Ustadz, bagaimana hukumnya berziarah ke makam para wali?
085273xxxxxx
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Alhamdulillah, ziarah kubur memang ada yang bersifat syar’i, ada yang bersifat bid’ah, dan ada yang bersifat syirik. Namun pada umumnya, ziarah kubur banyak mengandung bid’ah, bahkan kesyirikan, terkhusus ziarah kubur tertentu yang diklaim sebagai wali-wali Allah subhanahu wa ta’ala.
Maka dari itu, seorang muslim wajib mengetahui syariat Islam dalam masalah ziarah kubur agar beramal dengan benar dan terjaga dari kebid’ahan serta kesyirikan.
Menilik sejarah Islam, di awal mula datangnya Islam, ziarah kubur dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai keislaman dan keimanan kaum mukiminin benar-benar kokoh lantas kemudian disyariatkan.
Buraidah bin al-Hushaib radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur, maka ziarahlah (sekarang).” (HR. Muslim)
Pada riwayat at-Nasa’i dengan lafadz,
“Aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur. (Sekarang) barang siapa ingin ziarah kubur, hendaknya melakukannya dan jangan mengucapkan ucapan yang batil.” (Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Ahkam al-Jana’iz hlm. 227)
An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam kitab al-Majmu’ (5/285), “Mulanya kaum mukminin dilarang ziarah kubur karena masa keislaman mereka masih dekat dengan masa jahiliah, sehingga terkadang mereka mengucapkan ucapan jahiliah yang batil.
Ketika telah kokoh kaidah-kaidah Islam dan telah terbentang hukum-hukumnya serta telah masyhur lambang-lambangnya, saat itulah diizinkan dilakukan ziarah kubur. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhati-hati dengan bersabda, ‘Dan jangan mengucapkan ucapan yang batil’.”
Keterangan an-Nawawi rahimahullah ini dinukil dan dibenarkan oleh al-Albani dalam Ahkam al-Jana’iz (hlm. 227).
Al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan dalam asy-Syarh al-Mumti’ (5/379), “Pada awalnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ziarah kubur, karena kaum muslimin baru saja lepas dari kekufuran dan kesyirikan, sehingga beliau khawatir ziarah kubur akan menjadi wasilah (sarana) terjadinya kesyirikan. Oleh karena itu, tatkala keimanan telah mengakar dalam kalbu-kalbu kaum muslimin, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan ziarah kubur.”
Menurut pendapat yang rajih (kuat), ziarah kubur disunnahkan bagi kaum lelaki dan wanita, tetapi bagi kaum wanita tidak boleh sering melakukannya.
Ziarah Kubur yang Bersifat Syar’i
Ziarah kubur yang syar’i ialah ziarah kubur yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sunnahnya yang suci nan mulia.
Sifat-sifatnya adalah:
Ziarah kubur disyariatkan dengan dua tujuan, yaitu:
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari mereka apabila keluar ziarah ke perkuburan (agar membaca), ‘Semoga keselamatan tercurah atas kalian wahai para penghuni kuburan dari kalangan kaum mukminin dan muslimin, sesungguhnya kami akan menyusul kalian, insya Allah, aku memohon keselamatan buat kami dan kalian’.” (HR. Muslim)
Demikian pula hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap kali di malam giliran ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, biasa keluar di akhir malam ke perkuburan Baqi’, kemudian membaca, ‘Semoga keselamatan tercurah atas kalian, wahai para penghuni kuburan kaum mukminin. Telah datang kepada kalian apa yang dijanjikan buat kalian. Kalian ditunda sampai esok di akhirat (pemberian pahala kalian secara sempurna). Sesungguhnya kami akan menyusul kalian, insya Allah. Ya Allah, ampunilah para penghuni perkuburan Baqi’ al-Gharqad’.” (HR. Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menziarahi kuburan ibunya lantas beliau menangis dan membuat menangis orang-orang di sekelilingnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku minta izin kepada Rabbku untuk memohonkan ampunan buat ibuku, tetapi tidak diizinkan. Aku meminta izin pula untuk menziarahi kuburannya, dan aku diizinkan. Oleh karena itu, ziarahlah kalian ke kuburan, sebab kuburan-kuburan itu akan mengingatkan kematian.” (HR. Muslim)
Ziarah kubur yang syar’i ada dua macam:
Hal ini seperti yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits Buraidah radhiallahu ‘anhu dan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha di atas, pada sifat yang pertama.
Caranya adalah mendatangi perkuburan lantas berdiri di depan perkuburan, kemudian mengucapkan salam kepada mereka dan berdoa untuk kebaikan mereka sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
seperti yang ditunjukkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu di atas, pada sifat yang pertama.
Hanya saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diizinkan berdoa dan beristighfar untuk ibunya karena ia meninggal dalam keadaan kafir. Caranya adalah mendatangi kuburan yang dituju lantas berdiri atau duduk di sisi kuburan bagian kepalanya dengan menghadap ke kuburan, kemudian mengucapkan salam dan berdoa untuknya,
“Ya Allah, ampuni dan rahmati dia, beri dia keselamatan dan maafkan dia.”
Peziarah mendoakan untuk yang dikubur doa apa saja yang diinginkan, kemudian meninggalkan kuburan itu.[1]
Ziarah kubur disyariatkan dilakukan setiap saat tanpa ada pembatasan waktu tertentu. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya secara mutlak tanpa pembatasan waktu tertentu.
Dengan demikian, tidak boleh mengkhususkan waktu tertentu untuk melakukan ziarah kubur. Penentuan waktu khusus dalam melakukan ziarah kubur tergolong bid’ah yang tercela.
Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam kitab Majmu’ Fatawa war Rasa’il (17/288), “Ziarah kubur tidak terbatas hanya di waktu-waktu tertentu, tetapi disunnahkan dilakukan kapan saja dari hari-hari yang ada dalam sepekan, siang atau malam.”
Al-Imam Ibnu Baz rahimahullah mengatakan dalam kitab Majmu’ al-Fatawa (13/336), “Yang disyariatkan adalah ziarah kubur kapan saja ada kesempatan, baik siang hari atau malam hari. Adapun pengkhususan waktu tertentu untuk ziarah kubur, hal itu tergolong bid’ah yang tidak ada dasarnya.”
Di antara kebid’ahan yang terjadi dalam hal ini adalah pengkhususan ziarah kubur di hari Jum’at, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Baz. Begitu pula, pengkhususan ziarah kubur di Hari Raya (hari ‘Id), sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Baz dan Ibnu ‘Utsaimin.[2]
Al-‘Utsaimin juga berkata dalam kitab Syarhu Riyadh ash-Shalihin, Bab “Istihbab Ziyarah al-Qubur”, “Intinya, semestinya seseorang melakukan ziarah kubur setiap saat, di malam dan siang hari, di pagi dan sore hari, di hari Jum’at dan hari lainnya, tidak ada waktu khusus.
Setiap kali kalbumu lalai dan jiwamu larut dengan kehidupan dunia, ziarahlah ke kuburan dan renungkanlah nasib mereka yang telah mati itu. Kemarin mereka seperti kalian, masih makan, minum, dan bersenang-senang di muka bumi. Sekarang, ke mana mereka pergi? Mereka tergadaikan dengan amalan-amalan mereka.
Tidak ada yang bermanfaat buat mereka selain amalan-amalan yang telah mereka persembahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ada tiga yang mengiringi mayat (ke kuburan), dua di antaranya akan kembali dan hanya satu yang akan tinggal bersamanya. Yang mengiringinya adalah keluarga, harta, dan amalannya. Keluarga dan hartanya akan kembali, hanya amalannya yang akan tinggal bersamanya.”[3]
Maka dari itu, renungkan nasib orang-orang mati itu, kemudian ucapkan salam atas mereka, kemudian doakan mereka sebagaimana yang telah diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika kamu tidak mengetahui doa yang diajarkan tersebut, berdoa saja dengan apa yang mudah bagimu.”
Syariat ziarah kubur bersifat umum meliputi seluruh kuburan kaum muslimin. Tidak ada pengkhususan terhadap kuburan tertentu yang diistilahkan sebagai kuburan wali.
Al-Imam Ibnu Baz menerangkan dalam kitab Majmu’ al-Fatawa (7/422), “Wajib bagi kaum muslimin mengikat diri dengan syariat yang suci dan waspada dari bid’ah dalam hal ziarah kubur dan selainnya. Ziarah kubur disyariatkan terhadap seluruh kuburan kaum muslimin, baik yang dinamakan sebagai wali maupun tidak. Sebenarnya, setiap orang beriman, pria atau wanita, adalah wali Allah subhanahu wa ta’ala.”
Bahkan, boleh ziarah kuburan orang kafir dengan tujuan untuk mengambil pelajaran (‘ibrah), yaitu mengingat kematian. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ziarah kuburan ibunya yang kafir. Namun, tidak boleh mengucapkan salam dan mendoakannya.[4]
Ziarah kubur disyariatkan terhadap kuburan yang berlokasi di daerah setempat tanpa memerlukan safar. Tidak boleh dilakukan safar secara khusus untuk ziarah kubur. Sebab, safar untuk ziarah kubur adalah bid’ah tercela yang tidak pernah diamalkan oleh kaum salaf.
Terdapat larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidaklah diikat (dipasang) pelana-pelana unta itu untuk safar (kunjungan ibadah) selain menuju tiga masjid: Masjidil Haram, masjidku ini (Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsha.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dan Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu)
Makna hadits ini adalah tidak diperbolehkan melakukan safar menuju masjid mana pun atau tempat mana pun yang diyakini memiliki keistimewaan (keutamaan) dengan tujuan melakukan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala padanya, selain tiga masjid ini.[5]
Makna hadits ini umum meliputi tempat permakaman (kuburan) siapa pun, termasuk makam Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun.
Hanya saja, saat seseorang berkunjung ke Madinah dengan niat mengunjungi Masjid Nabawi karena keutamaannya, lantas dia manfaatkan pula untuk ziarah kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dua sahabat terdekatnya (kuburan Abu Bakr radhiallahu ‘anhu dan ‘Umar radhiallahu ‘anhu), perkuburan Baqi’, perkuburan syuhada’ Uhud, dan Masjid Quba.
Artinya, tujuan inti yang diniatkan adalah ziarah (mengunjungi) Masjid Nabawi, sedangkan ziarah ke Masjid Quba dan kuburan-kuburan tersebut mengikut secara hukum lantaran sedang berada di tempat itu.
Ini pendapat terkuat dalam masalah ini yang telah dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Baz, Ibnu ‘Utsaimin, al-Albani, dan Muqbil al-Wadi’i.[6]
Dengan demikian, jika kuburan kerabat terdekat kita, seperti ayah dan ibu, berada di tempat lain yang membutuhkan safar, tidak boleh safar untuk menziarahinya. Cukup dengan mendoakannya dari jauh, dan sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala Mahadekat lagi Maha Mengabulkan doa. Demikian fatwa Ibnu ‘Utsaimin.[7]
Ziarah Kubur yang Bersifat Bid’ah & Menjadi Wasilah/Sarana Kesyirikan
Ini adalah ziarah kubur dengan tujuan untuk beribadah di sisi kuburan, seperti membaca al-Qur’an, berdoa kepada Allah, shalat, menyembelih di sisi kuburan, atau semisalnya. Tidaklah hal itu dilakukan kecuali karena adanya keyakinan bahwa beribadah di tempat itu punya keutamaan.
Ini adalah wasilah/sarana yang akan menyeret kepada penyembahan terhadap penghuni kuburan itu, yang merupakan syirik besar.
Ziarah Kubur yang Bersifat Syirik Besar yang Membatalkan Keislaman
Yaitu ziarah kubur dengan tujuan untuk menyembahnya, seperti mengusap kuburan untuk mencari barakah dari penghuninya, dengan berdoa meminta sesuatu kepada penghuni kubur, memohon kelapangan rezeki, memohon pertolongan agar diselamatkan dari marabahaya yang mengancam, memohon kemenangan atas musuh, menyembelih untuk penghuni kubur, bernazar untuk penghuni kubur, mendekatkan diri kepada penghuni kubur, atau semisalnya.
Ini semisal dengan amalan kaum musyrik di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Lata, ‘Uzza, dan Manat, serta berhala-berhala lainnya yang dipertuhankan selain Allah subhanahu wa ta’ala dan disembah untuk mendekatkan diri kepadanya selain Allah subhanahu wa ta’ala.[8]
Ibnu Baz rahimahullah berkata dalam Majmu’ al-Fatawa (13/291—292), “Haram atas seseorang mencari barakah dari orang mati atau kuburannya, berdoa kepadanya selain Allah subhanahu wa ta’ala, memohon kepadanya agar dipenuhi kebutuhannya, minta kepadanya kesembuhan bagi yang sakit, atau semacamnya.
Sebab, ibadah adalah murni hak Allah subhanahu wa ta’ala saja, sedangkan meminta barakah termasuk salah satu ibadah. Allah subhanahu wa ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang memberi barakah, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Mahaagung lagi Mahabarakah Dia yang telah menurunkan atas hamba-Nya agar menjadi pemberi peringatan bagi alam semesta.” (al-Furqan: 1)
“Mahaagung lagi Mahabarakah Dia yang di Tangannya seluruh kekuasaan dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (al-Mulk: 1)
Maknanya, Allah subhanahu wa ta’ala mencapai puncak keagungan dan keberkahan. Adapun hamba Allah subhanahu wa ta’ala, dia berbarakah jika Allah subhanahu wa ta’ala menunjukinya, memberinya kesalehan, dan menjadikannya bermanfaat kepada hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala lainnya. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang hamba dan rasul-Nya, Nabi ‘Isa bin Maryam ‘alaihissalam,
“Nabi ‘Isa berkata, ‘Sesungguhnya aku adalah hamba Allah yang diberi kitab oleh-Nya dan Dia menjadikanku sebagai nabi. Dia menjadikanku berbarakah di mana saja aku berada’.” (Maryam: 30—31)
Demikian Ibnu Baz menerangkan masalah ini. Hal ini semakin jelas dengan hadits Abu Waqid al-Laitsi radhiallahu ‘anhu,
Kami keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Hunain sedangkan kami baru saja masuk Islam—mereka masuk Islam pada Fathu Makkah. Kemudian kami melewati sebuah pohon, lantas berkata, “Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka punya Dzatu Anwath!”
Adalah orang kafir memiliki pohon bidara yang mereka berdiam di sekelilingnya dan menggantungkan senjata-senajata mereka padanya. Mereka menyebutnya Dzatu Anwath.
Tatkala kami mengatakan demikian kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Allah Mahabesar (pada riwayat at-Tirmidzi: Mahasuci Allah), kalian telah mengatakan—Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya—sebagaimana kata Bani Israil kepada Nabi Musa, ‘Buatkan untuk kami Tuhan sebagaimana mereka punya tuhan-tuhan. Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kalian kaum yang jahil.’ (al-A’raf: 138)
Sungguh, kalian akan menempuh jalan umat-umat sebelum kalian.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah—dan lafadz ini adalah riwayatnya—dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Zhilal al-Jannah no. 76)
Al-‘Allamah Shalih al-Fauzan mengatakan dalam kitab I’anah al-Mustafid Syarh Kitab at-Tauhid (1/216), “Dengan demikian, barang siapa mencari barakah dari sebuah batu, pohon, atau kuburan, berarti dia telah menjadikannya sebagai tuhan yang disembah Allah subhanahu wa ta’ala, meskipun pelakunya beranggapan itu bukan tuhan.
Istilah yang dibuat tidak bisa mengubah hakikat sebenarnya. Jika suatu perbuatan syirik diberi istilah tawasul, cinta orang saleh, menunaikan hak orang saleh, kami katakan bahwa istilah-istilah itu tidak bisa mengubah hakikat yang sebenarnya.”
Wallahul muwaffiq ila sawa’is sabil. Wallahu a’lam.
[1] Lihat kitab Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin (17/288—289) dan Majmu’ Fatawa Ibni Baz (13/339).
[2] Lihat kitab Majmu’Fatawa Ibni Baz (13/336, 337) dan Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin (17/287).
[3] Muttafaq ‘alaih dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.
[4] Lihat kitab Syarhu Muslim li an-Nawawi (7/Kitab al-Jana’iz, bab “Isti’dzan an-Nabiyyi shallallahu ‘alaihi wa sallam”), Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim (hlm. 454), Ahkam al-Jana’iz (hlm. 2237—239), dan Majmu’ Fatawa Ibni Baz (13/298 & 337).
[5] Lihat pada kitab FathulBari (Kitab al-Jum’ah pada bab “Fadhl ash-Shalah fi Masjid Makkah wal Madinah”) dan Fath Dzil Jalali wal Ikram (pada syarah hadits ini).
[6] Lihat kitab Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim (hlm. 455—457) dengan ta’liq al-‘Utsaimin, Ahkam al-Jana’iz (hlm. 285—293), Manasik al-Hajj wal ‘Umrah li al-Albani (hlm. 56), Majmu’ Fatawa Ibni Baz (13/327), Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin (17/293—294), al-Manhaj li Murid al-‘Umrah wal Hajj li Ibni ‘Utsaimin (hlm. 31—34), dan Ijabatus Sa’il (hlm. 145).
[7] Lihat kitab Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin (17/290).
[8] Lihat keterangan tentang ziarah bid’ah dan ziarah syirik tersebut dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Baz (13/287—288, 301) dan Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin (17/291).