Kesetaraan gender merupakan salah satu gagasan yang banyak disuarakan oleh kaum SIPILIS—sebagaimana diistilahkan oleh sebagian penulis, sebagai singkatan dari sekularisme, pluralisme dan liberalisme—yang tak sedikit dari mereka bercokol di kampus-kampus PTAI. Hal ini, sebagaimana disuarakan kaum lelaki, juga banyak kaum wanita yang menyuarakannya demi menuntut apa yang mereka anggap sebagai hak-hak mereka.
Anggaplah sebagai contoh, Siti Musdah Mulia[1]. Dia menerbitkan buku seputar isu kesetaraan gender, di antaranya berjudul Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Perspektif Islam dan Perempuan dan Politik. Contoh lain adalah Nong Darol Mahmada, yang menyelesaikan kuliah di Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuludin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia termasuk aktivis yang giat menyuarakan masalah-masalah gender. Ia menyunting buku yang berjudul Kritik Atas Jilbab terbitan JIL dan The Asia Foundation.
Secara eksplisit dan implisit, mereka menganggap bahwa ajaran Islam telah menganaktirikan atau mendiskreditkan kaum wanita, sehingga mereka menuntut kesamaan perlakuan antara laki-laki dan wanita. Hal itu mereka anggap sebagai sebuah keadilan dan pemberian hak bagi wanita.
Mereka menutup mata akan adanya perbedaan antara laki-laki dan wanita secara kodrat. Mereka tidak mempelajari hukum syariat secara cermat, apa sebenarnya hukum syariat dalam urusan wanita, mengapa demikian dan apa hikmahnya. Mereka pun lupa bahwa Allah subhanahu wa ta’ala yang menurunkan syariat adalah Dzat Yang Mahabijaksana dalam segala aturan-Nya, Maha Mengetahui kedaan makhluk-Nya. Namun, jenis anak Adam ini dengan segala kekurangannya tanpa dia sadari telah menentang hukum Dzat Yang Mahabijaksana. Ia merasa lebih tahu dari-Nya.
Dalam ayat disebutkan:
“Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (Ali Imran: 36)
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (al-Baqarah: 228)
Lebih mengunggulkan laki-laki bukan berarti merendahkan wanita, karena keunggulan tersebut didasari oleh sesuatu yang lebih pada kaum lelaki secara kodrat, baik dilihat dari sisi postur tubuhnya maupun kejiwaannya berikut yang terkait dengan keduanya. Oleh karena itu, kewajiban lelaki pun disesuaikan dengannya. Ia terbebani kewajiban yang tidak terbebankan atas kaum wanita. Demikian pula wanita, Allah subhanahu wa ta’ala menciptakannya sebagai belahan laki-laki. Ia terbebani kewajiban yang tidak dibebankan atas laki-laki, dan memang pada kenyataannya laki-laki secara umum tidak dapat mengambil alih kewajiban dan peran itu. Semua itu ditetapkan sesuai dengan kondisi fisik dan psikisnya, sehingga ia memiliki hak yang sesuai dengannya. Itulah yang Allah subhanahu wa ta’ala jelaskan dalam ayat di atas, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya.”
Maksudnya, mereka memiliki hak atas laki-laki sesuai dengan kewajiban mereka terhadap laki-laki, demikian penjelasan Ibnu Katsir rahimahullah terhadap ayat ini. Adapun tentang tingkatan kelebihan laki-laki, Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan dalam firman-Nya:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (an-Nisa: 34)
Sungguh, Islam telah memuliakan wanita. Islam telah mengangkat derajat wanita dari penghinaan orang-orang musyrik dan umat-umat nonmuslim lainnya terhadap mereka. Penjelasan poin ini cukup panjang lebar. Majalah kita telah memuat banyak artikel seputar masalah ini dalam lembar Sakinah, sebagai contoh pada edisi 29, 38 dan 41. Oleh karenanya, kami cukupkan dengan itu.
Dengan demikian, ajakan kesetaraan gender, yang menyamaratakan antara laki-laki dan wanita dalam hak dan kewajiban, adalah ajakan yang menyalahi agama dan fitrah, serta merupakan sumber kerusakan.
Secara jujur hal ini telah diakui para peneliti nonmuslim. Sebagai contoh, Dr. Edlyn mengatakan bahwa sebab krisis keluarga di Amerika dan rahasia sebab banyaknya kejahatan di masyarakat adalah karena istri meninggalkan rumahnya untuk melipatgandakan pendapatan keluarga. Alhasil, pendapatan memang bertambah, namun diiringi dengan dekadensi moral. Lalu ia mengatakan, “Sesungguhnya, pengalaman membuktikan bahwa kembalinya wanita ke lingkungan rumahnya adalah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan generasi baru dari kehancuran yang sedang mereka alami.” (Agar Tidak Menjadi ‘Muslim’ Liberal hlm. 427—428)
Ditulis oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
[1] Guru besar UIN Syarif Hidayatullah, gelar S1 ia peroleh di IAIN Ala’uddin Makassar dan pascasarjana (S2 dan S3) di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta—kedua IAIN tersebut kini telah menjadi UIN—. Pernah menghebohkan pada tahun 2004 dengan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam-nya, di antaranya membolehkan perkawinan orang Islam dengan non-Islam (pasal 54), anak yang dihasilkan dari perkawinan beda agama tersebut berhak memilih dan memeluk suatu agama secara bebas (pasal 55), dan pasal-pasal kontroversial lainnya.
Ia juga menghalalkan praktik homoseks dan lesbian.