Muhasabah
HIDUP DENGAN YANG HALAL
Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifa'i حفظه الله تعالى
Tidak disangka, tidak pula terkira. Ternyata laki-laki itu sehari-harinya bergelut dengan pekerjaannya yang aneh. Dalam pandangan keumuman orang, pekerjaan tersebut mungkin dianggap biasa, lazim bahkan kasar. Pekerjaan itu dianggap aneh karena yang mengerjakannya adalah seorang ulama besar dalam Sejarah Islam.
Jual beli kulit hewan di hiruk pikuknya kota Basrah beliau tekuni. Kedudukannya di mata kaum muslimin sebagai seorang panutan tidak lantas menghalangi beliau untuk mencari harta halal. Dialah Al Imam Ayyub bin Abi Tamimah As Sikhtiyani. Terkait dengan profesinya sebagai saudagar kulit hewan, membuat nama beliau tersematkan di belakangnya dengan "As Sikhtiyani” (Si Penjual Kulit Hewan).
Padahal, siapakah Ayyub As Sikhtiyani?
Ayyub adalah seorang tabi'in yang lahir pada tahun 68 H, tahun yang sama dengan wafatnya shahabat Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما. Guru-gurunya adalah tokoh-tokoh besar tabi'in semacam Muhammad bin Sirin, Al Hasan Al Basri, Mujahid bin Jabr, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Nafi' maula Ibnu Umar, Atha' bin
Abi Rabah dan lainnya.
Pujian Al Hasan Al Basri berikut ini kiranya cukup untuk menggambarkan siapakah Ayyub As Sikhtiyani,
"Sayyid syabab ahlil Bashrah." Ayyub adalah tuannya pemuda di seantero wilayah Basrah. Demikian kata Al Hasan.
Karya-karya tentang biografi ulama Islam tentu tidak akan melewatkan Ayyub begitu saja. Bahkan biografinya terlalu panjang untuk diceritakan. Akan tetapi, kita akan sedikit mengutip dari kemuliaan beliau. Dengan titik berat pada profesi beliau yang terbilang aneh dalam kapasitas beliau sebagai seorang tokoh besar.
Hidup dari yang halal ! Inilah sebuah teladan yang patut kita camkan dari kisah hidup beliau.
Melalui jual beli kulit hewan, seolah-olah Ayyub menyadarkan sekaligus membelai lembut perasaan kita, "Apa pun kata orang, apa pun pandangan manusia, bagaimana pun hasilnya, bekerja dan berusahalah untuk mencari barang halal. Allah pasti memudahkan dan memberkahi!".
Hidup dengan yang halal adalah ajaran luhur Islam. Sekian banyak ayat Al Qur'an membimbing kita dalam hal ini. Mencari, bekerja, dan mengonsumsi yang halal. Hadits-hadits Nabi Muhammad pun jika diteliti secara saksama, banyak mengajarkan untuk hidup mandiri, berdikari, dan menjaga harga diri.
Allah berfirman di dalam Al Qur'an:
فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepada kalian, dan syukurilah nikmat Allah, jika kalian hanya kepada-Nya saja menyembah.” (Q.S. An Nahl: 114)
Ayat di atas rasanya jelas dan tegas memerintahkan, “Makanlah yang halal dan baik!" Namun, seperti apakah fakta dan aplikasi di lapangan? Sedih, menyesakkan, dan mengundang emosi. Siapa juga yang berani mengingkari jika barang halal atau haram tidak lagi dipedulikan. Asal senang dan menyenangkan.
نعوذ بالله من ذلك
Modus penipuan seakan ter-
up date setiap waktunya. Mulai dari rakyat kecil yang dijadikan sasaran hingga orang-orang berduit yang masih tamak akan harta pun tak lepas dari jerat-jerat penipuan. Perampokan di masa sekarang sudah semakin ganas dan liar. Lihat saja aksi penembakan, pembunuhan, dan ancaman bom yang sering mengiringi aksi perampokan.
Praktek riba, walaupun dilarang agama, malah dijadikan sebagai sumber penghasilan oleh sebagian kalangan. Ada yang terang-terangan mengambil bunga, ada juga yang bersembunyi di balik istilah-istilah agama. Ada yang berbentuk bangunan mewah sebagai pusat kendali riba, sampai ada juga yang bersepeda sederhana di tengah-tengah pasar.
Korupsi? Tidak usah bertanya atau dibicarakan. Siapa pun tahu -karena rahasia umum-, korupsi seolah penyakit kronis yang melekat di hampir setiap orang berpangkat. Bahkan orang kecil-kecilan pun ogah ketinggalan untuk ikut menilep, menikmati, dan merayakan hasil korupsi. Alasannya? Ah, macam-macamlah.
Padahal Nabi Muhammad pernah marah karena sikap seorang utusan yang beliau percaya untuk menghimpun harta sedekah dari berbagai kabilah. Utusan itu tiba dengan membawa macam-macam harta sambil berkata, “Ini harta untuk kalian. Sementara yang ini untukku sebagai hadiah dari orang yang memberi.”
Duh, betapa marah Rasulullah.!
Seketika itu juga beliau naik ke atas mimbar untuk meluruskan pemahaman yang mungkin terbersit di benak setiap petugas, pegawai, atau karyawan. Dan inilah sabda Rasulullah ﷺ ketika itu:
مَابَالُ عَامِلٍ أَ بْعَثُهُ، فَيَقُولُ: هَذَالَكُمْ، وَهَذَاأُهْدِيَ لِي، أَفَلَاقَعَدَفِي بَيْتِ أَبِيهِ، أَوْفِي بَيْتِ أُمِّهِ، حَتَّى يَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَم لَا؟
"Ada apa dengan seorang petugas yang aku utus? Ia menyatakan, 'Ini untuk kalian dan ini untukku sebagai hadiah. Kalau ia duduk di rumah ayah atau ibunya, apakah ia diberi hadiah ataukah tidak? (Tentu tidak, ini adalah bentuk suap kepada pegawai, ed.)." [H.R. Al Bukhari dan Muslim dari Abu Humaid As Sa'idi]
Setelah itu, Nabi Muhammad ﷺ menggambarkan siksa orang-orang yang mengambil harta, padahal bukan haknya. Mereka akan memanggul semua harta yang diambil tanpa hak pada hari kiamat kelak. Dan itu terjadi di hadapan sekian banyak makhluk. Bisa jadi ia selamat dari pengadilan dunia, namun apa yang akan ia lakukan di hadapan pengadilan Allah? Siksa yang mengerikan! والعياذ بالله.
Sudahlah. Hidup berselimut halal semestinya menjadi tekad dan prinsip hidup kita. Pilihlah pekerjaan yang halal. Jangan ikutkan hati dengan omongan orang, “Cari yang haram saja susah, apalagi yang halal !” Omongan semacam itu hanyalah godaan setan yang tak berlandasan.
Pekerjaan yang halal masih banyak terbentang. Harta yang halal pun tak akan mungkin habis dicari dan dikumpulkan. Pertanyaannya, “Maukah kita mencarinya?” Walau mungkin dipandang rendah oleh orang, toh bukan manusia yang berhak menilai. Harga diri kita sebagai seorang hamba muslim mesti dipertahankan. Lebih baik sedikit namun diberkahi, daripada banyak namun hasil mengemis atau bahkan "mencuri".
Indahnya wasiat Rasulullah ﷺ untuk kita. Kata beliau:
لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ، خَيْرٌ لَهُ
مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
“Sungguh! Salah seorang di antara kalian meletakkan seikat kayu bakar di punggungnya, lebih baik untuknya daripada meminta kepada orang lain, ia bisa diberi, bisa juga tidak.” (H.R. Al Bukhari dari shahabat Abu Hurairah رضي الله عنه).
Contohlah Hisyam Ad Dustuwa'i yang berjualan kain, Adh Dhahak bin Makhlad yang berjualan sutra, Al Hasan bin Rabi' yang berjualan kayu, Abul Hasan Al Baghdadi yang berjualan beras atau Muslim Al Hannath yang hidup dengan menjahit. Dan jangan lupa juga bahwa Nabi Muhammad ﷺ pernah menjadi seorang penggembala kambing untuk menerima upah dari penduduk Makkah.
Masih tergoda dengan harta yang besar dan banyak namun haram? Ataukah anda telah menemukan titik cerah bahwa harta halal adalah selimut hidup terbaik? والله الموفق.
Sumber || Majalah Qudwah Edisi 015 | t.me/majalah_qudwah