Bolehkah orang yang junub membaca al-Qur’an, masuk masjid, dan berzikir?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini bisa jadi sering muncul di tengah masyarakat kita.
Lalu apa jawabnya? Simak kajian berikut!
Telah kita ketahui bahwa di antara hal-hal yang mewajibkan mandi adalah keluar mani, baik karena jimak atau selainnya (ihtilam), dalam keadaan jaga ataupun tidur, dan bertemunya khitan seorang lelaki dengan khitan seorang wanita, baik keluar mani (inzal) maupun tidak.
Pada pembahasan kali ini kita akan membahas masalah yang berkaitan dengan janabah atau junub.
Junub secara bahasa merupakan lawan dari qurb dan qarabah yang bermakna dekat. Jadi, junub artinya jauh.
Istilah junub secara syar’i diberikan kepada orang yang mengeluarkan mani atau orang yang telah melakukan jimak. Orang yang demikian dikatakan junub dikarenakan menjauhi dan meninggalkan hal yang dilarang oleh syariat saat junub tersebut. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 16/47)
Dalam pembicaraan tentang janabah dan seorang yang junub, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:
Yang Tidak Boleh Dilakukan Orang yang Junub
1. Shalat
Seorang yang junub haram melakukan shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnah/nafilah. Sebab, taharah merupakan syarat sahnya shalat, sedangkan orang yang junub tidak dalam keadaan suci.
Oleh karena itu, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan orang yang junub untuk bersuci dalam firman-Nya,
وَإِن كُنتُمۡ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُواْ
“Jika kalian junub, bersucilah.” (al-Maidah: 6)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ
“Tidak diterima shalat tanpa bersuci.”[i]
Demikian ijmak para ulama. Imam Ibnul Qaththan rahimahullah berkata, “Para ulama tidak berbeda pendapat tentang tidak sahnya shalat seseorang yang junub, sampai ia bersuci.” (al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’, 1/97)
الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلاَةٌ، فَأَقِلُّوا مِنَ الْكَلاَمِ
“Thawaf di Baitullah itu shalat. Maka dari itu, hendaklah kalian mempersedikit berbicara saat thawaf.”[ii]
Dalam riwayat at-Tirmidzi,
الطَّوَافُ حَوْلَ الْبَيْتِ مِثْلُ الصَّلاَةِ، إِلاَّ أَنَّكُمْ تَتَكَلَّمُوْنَ فِيْهِ، فَمَنْ تَكَلَّمَ فِيْهِ فَلاَ يَتَكَلَّمُوْنَ إِلاَّ بِخَيْرٍ
“Thawaf di sekitar Baitullah itu seperti shalat, hanya saja kalian dibolehkan berbicara saat thawaf. Siapa yang berbicara saat thawaf, janganlah ia berbicara kecuali kebaikan.”[iii]
Jadi, apabila ada seseorang thawaf dalam keadaan junub, thawafnya tersebut tidaklah sah. Demikian pendapat ulama mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Adapun menurut ulama mazhab Hanafi, thawafnya sah, tetapi ia wajib menyembelih badanah (unta atau sapi), karena taharah dalam thawaf menurut mereka bukanlah syarat, melainkan hanya kewajiban. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah 16/52, al-Majmu’ 2/178, adz-Dzakhirah, karya al-Qarafi 3/339, Jami’ Fiqhil Imam Ibni Qayyim al-Jauziyyah 1/303)
Ini adalah pendapat al-Imam Malik, Abu Hanifah, dan pengikutnya. (al-Mudawwanah al-Kubra 1/137, adz-Dzakhirah 1/314, Nailul Authar 1/321)
Namun, wallahu a’lam, kami tidak mengetahui adanya dalil yang secara mutlak melarang orang junub masuk ke dalam masjid walau hanya sekedar lewat, kecuali hadits:
لاَ أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُبٍ
“Aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita haid, tidak pula bagi orang yang junub.”[iv]
Hadits ini dihukumi dhaif oleh sekelompok ulama, di antaranya al-Imam al-Baihaqi, Ibnu Hazm, dan Abdul Haq al-Asybili. Bahkan, Ibnu Hazm berkata, “Hadits ini batil.” (Irwa`ul Ghalil, 1/162)
b. Melarang, namun membolehkan apabila hanya lewat, tidak berdiam di dalam masjid.
Ini adalah pendapat al-Imam asy-Syafi’i dan jumhur ulama, dan tidak ada perbedaan apakah orang tersebut punya kebutuhan untuk lewat atau tidak.
Adapun al-Imam Ahmad mensyaratkan boleh lewat apabila ada kebutuhan. Bolehnya lewat ini dinukilkan pula dari Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Ibnul Musayyib, Ibnu Jubair, dan al-Hasan. (al-Umm, “Kitab ath-Thaharah”, “Bab Mamarril Junub wal Musyrik ‘alal Ardhi wa Masyihima ‘alaihima”, al-Majmu’ 2/178,184, al-Mughni pasal “Hukmi Labtsil Junub wal Haidh fil Masjid”, ar-Raudhul Murbi’ 1/60, asy-Syarhul Mumti’ 1/227, Nailul Authar 1/320)
c. Secara mutlak membolehkan orang junub lewat atau berdiam di masjid.
Ini adalah pendapat Dawud azh-Zhahiri, Ahmad, al-Muzani, dan asy-Syaikh al-Albani dari kalangan mutaakhirin. (Syarhus Sunnah 2/46, Subulus Salam 1/142, Nailul Authar 1/322, Tamamul Minnah, hlm. 119)
Perbedaan antara pendapat yang kedua dan pendapat yang ketiga disebabkan perbedaan dalam memahami ayat Allah subhanahu wata’ala,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغۡتَسِلُواْۚ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati/mengerjakan shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk sampai kalian mengerti apa yang kalian ucapkan, (dan jangan pula) orang yang junub terkecuali sekadar berlalu saja hingga kalian mandi.” (an-Nisa: 43)
Ulama yang berpendapat bolehnya orang junub masuk masjid apabila hanya lewat (seperti pendapat al-Imam asy-Syafi’i dan yang lainnya) memahami bahwa kata “shalat” yang tersebut dalam ayat (jangan kalian mendekati shalat) adalah majaz (bukan makna yang sebenarnya). Dengan demikian, ada kata yang mahdzuf muqaddar (dihapus/dihilangkan yang kata tersebut bisa diperkirakan), yaitu (tempat( shalat. Jadi, yang dimaksud dalam ayat ini adalah jangan kalian mendekati tempat shalat.
Artinya, apabila orang yang junub hanya lewat di tempat shalat tersebut/masjid, maka diperkenankan karena adanya pengecualian dalam ayat “kecuali sekadar berlalu”. Pendapat inilah yang kami pilih, wal ‘ilmu ‘indallah.
Adapun ulama yang membolehkan secara mutlak, seperti pendapat mazhab Zhahiri, memahami ayat tersebut sesuai dengan hakikatnya; tidak ada yang majaz dan tidak ada yang mahdzuf. Jadi, makna ayat “janganlah kalian mendekati shalat” adalah janganlah kalian mengerjakan shalat.
Adapun yang dikecualikan dalam pelarangan adalah musafir yang tidak mendapatkan air sementara ia sedang junub, dibolehkan baginya mengerjakan shalat walaupun belum mandi janabah (karena tidak ada air) dengan bertayammum. (al-Umm, “Kitab ath-Thaharah”, “Bab Mamarril Junub wal Musyrik ‘alal Ardhi wa Masyihima ‘alaihima”, Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an 4/99—102, an-Nukat wal ‘Uyun Tafsir al-Mawardi 1/489—490, Tafsir al-Qur`anil ‘Azhim 2/224—226, Fathul Qadir 1/625—627)
Boleh Berdiam di Masjid Apabila Orang Junub Telah Berwudhu
Apabila orang yang junub telah berwudhu, dia boleh berdiam di masjid.
‘Atha rahimahullah berkata, “Aku melihat orang-orang dari kalangan sahabat Rasulullah duduk di masjid dalam keadaan mereka junub. (Hal itu mereka lakukan) apabila mereka telah berwudhu seperti wudhu untuk shalat.”
Sebab, wudhu yang dilakukan akan meringankan janabah. Demikian pendapat dalam mazhab al-Imam Ahmad dan selainnya. (al-Mulakhkhash al-Fiqhi 1/26, Jami’ Fiqhil Imam Ibni Qayyim al-Jauziyyah 1/230, al-Mughni Pasal “Idza Tawadha`a Junub falahu al-Lubts fil Masjid”, Nailul Authar 1/322)
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim
[i] HR. Muslim no. 534
[ii] HR. an-Nasai no. 2922, dihukumi sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasai dan Shahihul Jami’ no. 3954—3956
[iii] HR. at-Tirmidzi no. 960, dinilai sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi dan Irwa‘ul Ghalil no. 1102
[iv] HR. Abu Dawud no. 232, dinilai dhaif oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Irwa‘ul Ghalil no. 124, Dha’if al-Jami‘ush Shaghir no. 6117, dan Dha’if Sunan Abi Dawud.