Pertanyaan,
بسم الله الرحمن الرحيم
Izin bertanya Ustadz. Apakah disyariatkan saat menjamak salat. Setelah salat yang pertama harus langsung melakukan salat yang kedua tanpa jeda dzikir atau yang lain?
Jawaban,
al-Ustadz Abu Fudhail 'Abdurrahman bin 'Umar hafizhahullah,
Jawaban dari pertanyaan ini, kembali kepada pembahasan apakah disyaratkan berurutan dalam menjamak dua salat? Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama:
1. Pendapat imam as-Syafi'i dan mayoritas ulama yaitu tidak boleh ada jeda, harus bersambung salat yang satu ke salat yang berikutnya. Al-Imam an-Nawawi berkata,
الْأَمْرُ الثَّالِثُ)الْمُوَالَاةُ وَالْمَذْهَبُ الصَّحِيحُ الْمَنْصُوصُ لِلشَّافِعِيِّ وَقَطَعَ بِهِ الْمُصَنِّفُ وَالْجُمْهُورُ اشْتِرَاطُهَا
"Perkara ke tiga adalah berurutan. Mazhab yang benar bagi al-Imam asy-Syafi'i dan penulis serta pendapat mayoritas ulama adalah disyaratkan berurutan langsung" (Al-Majmū', 4/375).
Pendapat ini dipilih oleh syekh Ibnu Utsaimin dan syekh Abdulaziz ibnu Baz. Namun berurutan di sini bukan berarti tidak ada senggang walaupun sedikit saja, jika sedikit senggangnya tidak mengapa yakni seukuran seseorang minum dan yang semisalnya. Syekh Abdulaziz ibnu Baz berkata,
ما يضر لو تكلم أو قام لحاجة أو شرب أو أكل ما يضر شيئا.
"Tidak mengapa jika dia berbicara, menunaikan kebutuhan, minum, atau makan. Tidak mengapa" (Fatāwā Nūrun 'alā ad-Darb, 13/97).
Yang jelas, waktu sedikit ini dikembalikan kepada kebiasaan setempat, apa saja yang terhitung sebentar menurut kebiasaan tempat masing-masing, maka teranggap. Syekh Ibnu Baz berkata,
الواجب في جمع التقديم الموالاة بين الصلاتين ولا بأس بالفصل اليسير عرفا لما ثبت عن النبي ﷺ في ذلك،
"Yang wajib dalam jamak taqdim adalah langsung berurutan antara dua salat. Tidak mengapa ada jeda sedikit sesuai dengan kebiasaan setempat karena itulah yang shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam" (Majmū' al-Fatāwā, 12/295).
Atas dasar ini, maka zikir-zikir setelah salat, dibaca setelah selesai salat yang kedua. Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata,
إذا جمع بين الصلاتين فهل يكفيهما ذكر واحد، أو لكل صلاة ذكر؟ الظاهر أنه يكفي ذكر واحد؛ لأنهما عبادتان من جنس واحد،فيكتفى بأحدهما عن الآخر، وإن سبح بهذه الصلاة تسبيحه المعتاد ولهذه تسبيحه المعتاد؛ فهو أحسن.
السائل: معروف أن الذكر بعد صلاة المغرب أطول من الذكر بعد صلاة العشاء؟ الشيخ: يأتي بالذكر الأكثر، يعني: يذكر الله عشر مرات، ويسبح، ويخلط بينهما، وكله ذكر ولا بأس.
"Apabila seseorang menjamak di antara dua salat, apakah cukup baginya salah satu saja dari zikirnya atau masing-masing salat mengucapkan zikir? Yang nampak adalah salah satu mencukupi. Karena kedua salat tersebut merupakan dua ibadah dari satu jenis, maka tercukupkan dengan salah satunya saja. Namun, jika dia berzikir untuk salat ini zikir yang biasanya dan salat ini zikir yang biasanya, tentu lebih baik."
Penanya:
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa zikir setelah magrib lebih panjang dari zikir setelah isya'?
Asy-Syaikh menjawab,
"Dia tetap mengucapkan zikir yang lebih panjang tersebut yakni dia membaca zikir yang 10 kali, bertasbih dan mencampurkan kedua zikirnya. Semuanya zikir dan tidak mengapa." (Liqā' al-Bāb al-Maftūh, 7/44).
2. Pendapat al-Imam Ahmad dan dipilih oleh syeikhul islam, yakni tidak mengapa jika ada jedah walaupun lama. Syeikhul islam ibnu Taimiyyah berkata,
وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ لَا تُشْتَرَطُ الْمُوَالَاةُ بِحَالٍ لَا فِي وَقْتِ الْأُولَى وَلَا فِي وَقْتِ الثَّانِيَةِ؛
"Pendapat yang benar adalah tidak disyaratkan berurutan langsung dalam keadaan bagaimana pun, tidak di waktu pertama dan tidak pula di waktu yang kedua" (Majmū' al-Fatāwā, 24/54).
Syeikhul islam juga mengatakan dalam kesempatan lain,
أَنَّ ذَلِكَ مِنْ كَلَامِهِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْجَمْعَ عِنْدَهُ هُوَ الْجَمْعُ فِي الْوَقْتِ وَإِنْ لَمْ يُصَلِّ إحْدَاهُمَا بِالْأُخْرَى كَالْجَمْعِ فِي وَقْتِ الثَّانِيَةِ عَلَى الْمَشْهُورِ مِنْ مَذْهَبِهِ وَمَذْهَبِ غَيْرِهِ وَأَنَّهُ إذَا صَلَّى الْمَغْرِبَ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا وَالْعِشَاءَ فِي آخِرِ وَقْتِ
الْمَغْرِبِ- حَيْثُ يَجُوزُ لَهُ الْجَمْعُ - جَازَ ذَلِكَ وَقَدْ نَصَّ أَيْضًا عَلَى نَظِيرِ هَذَا فَقَالَ: إذَا صَلَّى إحْدَى صَلَاتَيْ الْجَمْعِ فِي بَيْتِهِ وَالْأُخْرَى فِي الْمَسْجِدِ فَلَا بَأْسَ. وَهَذَا نَصٌّ مِنْهُ عَلَى أَنَّ الْجَمْعَ هُوَ جَمْعٌ فِي الْوَقْتِ لَا تُشْتَرَطُ فِيهِ الْمُوَاصَلَةُ
"Ini merupakan ucapan al-Imam Ahmad dan ucapan beliau ini menunjukkan bahwa menjamak menurut beliau, menjamak pada waktunya walaupun tidak menyambung salat salah satunya dengan yang lainnya seperti menjamak di waktu yang kedua, ini mazhab beliau yang masyhur dan juga mazhab selain beliau. Apabila seseorang salat Magrib di awal waktunya dan salat Isya' di akhir waktu magrib, hal itu dibolehkan, dan sungguh beliau telah menyebutkan yang semisal ini, beliau berkata, apabila seseorang mengerjakan dua salat yang dijamak di rumahnya dan yang satunya dikerjakan di masjid, hal ini tidak mengapa, ini adalah pendapat beliau yaitu jamak itu adalah menjamak di waktunya sehingga tidak disyaratkan untuk bersambung" (Majmū al-Fatāwā, 24/52).
Dan pendapat ini adalah pendapat yang kuat dari dua pendapat ini karena tidak ada batasan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terkait tentang waktu menjamak. Syeikhul islam berkata,
فَإِنَّهُ لَيْسَ لِذَلِكَ حَدٌّ فِي الشَّرْعِ وَلِأَنَّ مُرَاعَاةَ ذَلِكَ يُسْقِطُ مَقْصُودَ الرُّخْصَةِ
"Sesungguhnya tidak ada batasan di dalam syariat tentang hal ini. Karena ketika seseorang mengharuskan bersambung antara salat yang satu dengan yang kedua, hal itu tentu menggugurkan tujuan dari keringanan dalam syariat ini" (Majmū' al-Fatāwā, 24/54).
Bahkan syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin sendiri mengakui bahwa pendapat ini adalah pendapat yang kuat. Beliau berkata,
وقد ذكر شيخ الإِسلام رحمه الله نصوصاً عن الإِمام أحمد تدل على ما ذهب إليه من أنه لا تشترط الموالاة في الجمع بين الصلاتين تقديماً كما أن الموالاة لا تشترط بالجمع بينهما تأخيراً كما سيأتي، والأحوط أن لا يجمع إذا لم يوالِ بينهما، ولكن رأي شيخ الإِسلام له قوة.
"Dan sungguh syeikhul islam rahimahullah telah menyebutkan dari al-Imam Ahmad yang menunjukkan pendapat beliau, yaitu tidak disyaratkan berurutan langsung dalam menjamak di antara dua salat baik jamak takdim maupun jamak takhir. Yang lebih hati-hati adalah jangan seseorang menjamak jika tidak berurutan langsung di antara keduanya. Namun, pendapat syeikhul islam ini adalah pendapat yang kuat" (Asy-Syarh al-Mumti', 4/400).
Maka atas dasar ini, yang afdal adalah langsung melanjutkan ke salat yang kedua karena itulah yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan boleh setelah menjamak salat pertama, seseorang berzikir terlebih dahulu hingga selesai kemudian melanjutkan salat yang kedua, atau setelah melakukan salat yang pertama, melakukan kegiatan yang lain kemudian melanjutkan salat yang kedua selama masih dalam satu waktu. Adapun jika imam langsung menjamak ke salat yang kedua,maka zikir kedua salat tersebut dilakukan setelah salat yang kedua. Boleh jika sekadar zikir istigfar dan Allahumma antassalam wa min ka as-Salaam tabaarakta yaa dzaljalaali wal ikraam karena waktunya ketika mengucapkan zikir ini tidak lama menurut kebiasaan.
Wallahua'lam
📃 𝐒𝐮𝐦𝐛𝐞𝐫: 𝐌𝐚𝐣𝐦𝐮'𝐚𝐡 𝐚𝐥-𝐅𝐮𝐝𝐡𝐚𝐢𝐥
✉️ 𝐏𝐮𝐛𝐥𝐢𝐤𝐚𝐬𝐢: https://t.me/TJMajmuahFudhail