ANTARA KERJA ATAU MENUNTUT ILMU AGAMA
Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
P e r t a n y a a n :
Ada seorang pegawai hendak menuntut ilmu agama dan dia tidak konsentrasi belajar agama kecuali dengan meninggalkan pekerjaannya.Sementara kedua orang tuanya marah jika dia meninggalkan pekerjaannya. Laki-laki tersebut tidak mengetahui apakah dia durhaka jika meninggalkan perintah kedua orang tuanya atau tidak?
J a w a b a n :
Menuntut ilmu agama lebih utama. Dia belajar agama meskipun orang tuanya marah kepadanya, ini lebih utama daripada dia terus mempertahankan pekerjaannya yang bisa menghalanginya menuntut ilmu agama.
Karena Allah ta'ala telah berfirman :
"Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memudahkan urusannya"( QS. ath-Tholaq : 4).
"Barang siapa bertakwa kepada Allah maka Allah akan memberi jalan keluar untuknya.Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka" ( QS. ath-Thalaq : 2-3 )
Menuntut ilmu agama di zaman ini termasuk perkara yang paling penting karena begitu banyaknya fitnah baik syubhat maupun syahwat.
Jika umat islam tidak mempunyai ulama yang menjaga, berbuat baik dan membela mereka, maka bisa jadi mereka akan binasa sebagaimana umat-umat sebelumnya.
Aku memandang bahwa menuntut ilmu lebih utama daripada membuat ridho orang tua dalam hal ini.
Padahal bisa saja dia menggabungkan antara ridho orang tua dan belajar ilmu agama. Misal dengan mengatakan (kepada orang tuanya) :
Aku meninggalkan pekerjaanku ini untuk menuntut ilmu agama demi mendapatkan masa depan yang baik.
Dia mengatakan demikian meskipun niatnya ikhlas (karena Allah) namun untuk mendapatkan ridho orang tua.
Sumber : [ Liqa al-Bab al-Maftuh 84 ]
https://t.me/KajianIslamTemanggung
Lebih utama mana mencari ilmu dengan mencari maisyah alias dagang?
Pertanyaan:
Lebih utama mana mencari ilmu dengan mencari maisyah alias dagang?
Dijawab oleh al-Ustadz as-Sewed -hafidzohulloh-:
Lebih utama mana ya kira-kira? Ajaib ya.. Pertanyaannya sunggu menakjubkan.
Tidak bisa dibandingkan ilmu itu dengan dunia apa pun. Tidak bisa dibandingkan dengan dunia seluruh isinya ya.. Itu ilmu.. Na’am.
Tentunya kamu harus bisa bagi waktu kalau kamu memang berkewajiban mencari maisyah untuk keluargamu, ilmu jangan ditinggalkan ya.. Kalau tanya mana yang lebih mulia ya jangan ditanyakan itu sudah terlalu jelas, ilmu lebih utama.
Tapi jelas di dalam perintah-perintah Allah ada kewajiban memberikan maisyah kepada keluarga ya. Maka jangan kamu mempertentangkan antara keduanya. Ini wajib.. Ini wajib.. Jadi kan kita harus..?? Itu kalau bertentangan ya. Nyatanya tidak.
Kamu bisa berhenti dagang waktu ta’lim, kamu bisa meninggalkan kejaan ketika ada acara pengajian misalnya, dan kamu bisa nyempatkan waktu untuk mendengarkan kaset, membaca buku, sehingga jangan anggap bahwa dua perkara itu bertentangan.
Sehingga harus dipilih lebih mulia mana ustadz, nyari ilmu atau maisyah? Itu kalau bertentangan. Dua-duanya harus dan yang lebih utama.. lebih utama.. lebih utama.. adalah ilmu ya.. ilmu..!
Sehingga ada seorang dari kalangan salaf yang dikisahkan oleh al-Ajury dalam Ghuroba’ minal mu’minin ya, seorang yang kerja nukang cuma hari sabtu saja. Dan dapat bayaran 7 danik. 1 danik dia bisa pakai untuk makan 1 hari ya. Maka sisanya dia belajar di ulama’ sampai habis 7 danik ini dan kemudian hari ke-tujuh-nya hari sabtu ia duduk lagi ya, atau dia kerja lagi di tempat tadi. Kerja harian ya. Dapat lagi 7 danik lagi balik lagi dia ke sana. Yang ternyata anaknya kholifah, anaknya kholifah.
Ikhwanifiddiin ‘azakumullooh ini bukti betapa pentingnya ilmu. Mau belajar ke ulama dikasih sebagai bekal permata yang besar dia simpan, dia simpan ga dipakai, dia kerja, dan ini riwayat diriwayatkan oleh orang yang memakai dia sebagai pekerja ya. Yakni dia menyatakan suatu hari saya datang ke pasar kemudian saya mencari tukang-tukang untuk kerja harian, dan biasanya di pasar orang-orang siap untuk kerja seharian. Kamu berapa sehari, saya sekitar.. tawar menawar. Nah anak muda ini kelihatan lain karena tholibul ‘ilm tentunya bentuknya lain tidak seperti bentuknya tukang, kan begitu.
(Pemberi kerja): Kamu kerja juga?
(Pekerja): Iya.
(Pemberi kerja): Kamu minta bayar berapa?
(Pekerja): Saya minta tidak lebih dari 7 danik.
(Pemberi kerja): Cuma 7 danik?
(Pekerja): Iya.
(Pemberi kerja): Kenapa begitu?
(Pekerja): Karena saya meminta syarat. Tapi minta syarat bahwa saya dibebaskan untuk sholat jamaah setiap waktu sholat.
(Pemberi kerja): Ya.
Karena kebetulan orang ini orang yang sholeh juga. Ya cocok dia. Ini berarti tukang yang baik. Kerja, ternyata kerjanya rajin maka jadi langganan. Tapi setiap hari tidak ketemu dia. Sampai hari berikutnya hari sabtu yang berikutnya baru ketemu lagi.
(Pemberi kerja): Kenapa kamu ga ada?
(Pekerja): Saya ta’lim, ngaji belajar sama syaikh, dengan ulama’.
Jadi 7 danik itu dipakai setiap hari untuk hidup 6 hari ketika habis kerja lagi nukang kemudian untuk hidup lagi 6 hari ya, yang penting bisa ngaji. Akhirnya setiap hari sabtu orang ini mencari mana anak muda itu, panggil, kerja di rumahnya. Hari sabtu panggil lagi. Sampai ketika suatu hari orang itu ga ada. Dicari-cati tanya.. tanya.. tanya.. Ternyata didapati dalam keadaan sedang sakit. Kemudian dia berpesan karena kelihatan sakitnya parah dia berwasiat bahwa ini berikan kalau saya mati berikan ini pada kholifah. Kemudian meninggal.
Ketika iring-iringan kholifah lewat maka dia memanggilnya sambil menunjukkan barangnya. Maka kholifah melihat barang tersebut langsung berhenti. Dari mana kamu dapat ini? Dia ceritakan kejadian seluruhnya, maka kholifah tadi menangis.
(Pemberi kerja): Kenapa kau menangis? Karena orang ini tidak tahu siapa dia.
Maka dijawab oleh kholifah itu adalah anakku.
Ini menunjukkan betapa pentingnya ilmu. Kaum salaf itu sampai bekerja itu sekedar untuk dia bisa hidup ya. Selebihnya belajar mencari ilmu.
http://salafyjakarta.info/index.php/2015/12/20/lebih-utama-mana-mencari-ilmu-dengan-mencari-maisyah-alias-dagang/
|
bekerja-dan-menuntut-ilmu via Pexels |
SIBUK BEKERJA BUKANLAH ALASAN UNTUK MENINGGALKAN BELAJAR AGAMA*
Asy-Syaikh Abdullah al-Bukhari Hafizhahullah
Pertanyaan:
Bagaimana penuntut ilmu menggabungkan antara menuntut ilmu (agama) dan mencari rezeki?
Jawaban:
Siapa yang mengatakan bahwasanya ada kontradiksi (pertentangan) diantara keduanya!
Tidak ada kontradiksi antara menuntut ilmu dan mencari rezeki, Bukankah Nabi ﷺ sungguh beliau dahulu (adalah seorang_ed) pengembala kambing, Para sahabatpun bekerja dan belajar -Radhiyallahu ‘anhum- demikian pula orang yang setelah mereka, para imam mereka semua bekerja dan belajar..
Kenapa sekarang ini ada penghalang? kita menjadikan yang seperti ini sebagai penghalang untuk merealisasikan belajar (agama)..
Seakan -akan mencari rezeki sekarang ini perkara baru, dahulu mereka (para salaf) tidak mencari rezeki yakni : menuntut ilmu, kemudian harta mendatanginya,
Tidak sama sekali,
Mereka tidak pernah memanjangkan tangannya, karena mereka mengetahui (sabda Rasulullah ﷺ) :
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
“Tangan yang di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (penerima pemberian).”_ (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Mereka bekerja, mencari rezeki, akan tetapi mereka jadikan hal itu di tangan mereka, bukan di hati..!
Berbeda dengan kebanyakan orang di zaman sekarang, keadaan mereka adalah sebaliknya, mencari harta mereka posisikan dihati mereka, menuntut ilmu sisa sisa waktu (saja).*
العلم إذا أعطيت كلك أعطاك بعضه فكيف إذا أعطيت بعضك !؟!؟
”Ilmu itu apabila kamu kerahkan seluruh kemampuanmu dia akan memberikan sebagiannya , maka bagaimana jika kamu kerahkan sebagian kemampuanmu apa yang akan dia berikan!”
(Maka kesimpulannya adalah) tidak ada pertentangan antara belajar dan bekerja, belajar dan bekerjalah tidak mengapa..
Sumber: https://youtu.be/6GI0QAj5aoY
Alih bahasa:
Abu Fudhail Abdurrahman Ibnu ‘umar غفر الله له
@salafycurup