Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

cinta rasul adalah bagian keimanan

8 tahun yang lalu
baca 4 menit

Cinta Rasul adalah Bagian Keimanan

cinta-rasul-tanda-keimanan
Source: geograph.org.uk

Setiap hamba mukmin yang telah mengikrarkan syahadatain “Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah” pasti tertanam dalam sanubarinya kecintaan kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila seorang hamba telah mantap dengan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, akan tersemailah benih cinta tersebut dalam kalbunya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga aku menjadi orang yang lebih dia cintai daripada ayahnya, anaknya, dan semua manusia.”
(HR. al-Bukhari no. 15 dan Muslim no. 45)

Kecintaan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bagian tak terpisahkan dari kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan:
“Kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk prinsip-prinsip keimanan.”
(Fathul Bari, al-Hafizh Ibnu Rajab, syarah hadits no. 14—15)

Wajib Mendahulukan Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya di atas Segala-galanya

Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya harus melebihi kecintaan terhadap segala sesuatu. Pada salah satu ayat-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala mengancam siapa pun yang lebih mencintai sesuatu daripada Allah dan Rasul-Nya.

Allah berfirman:

{قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ} [التوبة : 24]

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Apabila ayah-ayah kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
(at-Taubah: 24)
Bahkan, kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam harus melebihi cinta seseorang kepada dirinya sendiri!

Suatu ketika, Sayyidina ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Rasulullah:

يَا رَسُولَ اللهِ، لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: فَإِنَّهُ الْآنَ، وَاللهِ، لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْآنَ يَا عُمَرُ

“Wahai Rasulullah, sungguh, Anda lebih saya cintai daripada segala sesuatu kecuali diri saya.”
Rasulullah bersabda:
“Tidak, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, (seharusnya) sampai aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”
Umar pun segera menjawab:
“Sungguh, sekarang, demi Allah, Anda benar-benar lebih saya cintai daripada diri saya sendiri!”
Rasulullah bersabda:
“Sekarang, wahai ‘Umar, (imanmu telah sempurna).”
(HR. al-Bukhari no. 6632)


Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (w. 795 H) mengatakan:
“Maka dari itu, wajib mendahulukan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas (kecintaan) kepada diri sendiri, anak-anak, karib kerabat, keluarga, harta, tempat tinggal, dan hal-hal lain yang dicintai oleh manusia dengan puncak kecintaan.”
(Fathul Bari karya beliau)

Beliau juga mengatakan:
“Seorang mukmin tidak akan bisa menjadi mukmin yang sempurna imannya hingga benar-benar mengedepankan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas kecintaan kepada semua makhluk. Kecintaan kepada Rasul mengikuti kecintaan kepada Dzat yang mengutusnya (yakni Allah ).”
(Jami’ul ‘Ulul wal Hikam, 2/396, syarah hadits ke-41)

Sumber: https://telegram.me/Salafywonosobo
Oleh:
Atsar ID