Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

andai agama dengan akal semata

10 tahun yang lalu
baca 8 menit
akal menurut syariat
Terkadang dalam cuaca dingin yang ekstrem atau suasana perjalanan jauh, kita merasa berat untuk
melepas khuf (sepatu tipis terbuat dari kulit sebagai pelapis sepatu/kaos kaki atau semisalnya). Islam sebagai ajaran yang luhur lantas memberikan kemudahan. Cukup diusap bagian atasnya sebagai penggaknti cuci kaki ketika berwudhu. Mudah sekali, bukan?

Akan tetapi, kenapa bagian atasnya yang diusap? Kenapa bukan bagian bawah khuf yang diusap? Bukankah bagian bawah adalah bagian yang kotor, bukan bagian atas?

Pertanyaan seperti di atas pernah juga muncul di masa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Al Imam Abu Dawud (no 162) meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaih wasallam mengenai hal ini. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu mengatakan:

“Andai agama dengan akal, tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap dibanding bagian atasnya. Akan tetapi, sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaih wasallam  mengusap bagian atas kedua khuf beliau.”
Andai agama dengan akal? Namun Islam membimbing kita untuk tidak menjadikan akal sebagai sumber hukum. Tidak memosisikan akal sebagai alat penentu baik buruk, benar atau salah. Islam mengharuskan kita untuk menjadikan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai sumber hukum.

Lihat dan resapilah katakata Ali bin Abi Thalib di atas! Akal mesti dipinggirkan dan dibuang jauh-jauh jika telah berada di hadapan dalil. Bagaimana mungkin akal didahulukan, sementara Rasulullah melakukan sesuatu yang berbeda dengan akal? Salahkah dalil? Bukan! Akal lah yang salah! Mengapa akal yang patut disalahkan? Karena tidak semua hal dapat dijangkau oleh akal.

Asy Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad (Syarah Sunan Abi Dawud) menyatakan,
“Ucapan ini adalah atsar (ucapan shahabat) yang agung. Atsar yang menunjukkan sikap ittiba’ (mengikuti Sunnah Nabi). Atsar ini membimbing kita untuk mengikuti Sunnah dan tidak menjadikan akal sebagai sumber hukum.”
"Seorang muslim tidak boleh memberi celah kepada akal untuk menentang hukum-hukum syar’i. Akan tetapi, kewajiban seorang muslim adalah mencurigai akalnya dan mengikuti dalil naqli. Bukan sebaliknya, menjadikan akal sebagai sumber hukum dan mencurigai dalil naqli.” 
Apakah masih tersisa keraguan? Apakah masih ingin mempertanyakan hukum-hukum syari’at? Apakah masih belum yakin bila hukum-hukum Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah mutlak bersifat benar? Curigailah akal kalian, bukannya mencurigai agama!

Umar bin Khaththab dan Hajar Aswad 

Pembaca Tashfiyah tentu pernah mendengar atau membaca kisah Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu mencium Hajar Aswad. Sebagai salah satu bentuk manasik haji, mencium Hajar Aswad dianjurkan bagi yang mampu melakukannya tanpa harus berdesak-desakan.

Nah, ketika itu Umar bin Khaththab berkesempatan untuk mencium Hajar Aswad. Apa yang beliau ucapkan saat itu?

”Sesungguhnya, aku mengetahui jika engkau hanyalah sebongkah batu, tidak dapat memberikan madharat atau manfaat. Kalau bukan karena aku pernah melihat Nabi shallallahu 'alahi wasallam menciummu, tidak akan aku menciummu.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim]

Cerita dari Umar ini menunjukkan akan kesempurnaan sikap tunduk dan taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Hikmah dibalik itu semua jelas atau tidak, yang terpenting adalah mengikuti Sunnah Rasulullah. Pelaksanaan ibadah tidak hanya terbatas pada ibadah yang dipahami hikmahnya. Sebab ilmu dan akal manusia sangatlah terbatas.

Al Imam An Nawawi (Syarah Shahih Muslim) menjelaskan bahwa Umar mncium hajar aswad lalu mengucapkan katakata di atas sebagai bentuk motivasi kepada umat agar mengikuti dan meneladani
Rasulullah.

Al Imam At Thabari berkata,
”Tujuan Umar mengucapkan kata-kata tersebut karena saat itu ada orang-orang yang baru saja meninggalkan peribadatan patung, maka Umar khawatir jika ada orang jahil yang menyangka amalan mengusap Hajar Aswad termasuk bentuk mengagungkan batu, sebagaimana orang-orang Arab melakukannya di masa jahiliyah.”

Beliau melanjutkan, “Umar ingin mengajarkan kepada umat bahwa mengusap Hajar Aswad
adalah sikap mencontoh Nabi , bukan karena Hajar Aswad dapat memberikan madharat atau manfaat secara dzatnya, seperti orang-orang jahiliyah meyakininya terhadap berhala.”

Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan,
”Pernyataan Umar ini menunjukkan sikap tasliim (menerima sepenuh hati) kepada penetap syari’at dalam masalah agama dan mengikuti dengan baik di dalam hal yang tidak diketahui maknanya. Kaidah ini adalah kaidah penting di dalam meneladani perbuatan Rasulullah, meskipun hikmahnya tidak diketahui.”
Sikap Umar yang amat mengagungkan Sunnah Rasulullah adalah sikap seluruh sahabat tanpa
terkecuali. Tidak ada seorang pun di antara shahabat yang mempertanyakan perintah Nabi atau wahyu dari langit. Tanpa ragu tanpa maju mundur, mereka bersegera menyambut seruan dari Allah dan Rasul-Nya. Inilah sikap seorang muslim.

Tunduklah Kepada Wahyu! 

Kira-kira enam belas atau tujuh belas bulan lamanya Rasulullah dan para shahabat shalat dengan menghadap Baitul Maqdis sebagai kiblat. Selama itu Rasulullah sering menghadapkan wajah ke arah
langit, berharap arah kiblat diubah. Beliau menginginkan Ka’bah sebagai kiblat kaum muslimin.

Lalu Allah menurunkan firman-Nya:
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Rabb-nya; dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa
yang mereka kerjakan.” [Q.S. Al Baqarah :144]

Sejak ayat ini diturunkan, kiblat kaum muslimin telah resmi diubah ke arah Ka’bah. Apakah perubahan semacam ini bisa diterima oleh masyarakat Madinah secara umum ketika itu? Saat itu kaum muslimin masih hidup bersama dengan kaum kafir dan munafikin di kota Madinah?
Bagaimana sikap mereka?

Kaum musyrikin mengira,”Muhammad sudah kembali menghadap ke kiblat kita. Mungkin sebentar lagi ia akan kembali ke agama kita.” Sementara kaum Yahudi menyatakan, “Muhammad telah
menyelisihi kiblat para Nabi sebelumnya. Kalaulah benar Muhammad seorang Nabi, pasti ia akan menghadap ke kiblatnya para Nabi.”

Adapun kaum munafikin dengan nada ejekan menyebarkan isu, “Muhammad bingung harus
menghadap kemana. Kalau kiblat pertama benar, maka ia telah meninggalkan kebenaran. Jika
kiblat kedua yang benar, berarti sebelumnya ia berada di atas kebatilan.”

Kaum muslimin? Kaum beriman yang berkeyakinan bahwa semua aturan itu datangnya dari Allah.
Dia-lah yang berhak menentukan aturan, mereka dengan tegas menyatakan sikap, “Sami’naa wa atha’naa.” sebagaimana Allah gambarkan dalam surah Ali Imran ayat ke tujuh.

Apakah Mereka Meragukan Hal Ini?

Banyak hal telah diragukan bahkan didustakan oleh para pemuja akal. Peristiwa-peristiwa
gaib adalah yang paling sering menjadi obyek mereka. Adzab kubur atau nikmatnya. Peristiwa-peristiwa besar di hari kiamat kelak pun dipertanyakan oleh mereka.

Bagaimana mungkin kubur seorang mukmin dibuat lapang sejauh mata memandang? Bagaimana
bisa kulit, tangan, kaki dan anggota tubuh manusia bisa berbicara? Apa manfaatnya surga dan neraka yang telah diciptakan saat ini, sementara manusia belum dibangkitkan?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini sering menggelayuti benak seorang muslim yang belum mencapai derajat istislam kaamil (menerima sepenuh diri). Akal kita tidak dapat menjangkau yang seperti itu. Apalagi jika berbicara tentang takdir atau sifat-sifat Allah, sekian banyak orang tersesat karenanya. Kenapa? Ia mendahulukan akalnya daripada menerima sepenuh diri. Bukankah Allah
maha berbuat sesuai kehendak-Nya? Bukankah Allah yang berhak mengatur dan menentukan?Bukankah Allah Maha Mampu untuk melakukan apa saja? Innahu ‘ala kulli syai’in qadir.

Suatu ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah. Katanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa orang kafir kelak pada hari kiamat dibangkitkan dengan kepala berada di bawah (posisi terbalik)?”
Dan inilah jawaban Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (hadits Anas bin Malik riwayat Al Bukhari dan Muslim)

“Bukankah Dzat yang telah membuatnya berjalan dengan dua kaki saat di dunia juga mampu membuatnya berjalan dengan kepala pada hari kiamat kelak?”
Subhanallah!
Sabda Rasulullah di atas adalah penawar segala tanya. Benar! Allah maha mampu untuk melakukan apa saja yang Dia kehendaki. Tidak ada yang sulit bagi-Nya. Maka akidah dan keyakinan kita,
sebagai umat Islam, seperti yang dikatakan oleh Al Imam Qatadah (seorang perawi hadits di atas)

بَلَى، وَعِزَّةِ رَبِّنَا
“Benar! Allah maha mampu, demi kemuliaan Rabb kita!”

Seperti Inilah Menghadapi Kaum Pemuja Akal 

Pembaca Tashfiyah, barakallahu fik.
Barangkali pembaca pernah menemui atau akan menemui
orang-orang semacam itu. Lantas bagaimanakah cara menghadapinya? Adakah langkah singkat
dan “menggigit” untuk menaklukkan para pemuja akal?

Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu, seribu tahun lebih yang lalu telah menerangkan kepada
kita tentang cara menghadapi mereka. Inilah jurus ampuh dari Umar bin Khaththab!
“Waspadalah kalian dari para pemuja akal! Sungguh, mereka adalah musuh-musuh Sunnah. Mereka dibuat tidak mampu oleh hadits-hadits Nabi sehingga tidak mampu menghafalnya. Akhirnya mereka pun berpendapat berdasarkan akal. Sehingga mereka tersesat dan menyesatkan.”
Jelas sekali, bukan? Untuk menghadapi para pemuja akal, cukup bacakan saja hadits-hadits
Rasulullah. Sabda-sabda beliau yang telah termaktub di dalam karya-karya hadits adalah jurus
jitu untuk menaklukkan mereka.

Kalau begitu apa kesimpulannya? Belajar dan belajar. Pelajari hadits-hadits Nabi Muhammad dan hafalkan.Barangkali hari ini manfaatnya belum terasa. Namun yakinlah, suatu saat nanti hasil dari belajar Islam berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah akan pembaca Tashfiyah rasakan manisnya.

Semangat belajar! Semangat thalabul ilmi! Agar tidak termakan oleh akal rancu atau menjadi korban para pemuja akal. Ya Allah curahkanlah istiqamah untuk kami hingga akhir hayat. Allahumma amin
[Al Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifai]

Di sadur dari Majalah Tashfiyah Edisi 34, 2014
Oleh:
Atsar ID