BEGINI JADINYA BILA SALAH MEMAHAMI TAKDIR
Keimanan kepada takdir terbukti dapat membuahkan pengaruh yang baik terhadap keadaan hati seorang hamba yang menjadikannya ringan dalam menjalani kehidupan.
Hal tersebut dikarenakan, apabila seseorang beriman kepada segala ketentuan Sang Maha Kuasa maka ia akan bersyukur kepada-Nya ketika mendapatkan kesenangan , dan sebaliknya dia tidak menyesal atau sedih tatkala catatan takdir menentukan malapetaka kepadanya. Bahkan rasa tenang akan meliputi jiwa sehingga ia bisa melihat musibah sebagai sesuatu yang positif dan mengambil hikmah dari berbagai kejadian.
Namun nestapa bagi hamba yang tidak menggali lebih dalam dari makna iman kepada takdir, kesedihan dan kegundahan terus menerus menyelimutinya sehingga dibukakan segala pintu – pintu keburukan oleh syaithon yang membuatnya menuai benih- benih dosa disisi Robbal ‘alamin karena penentangan dan rasa tidak terimanya terhadap ketetapan Sang Khaliq.
Para pembaca yang dirahmati oleh Allah, berikut ini beberapa kesalahan dalam takdir berupa keyakinan, ucapan serta perbuatan yang sering terjadi di kalangan kaum muslimin. Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita dan kaum muslimin semuanya.
1. Meninggalkan sebab dan bersandar kepada catatan takdir
Ini adalah kesalahan dan kesesatan yang nyata karena mengambil sebab termasuk dari kesempurnaan iman kepada qodho dan qodar. Terdapat perintah didalam al-qur’an dan sunnah untuk seorang mengambil sebab-sebab yang dibolehkan dalam berbagai segi dari kehidupannya. Sebagaimana kita diperintah untuk bekerja dan mencari rizki, mempersiapkan bekal untuk safar dan yang lainnya. Allah berfirman :
فَاِذَا قُضِيَتُ الصَلاَةُ فَانْتَشِرُوْا فِي الْاَرْضِ وَابْتَغُوامِنْ فَضْلِ اللَهِ وَاذْكُرُاللَهَ كَثِيْرًا لَعَلَكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“ Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. al-Jumu’ah : 10)
Dan Allah berfirman memerintahkan untuk berbekal bagi orang – orang yang safar dalam haji :
وَتَزَوَدُوْا فَاِنَ خَيْرَ الزَادِ التَقْوَى
“ Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” ( QS.al-Baqoroh : 197 )
Dan Rasullulah bersabda : “ Bersungguh - sungguhlah atas apa yang bermanfaat bagimu,dan minta tolonglah kepada Allah, dan janganlah engkau lemah, apabila tertimpa sesuatu atasmu maka janganlah engkau mengucapkan : Seandainya aku melakukan ini niscaya ini dan itu,akan tetapi katakanlah : Qodarullah wa ma syaa a fa’al, karena ucapan “seandainya” membuka pintu syaithon.”(HR.Muslim no.2664)
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang hadits ini : “ Maka diperintah untuk bersemangat dalam hal yang bermanfaat bagi seseorang , dan meminta tolong kepada Allah, dan dilarang untuk lemah yaitu bersandar kepada takdir, kemudian diperintahkan pula apabila tertimpa sesuatu atasnya jangan ia putus asa dari apa yang telah luput,akan tetapi hendaknya ia melihat kepada takdir serta tunduk kepada perintah Allah,” ( Majmu’ Fatawa : 8/ 284 – 285)
Pribahasa Toraja (provinsi Sulawesi Selatan ) mengatakan: “ Mulut tidak terbuka sebelum keringat tumpah terlebih dahulu.” Artinya ; Rezeki tak akan datang dengan sendirinya sebelum yang bersangkutan bekerja keras.
2. Berhujjah ( beralasan ) takdir atas perbuatan maksiat
Sejatinya perbuatan ini adalah bentuk pengabsahan mazhab orang-orang kafir dimana Allah menceritakan tentang mereka dalam firman-Nya :
“ Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: "Jika Allah menghendaki, niscaya Kami dan bapak-bapak Kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) Kami mengharamkan barang sesuatu apapun." demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan kami. Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada kami?" kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.”
(QS. al-An’am : 148)
Mereka orang –orang musyrik berhujjah dengan takdir atas kesyirikan yang dilakukan , seandainya argumen itu benar dan diterima, niscaya Allah tidak membinasakannya, bahkan kalau saja behujjah dengan takdir itu dibolehkan tidaklah perlu untuk diutus para Rasul. Allah berfirman :
“ (mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS.an-Nissa : 165)
Seorang mukmin yang hakiki dalam keimanan tehadap qodho dan qodar berhujjah dengan takdir atas musibah-musibah yang digariskan Allah kepadanya, namun orang yang celaka selalu menyandarkan takdir atas aib yang mereka lakukan.
Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : “ Boleh berhujjah dengan takdir atas musibah yang melanda seorang seperti : kemiskinan, sakit, hilangnya teman dekat, bangkrut, membunuh jiwa tanpa sengaja, dan lain-lain bahkan ini merupakan bentuk kesempurnaan dalam ridho kepada Allah sebagai Rabbnya, maka boleh berhujjah ketika musibah namun tidak kepada aib, sebagaimana Allah berfirman:
“ Maka bersabarlah sesungguhnya janji Allah adalah benar dan minta ampunlah engkau kepada Allah.” (QS.ghafiir : 55 )
Hanyalah kecelakaan bagi orang yang gelisah saat musibah, lalu berhujjah dengan takdir atas keaibannya.”
(Majmu’ fatawa : 8/454 )
3. Mengucapkan “ Seandainya “ ketika datang musibah
Hal ini karena faktor kesedihan, kegundahan, gelisah, dan lemahnya iman kepada takdir yang membawanya untuk mentuturkan kalimat tersebut, seperti keadaan orang yang bangkrut, tertimpa paceklik, hilangnya jiwa dengan ucapannya :” Seandainya aku melakukan ini pasti akan begini atau sebaliknya tidak akan terjadi yang seperti ini andaikata aku tadi tidak melakukannya.”
Ucapan ini sangatlah jelas kekeliruannya, karena Allah memerintahkan manusia untuk tabah saat musibah dan mengucapkan istirja’ ( Inna lillahi wa inna ilahi rooji’un ) serta bertaubat kepada-Nya ketika musibah melanda, adapun “ Seandainya” tidak bisa diwujudkan sebagai penawar untuk pelipur lara dari kesedihan yang menimpa dan tidak pula dapat me-reka ulang catatan takdir melainkan hanya melahirkan penyesalan yang berlipat serta kegundahan disertai apa yang kita kuatirkan dari tauhidnya yaitu bentuk penentangan kepada takdir yang hampir seorang muslim tidak selamat dalam hal ini, - kecuali orang-orang yang rahmati oleh Allah - sebagaimana yang dikatakan Syaikh Sulaiman dalam kitabnya Taisir ‘Azizil hamid hlm.661.
Oleh karena itu Allah mengkabarkan kepada orang-orang munafiq tentang ucapannya :
الَذِيْنَ قَالُوْالاِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوْالَوْاَطَاعُوْنَامَاقُتِلُوْا
" Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: "Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh".(QS.ali-‘Imron : 168 )
Dan Allah membalas ucapan mereka dengan firman-Nya :
قُلْ فَادْرَءُواعَنْ اَنْفُسِكُمُ المَوْتَ اِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
"Katakanlah: "Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar".(QS.ali-‘Imron : 168)
4. Hasad ( dengki ).
Pada hakikatnya penyakit hasad ini adalah bentuk penentangan kepada takdir Allah yaitu dari sisi ketidakridhoannya kepada qodho dan qodar seolah-olah lisanul hal (jiwa) nya mengatakan : “ Si fulan telah diberi ini dan itu, padahal ia tidak berhak”. Maka seolah-olah dengan hasadnya ia “memiliki wewenang” membagi atau mengatur rahmat Allah kepada makhluk sesuai dengan seleranya yang rendah.
Sudah sepantasnya seorang mukmin untuk menghilangkan rasa dengki dari pemberian yang Allah anugrahkan kepada saudaranya karena keimanan kepada takdir menuntut seseorang untuk ia yakin bahwa tidaklah Allah memberi atau menahan sesuatu, melainkan semua dengan kekuasaan-Nya serta hikmah-Nya yang Maha agung.
Oleh karena itu dikatakan
“ Barang siapa yang ridho kepada ketentuan Allah maka ia tidak dengki kepada seorang pun, dan barang siapa yang merasa cukup dari pemberian Allah tidaklah dirasuki oleh hasad .”
( Al-Maawardi dalam kitabnya Adabu Dunnya Wa Diin hlm.269 )
5. Meninggalkan doa.
Yaitu dengan alasan bahwa Allah telah mengetahui kebutuhan hamba sebelum ia meminta kepada-Nya atau Allah akan memberi sesuai dengan kehendak-Nya tanpa harus seorang hamba berdoa kepada-Nya. Padahal doa merupakan perkara besar yang dengannya tertolak takdir dan terangkatlah musibah.
Sebagaimana Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam bersabda :
لاَيَرُدُ القَضَاءَ اِلاَ الدعَاءُ
" Tidak dapat menolak ketentuan Allah melainkan doa .” ( HR. Imam Ahmad dalam musnadnya 5/277, dihasankan oleh Syaikh al-Bani dalam shahih jami’ no.7687)
Berkata Syaikh Sholih ibnu Utsaimin : “Doa termasuk sebab yang dapat diperoleh bagi orang yang berdoa, dan pada kenyataannya dapat menolak takdir atau sebaliknya yaitu terdapat dua sisi. Sebagai contoh : orang yang sakit berdoa kepada Allah meminta kesembuhan, kemudian ia pun pulih. Maka pada sisi pertama ini kalaulah bukan karena doa niscaya penyakitnya tetap ada, hanya saja kita katakan bahwasannya Allah telah menentukan hal itu semua dengan perantara doa dan pada sisi pertama ini seorang akan menyangka kalaulah bukan karena doa penyakit tetap menjangkitinya.
Namun pada hakikatnya doa tidak menolak takdir (sisi kedua) ; karena doa sudah tertulis ,dan kesembuhan yang dengan sebab doa juga sudah tertera di lauhul mahfudz maka ini adalah pokok takdir yang semuanya sudah termaktub sebelum terjadi “
(Al-Majmu’ Ats-samin 1/157)
Sungguh Maha Besar Alloh yang telah menganugerahkan kepada kita akal untuk berfikir dan hati untuk memilih kebenaran diantara keburukan – keburukan yang banyak tersebar, maka dengan akal yang lurus dan hati yang bersihlah kita dapat menetukan dimanakah akan melangkah, apakah jalan orang – orang yang mengimani takdir dengan benar yang akan kita tempuh sehingga kebahagian dunia dan akhiratlah yang akan kita raih atau jalan orang – orang yang tersesat dalam kubangan kehinaan karena terus menerus mempertanyakan bahkan menentang segala ketentuan Yang Maha Kuasa
Sehingga kesempitan demi kesempitanlah yang senantiasa dirasakan dalam mengarungi hidup di dunia sebelum kesengsaraan yang akan ia rasakan di akhirat kelak karena menyelisihi syari’at Nya.
Dan kepada Alloh lah kita memohon agar termasuk dalam orang – orang yang tunduk terhadap ketetapan Nya. Wallohu a’lam.(Abul Fida' Teguh)
https://telegram.me/MultaqoIkhwahWalAshab