guncang (al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim (1/321)).

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa keshahihan maupun kelemahan suatu hadits tidaklah bisa dinilai dari satu riwayat saja. Perlu melihat riwayat-riwayat lain.

Karena itu para Ulama jika hanya menilai satu riwayat saja, mereka ada yang mengistilahkan dengan sanad hadits ini shahih. Bukan berarti mereka menghukumi bahwa hadits itu shahih. Namun, mereka memastikan penilaian hanya untuk satu riwayat itu saja: sanadnya shahih artinya bersambung (tidak terputus) dan perawinya tsiqoh.

Dikutip dari naskah buku “Mudah Memahami Ilmu Mustholah Hadits (Syarh Mandzhumah al-Baiquniyyah, Abu Utsman Kharisman)

Sumber : https://salafy.or.id/?s=mustholah