Al-Ustadz Abu Hisyam Sufyan Alwi حفظه الله تعالى
Allah سبحانه وتعالى telah menganugerahi manusia berbagai karunia yang tak terkira banyaknya. Di antara nikmat yang Allah berikan kepada mereka ialah nikmat lisan. Dengannya, ia bisa ungkapkan apapun yang tersimpan di hatinya. Sehingga keinginan dan maksudnya bisa disampaikan kepada orang Iain. Nikmat yang sangat besar tentunya.
Memang lisan adalah nikmat yang besar. Dengan lisannya ini, seseorang pun bisa mendulang pahala yang berlimpah ruah. Hal ini bisa terjadi jika ia menggunakan lisan tersebut untuk beribadah kepada Allah, baik dengan berdzikir, berdoa, amar makruf nahi mungkar, berdakwah, dan Iainnya dari berbagai bentuk ibadah yang mampu ia lakukan dengannya.
Akan tetapi, lisan juga bisa berbalik menjadi petaka yang bisa mencelakai pemiliknya -baik di dunia ataupun di akhirat nantinya-. ltu bisa terjadi apabila pemiliknya melepasnya dan tidak mengekangnya dengan baik.
Kisah berikut ini adalah pelajaran besar tentang penjagaan lisan. Kisah yang terjadi di masa Bani lsrail. Mengenai seseorang yang dengan lisannya, ia berucap dengan suatu ucapan yang tidak ia sangka-sangka. Akan tetapi, ternyata ucapannya membuat murka Allah سبحانه وتعالى. la pun diseret dan dimasukkan ke dalam neraka. Padahal ia telah menghabiskan hari-harinya untuk beribadah kepada-Nya.
Dahulu, di masa Bani lsrail, terdapat dua orang bersaudara. Salah satu dari mereka adalah seorang pendosa. Hari-harinya ia penuhi dengan perbuatan dosa dan kemaksiatan. Sementara saudaranya, ia adalah seorang 'abid, ahli ibadah yang selalu memenuhi hari-harinya dalam upaya menghambakan diri kepada Allah سبحانه وتعالى. Selalu dan senantiasa, setiap kali si ’Abid melihat saudaranya berbuat dosa, ia menasihatinya, ”Berhentilah kamu dari berbuat dosa."
Hingga suatu ketika, ia menjumpainya sedang melakukan suatu dosa, maka si Abid pun berkata kepadanya, ”Berhentilah kamu dari perbuatan dosa ini."
Si pendosa, yang selalu mendengar ucapan ini dari si Abid pun berkata, ”Tinggalkan aku! lni urusanku dengan Rabbku. Apakah kamu diperintahkan untuk menjadi pengawasku?!”
Demi mendengar jawabannya, si Abid pun berkata, ”Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu.” Atau dia berkata, "Demi Allah, Allah tidak mungkin akan memasukkanmu ke dalam surga.”
Maka waktu berjalan, ajal mereka pun datang. Keduanya pun dihadapkan di hadapan Rabbul ’Alamin, Allah سبحانه وتعالى.
“Apakah kamu mengetahui apa yang akan kulakukan? Apakah kamu mampu mengubah apa yang ada di Tangan-Ku?” Kata Allah سبحانه وتعالى kepada si ‘Abid
“Pergilah kamu dan masuklah ke dalam surga karena rahmat-Ku." kata Allah kepada si pendosa.
”Sementara si Abid ini, seretlah dia wahai para malaikat ke dalam neraka !” [H.R Abu Dawud, lbnu Hibban dan lainnya dari shahabat Abu Hurairah dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Sunan Abu Dawud no: 4901].
Abu Hurairah رضي الله عنه mengatakan setelah menyebutkan hadits tersebut, “Si Abid ini telah mengucapkan satu kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya."
Kisah di atas adalah salah satu kisah yang menggambarkan kepada kita bahwa lisan dengan mudahnya mampu menggelincirkan pemiliknya ke dalam neraka Jahannam. Diterangkan oleh para ulama, bahwa orang ini tidak beradab kepada Allah سبحانه وتعالى.
Urusan mengampuni atau tidak mengampuni, memasukkan seseorang ke dalam surga atau menghalangi darinya, adalah murni hak Allah. Tidak ada satu makhluk pun yang turut campur di dalamnya. Semuanya kembali pada rahmat dan kebijaksanaan Allah. Dan orang ini telah mendahului Allah dalam keputusan-Nya.
Allah berfirman yang artinya, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya. Dan bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” [Q.S. AI Hujurat: 1].
Ayat di atas dengan tegas melarang kaum muslim bertindak tidak beradab kepada Allah dan Rasul-Nya. Yaitu dengan mendahului keputusan-keputusan Allah dan RasuI-Nya. Misalnya ketika Allah dan Rasulullah ﷺ belum memutuskan suatu hal, dengan lancangnya ia memutuskannya atas nama Allah atau nama RasuI-Nya
Dalam hal ini, orang ini berarti telah memosisikan dirinya seperti Allah. Misalnya dalam hal memasukkan atau tidak memasukkan seseorang ke dalam surga. Dalam hal mengampuni atau tidak mengampuni.
Ia pun telah berbuat zalim kepada Allah. Ia telah meletakkan suatu hal bukan pada tempatnya atau menggunakan suatu hal yang bukan miliknya.
Semakna dengan kisah di atas, Rasulullah ﷺ pernah bersabda bahwa Allah سبحانه وتعالى berfirman dalam hadits Qudsi-Nya yang artinya, ”Siapa yang berani bersumpah dengan nama-Ku bahwa Aku tidak akan mengampuni Si Fulan? Sungguh Aku telah mengampuni Si Fulan dan Aku telah gugurkan seluruh amalanmu (orang yang lancang bersumpah tersebut)!” [H.R. Muslim].
Hadits di atas melarang kita memastikan seseorang mendapatkan sesuatu yang belum jelas. Apakah dia mendapatkan surga atau tidak. Apalagi, dia bersumpah dengan nama Allah. Sama saja apakah pemastian itu dalam hal kebaikan maupun keburukan. Maka sebelum jelas duduk perkaranya, ia tidak boleh lancang terhadap Allah dan bersumpah dengan nama-Nya, meyakinkan apa yang belum jelas kebenarannya.
Berdasarkan hal ini, diterangkan oleh para ulama bahwa kita pun dilarang untuk bermudah-mudah meyakinkan dan menegaskan bahwa Si Fulan mati syahid. Yang tentu di antara konsekuensi dari pernyataan ini bahwa ia pasti masuk surga. Siapa yang tahu ia benar-benar mati syahid? Bukankah hanya Allah yang tahu siapa yang mati untuk-Nya bukan untuk yang lainnya?
Bisa saja ia riya dalam amalan tersebut. Pengen disebut pahlawan, pemberani, atau semacamnya. Walaupun secara Iahiriah memang ia sedang berjuang membela agama Allah. Tapi siapa yang tahu isi hatinya? Bukankah mungkin, jika ternyata ia berperang hanya untuk tujuan duniawiah semata? Demikian pun, kita tidak tahu akhir dari kematiannya, apakah ia mati karena luka yang dideritanya, ataukah karena ia bunuh diri karena sudah tak kuat menahan rasa sakitnya?
Lebih dari itu, apakah perang yang dilakukan itu benar-benar sebagai jihad yang syar'i? Atau jangan-jangan sebuah kekonyolan semata, seperti bom bunuh diri teroris itu ?! Ya. Yang jelas jihad syar'i saja belum tentu benar niatnya, belum tentu mati karena perang, bagaimana bisa memastikan syahid?
Pernah terjadi di masa Rasulullah ﷺ, ada seseorang yang berperang di barisan kaum muslimin. la benar-benar berperang dengan hebatnya. Tidak ada seorang musyrik pun yang mendekat, melainkan pasti ia tebas dengan pedangnya. Ketika hal ini diberitahukan kepada Rasulullah ﷺ ternyata Rasulullah ﷺ menyatakan, "Dia termasuk penduduk neraka."
Mendengar berita ini, maka salah seorang pasukan kaum muslimin pun menguntitnya. Hingga akhirnya ia dapati orang ini dalam keadaan terluka parah. Karena tidak sabar menahan rasa sakitnya, ia pun membunuh dirinya. Tragis. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam AI Bukhari. Beliau memberi judul hadits ini "Bab Tidak Bolehnya Menyatakan Bahwa Fulan Syahid".
Dan di antara mazhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang telah ditetapkan dalam karya-karya para ulama ialah tidak boleh menetapkan bahwa Fulan termasuk dari penghuni surga atau neraka. Kecuali jika memang terdapat dalil yang menerangkannya. lni merupakan keyakinan yang benar, yang sesuai dengan aturan yang telah dijelaskan Allah dan Rasul-Nya. Dan inilah adab yang baik terhadap Allah serta rasul-Nya.
Tersisa pertanyaan, mengapa pendosa ini diampuni oleh Allah ? Para ulama menyebutkan beberapa alasan.
Di antaranya, barangkali di akhir hayatnya ia sempat bertaubat kepada Allah. Sementara Allah sendiri yang telah menjanjikan dalam sebuah hadits qudsi yang artinya, "Wahai anak Adam, sungguh kalian berbuat dosa kepada-Ku siang dan malam. Maka mohonlah ampun kalian kepada-Ku, Aku pasti akan mengampunimu." [H.R. Muslim].
Dalam salah satu ayat-Nya, Allah سبحانه وتعالى juga menegaskan yang artinya, "Wahai hamba-hamba-Ku yang bertindak zalim terhadap dirinya sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa seluruhnya." [Q.S. Az Zumar: 53].
Alasan yang lain, mungkin dosa-dosa yang dilakukannya bukanlah dosa syirik. Karena, jika dosa yang ia Iakukan adalah dosa syirik, maka ia tidak akan diampuni oleh Allah jika ia mati dan tidak bertaubat darinya. Adapun selain syirik, semuanya kembali pada kehendak Allah. Jika Allah mau, Allah mengampuninya, akan tetapi jika tidak, Allah pun memasukkannya ke dalam neraka.
Allah سبحانه وتعالى berfirman yang artinya, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa yang di bawahnya untuk siapa yang Allah kehendaki." [Q.S. An Nisa: 48].
JAGALAH LISAN
Pembaca yang dirahmati Allah, memang Iidah tak bertulang. Begitu mudah keluar darinya segala hal.
Betapa banyak pelanggaran dan maksiat yang dilakukan Iisan. Pantaslah Rasulullah ﷺ menjamin surga bagi siapa yang mampu menjaganya.
Di antara kerusakan lisan seperti; Ghibah, namimah (mengadu domba), berdoa kepada selain Allah, meminta bantuan kepada selain-Nya pada sesuatu yang hanya dimampui oleh Allah, berdusta kepada orang lain, berdusta atas nama Allah, berdusta atas nama Rasulullah ﷺ, janji palsu, menyombongkan diri dengan Iisannya, sumpah palsu, menuduh orang lain berzina, berucap dengan ucapan-ucapan yang kotor, nyanyian, memerintahkan kepada kebaikan namun dia tidak melakukannya, melarang orang Iain dari kemaksiatan tapi dia melakukannya, menceritakan hubungan suami istri yang ia lakukan kepada orang lain, dan bersumpah dengan nama selain Allah.
Juga mengagungkan orang fasik, mencela penyakit demam, membolehkan berhukum dengan hukum selain hukum Allah, berdebat, mengungkit-ungkit pemberian, berlebih-lebihan dalam memuji diri sendiri maupun orang Iain, mencela masa atau waktu, meratapi mayit, diam dari kemungkaran yang ia mampu mengingkarinya dengan Iisannya, menceritakan dosa yang ia lakukan kepada orang lain, menisbatkan seseorang kepada selain ayahnya, mencela kedua orang tuanya, mengolok-olok kaum muslimin, mengolok-olok Allah, mengolok-olok ayat-ayat-Nya, dan kekuasaan-Nya, mengolok-olok Rasulullah, mengolok-olok sunnahnya, melaknat orang yang tidak berhak, menyekutukan Allah dengan menggandengkan penyebutan-Nya dan nama makhluk-Nya, berandai-andai, menyandarkan terjadinya kejadian-kejadian kepada sebab selain Allah, berkata-kata mengenai Allah dengan tanpa ilmu, menegaskan bahwa seseorang mati syahid tanpa dalil, dan Iainnya merupakan beberapa contoh penyakit lisan yang banyak dilakukan orang.
Kebanyakannya merupakan dosa besar, bahkan ada di antaranya yang disepakati oleh para ulama sebagai sebab murtadnya seseorang dari Islam jika ia melakukannya dengan sengaja.
Ya, lisan bagaikan bumerang. Jika kita tidak Iihai dalam mengaturnya, ia akan menyerang dan menjadi petaka bagi kita.
Demikian banyaknya penyakit yang bisa ditimbulkan dari Iisan ini. Di dalam banyak hadits, Rasulullah ﷺ pun mengingatkan kaum muslimin untuk benar-benar mengawasi lisannya.
Abu Hurairah رضي الله عنه pernah bercerita, suatu saat Rasulullah ﷺ ditanya mengenai hal yang banyak nenyebabkan manusia masuk ke dalam neraka. Maka beliau ﷺ pun menjawab yang artinya, ”Yang paling banyak menyebabkan manusia masuk ke dalam neraka) ialah mulut dan tangan.” [H.R. At Tirmidzi dan Iainnya, dishahihkan Syaikh Al Albani رحمه الله dalam Shahih Targhib: 1723].
Hadits di atas tentunya mengandung anjuran bagi kita kaum muslimin untuk terus berusaha menjaga Iisan. Yaitu untuk tidak berucap kecuali hal-hal yang tidak berdosa. Karena lisanlah yang nyatanya banyak menyeret pemiliknya terjerembab ke dalam dahsyatnya neraka.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah ﷺ menasihati yang artinya, ”Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata dengan kata-kata yang baik atau kalau tidak maka diamlah." [Muttafaqun ‘alaihi]
Mengenai hadits di atas, Imam Asy Syafi'i رحمه الله menjelaskan, "Yakni, kalau kamu hendak berucap, maka pikirkanlah terlebih dahulu. Jika jelas baginya bahwa ucapannya nanti tidak ada mudharatnya (baik untuk dia pribadi ataupun untuk orang lain), maka katakanlah. Akan tetapi jika nampak baginya bahwa ucapannya nanti akan menimbulkan mudharat atau ia masih meragukannya, maka diamlah."
An Nawawi رحمه الله dalam Riyadhus Shalihin juga menasihati, “Ketahuilah, sesungguhnya hal yang patut dilakukan oleh setiap orang yang dibebani syariat, ialah untuk menjaga Iisannya. Janganlah dia berucap kecuali yang jelas dan nampak maslahatnya. Apabila antara mengucapkan dan tidak mengucapkan sama maslahatnya, maka ia menahan dan tidak mengucapkannya.
Karena, teramat sering ucapan yang awalnya diperbolehkan, Ialu menggelincirkan orangnya untuk berucap dengan ucapan-ucapan yang makruh atau bahkan haram. Dan itu sangatlah sering kita dapatkan. Maka jika kita diselamatkan dari hal tersebut, tidak ada yang dapat menandinginya nikmat itu sama sekali."
Umar bin Al Khaththab رضي الله عنه juga pernah mengungkapkan bahwa, “Siapa yang banyak ucapannya, maka akan banyak pula ketergelincirannya. Siapa yang banyak ketergelincirannya, akan banyak pula dosanya. Dan siapa yang banyak dosanya, maka neraka lebih pantas baginya."
Hati-hatilah, pada hari ketika Iisan ini justru memberikan kesaksikan yang memberatkan kita.
يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Pada hari (ketika), lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan." [Q.S. An Nur: 24].
Maka senantiasa kita memohon kepada Allah agar selalu meluruskan ucapan-ucapan kita dan mengampuni segala kesalahan kita dalam berucap. والله أعلم.
Sumber || Majalah Qudwah Edisi 09