Pertanyaan:
Apakah zakat profesi memang disyariatkan dalam agama Islam?
Para ulama menyatakan suatu kaidah agung hasil kesimpulan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, bahwa pada asalnya tidak dibenarkan menetapkan disyariatkannya suatu perkara dalam agama yang mulia ini kecuali harus didasari dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَمۡ لَهُمۡ شُرَكَٰٓؤُاْ شَرَعُواْ لَهُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا لَمۡ يَأۡذَنۢ بِهِ ٱللَّهُۚ
“Apakah mereka memiliki sembahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka, yang tidak diizinkan (diridhai) Allah?” (asy-Syura: 21)
Jadi, secara asal, tidak ada kewajiban atas seseorang untuk membayar zakat dari harta yang dimilikinya, kecuali apabila ada dalil yang menetapkannya.
Berdasarkan hal ini, jika yang dimaksud dengan zakat profesi adalah bahwa setiap profesi yang ditekuni oleh seseorang akan terkena kewajiban zakat—yang dikeluarkan adalah uang yang dihasilkan darinya, baik telah mencapai nisab[1] dan haulnya[2] maupun belum; ini adalah pendapat yang batil. Tidak ada dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ijmak, bahkan qiyas, yang menetapkan hal tersebut.
Baca juga: Hanya Allah Yang Berhak Menghalalkan dan Mengharamkan
Adapun jika yang dimaksud dengan zakat profesi adalah zakat yang harus dikeluarkan, berupa uang yang dihasilkan dan dikumpulkan dari suatu profesi, dengan syarat telah mencapai nisab dan telah sempurna haul yang harus dilewatinya; ini adalah pendapat yang benar. Hal ini berdasarkan dalil dan ia telah difatwakan juga oleh para ulama yang keilmuannya telah diakui oleh kaum muslimin dan menjadi rujukan dalam berbagai urusan agama. Hakikatnya, ini adalah zakat uang yang telah kami bahas.[3]
Al-Lajnah ad-Daimah menyebutkan, dalam Fatawa al-Lajnah (9/281),
“Telah jelas bahwa salah satu jenis harta yang terkena kewajiban zakat adalah emas (dinar) dan perak (dirham),[4] dan bahwa di antara syarat wajibnya zakat pada harta tersebut adalah sempurnanya haul. Oleh karena itu, uang yang dikumpulkan dari gaji hasil profesi wajib dikeluarkan zakatnya pada akhir tahun apabila jumlahnya telah mencapai nisab. Demikian pula apabila uang tersebut telah mencapai nisab bersamaan dengan uang lain miliknya yang telah sempurna haulnya.
Zakat gaji hasil profesi tidak boleh dikiaskan dengan zakat hasil tanaman (biji-bijian dan buah-buahan yang terkena zakat) yang zakatnya wajib dikeluarkan saat panen. Sebab, keduanya (emas dan perak) memiliki persyaratan sendiri yang telah ditetapkan berdasarkan nas, yaitu sempurnanya haul yang harus dilewati oleh nisab. Tidak ada qiyas yang dibenarkan jika bertentangan dengan nas. Maka dari itu, uang yang terkumpul dari gaji hasil profesi hanya terkena kewajiban zakat pada akhir tahun saat sempurnanya haul.”
Baca juga: Syarat-Syarat Wajibnya Zakat
Syaikh Ibnu Utsaimin, dalam Majmu’ Rasa’il (18/178), berkata,
“Mengenai zakat gaji bulanan hasil profesi; apabila gaji bulanan yang diterima oleh seseorang setiap bulannya dinafkahkan untuk memenuhi hajatnya sehingga tidak ada yang tersisa sampai bulan berikutnya, ia tidak ada zakatnya. Sebab, di antara syarat wajibnya zakat pada suatu harta (uang) adalah sempurnanya haul yang harus dilewati oleh nisab harta (uang) itu. Jika seseorang menyimpan uangnya, misalnya setengah gajinya dinafkahkan dan setengahnya disimpan[5], ia wajib mengeluarkan zakat harta (uang) yang disimpannya setiap kali sempurna haulnya.”
Penjelasan Imam Ahli Fikih abad ini—Ibnu Utsaimin—serta ulama lainnya yang tergabung dalam Komite Fatwa al-Lajnah ad-Daimah yang kami nukilkan di atas sudah cukup bagi siapa pun yang mencari kebenaran dalam agama ini. Wallahul muwaffiq.
Baca juga: Adab Pembayaran Zakat
Selanjutnya, untuk pedoman umum dalam perhitungan zakat uang yang dikumpulkan oleh seseorang dari gaji profesinya setiap bulan, kami nukilkan fatwa al-Lajnah dan Ibnu Utsaimin berikut ini.
Al-Lajnah menyebutkan, dalam Fatawa al-Lajnah (9/280),
“Barang siapa memiliki sejumlah uang yang itu merupakan nisab, kemudian dia memiliki tambahan uang berikutnya pada waktu yang berbeda dan bukan merupakan hasil keuntungan uang yang pertama tadi, melainkan tambahan uang tersendiri yang tidak ada kaitannya dengan uang yang pertama (seperti tambahan uang dari gaji profesinya setiap bulan, uang warisan yang didapatkannya, pemberian yang diterimanya, atau dari sewa tanah yang disewakannya); jika dia bertekad mengambil haknya secara utuh dan tidak ingin memberikannya kepada fakir miskin melebihi hak mereka, hendaklah dia (pemilik harta) membuat daftar/catatan khusus untuk menghitung haul setiap jumlah uang yang ditambahkannya pada simpanan sebelumnya sejak pertama kali ia memiliki tambahan tersebut, agar dia bisa mengeluarkan zakat setiap tambahan tersebut tiap kali haul masing-masingnya telah sempurna.
Jika dia tidak ingin terbebani lalu memilih untuk berlapang dada dan lebih mengutamakan kepentingan fakir miskin serta golongan lainnya yang berhak mendapatkan zakat daripada kepentingan pribadinya, hendaklah dia mengeluarkan seluruh zakat uang yang dimilikinya pada akhir haul nisab dari uang yang pertama kali dimilikinya. Hal ini lebih besar pahalanya, lebih mengangkat derajatnya, lebih melegakan dirinya, dan lebih membuatnya perhatian terhadap hak fakir miskin serta golongan lainnya yang berhak mendapatkan zakat.
Baca juga: Golongan yang Tidak Berhak Menerima Zakat
Adapun jika kadar zakat yang dikeluarkan pada tahun itu melebihi kadar yang semestinya, ia dianggap sebagai zakat yang disegerakan pengeluarannya, setahun sebelum waktunya tiba.”[6]
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, dalam Majmu’ Rasa’il (18/178), setelah menerangkan syarat wajibnya zakat uang yang dikumpulkan dari hasil profesi—yang telah kami nukilkan sebelumnya,
“Namun, biasanya seseorang akan merasa kesulitan untuk mencatat setiap tambahan uang yang disisihkan dari gajinya dan ditambahkan pada simpanan sebelumnya (dalam rangka menghitung haulnya sendiri-sendiri) yang dengan itu dia bisa mengeluarkan zakatnya pada akhir haulnya masing-masing.
Untuk mengatasi kesulitan ini, hendaklah dia mengeluarkan zakat dari total uang yang dimilikinya, sekali dalam setahun, pada akhir haul nisab dari uang yang pertama kali dimilikinya.
Misalnya, jika simpanan pertamanya—yang merupakan nisab—telah sempurna haulnya pada bulan Muharram, hendaklah dia menghitung total uang yang dimilikinya pada bulan Muharram berikutnya dan mengeluarkan seluruh zakatnya. Dengan demikian, zakat uang yang telah sempurna haulnya sudah dikeluarkan pada waktunya, dan zakat uang yang belum sempurna haulnya sudah disegerakan pengeluarannya setahun sebelumnya, dan hal itu boleh.”
Wallahu a’lam.
[1] Nisab adalah kadar/nilai tertentu yang ditetapkan dalam syariat. Apabila harta yang dimiliki oleh seseorang telah mencapai nilai tersebut, harta itu sudah terkena kewajiban zakat—pen.
[2] Haul adalah masa satu tahun yang harus dilewati oleh nisab dari harta tertentu, dan nilai nisab tersebut tidak berkurang sedikit pun sampai akhir tahun. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اسْتَفَادَ مَالاً فَلاَ زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Barang siapa menghasilkan harta, maka tidak ada kewajiban zakat pada harta tersebut hingga berlalu satu tahun.”
Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Pada setiap riwayat tersebut ada kelemahan, tetapi gabungan seluruh riwayat tersebut saling menguatkan sehingga bisa menjadi hujah. Bahkan, al-Albani menyatakan bahwa ada satu jalan riwayat yang sahih sehingga beliau menyatakan hadits ini sahih.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, dalam al-Mughni (2/392), “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.” Lihat pula Majmu’ Fatawa (25/14).
Perhitungan haul ini menurut tahun Hijriah dan bulan Qamariah yang jumlahnya dua belas bulan, dari Muharram sampai Dzulhijah; bukan menurut tahun Masehi dan bulan-bulan selain bulan Qamariah. Lihat al-Muhalla (no. 670) dan Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (9/200)—pen.
Baca juga: Doa untuk Pembayar Zakat
[3] Nisabnya adalah uang yang jumlahnya senilai dengan 85 (delapan puluh lima) gram emas murni atau 595 (lima ratus sembilan puluh lima) gram perak murni. Namun, realitas yang ada sekarang, harga nisab perak jauh lebih murah daripada harga nisab emas. Jadi, bisa dikatakan bahwa nisabnya senilai harga 595 gram perak. Jika nisab yang dimiliki telah melewati haulnya dengan sempurna, pada akhir tahun ia wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 1/40 atau 2,5% dari uang tersebut.
[4] Saat ini berbagai jenis mata uang yang ada merupakan pengganti emas (dinar) dan perak (dirham). Karena itu, zakat uang memiliki hukum yang sama dengan zakat emas dan perak—pen.
[5] Yaitu nisabnya. Sebab, apabila pada bulan pertama uang yang disisihkan dari gajinya belum mencapai nisab, ketika itu belum ada perhitungan haul. Namun, jika pada bulan berikutnya dia menyisihkan lagi sebagian gajinya untuk disimpan dan ternyata jumlah total keseluruhannya (yang digabung bersama dengan simpanan sebelumnya) telah mencapai nisab, saat itulah perhitungan haulnya dimulai—pen.
[6] Menyegerakan pengeluaran zakat setahun sebelum waktunya (sebelum sempurna haulnya) adalah diperbolehkan, menurut jumhur (mayoritas) ulama.
Dalilnya ialah hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu,
أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ سَأَلَ النَّبِيَّ فِيْ تَعْجِيْلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ، فَرَخَّصَ لَهُ فِيْ ذَلِكَ
“Abbas bin Abdil Muththalib bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang niatannya menyegerakan pengeluaran zakat sebelum waktunya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun memberinya kelonggaran untuk melakukan hal itu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, dan yang lainnya.)
Abu Dawud, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, dan al-Albani menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa hadits ini mursal. Akan tetapi, al-Albani menyatakannya hasan, dalam Irwa’ al-Ghalil (no. 857) dengan penguat-penguat yang ada.
Adapun memajukan pengeluaran zakat harta yang belum mencapai nisab, hal ini tidak boleh berdasarkan kesepakatan ulama. Sebab, nisab merupakan sebab (faktor) suatu harta terkena kewajiban zakat. Jika sebab (faktor) tersebut belum ada, pada asalnya harta itu tidak terkena kewajiban zakat. (al-Mughni 2/395—396, al-Majmu’ 6/113—114, asy-Syarhul Mumti’ 6/213—217)