AGAR DADA TERASA LAPANG
Oleh : Al Ustadz Abu Hamid Fauzi bin Isnaini
Bila Allah menghendaki seseorang untuk mendapatkan hidayah, niscaya Dia akan lapangkan dadanya untuk berislam.
Dan siapa yang Allah kehendaki menempuh jalan kesesatan, dadanya akan dijadikan sempit dan sesak. Ia seperti seorang yang tersengal-sengal karena mendaki bukit terjal~
Ciri Orang yang Berbahagia dan Sengsara
Sesungguhnya Allah telah terangkan dalam Al Quran bahwa ciri hamba yang berbahagia adalah dada yang lapang untuk menerima sepenuhnya ajaran Islam. Qalbunya bersinar dengan cahaya iman dan keyakinan. Hidupnya tenang dengan jiwa yang selalu mencintai kebajikan dan ingin beramal shalih.
Hidupnya damai dengan manisnya iman dan lezatnya beribadah kepada Ar-Rahman. Tiada rasa berat. Tidak pula malas dan bosan. Itulah hamba yang telah meraih hidayah. Mendapat taufik untuk meniti jalan kebenaran.
Adapun ciri manusia celaka adalah dada yang sempit dan sesak seperti terhimpit. Benci dengan ilmu. Anti dengan iman berikut cabangnya. Tidak ada dalam qalbunya keyakinan terhadap kebenaran. Justru tenggelam dalam lautan syahwat dan kebodohan.
Kebaikan apapun tidak pernah sampai. Qalbunya menampik. Saking beratnya qalbu tersebut untuk menerima kebenaran dan kebaikan, serasa dipaksa untuk naik ke langit. Sebuah pekerjaan yang tidak akan mampu dijalani.
Nabi Muhammad adalah Manusia yang Paling Luas Dadanya
Saudaraku, tiada yang bisa menepis kenyataan bahwa manusia yang paling berbahagia adalah beliau baginda Nabi. Sebab beliaulah orang yang paling lapang dadanya. Allah, Dialah yang telah melapangkan dada beliau dengan wahyu.
Allah berfirman:
(أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ (1) وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ (2) الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ (3
"Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu?" [Q.S. Asy Syarh:1-3]
Bahkan, jauh sebelum turun wahyu, ketika usia belum genap lima tahun, datang menghampiri beliau dua malaikat yang membawa sebuah bejana dari emas. Penuh bejana itu berisi zamzam yang berbarakah.
Dalam keriangan bersama anak-anak dusun dan gembalanya, secara tiba-tiba kedua malaikat itu memegangnya, lalu merebahkan dan membelah dada. Malaikat itu mengambil jantung beliau, lalu dicuil segumpal darah hitam, yang ternyata tempat mangkal syaithan pada qalbu.
Setelah dicuci, jantung itu dengan zamzam, maka dipasanglah seperti sedia kala, lalu dada itu dijahitnya. Maha suci Allah! Sejak peristiwa pembelahan dada itu, Allah selalu menjaga beliau sehingga terus di atas fitrah yang sempurna, hingga diangkat menjadi Nabi dan Rasul.
Dua Macam Ketetapan yang Menuntut Kelapangan Jiwa
Pembaca yang dirahmati Allah, Nabi kita adalah orang yang paling lapang dadanya. Paling luas qalbunya. Oleh sebab itu, beliau paling menerima ketetapan Allah. Baik ketetapan takdir ataupun ketetapan syariat.
Ketetapan takdir maksudnya adalah musibah. Baik itu menimpa diri, keluarga, maupun harta. Baik itu berupa rasa takut, lapar, dan dahaga. Atau kekurangan bahan pangan, kekeringan, kekurangan harta, dan kematian jiwa. Semua dihadapi dengan sabar, syukur, dan ridha.
Ketetapan syariat juga sulit dijalani bila tidak ada kelapangan qalbu. Sebab ketetapan syariat selalu menyelisihi hawa nafsu. Allah memerintahkan berbagai amal kebajikan. Namun nafsu cenderung ingin menjauhi dan meninggalkan. Kalaupun dikerjakan, rasa malas terus menyerangnya, sehingga kebajikan itupun tidak disempurnakan.
Sebaliknya, bagi yang berdada lapang ia akan bersemangat menjalankan perintah itu. Bahkan mengidamkan untuk segera bertemu. Contoh saja perintah shalat berjamaah. Allah berfirman tentang orang yang qalbunya berpenyakit:
وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ
"Dan jika mereka berdiri untuk menjalankan salat, mereka berdiri dengan rasa malas." [Q.S. An Nisa':142]
Adapun orang-orang yang Allah bersihkan qalbunya, dilapangkan dadanya, akan menyambut seruan adzan dengan penuh sukacita. Bahkan beberapa saat sebelum adzan, ia telah menghentikan aktivitasnya, bersuci dan mengambil posisi di shaf-shaf terdepan pertanda bahwa ia betul-betul rindu dengan-Nya.
جُعِلَتْ قُرُّةُ عَيْنِيْ فِى الصَّلاَةِ
Nabi bersabda: "Dijadikan penyejuk mataku dalam shalat." [H.R. Ath Thabarani dari shahabat Al Mughirah bin Syu'bah, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami']
Begitu pula seruan untuk bersedekah, berjihad di jalan-Nya, dan semua ketetapan syariat yang berupa perintah. Selalu bertentangan dengan nafsu. Jika dada lapang, niscaya nafsu akan terkalahkan.
Perintah yang berat akan jadi ringan. Namun bila dada sesak, nafas seakan menjadi penghalang. Perintah yang enteng baginya menjadi beban.
Menyikapi Larangan
Ketentuan syariat ada pula yang berupa larangan. Larangan dari perbuatan yang di cenderungi oleh hawa nafsu. Larangan dari zina dan mendekatinya, larangan dari khamr, larangan dari riba, dsb.
Kebanyakan manusia gandrung dengan hal-hal ini. Hawa nafsunya cocok. Karena itu, jika ada seseorang sempit, ia pasti berat meninggalkan. Lain halnya dengan orang yang telah Allah lapangkan dadanya, dengan ringan hal-hal itu ditepisnya.
Yusuf 'alaihi salam
Kita jadi teringat dengan sejarah Nabi Yusuf. Bagaimana ia bisa selamat dari perzinaan, sementara gerbang-gerbangnya terbuka begitu lebar di depan mata. Yusuf saat itu hanyalah seorang pelayan dari penguasa Mesir.
Bahkan ia sesungguhnya adalah anak pungut yang dijual- belikan dengan harga murah. Di dalam rumah penguasa inilah Yusuf lalu di besarkan dan dimuliakan.
Saat itu Yusuf telah menjadi sosok pemuda yang gagah. Wajahnya tampan berkilat laksana malaikat. Di kediaman sang tuan inilah ia diajak berzina oleh istri tuanya sendiri. Istri seorang penguasa yang tentu berwajah jelita.
Dengan pakaian serta dandanan yang mendidihkan gejolak muda, wanita itu menawarkan segala keindahan dan kenikmatan kepadanya. Dengan rayuan yang mematikan, ia ajak Yusuf untuk melakukan apa saja.
Di ruangan terkunci. Tidak seorang pun bakal memergoki. Di sebuah negeri yang asing, jauh dari orang-orang yang mengenali. Dirayu oleh wanita cantik yang telah membesarkannya, di bawah ancaman penjara atau sangsi fisik jika tidak melayani. Sungguh detik-detik yang menegangkan. Musibah di atas musibah.
Hampir saja Yusuf terjerumus dalam jebakan syaithan, seandainya ia tidak dilapangkan dadanya oleh Allah. Dengan kelapangan itulah, Yusuf lebih utamakan cinta kepada Allah daripada bujuk rayu syaithan.
Menyikapi Takdir
Adapun kelapangan dada terhadap ketetapan takdir diwujudkan dengan ridha. Tenang dan berbaik sangka kepada Allah atas takdir yang menimpanya. Ia menyadari bahwa dirinya hanyalah seorang hamba. Sedangkan Allah, Dia berhak berbuat apa saja sekehendak-Nya.
Orang yang semacam ini, akan bahagia kehidupannya. Sakit, pahit, memang hal biasa. Namun hal itu tidak mengantarnya menjadi kegundahan. Tidak pula tenggelam dalam sedih yang berkepanjangan.
Sekali lagi, Nabi kita adalah orang yang mendapat bagian terbesar dalam kelapangan dada. Dialah orang yang paling bertakwa. Orang yang paling bertahan dan bersabar dalam menjalankan syariat Allah.
Dan dialah orang yang paling bersabar dalam menjalani takdir-Nya. Lihatlah bagaimana buruk perlakuan manusia kepada beliau tatkala mendakwahkan tauhid. Bagaimana pula sakit yang beliau derita.
Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Mas'ud bahwa rasa sakit beliau dua kali lipat dari rasa sakit yang menimpa manusia biasa. Bahkan ketika beliau meregang nyawa, menghadapi kematian, beliau merasakan sakit yang sangat, sampai terpisah ruh yang suci itu dari jasadnya.
Marilah kita berdoa kepada Allah dengan doa yang dipanjatkan Nabi Musa:
رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي
"Ya Allah, lapangkanlah dadaku dan permudahlah urusanku." [Q.S. Thaha:25-26]. Amin ya robbal 'alamin.
Sumber : Majalah Qudwah edisi 7/2013M Hal.25
|
Agar Dada Terasa Lapang |