Asysyariah
Asysyariah

zainab bintu jahsy

13 tahun yang lalu
baca 8 menit
Zainab bintu Jahsy

Terasa berat baginya kala itu menerima keputusan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Wanita bangsawan harus bersanding dengan seorang bekas sahaya. Namun, segala keinginan dan kegundahan ditepisnya di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga menggiring keindahan hidup di sisi utusan Rabb-nya.

Wanita itu bernama Zainab bintu Jahsy bin Ri’ab bin Ya’mur bin Shabirah bin Murrah bin Katsir bin Ghanm bin Dudan bin Asad bin Khuzaimah al-Asadiyah radhiallahu ‘anha. Semula ia bernama Barrah. Ibunya adalah bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Umaimah bintu ‘Abdil Muththalib bin Hasyim.

Wanita bangsawan yang dipinang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bekas budaknya yang pernah diangkat beliau sebagai anak, Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu. Entah bagaimana perasaan Zainab saat itu, seorang wanita bangsawan hendak menikah dengan seorang bekas budak. Serta-merta ia menolak tawaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bersikukuh.

Di tengah perbincangan itu, Allah subhanahu wa ta’ala menegur sikap Zainab, “Tidak layak bagi orang-orang yang beriman, laki-laki ataupun perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu perkara, akan ada pilihan lain dari urusan mereka.”

Tak ada pilihan lain bagi Zainab selain menerima apa yang diputuskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas dirinya. Tak boleh tersirat dalam dirinya selain kerelaan dan ketundukan, hingga terucap dari lisannya, “Aku ridha untuk menikah dengannya, wahai Rasulullah.”

Dijalaninya hari-hari dalam mahligai rumah tangganya bersama Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu. Namun ketidaksesuaian di antara mereka tak dapat tersembunyi. Hingga akhirnya Zaid pun mengadukan segala yang ada antara dia dan Zainab kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sementara itu, telah sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berita dari langit, suatu ketika nanti Zaid akan menceraikan Zainab dan Zainab akan bersisian dengan beliau sebagai istri. Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan demikian untuk membatalkan adat pengangkatan anak (maksudnya ala jahiliah, yaitu mengadopsi anak dengan nasab kepada ayah angkat). Namun tatapan adat jahiliah pada masa itu memandang dengan penuh aib pada seseorang yang menikah dengan bekas istri anak angkatnya, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyembunyikan semua itu karena khawatir dengan pandangan manusia terhadap diri beliau.

Tatkala Zaid datang mengungkapkan apa yang terjadi, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Bertakwalah kepada Allah dan tahanlah istrimu agar tetap di sisimu!”

Namun, siapa yang dapat menghalangi bila Allah subhanahu wa ta’ala telah menghendaki sesuatu? Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala akan melaksanakan apa yang Dia kehendaki. Allah subhanahu wa ta’ala turunkan kalam-Nya yang memberikan teguran kepada Rasulullah:

وَإِذۡ تَقُولُ لِلَّذِيٓ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ وَأَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِ أَمۡسِكۡ عَلَيۡكَ زَوۡجَكَ وَٱتَّقِ ٱللَّهَ وَتُخۡفِي فِي نَفۡسِكَ مَا ٱللَّهُ مُبۡدِيهِ وَتَخۡشَى ٱلنَّاسَ وَٱللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخۡشَىٰهُۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيۡدٞ مِّنۡهَا وَطَرٗا زَوَّجۡنَٰكَهَا لِكَيۡ لَا يَكُونَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ حَرَجٞ فِيٓ أَزۡوَٰجِ أَدۡعِيَآئِهِمۡ إِذَا قَضَوۡاْ مِنۡهُنَّ وَطَرٗاۚ وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ مَفۡعُولٗا ٣٧

“Dan ingatlah ketika engkau berkata kepada orang yang telah Allah limpahkan nikmat kepadanya dan engkau pun telah memberikan nikmat kepadanya, ‘Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah’, sementara engkau menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah hendak menyatakannya, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah-lah yang lebih berhak untuk engkau takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya, Kami nikahkan engkau dengannya, agar tidak ada keberatan bagi orang-orang yang beriman untuk menikahi istri-istri anak angkat mereka, apabila anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Sesungguhnya ketetapan Allah pasti terjadi.” (al-Ahzab: 37)

Usai masa ‘iddah Zainab dari Zaid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu untuk menyampaikan pinangannya kepada Zainab bintu Jahsy radhiallahu ‘anha. Bergegaslah Zaid memenuhi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala bertemu dengan Zainab, Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu mengabarkan berita gembira itu, “Bergembiralah wahai Zainab, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminang dirimu.” Tak ada yang dilakukan Zainab saat itu kecuali mengagungkan Rabb-nya. Ia pun segera menegakkan shalat di tempat shalatnya.

Siapa yang tak berbangga dengan keutamaan seagung itu? Zainab bintu Jahsy radhiallahu ‘anha menjalin ikatan pernikahan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan melalui tangan walinya, namun dengan kalam Rabb alam semesta yang senantiasa akan dibaca oleh segenap manusia. Allah subhanahu wa ta’ala menikahkan dirinya dari atas ‘Arsy-Nya tanpa saksi. Tergurat peristiwa besar ini pada bulan Dzulqa’dah tahun kelima setelah hijrah, tatkala Zainab radhiallahu ‘anha memasuki usia 25 tahun.

Zainab bintu Jahsy radhiallahu ‘anha senantiasa berbangga dengan keutamaan ini di hadapan para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya. Dia katakan, “Kalian dinikahkan oleh wali-wali kalian, sementara aku dinikahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari atas ‘Arsy-Nya.”

Tak henti-henti keutamaan mengalir pada Zainab bintu Jahsy radhiallahu ‘anha. Di awal langkahnya meniti kehidupan di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun ayat yang memerintahkan tentang hijab.

Kala itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengundang para sahabat untuk menghadiri walimah pernikahannya dengan Zainab. Mereka pun hadir menikmati apa yang terhidang, kemudian beranjak pulang. Tinggallah beberapa orang terus duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam waktu lama, hingga beliau pun berdiri, kemudian keluar. Ketika itu, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, turut bangkit bersama beliau agar orang-orang yang masih tinggal itu ikut keluar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus berjalan diiringi Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu hingga berhenti di ambang pintu kamar ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.
Saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengira, mereka semua telah keluar, sehingga beliau pun kembali bersama Anas radhiallahu ‘anhu. Namun ketika beliau hendak masuk menemui Zainab radhiallahu ‘anha, ternyata mereka masih terus duduk-duduk. Beliau pun keluar kembali hingga tiba di depan ambang pintu kamar ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Ketika beliau mengira bahwa mereka telah bubar, beliau kembali lagi, disertai Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Ternyata orang-orang itu telah keluar.

Peristiwa ini diiringi dengan turunnya teguran dari Allah subhanahu wa ta’ala:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَدۡخُلُواْ بُيُوتَ ٱلنَّبِيِّ إِلَّآ أَن يُؤۡذَنَ لَكُمۡ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيۡرَ نَٰظِرِينَ إِنَىٰهُ وَلَٰكِنۡ إِذَا دُعِيتُمۡ فَٱدۡخُلُواْ فَإِذَا طَعِمۡتُمۡ فَٱنتَشِرُواْ وَلَا مُسۡتَ‍ٔۡنِسِينَ لِحَدِيثٍۚ إِنَّ ذَٰلِكُمۡ كَانَ يُؤۡذِي ٱلنَّبِيَّ فَيَسۡتَحۡيِۦ مِنكُمۡۖ وَٱللَّهُ لَا يَسۡتَحۡيِۦ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ وَإِذَا سَأَلۡتُمُوهُنَّ مَتَٰعٗا فَسۡ‍َٔلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٖۚ ذَٰلِكُمۡ أَطۡهَرُ لِقُلُوبِكُمۡ وَقُلُوبِهِنَّۚ وَمَا كَانَ لَكُمۡ أَن تُؤۡذُواْ رَسُولَ ٱللَّهِ وَلَآ أَن تَنكِحُوٓاْ أَزۡوَٰجَهُۥ مِنۢ بَعۡدِهِۦٓ أَبَدًاۚ إِنَّ ذَٰلِكُمۡ كَانَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمًا ٥٣

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah-rumah Nabi, kecuali bila kalian telah diizinkan untuk makan, tanpa menunggu-nunggu waktu masak makanannya. Akan tetapi, apabila kalian diundang, maka masuklah, dan apabila kalian telah selesai makan, segera keluarlah tanpa memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu mengganggu Nabi, dan Nabi merasa malu kepada kalian, sementara Allah tidak malu menerangkan yang benar. Apabila kalian meminta suatu keperluan kepada istri-istri Nabi, maka mintalah dari balik tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kalian menyakiti Rasulullah dan tidak boleh pula menikahi istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu teramat besar dosanya di sisi Allah.” (al-Ahzab: 53)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun masuk menemui Zainab dan membentangkan tabir yang menutupi beliau dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.

Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengannya itulah beliau mengganti namanya yang semula Barrah menjadi Zainab.

Wanita bangsawan yang bertabur dengan kemuliaan. Salah satu wanita yang paling baik agamanya, paling takwa kepada Rabb-nya, paling benar ucapannya, paling gemar menyambung tali kasih sayang, dan paling banyak sedekahnya. Wanita yang selamat lisannya saat tersebar berita dusta tentang ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Wanita yang biasa berbuat sesuatu dengan kedua tangannya, kemudian bersedekah dengan hasil buah tangannya untuk mendekatkan dirinya kepada Rabb-nya. Wanita yang sangat berhati-hati terhadap gemerlapnya dunia. Wanita yang senantiasa menundukkan diri kepada Rabb-nya. Wanita yang banyak puasa dan shalat malam. Wanita yang digelari dengan Ummul Masakin, ibu orang-orang miskin.

Suatu saat di antara istri-istrinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kabar bahwasanya yang paling dahulu menyusul beliau ke hadapan Allah subhanahu wa ta’ala adalah yang paling panjang tangannya. Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para istri beliau saling memanjangkan tangannya, siapa di antara mereka yang paling panjang tangannya. Demikian yang senantiasa mereka lakukan, hingga Zainab bintu Jahsy radhiallahu ‘anha wafat. Sementara Zainab bukanlah wanita yang tinggi dan bukan pula yang paling panjang tangannya di antara mereka. Mengertilah para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diinginkan oleh beliau adalah yang paling banyak sedekahnya.

Pada masa pemerintahan ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu tahun ke-20 setelah hijrah, wanita yang mulia ini menghadap Rabb-nya ‘azza wa jalla. Kenangan tentang seluruh kebaikannya tergores dengan tinta emas di atas lembaran para ulama. Ayat-ayat yang turun tentang dirinya terus dibaca oleh manusia hingga akhir masa. Zainab bintu Jahsy, semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya.

Wallahu a’lamu bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu Imran


Sumber Bacaan:

  1. al-Ishabah, karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani (7/667—669)
  2. al-Isti’ab, karya al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (hlm. 1849—1851)
  3. Fathul Bari, karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani (8/383—385, 11/24)
  4. Siyar A’lamin Nubala’, karya al-Imam adz-Dzahabi (2/211—218)
  5. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, karya al-Imam Ibnu Katsir (3/497—500)
  6. Taisirul Karimir Rahman, karya asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di (hlm. 665—666)
Sumber Tulisan:
Zainab bintu Jahsy