Telah banyak ucapan salaf tentang betapa beratnya menjaga keikhlasan. Mereka menggambarkan betapa seriusnya urusan ini, karena begitu cepatnya niat ini berubah-rubah dikarenakan banyaknya faktor-faktor yang bisa membelokkan niat ikhlas. Imam Sufyan ats Tsauri rahimahullahu berkata,
ما عالجت شيئاً أشد علىَّ من نيتي
"Tidaklah aku memperbaiki sesuatu yang lebih berat ketimbang masalah niatku".
Halus tak terasa, ternyata niat itu telah sirna. Tidak terucap namun bisa dilihat dari sikap, ternyata keikhlasan itu telah lenyap.
Al Imam Adz Dzahabi rahimahullahu berkata,
ما أحسن الصدق
"Duhai, betapa indahnya kejujuran"
Kata ini beliau ucapkan ketika ada seorang yang bertanya kepada Ibnu Juraij rahimahullahu, " Untuk siapakah Anda menuntut ilmu?"
Maka Ibnu Juraij menjawab,
طلبت العلم للناس
"Aku menuntut ilmu untuk manusia".
Imam Adz Dzahabi rahimahullahu memberikan keterangan pada ucapan di atas,
واليوم تسأل الفقيه الغبي فيبادر: طلبته لله، ويكذب، إنما طلبه للدنيا.
"Dan pada hari ini, jika engkau bertanya kepada ahli fikih yang ghabi (yang sejatinya bukan ahli fikih), niscaya mereka akan cepat menjawab, "Aku menuntut ilmu karena Allah". Dan mereka telah berdusta karena sebenarnya mereka menuntut ilmu untuk dunia." (Lihat As Siyar: 6/328).
Imam Adz Dzahabi memuji jawaban Ibnu Juraij yang jujur bukan tanpa alasan, karena para ulama salaf yang lain juga menjawab dengan jawaban yang sama, semisal Al Walid ibnu muslim, Al Auza'i, Sa'id ibnu Abdul Aziz, mereka menjawab "Saya menuntut ilmu bukan karena Allah (tidak ikhlas)". Mereka telah jujur dengan ucapan-ucapannya.
Mereka mengakui bahwa dahulu ketika mereka di awal belajar mereka tidak ikhlas di dalam niatnya, Imam Mujahid ibnu Jabr rahimahullahu berkata,
طَلَبْنَا هَذَا العِلْمَ وَمَا لَنَا فِيهِ كَبِيرُ نِيَّةٍ، ثُمَّ رَزَقَ اللهُ بَعْدُ فِيهِ النِّيَّةَ
Kami menuntut ilmu ini, dan tidaklah di dalam prosesnya terdapat niat ikhlas (pada awalnya), tapi kemudian Allah menganugerahi kami niat (keikhlasan) setelahnya".
Ma'mar ibnu Rasyid rahimahullahu berkata,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَطْلُبُ العِلْمَ لِغَيْرِ اللهِ، فَيَأْبَى عَلَيْهِ العِلْمُ حَتَّى يَكُونَ للهِ
Sesungguhnya seorang lelaki akan menuntut ilmu untuk selain Allah, maka ilmu itupun enggan hingga ia menjadikannya (dalam menuntut ilmu) untuk Allah."
Maka dengan ucapan-ucapan salaf di atas, bagaimana dengan kita? Mungkin akan terlontar jawaban-jawaban beragam.
"Demi membahagiakan orang tua"
"Senang dengan ilmu"
"Biaya di mahad salafy itu murah ketimbang di tempat lain"
Dan jawaban-jawaban lainnya yang masing-masing mempunyai alasan dan kepentingan tersendiri.
Namun jawaban-jawaban semisal adalah wajar, karena memanglah demikian perjalanan di dalam thalabul ilmi. Di awal bisa jadi tidak ada niat ikhlas, namun di tengah proses belajarnya, mungkin Allah ta'ala anugerahi kesadaran pada dirinya bahwa keikhlasan mesti ada di dalam amalannya, dan bisa jadi pula ilmu yang tengah ia pelajari ternyata mengajari dan membimbingnya kepada keikhlasan.
Oleh karenanya jangan tertipu? dengan syubhat-syubhat yang menyatakan,
"Ngapain kamu belajar? Nanti berat loh bebanmu di akherat kalo nggak ikhlas."
Belajar nggak usah dalem-dalem amat, cukup sekedarnya saja karena semakin banyak ilmu maka kamu semakin berat untuk mengamalkannya".
Syubhat-syubhat seperti ini adalah keliru!
Karena bagaimana seorang akan mewujudkan keikhlasan, jika keadaan dirinya bodoh tak berilmu?!
Bagaimana ia akan bisa ikhlas kalau dirinya tidak thalabul ilmi?!
Maka jika ada yang mengklaim keikhlasan padahal ia jauh dari majelis ilmu atau meninggalkan thalabul ilmi, ketahuilah bahwa itu hanya omong kosong.
SESUATU YANG DILANDASI KEIKHLASAN MAKA AKAN TETAP ADA
Keikhlasan tidak akan muncul begitu saja tanpa diiringi dengan ilmu. Maka untuk mewujudkan keikhlasan, dibutuhkan keseriusan dan keistiqamahan di dalam thalabul Ilmi. Walau terkadang amalan thalabul ilmi-nya itu sendiri di dalam menjalankannya mungkin masih belum ikhlas. Hisyam ad Dustuwa'iy rahimahullahu berkata,
والله ما أستطيع أن أقول: إني ذهبتُ يومًا قطُّ أطلبُ الحديث أُريدُ به وجهَ الله - عزَّ وجلَّ.
Demi Allah, aku tidak sanggup untuk mengatakan: Sesungguhnya aku pergi pada satu hari saja untuk menuntut ilmu hadits mengharapkan wajah Allah azza wa jalla".
Ucapan di atas menunjukkan keikhlasan adalah bukan perkara yang main-main. Namun dengan sikap kesungguhan di dalam menjaga kesimbambungan dalam thalabul ilmi, insyaallah lambat atau cepat, Allah ta'ala akan berikan sifat ikhlas itu pada dirinya. Rabi ibnu Khutsaim rahimahullah berkata,
ما لا يُبْتغى به وجْهُ الله - عزَّ وجلَّ - يضمحلّ.
"Segala hal yang tidak ditujukan dengannya wajah Allah azza wa jalla, maka akan sirna".
Maka dengan ucapan di atas bisa memberikan kita pelajaran bahwa tanda amalan yang tidak ikhlas, adalah amalan yang lambat laun akan hilang dan sirna. Oleh karenanya semakin lama seseorang mengenal hidayah ilmu, semestinya semakin lama bukan semakin turun dan merosot semangat talabul ilmi-nya, namun tetap sama baik di awal maupun sekarang, bahkan hingga nanti. Tetap thalabul ilmi!
Imam Malik pernah ditanya perihal karya beliau Al Muwatha'. Mengapa menyusun kitab tersebut padahal telah banyak ada kitab-kitab yang semisal. Maka beliau menjawab
ما كان لله بقي
"Sesuatu yang dilandasi karena Allah, pasti akan lebih langgeng."
Nyatanya, banyak manfaat dari karya Imam Malik tersebut. Bahkan para Imam setelahnya, semisal Imam Syafi'i dan Abdurrahman bin Mahdi sangat memuji keberadaan Al Muwatha'.
Maka perlu kita tanyakan kepada diri-diri kita masing-masing:
Apa motivasi kita membaca dan menghafal Al-Qur'an? Jika ia ikhlas pasti ia akan sabar di dalam membaca atau menghafal Al-Qur'an. Bahkan sebagai bentuk kecintaannya kepada Allah azza wa jalla, ia tidak bosan atau jenuh di dalam melantunkan kalam-kalamNya.
Apa motivasi kita dalam berinfak dan bersedekah? Jika ia ikhlas, maka ia akan terus menjaga apa yang ia telah keluarkan sebelumnya.
Apa motivasimu di dalam menuntut ilmu?
Percayalah, suatu kebaikan jika diiringi dengan keikhlasan maka hasil dari kebaikan tersebut akan tetap ada, langgeng dan bertahan.
Abu Bakar bin Khalal, adalah seorang tokoh mazhab Imam Ahmad yang menulis semua ucapan Imam Ahmad terkait masalah fikih, hadits dan ilmu-ilmu lainnya, pergi dari negeri satu ke negeri lainnya dalam rangka menemui murid-murid Imam Ahmad. Satu demi satu beliau catat ucapan-ucapan Imam Ahmad hingga terkumpulah susunan fatwa-fatwa Imam Ahmad sebanyak 20 jilid, dan dinamakan kitab tersebut Al jami' fil fiqhi li Imam Ahmad. Di mana di dalam kitab tersebut mencakup pula 3 jilid tentang masalah 'Ilal hadits dan 3 jilid terkait masalah sunnah.
Yang menarik pada kisah di atas adalah bagaimana Al Imam Ahmad sangat melarang para murid-muridnya untuk menulis ucapan-ucapan beliau dan Imam Ahmad hanya mengizinkan menulis Al-Qur'an dan hadits-hadits nabi dari lisan beliau. Akan tetapi ketika hal itu didasari dengan keikhlasan maka Allah melanggengkan ucapan-ucapan Imam Ahmad melalui abu Bakar bin Khalal, di mana beliau mengumpulkan serpihan-serpihan ucapan imam Ahmad yang yang telah dihafal oleh para murid-muridnya ke dalam sebuah susunan kitab.
Maka sebagai bahan renungan untuk kita, jawablah dengan jujur oleh diri-diri kita,
Untuk apa selama ini kita berta'awun di dalam dakwah, membuat poster-poster dakwah, menyebarkan kajian atau faedah-faedah ilmu?
Tujuan apakah kita selama ini mengajari anak-anak kaum muslimin di tempat-tempat belajar mereka?
Inilah pentingnya kita saling mengingatkan diri-diri kita untuk senantiasa ikhlas di dalam setiap amalan.
Wallahu alam
Semoga bermanfaat.
✍️ Faidah Tausiah Bada Shubuh oleh Al Ustadz Abu Nasim Mukhtar hafizhahullahu ta'ala di Ma'had Riyadhul Jannah Cileungsi, 16 Syaban 1443H / 19 Maret 2002
Dengarkan audionya : https://t.me/salafycileungsi/6189
Sumber : https://t.me/salafycileungsi
Atsar ID | Arsip Fawaid Salafy
Telegram : t.me/atsarid
Website : www.atsar.id