Dua kalimat syahadat: asyhadu an laa ilaha illallahu wa asyhadu anna muhammadarrasulullah
Memiliki konsekuensi yang harus terwujudkan. Seorang muslim tidak cukup hanya mengikrarkannya saja, tetapi dituntut untuk memenuhi segala konsekuensi tersebut.
Syahadat yang pertama berkonsekuensi menafikan seluruh yang diibadahi selain Allah subhanahu wa ta'ala sekaligus menetapkan peribadahan hanya untuk-Nya semata.
Adapun syahadat kedua berkonsekuensi :
- taat pada perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
- membenarkan setiap berita beliau,
- menjauhi semua larangan beliau, dan
- beribadah kepada Allah hanya dengan syariat yang beliau ajarkan.
Semakin jauh seseorang dari perwujudan konsekuensi ini, ia pun semakin jauh dari hakikat Islam. Parahnya, apabila terlepas dari konsekuensi ini, ia pun terjatuh dalam pembatal keislaman, murtad keluar dari Islam.
Maka sangat penting kiranya kita mengetahui contoh nyata pembatal Islam, agar kita bisa menjaga diri darinya, sekaligus menjaga orang-orang tercinta di sekitar kita. Apalagi pembatal tersebut jenisnya sangat banyak, bentuknya pun beragam. Sebagian jelas dan gamblang, kebanyakannya
samar, tidak kelihatan. Para ulama dalam kitab-kitab mereka telah menuliskan pembatal keislaman, di
antaranya adalah berikut ini:
1. Menyekutukan Allah dalam peribadahan kepada-Nya.
Hal ini berlawanan dengan konsekuensi syahadat yang pertama. Berharap, meminta, bergantung, berdoa, menyembelih, istighatsah, dan semua bentuk ibadah hanya boleh dipersembahkan kepada
Allah 'azza wa jalla. Ketika sedikit saja peribadahan diperuntukkan kepada selain Allah, berarti
telah keluar dari daerah Islam.
2. Menjadikan sesuatu sebagai perantara dalam berdoa kepada Allah, tetapi justru pada hakikatnya berdoa dan memohon kepada si perantara, meminta syafa’at, dan bersandar kepadanya.
Fenomena seperti ini banyak terjadi di kuburan orang yang dianggap sebagai wali. Bahkan tidak jarang disertai dengan i’tikaf atau bersemedi di sana, menangis memohon, mengusap-usap kuburan tersebut, dan perilaku lainnya yang mengesankan perendahan diri. Padahal, Allah telah mengingatkan dalam firman-Nya yang artinya,
“Dan barang siapa berdoa kepada sesembahan yang lain selain Allah, padahal tidak ada suatu keterangan pun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” [Q.S. Al
Mukminun:117].
Poin ini sebenarnya masuk pada poin pertama. Hanya saja, ditegaskan dan disebutkan tersendiri karena jamaknya hal ini di tengah masyarakat.
3. Tidak mengkafirkan orang musyrik, ragu terhadap kekafiran mereka, atau membenarkan apa yang mereka anut.
Hal ini bertentangan dengan konsekuensi syahadat yang pertama, di mana kita dituntut untuk tegas mengingkari segala bentuk kekafiran dan pelakunya. Selain itu, agama ini telah jelas. Siapa yang ragu, maka tidak sejalan dengan firman Allah yang artinya,
“…sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada thaghut (yang diibadahi selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka mesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus...” [Q.S. Al Baqarah:256].
Perhatikan pula sikap tegas teladan kita berikut ini, Allah abadikan dalam Al Quran yang artinya,
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya. Ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari kekafiran kalian serta telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian untuk selamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja.” [Q.S. Al Mumtahanah:4].
4. Keyakinan bahwa ada selain petunjuk Nabi Muhammad shlallallahu 'alaihi wasallam yang lebih sempurna, atau menyakini bahwa berhukum dengan selain hukum beliau lebih baik.
Sikap semacam ini secara tidak langsung menggugurkan syahadat yang kedua. Karena persaksian bahwa beliau sebagai utusan adalah meyakini kemudian tunduk patuh terhadap kesempurnaan
petunjuk beliau. Tidak ada yang menandinginya karena datang dari Allah. Bahkan dalam salah satu ayat-Nya, Allah bersumpah bahwa tidak beriman siapa saja yang tidak berhukum dengan beliau. Arti ayat tersebut,
“Maka demi Rabbmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikanmu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [Q.S. An Nisa:65].
Ini menunjukkan bahwa bimbingan beliau paling bagus, paling sempurna, paling bermanfaat untuk siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.
5. Membenci ajaran yang dibawa oleh Rasulullah walaupun ia amalkan ajaran tersebut.
Allah berfirman yang artinya,
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah, lalu Allah menggugurkan amal-amal mereka.” [Q.S. Muhammad:9].
Maksud apa yang Allah turunkan adalah Al Quran sekaligus hadits Rasulullah karena keduanya adalah wahyu yang datang dari Allah.
6. Merendahkan atau menghina sesuatu dalam agama Islam.
Allah berfirman yang artinya,
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?’ Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian telah kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kalian (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” [Q.S. At Taubah:65,66].
Maka melecehkan Islam atau bersenda gurau dalam Islam, meski hanya agar orang lain menertawakan ajaran Islam adalah haram. Bahkan bisa jadi pelakunya menjadi kafir sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas.
7. Melakukan praktik sihir.
Allah berfirman yang artinya,
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaithan-syaithan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir). Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaithan-syaithan lah yang kafir (mengerjakan sihir).” [Q.S. Al Baqarah:102].
Dalam ayat ini Allah menyebut orang yang melakukan sihir sebagai orang yang kafir. Karena dalam
sihir terdapat kerja sama dengan jin, yang sebelumnya ada pendekatan diri kepada jin tersebut. Dalam ritual inilah hampir tidak lepas dari penghambaan diri dengan memenuhi berbagai syarat yang diajukan oleh jin.
8. Menolong orang musyrik dalam memerangi kaum muslimin.
Allah berfirman yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-wali kalian. Sebahagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai walinya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [Q.S. Al Maidah:51].
Menjadikan wali maksudnya berloyal kepada mereka, termasuk membela mereka dalam memusuhi kaum muslimin karena kecintaan dengan ajaran mereka. Sikap seperti ini adalah sikap kekafiran karena Allah menyebutkan dalam ayat di atas bahwa siapa yang demikian itu maka termasuk
golongan mereka, yaitu sama-sama kafir.
9. Meyakini bolehnya keluar dari syariat Islam.
Allah berfirman yang artinya, “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima agama itu darinya. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [Q.S. Ali Imran:85].
Keluar dari syariat agama ini berarti beragama dengan agama lain. Sedangkan Allah tidak menerima
agama selain Islam. Maka meyakini bolehnya keluar dari syariat Islam sama dengan menentang ayat di atas.
10. Berpaling dari agama Islam, tidak mempelajari, dan mengamalkannya.
Allah berfirman yang artinya,
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian ia berpaling darinya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” [Q.S. As Sajdah:22].
Pertanyaan dalam ayat di atas disebut dengan ‘istifham inkari’ atau retorik. Yaitu, pertanyaan yang jawabannya sudah pasti. Tidak ada kezaliman yang lebih besar dari pada kekafiran. Maka
sikap seperti ini berarti masuk dalam wilayah kekafiran.
Apa yang disebutkan dalam ruang yang terbatas ini adalah hukum secara umum, bahwa perbuatan tersebut merupakan tindakan kekafiran. Adapun memvonis individu tertentu yang melakukan
salah satu atau lebih dari poin ini butuh pendalaman lebih lanjut.
Mengkafirkan perorangan menuntut pengkajian yang seksama. Karena mengkafirkan terhadap seseorang berarti memastikannya sebagai penduduk neraka. Sedangkan hal ini adalah mutlak wewenang Allah. Rasulullah pun mewanti-wanti dalam hadits beliau yang artinya,
“Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya, maka hal itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya.” [H.R. Muslim dari shahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu].
Maksudnya kembali kepada salah satu dari keduanya’ adalah jika yang menuduh benar, maka kekafiran akan kembali kepada yang dituduh, namun bila salah maka kekafiran akan kembali kepada yang menuduh. Jadi, mengkafirkan orang tertentu harus didasari ketakwaan kepada Allah serta melewati tahapannya. Terutama yang berkaitan tentang terpenuhinya syarat pengkafiran sekaligus hilangnya penghalang pengkafiran.
Demikian tulisan ringkas yang disarikan dari kitab Nawaqidhul Islam, semoga bermanfaat.
[Farhan]
***
Di kutip dari Majalah Tashfiyah Edisi 14 Vol 2 th. 1433/2014