Asysyariah
Asysyariah

zakat tidak sama dengan pajak

13 tahun yang lalu
baca 11 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)

 

Syahadat, mengucapkan kesaksian:

لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ

“Tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah.”

merupakan rukun yang mendasar, sekaligus hal yang wajib bagi setiap muslim. Nabi n memulai dakwahnya dengan hal itu setelah diangkat menjadi rasul. Mendakwahkan kalimat tersebut dan meninggalkan berbagai perbuatan syirik, berbagai bentuk penyembahan kepada berhala atau selain Allah l. Allah l berfirman:

“Wahai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah.” (Al-Muddatstsir: 1-4)

Nabi n menyerukan dakwah kepada tauhid dari awal pengangkatannya sebagai rasul oleh Allah l. Kalimat syahadatain tersebut merupakan dasar bagi tegaknya agama Islam. Demikian pula para rasul Allah l yang lain, mereka semua memulai dakwahnya dengan mengajak manusia kepada tauhid, mengesakan Allah l dan meninggalkan kesyirikan.

Adapun rukun kedua, dari rukun Islam, yaitu shalat. Difardhukan untuk menegakkan shalat ketika memasuki masa sebelum hijrah. Lantas, setelah hijrah ke Madinah, diwajibkan zakat dan puasa di bulan Ramadhan. Ini terjadi pada tahun ke-2 dari hijrah. Kemudian difardhukan haji pada tahun ke-9 setelah hijrah. Dengan demikian, sempurnalah rukun Islam. Maka, tatkala Rasulullah n berhaji, pada tahun ke-10 setelah hijrah, turunlah ayat:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)

Zakat merupakan ibadah maliyah (ibadah dalam wujud menyerahkan harta). Disebut zakat, karena secara bahasa berarti التَّطْهِيرُ   وَالنَّمَاءُ suci dan tumbuh yaitu mensucikan atau membersihkan orang yang berzakat dari kotoran dosa, sikap kikir dan bakhil. Juga membersihkan harta dari yang telah dikeluarkan tersebut. Disebutkan tumbuh, karena zakat tersebut akan menumbuhkan harta dan menjadi sebab tumbuhnya berkah.

Rasulullah n bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

“Sedekah itu tidak akan mengurangi dari harta (yang dimiliki seseorang).” (HR. Muslim no. 2588, dari Abu Hurairah z)

Maka, zakat atau sedekah tidaklah akan menjadi penyebab berkurangnya harta seseorang. Justru, dengan berzakat atau bersedekah, harta seseorang akan bertambah dan semakin bertambah keberkahannya. Harta itu akan tumbuh berkembang. Meskipun, secara lahiriah saat seseorang menyedekahkan atau membayar zakat, harta yang ada padanya berkurang, namun hakikatnya harta itu justru tumbuh, bertambah, membawa berkah, dan bersih suci.

Allah l berfirman:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.” (At-Taubah: 103)

Selain itu, zakat bisa membantu para fakir dan miskin. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki kecukupan nafkah. Karenanya, saudara-saudara mereka yang terbilang memiliki harta lebih, mengulurkan bantuan dan menutupi kebutuhan para fakir dan miskin. Allah l berfirman:

“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (Al-Ma’arij: 24-25)

Itulah zakat yang disediakan bagi orang-orang tertentu yang mereka memiliki hak untuk memperolehnya. Dalam ayat lain, Allah l berfirman:

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (Adz-Dzariyat: 19)

Zakat merupakan rukun yang amat ditekankan setelah syahadatain dan shalat. Barangsiapa mengingkari kewajiban berzakat, maka dia telah kafir dan diminta bertaubat. Maka bertaubat dan meyakini bahwa perkara tersebut merupakan hal yang wajib adalah kemestian, jika tidak dihukumi sebagai orang murtad dan dihukum bunuh. Adapun terhadap orang-orang yang meyakini perihal kewajiban berzakat (hukum zakat itu wajib), akan tetapi enggan membayar atau menunaikan kewajiban tersebut lantaran bakhil dan kikir, maka zakatnya boleh diambil secara paksa oleh pihak pemerintah. Pihak pemerintah mengambil secara paksa lantaran harta zakat tersebut merupakan hak fakir miskin yang merupakan kewajiban yang mesti ditunaikan oleh para wajib zakat.

Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq z telah memerangi orang-orang yang enggan untuk menunaikan zakat sepeninggal Rasulullah n. Saat pernyataan hendak memerangi orang-orang yang membangkang tak mau tunaikan zakat dikemukakan, sempat memicu para sahabat lainnya, seperti Umar bin Al-Khaththab z, untuk mempertanyakan kebijakan khalifah tersebut. Umar bin Al-Khaththab z bertanya kepada khalifah, “Wahai khalifah Rasulullah, bagaimana mungkin engkau akan memerangi orang yang bersyahadat bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan sementara itu mereka pun orang-orang yang shalat?”

Kemudian Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq z pun menjawab, “Demi Allah, seandainya mereka membangkangiku (dengan cara tidak mau menunaikan zakat) meski hanya dengan seutas tali, padahal mereka dulu pernah menunaikannya kepada Rasulullah n, niscaya aku akan tetap memerangi mereka. Aku akan tetap memerangi orang-orang yang memisahkan antara shalat dan zakat. Sungguh Rasulullah n telah bersabda, ‘Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Maka, bila mereka mengucapkan hal itu, terpeliharalah dariku darah dan harta mereka kecuali dengan haknya.’ Sungguh zakat termasuk bagian haknya.” (HR. Al-Bukhari no. 1399 dan Muslim no. 20)

Maksudnya, zakat merupakan hak yang tak terpisahkan dengan syahadat لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، مُحَمَّدٌ رَسُولُ الله

Mendengar penjelasan demikian, para sahabat pun merasa puas dan mereka pun mengetahui bahwa Allah l telah menurunkan kebenaran atas lisan Abu Bakr Ash-Shiddiq z. Kata Umar bin Al-Khaththab z, “Demi Allah, tiadalah yang ada pada dia (Abu Bakr Ash-Shiddiq z) kecuali bahwasanya Allah l telah melapangkan dada Abu Bakr Ash-Shiddiq z. Maka, aku telah mengetahui sungguh dia itu benar.” (HR. Al-Bukhari no. 1399)

Lantas para sahabat pun bersepakat untuk memerangi mereka dan menghukumi para pembangkang zakat sebagai orang-orang murtad hingga mereka mau membayar zakat kepada khalifah yang terbimbing dan mau tunduk terhadap hukum Islam.

Zakat merupakan perkara yang teramat agung di sisi Allah l. Zakat termasuk salah satu kebaikan-kebaikan yang ada pada Islam. Melalui zakat, salah satunya, kebaikan (Islam) itu nampak begitu nyata. Karena dalam ajaran zakat terkandung pesan moral untuk bersikap lemah lembut terhadap para fakir, miskin, dan orang-orang yang memerlukan bantuan. Melalui syariat zakat ini, terpintal hikmah kokohnya jalinan distribusi harta dari para hartawan kepada para fakir yang membutuhkan. Hingga orang-orang yang tidak mampu secara finansial bisa dibantu melalui dana jaminan sosial (istilah sekarang) yang terkumpul melalui penggalangan zakat. Inilah salah satu hikmah adanya zakat. Karena sesungguhnya, harta yang dimiliki seseorang senyatanya merupakan pemberian dari Allah l. Bukan atas dasar kemampuan, kekuatan, atau kepandaian yang dimilikinya. Tapi, harta itu semata-mata dari Allah l. Lantaran itulah, Allah l memfardhukan kepada orang-orang yang berharta untuk menyerahkan hak saudara-saudara mereka yang tergolong fakir. Yaitu, berupaya menyedekahkan harta yang telah mereka dapatkan. Allah l berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 254)

Orang-orang yang telah menyerahkan sebagian rezeki mereka adalah orang-orang yang telah dijanjikan mendapat balasan yang baik. Bagi mereka disediakan keutamaan dan karunia dari Allah l. Firman-Nya:

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 261)

Selain itu, tak ada pada jiwa orang-orang kaya, yang membayarkan zakat dengan ikhlas karena Allah l, perilaku mengungkit-ungkit pemberian kepada orang-orang fakir dan bersikap takabur (sombong) kepada mereka. Karena harta yang diserahkan tersebut bukanlah darinya, tetapi merupakan kewajiban yang telah Allah l bebankan atas dirinya untuk ditunaikan. Allah l berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (Al-Baqarah: 264)1

Kini, di era arus peralihan ilmu teknologi demikian kencang, sebagian kaum muslimin mulai gencar menaburkan agama bertitik tekan pada logika. Walaupun sebenarnya cara pandang memahami Islam semacam ini tidaklah terlalu baru –kalau tidak dikatakan sebagai hal yang telah usang– karena cara pandang memahami agama seperti itu telah dilakukan pendahulunya dari kalangan Mu’tazilah. Khusus dalam menyoroti masalah zakat, ada kalangan yang menyamakan zakat dengan pajak. Seseorang yang telah menyerahkan pajak diyakini telah menunaikan zakat. Melalui kajian hermeneutika terhadap ayat-ayat zakat dalam Al-Qur’an, lantas membuat kesimpulan bahwa zakat sama dengan pajak. Hermeneutika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani hermeneuine dan hermenia yang berarti menafsirkan dan penafsiran. Penamaan hermeneutika sendiri tidak lepas dari nama dewa Hermes (Hermeios), yaitu dewa dalam mitologi Yunani kuno yang merupakan anak Zeus dan Maia. Dewa Hermes dikaitkan dengan hermeneutika lantaran dia utusan Zeus yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan Zeus yang masih samar ke dalam bahasa yang bisa dipahami manusia. Dengan demikian, hermeneutika secara bahasa memiliki pengertian menafsirkan atau memberi takwil, yang mengungkapkan arti suatu kata atau teks. Hermeneutika dibakukan sebagai ilmu, metode, dan teknik memahami pesan atau teks pada abad 18 M. Awalnya merupakan bentuk studi terhadap tafsir Bibel (Biblical Hermeneutics) lantas meluas menjadi metode untuk mengkaji semua kondisi apa saja yang memungkinkan lahirnya penafsiran atau takwil yang betul –menurut dugaan mereka- terhadap satu teks atau kata. (Lihat Agar Tidak Menjadi Muslim Liberal, Qomar Su’aidi ZA, Lc, hal. 456-457 dan Zakat=Pajak, Kajian Hermeneutika Terhadap Ayat-ayat Zakat dalam Al-Qur’an, Achyar Rusli, hal. 28)

Kini, metode ini sedang gencar dibiuskan ke tengah kaum muslimin dalam menerapkan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an atau memaknai satu hadits. Sehingga dengan metode ini, diharapkan muncul satu pemahaman “Islam” yang baru yang keluar dari sistem pemahaman para ulama terdahulu. Melalui metode ini direkayasa sedemikian rupa untuk lahir sebuah tafsir baru dalam agama. Metode hermeneutika sangat getol dipompakan ke tubuh umat Islam oleh kalangan Jaringan Islam Liberal (JIL).

Menurut mereka, pajak sebagai pungutan yang berdasarkan undang-undang dalam pengertian sempit memang hasil proses pemikiran manusia. Namun, kalau dilihat dalam arti yang lebih luas secara hermeneutika atau takwil menurut nash Al-Qur’an dalam Al-Baqarah: 31, dalam konteks ‘allama Adama al-asma’ dalam pengertian Adam adalah manusia yang diajari nama-nama oleh Allah l. Pajak sebagai suatu kata adalah suatu nama yang diajarkan-Nya juga. Sehingga pada batas kesimpulan hubungan zakat dengan pajak, mereka katakan bahwa zakat itu adalah pajak, pajak itu adalah zakat, lain sebutan tapi arti sama.

Pemahaman mereka pun diiringi pula adanya kesamaan dalam sistem zakat dan pajak. Misal, dalam zakat ada istilah muzakki (orang yang menyerahkan zakat) dalam pajak ada istilah wajib pajak, ada jenis-jenis zakat demikian pula ada jenis-jenis pajak, ada kadar zakat (nishab) begitu pula dalam pajak ada batas minimum pengenaan pajak, dalam zakat ada haul juga dalam pajak ada periode pengenaan pajak. (Zakat=Pajak, hal. 109, 160)

Inti dari pemahaman mereka adalah berupaya menalarkan titik persamaan antara zakat dengan pajak secara paksa, sehingga bila disimpulkan, zakat adalah pajak dan pajak adalah zakat, lain sebutan tapi sama arti. Tentu, hal ini merupakan kesimpulan yang teramat sangat dipaksakan. Sebuah hasil pemikiran manusia yang sangat rancu dan batil. Apalagi kesimpulan tersebut dibangun dari sebuah metode hermeneutika yang sebatas menjelaskan dari sisi pesan, teks, atau kata. Tanpa meneropong sebuah ajaran yang dibangun atas dasar iman.

Perlu diingat bahwa zakat adalah kewajiban yang ditetapkan Allah l. Sementara pajak adalah peraturan yang dibebankan negara kepada rakyatnya. Perincian zakat telah dicontohkan oleh Rasulullah n dalam teknis pelaksanaannya. Demikian juga dalam syariat lainnya, Rasulullah n telah menjelaskannya. Karena Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah n dan Allah l memerintahkannya agar menjelaskan isi Al-Qur’an tersebut kepada segenap manusia. Allah l berfirman:

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An-Nahl: 44)

Zakat merupakan ibadah yang wajib ditunaikan oleh seorang muslim yang telah terpenuhi persyaratannya. Maka zakat merupakan bentuk amal guna mendekatkan diri kepada Allah l. Adapun pajak merupakan peraturan negara yang tidak ada kaitannya dengan ibadah dan upaya mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah l. Seorang muslim yang tidak meyakini zakat sebagai kewajiban yang harus ditunaikan, maka dia dihukumi kafir dan murtad dari Islam. Konsekuensi yang seperti ini tentu tidak akan ada pada seseorang yang menunaikan pajak dan tidak meyakininya sebagai sebuah kewajiban.

Ketentuan zakat bersifat universal. Di negara manapun ketentuan tersebut tetap berlaku selama dia menjadi seorang muslim. Berbeda dengan pajak, masing-masing negara memiliki ketentuan dan undang-undang sendiri. Satu negara dengan negara lain berbeda. Selain itu, zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus-menerus berlangsung. Kewajiban zakat itu akan tetap berjalan selagi umat Islam ada di muka bumi. Kewajiban zakat tidak akan dihapus oleh siapapun. Tidak berubah-ubah. Berbeda dengan pajak yang bisa dihapus, misal melalui pemutihan, atau berubah menurut kondisi satu negara.

Melihat sisi-sisi perbedaan yang mendasar seperti di atas, tentu sangat tidak ilmiah sekali bila zakat disamakan dengan pajak. Bagi seorang muslim, hendaknya memancangkan segenap pemikiran, perbuatan, dan keyakinannya ke tiang pancang yang kokoh, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, selaras pemahaman salaf ash-shalih.

Demikian pula halnya ketika memahami nash-nash Al-Qur’an, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah para ulama salaf. Mereka adalah orang-orang yang memiliki otoritas untuk membimbing umat sesuai ajaran Islam yang benar yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kata Ibnu ‘Abbas c:

مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berbicara tentang Al-Qur’an dengan ra’yu (pemikiran logika)nya, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka.” (I’lamul Muwaqqi’in, Ibnu Qayyim, hal. 54)

Wallahu a’lam.


1 Paparan di atas disarikan dari tulisan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan dalam Tashilul IImam bi Fiqhil Hadits min Bulughil Maram, 3/91-94, dengan beberapa penambahan dari penulis.