sem.pur.na
[a] (1) utuh dan lengkap segalanya (tidak bercacat dan bercela): alam yg indah ini adalah ciptaan Tuhan yg sangat --; dng selesainya pekerjaan ini, -- sudahlah tugas Anda; (2) lengkap; komplet: ia lahir muda dan belum --; kalimat --; (3) selesai dng sebaik-baiknya; teratur dng sangat baiknya: segala perintah dilakukan dng --; (4) baik sekali; terbaik: saat yg -- untuk meminta maaf adalah pd hari Lebaran
Begitulah hasil penelusuran arti kata "sempurna" di kamus besar bahasa Indonesia. Simpelnya sempurna yaitu "tidak bercacat dan bercela". Saudaraku, kalian setuju bahwa Islam adalah sempurna? Islam yang merupakan satu-satunya agama yang haq? Kali ini kita akan mengingatkan kembali tentang kesempurnaan Islam yang saat ini sebagian orang lantang mengatakan Islam adalah agama sempurna namun tak memahami arti dari kesempurnaan itu.
Ketahuilah duhai saudaraku, sungguh besar nikmat Allah subhanahu wa ta'ala yang menjadikan Islam sebagai agama yang sempurna, tanpa cacat dan cela. Allah subhânahu wa ta’âlâ menurunkan sebuah ayat sebulan sebelum wafat Rasulullah, dalam peristiwa haji Wadâ’, bertepatan padahari Arafah,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا |
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku sempurnakan bagi kalian nikmat-Ku, dan Aku ridhai Islam sebagai agama kalian.” [Q.S. Al MaidaH:3].
Dalam ayat ini Allah mengkabarkan bahwa agama Islam telah Allah sempurnakan bagi kita. Dan nikmat yang tidak diberikan kepada selain umat Islam. Kesempurnaan Islam meliputi segala sesuatu baik dari segi akidah, akhlak, muamalah, ibadah dan lain sebagainya. Sehingga semua perkara yang baik bagi manusia di dunia dan akhirat telah dijelaskan. Demikian pula setiap perkara yang jelek bagi manusia di dunia dan akhirat pasti telah disebutkan larangannya. Bukan hanya landasan dan pokok dalam agama saja yang telah Allah sempurnakan. Tetapi kesempurnaan ini mencakup seluruh aspek kehidupan. Bahkan dalam perkara buang air besar yang sebagian orang kurang mempehatikannya. simaklah apa yang disampaikan oleh seorang shahabat yang mulia Abu Dzar Al Ghifari radhiyallahu 'anhu yang mengatakan,
“Rasulullah telah meninggalkan kita, dan tidaklah ada satu burung pun yang mengepakkan sayapnya, kecuali beliau telah menyebutkan ilmu tentangnya. kemudian beliau berkata, Rasulullah telah bersabda, ‘Tidaklah ada yang tersisa dari sesuatu yang mendekatkan diri kepada surga dan menjauhkan dari neraka kecuali (semua) telah dijelaskan kepada kalian.” [H.R. Thabarani dengan sanad yang shahih].
Hal senada diungkapkan pula oleh seorang shahabat Salmân Al-Fârisi saat seseorang berkata kepadanya, “Nabimu mengajarkan seluruh perkara hingga dalam buang hajat.” Beliau pun menjawab, “Benar, beliau melarang kami buang air besar ataupun buang air kecil dengan menghadap kiblat, demikian pula cebok dengan tangan kanan, dan cebok dengan kurang dari tiga batu, dengan menggunakan kotoran binatang, atau dengan tulang.” [H.R. Muslim dan selainnya].
Maknanya, jika dalam perkara yang dianggap sepele seperti ini saja telah dijelaskan secara gamblang, lebih-lebih dalam perkara yang lebih besar dari ini, berupa perkara ibadah dan lain sebagainya yang merupakan tata cara seorang hamba berinteraksi dan bermuamalah dengan Sang Penciptanya.
Maka, sudah sepatutnyalah kita bersyukur kepada Allah dengan pemberian nikmat ini, suatu pemberian yang membuat iri orang kafir, sebagaimana hal tersebut telah disampaikan oleh Thariq bin Syihab, “seorang Yahudi berkata kepada Umar bin Khattab, sesungguhnya kalian (kaum muslimin) membaca suatu ayat yang apabila ayat tersebut diturunkan kepada kami, pasti kami akan menjadikan hari tersebut sebagai hari raya.
Maka Umar bertanya, “ayat apakah itu?”,
mereka menjawab,“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku sempurnakan bagi kalian nikmat-Ku, dan Aku ridhai Islam sebagai agama kalian.”
[H.R. Al Bukhari dan Muslim].
Ibnu ‘Abbas menafsirkan ayat ini, “Allah memberi tahu Nabi-Nya dan kaum mukminin bahwa Allah subhânahu wa ta’âlâ telah melengkapi keimanan untuk mereka, sehingga tidak membutuhkan penambahan selamanya, dan Allah telah menyempurnakannya sehingga tidak akan menguranginya selamanya. Allah telah meridhai keimanan tersebut, maka tidak akan murka selama-lamanya.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarîr Ath-Thabari dalam kitab tafsir beliau]
Merupakan perkara yang tidak kita pungkiri, bahwa kaum muslimin banyak melakukan perkara yang tidak disyariatkan dan diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, seakan-akan agama Allah masih membutuhkan banyak tambahan. Lalu kesempurnaan apalagi yang masih perlu ditambahkan setelah Allah tetapkan kesempurnaan agama ini?
Ibarat satu tubuh yang sempurna tentu tidak akan bertambah sempurna ketika ditambahkan anggota tubuh yang lain. Justru, tubuh itu akan menjadi cacat dan hilang kesempurnaannya. Demikian pula agama yang telah sempurna ini, tentu tidak perlu tambahan syariat baru yang justru akan mencacatinya. Oleh karena itu, Malik bin Anas
rahimahullah, salah seorang imam madzhab yang empat, ulama yang digelari “Imâm Dâril Hijrah” (Ulama Negeri Hijrah, yakni Madinah) beliau menuturkan ketika menafsirkan ayat di atas (Al-Mâ`idah ayat 3)
“Barang siapa mengadakan perkara baru dalam agama Islam yang dia anggap baik, maka dia telah menuduh bahwa Muhammad (shallallâhu ‘alaihi wa sallam) mengkhianati kerasulannya karena Allah telah berfirman [yang artinya],“Pada hari ini telah Kulengkapi untuk kalian agama kalian, dan telah Kusempurnakan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” Maka perkara apapun yang hari itu bukan termasuk agama, hari ini pula bukan termasuk agama.” [Disebutkan oleh Asy-Syâthibi dalam kitab beliau “Al-I’tishâm”].
Jadi kesimpulannya yaitu hendaknya kita mencukupkan diri dengan agama Islam. Agama yang tidak perlu ditambah dan dikurang. Ikhlas dalam beramal serta mutaba'ah kepada nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam karena beliau bersabda :
"Kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat setelahnya: Kitabullah dan sunnahku.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shahihul Jâmi)
Sehingga sudah sepatutnya kita bersyukur kepada Allah atas sempurnanya agama Islam ini dengan cara mengamalkan kewajiban kita, menjauhi apa yang haram bagi kita, dan bukan dengan melakukan ibadah yang tidak dituntunkan. Allahu a’lam
Sumber bacaan : Majalah Tashfiyah, Mudah Berfaedah