.................................................
Judul Asli: أصول السنة
Edisi Terjemah: Pokok-Pokok Sunnah
Penulis: Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
Alternatif link jika tidak bisa, klik di sini
.................................................
📝 Syaikh Abul Muzhoffar Abdul Malik bin Ali bin Muhammad al-Hamdani berkata, telah menceritakan kepada kami Syaikh Abu Abdillah Yahya bin al-Hasan bin Ahmad bin al-Banna’ . Menceritakan kepadaku bapakku, Abu Ali al-Hasan bin Ahmad bin Abdullah bin al-Banna’ . Menceritakan kepada kami Abul Husain Ali bin Muhammad bin Abdullah bin Busyran al-Mu’dil. Telah mengkabarkan kepada kami Usman bin Ahmad bin as-Samak. Menceritakan kepada kami Abu Muhammad al-Hasan bin Abdul Wahab bin Abil ‘Anbar, qiro’ah ‘alaihi dari kitabnya pada bulan Rabi’ul Awal tahun 293 H, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Sulaiman al-Manqari al-Bashri di Tinnis (salah satu kota di Mesir), ia berkata, telah menceritakan kepadaku Abdus bin Malik al-‘Aththor, ia berkata, aku mendengar Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata,
“Pokok dasar sunnah di sisi kami adalah:
▫️ Berpegang teguh dengan apa yang para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berada di atasnya.
▫️ Menjadikan mereka sebagai teladan hidup.
▫️ Meninggalkan kebid’ahan karena semua bid’ah adalah sesat.
▫️ Meninggalkan permusuhan
▫️ Tidak duduk bersama pengikut hawa nafsu
▫️ Meninggalkan perdebatan dan permusuhan dalam agama.
▫️ Sunnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
▫️ Sunnah adalah penafsir al-Qur’an, dan ia merupakan penunjuk bagi al-Qur’an.
▫️ Tidak ada qiyas di dalam as-Sunnah, tidak boleh dibuat permisalan, tidak bisa dicapai dengan akal dan hawa nafsu, yang ada hanyalah mengikut dan meninggalkan hawa nafsu.
Termasuk sunnah lazimah (yang harus diyakini) yang barang siapa meninggalkan salah satunya, tidak mau meyakini dan mengimaninya, ia bukan Ahlussunnah. Sunnah tersebut adalah:
Beriman kepada takdir yang baik dan buruk, membenarkan dan mengimani hadits-hadits tentangnya. Tidak boleh mengatakan “kenapa?” dan “bagaimana?”, karena tugas kita adalah membenarkan dan beriman kepadanya.
Barangsiapa tidak mengetahui penjelasan hadits (tentang takdir) dan akalnya tidak dapat mencernanya, hal itu (mengimaninya) sudah mencukupinya dan membuatnya kokoh. Kewajibannya hanya mengimani dan menerimanya, seperti hadits ash-shadiqul mashduq (tentang penentuan takdir pada janin), dan hadits-hadits lainnya tentang takdir.
Juga seperti hadits-hadits tentang melihat Allah, walaupun jarang terdengar di telinga dan tidak disukai oleh orang yang mendengar. Maka kewajibannya adalah beriman kepada hadits-hadits tersebut dan tidak menolaknya walaupun hanya satu huruf.
Dan juga hadits-hadits lainnya yang diriwayatkan dari para perawi tsiqot (terpercaya).
Janganlah ia berdebat dan berjidal dengan seorang pun, dan janganlah ia mempelajari ilmu perdebatan. Karena perdebatan seputar takdir, melihat Allah, al-Qur’an, dan permasalahan lainnya yang dijelaskan dalam Sunnah merupakan perkara yang dibenci dan dilarang, dan pelakunya tidak tergolong sebagai Ahlussunnah walaupun ucapannya sesuai dengan Sunnah, hingga ia mau meninggalkan perdebatan dan menerima serta beriman kepada atsar-atsar.
Al-Qur’an adalah kalamullah (ucapan Allah), bukan makhluk. Janganlah kamu merasa lemah untuk mengatakan (al-Qur’an) bukan makhluk. Karena sesungguhnya kalamullah merupakan salah satu dari sifat Allah yang tidak terpisah dari-Nya. Sedangkan yang berasal dari Allah bukanlah makhluk, dan sifat-sifat Allah juga bukan makhluk.
Berhati-hatilah kamu untuk berdebat dengan orang-orang yang memunculkan perkara baru dalam perkara tersebut, dan orang-orang yang mengatakan, lafazhku (ketika membaca al-Qur’an) adalah makhluk dan (juga perkara) selainnya.
Demikian pula orang yang tawaqquf (tidak berpendirian) yang mengatakan, “aku tidak tahu apakah al-Qur’an itu makhluk atau bukan makhluk? Akan tetapi ia adalah kalamullah” maka orang ini juga digolongkan sebagai pelaku bid’ah sama seperti orang yang mengatakan, “al-Qur’an adalah makhluk.” Seungguhnya al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk.
Beriman kepada ar-Rukyah (melihat Allah) pada hari kiamat sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih.
Dan bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melihat Rabbnya, juga diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, diriwayatkan Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma, juga diriwayatkan al-Hakam bin Aban dari Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma, dan diriwayatkan Ali bin Zaid bin Jud’an dari Yusuf bin Mihran dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma. Hadits tersebut menurut kami dipahami seperti zhahirnya sebagaimana yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Memperdebatkannya adalah bid’ah.
Akan tetapi kita mengimaninya sebagaimana ia datang secara zhahirnya. Kita tidak berdebat dengan siapa pun tentang permasalahan tersebut.
Beriman kepada al-Mizan (timbangan amal) sebagaimana telah datang dalam hadits,
يُوزَنُ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلاَ يَزِنُ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ
“Seorang hamba akan ditimbang pada hari kiamat, maka ia tidak lebih berat dari sayap seekor nyamuk.”
Dan akan ditimbang pula amal perbuatan para hamba sebagaimana telah datang dalam atsar. Maka kita harus mengimani dan membenarkannya, berpaling dari orang-orang yang menolaknya dan meninggalkan perdebatan dengannya.
Dan bahwasanya Allah Tabaraka wa Ta’ala berbicara kepada manusia pada hari kiamat secara langsung. Tidak ada penerjemah antara mereka dengan Allah. Maka wajib beriman dan membenarkannya.
Beriman kepada haudh (telaga), dan bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memiliki telaga pada hari kiamat yang akan dikunjungi oleh umatnya.
Lebarnya sama seperti panjangnya, yaitu sejauh perjalanan satu bulan. Bejananya sebanyak bintang di langit, sebagaimana hadits-hadits yang shahih dari beberapa jalur periwayatannya.
Beriman kepada syafa’at Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan beriman kepada sekelompok orang yang akan dikeluarkan dari api neraka setelah mereka dibakar menjadi arang, lalu mereka diperintahkan untuk dimasukkan ke sungai yang berada di dekat pintu al-Jannah sebagaimana yang Allah kehendaki seperti yang diterangkan dalam atsar. Tugas kita hanyalah beriman dan membenarkannya.
Beriman bahwasanya al-Masih Dajjal akan muncul dan tertulis di antara kedua matanya “kafir”.
Juga beriman kepada hadits-hadits tentang Dajjal, dan meyakini bahwa hal itu pasti terjadi.
Beriman bahwasanya ‘Isa bin Maryam 'alaihissalam akan turun dan membunuh Dajjal di pintu Ludd.
Iman itu adalah ucapan dan perbuatan yang bisa bertambah dan berkurang sebagaimana datang penjelasannya dalam hadits,
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Seorang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling bagus akhlaknya.”
Dan hadits,
وَمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ فَقَدْ كَفَرَ
“Barangsiapa meninggalkan shalat, dia telah kafir”
Juga hadits,
لَيْسَ مِنَ الْأَعْمَالِ شَيْءٌ تَرْكُهُ كُفْرٌ إِلاَّ الصَّلاَة مَنْ تَرَكَهَا فَهُوَ كَافِرٌ وَقَدْ أَحَلَّ اللهُ قَتْلَهُ
“Tidak ada suatu amalan yang meninggalkannya adalah kekafiran selain daripada shalat. Barangsiapa meninggalkannya, ia kafir dan telah Allah halalkan untuk membunuhnya.”
Sebaik-baik umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar ash-Shiddiq kemudian ‘Umar bin al-Khaththab kemudian ‘Utsman bin ‘Affan. Kami mengedepankan mereka bertiga sebagaimana para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengedepankan mereka tanpa ada perselisihan di antara mereka.
Kemudian setelah mereka bertiga adalah ashabus syuro yang lima, yaitu Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa’ad. Mereka semua patut menjadi khalifah dan mereka adalah imam.
Kami berpendapat demikian berdasarkan hadits Ibnu Umar,
كُنَّا نَعُدُّ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيٌّ وَأَصْحَابُهُ مُتَوَافِرُونَ، أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانَ ثُمَّ نَسْكُتُ
“Kami dahulu menghitung secara berurutan ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masih hidup dan para sahabat masih banyak, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, kemudian kami diam (tidak melebihkan yang lainnya).”
Kemudian setelah ashabus Syuro adalah para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang mengikuti perang badar dari kalangan Muhajirin kemudian yang mengikuti perang badar dari kalangan Anshar sesuai kadar hijrah dan yang lebih dahulu masuk Islam (dari urutan yang pertama kemudian yang berikutnya).
Kemudian manusia yang paling utama setelah mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang hidup pada generasi yang beliau di utus kepada mereka. Semua orang yang menjadi sahabat beliau selama setahun, sebulan, sehari, sesaat, atau sekadar melihat beliau maka ia tergolong sahabat beliau shallallahu 'alaihi wasallam yang mendapat predikat shuhbah.
Tingkat shuhbahnya sesuai kadar senioritas, mendengar dan melihat beliau walau sekilas.
Tingkat kedudukan sahabat yang paling bawah masih lebih utama dari generasi yang tidak pernah melihat beliau shallallahu 'alaihi wasallam, walau pun mereka datang bertemu Allah dengan membawa pahala seluruh amalan.
Maka orang-orang yang menjadi sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, melihat beliau, mendengar dari beliau, melihat dengan mata kepalanya dan beriman kepada beliau walau pun sesaat, lebih utama dengan predikat shuhbahnya tersebut daripada para tabi’in walau pun mereka melakukan semua amal kebaikan.
(Di antara pokok-pokok sunnah adalah:)
Mendengar dan taat kepada para pemimpin dan penguasa kaum mukminin yang baik maupun yang jelek, dan juga kepada khalifah yang manusia bersatu dan ridha kepadanya.
Demikian pula (mendengar dan taat) kepada orang-orang yang melakukan kudeta dengan senjata hingga menjadi khalifah dan disebut sebagai Amirul Mukminin.
Berjihad bersama para pemimpin yang baik dan yang jelek hukumnya tetap berlaku sampai hari kiamat, tidak ditinggalkan.
Pembagian harta fai’ dan penegakan hukuman had diserahkan kepada para pemimpin. Hukum ini terus berlaku. Tidak ada seorang pun yang boleh mencela dan mencabut ketaatan dari mereka.
Dibolehkan menyerahkan harta sedekah kepada mereka. Barang siapa menyerahkannya kepada mereka, yang baik atau yang jelek, sedekahnya telah terlaksana.
Dibolehkan shalat jum’at dibelakang penguasa dan dibelakang orang-orang yang diangkat sebagai pemimpin*. Hukum ini terus berlaku. Dan shalatnya sempurna dua raka'at. Barangsiapa mengulangi shalatnya, dia seorang mubtadi’ yang meninggalkan atsar-atsar dan menyelisihi sunnah.
*(Ket: maksudnya adalah menjadi makmum bagi pemimpin, baik pemimpin itu bertakwa atau melakukan amalan kefasikan)
Dia tidak akan mendapatkan keutamaan shalat Jum’at jika tidak meyakini bolehnya shalat di belakang para pemimpin yang baik maupun yang jelek.
Maka yang sesuai sunnah adalah engkau shalat bersama mereka sebanyak dua raka’at dan engkau meyakini bahwa shalat itu telah sempurna dan tidak ada sedikit pun keraguan tentang hal tersebut di dadamu.
Barang siapa memberontak terhadap salah seorang pemimpin kaum muslimin yang manusia telah bersatu kepadanya dan telah mengakui kepemimpinannya, dengan cara apapun dia mendapatkan kepemimpinan tersebut, baik dengan cara yang diridhai atau dengan cara kudeta, maka orang yang memberontak tersebut telah memecah tongkat persatuan kaum muslimin dan menyelisihi atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Jika dia mati di atas perbuatannya tersebut, matinya seperti mati jahiliyah.
Tidak dihalalkan bagi siapa pun untuk memerangi penguasa dan keluar dari ketaatannya. Barang siapa melakukan hal tersebut, dia seorang mubtadi’ (pelaku bid'ah) yang tidak berjalan di atas sunnah dan jalan yang lurus.
Memerangi para perampok dan kaum khawarij adalah perkara yang dibolehkan jika ia mengganggu seseorang baik terkait dirinya atau hartanya. Dia boleh memeranginya untuk membela diri dan hartanya. Dia boleh membela diri dengan cara apa pun yang dia mampui.