Asysyariah
Asysyariah

wasilah dakwah dalam pandangan ‘ulama

13 tahun yang lalu
baca 14 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Afifuddin)

Seringkali, orang melihat kebaikan sebuah metode dakwah hanya dari satu sisi, yaitu ia memberi pengaruh yang baik bagi banyak orang. Namun mayoritas dari mereka tidak menyadari, bahwa di balik setitik nilai positif dari sebuah metode dakwah hasil olah pikir manusia itu, ia memiliki berbagai sisi negatif yang siap mengancam. Karena sebuah metode dakwah yang tidak dituntunkan oleh syariat, dipastikan ia memiliki lebih banyak sisi negatif daripada nilai positifnya.

Cara-cara berdakwah telah demikian beragam muncul di tengah masyarakat. Setiap tokoh atau kelompok dakwah seakan berlomba menciptakan cara berdakwah yang mampu mengundang banyak minat kaum muslimin untuk mengikuti seruannya. Bagaimana para Ulama Ahlus Sunnah memandang kemunculan berbagai metode dakwah baru itu?
Keterangan terbaik tentang masalah ini adalah apa yang diuraikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t ketika beliau menjawab pertanyaan:
“Ada sekelompok orang yang sepakat untuk melakukan dosa besar, baik membunuh, menyamun, mencuri, mabuk-mabukan, ataupun yang semisalnya. Kemudian ada seorang Syaikh yang dikenal baik dan mengikuti As-Sunnah hendak mencegah niat jelek orang-orang tadi. Namun upaya ini tidak akan terwujud kecuali dengan mengumpulkan orang-orang tersebut dalam acara sima’ (nasyid) dengan menggunakan duff (rebana) tanpa bunyi-bunyian dan nyanyian sang penyanyi dengan syair-syair mubah tanpa gadis biduanita untuk tujuan ini.
Tatkala ia berbuat demikian, ada sejumlah orang dari mereka yang bertaubat. Yang tadinya tidak shalat, mencuri, dan tidak zakat berubah meninggalkan perkara syubhat, menunaikan perkara wajib dan menjauhi perkara haram.
Apakah boleh bagi Syaikh tadi untuk membuat acara sima’ sebagaimana gam-baran di atas karena adanya maslahat yang dicapai, dalam keadaan tidak memungkinkan untuk mendak-wahi orang-orang tadi kecuali dengan cara demikian?”
Maka beliau t menjawab:
“Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Prinsip dasar untuk menjawab pertanyaan ini dan yang semisalnya adalah:
1. Perlu diketahui bahwa Allah I mengutus Muhammad n dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk Allah menangkan di atas semua agama dan cukuplah Allah sebagai saksi.
Allah I telah menyempurnakan agama ini untuk beliau dan umatnya, sebagaimana dalam firman-Nya:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Ma`idah: 3)
2. Allah I memberi kabar gembira dengan kebahagiaan bagi siapa saja yang menaati Rasulullah n, dan memberi kabar berupa kesengsaraan bagi siapa yang bermaksiat kepada beliau n. Allah I berfirman:

“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa: 69)
Juga firman-Nya:

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (Al-Jin: 23)
3. Allah I memerintahkan kepada makhluknya untuk mengembalikan apa yang mereka perselisihkan dalam masalah agama kepada wahyu-Nya, sebagaimana firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59)
4. Allah Imemberitakan bahwa dakwah Rasulullah n adalah dakwah kepada Allah dan kepada Shirathal Musta-qim. Hal ini sebagaimana firman-Nya:

“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” (Yusuf: 108)
Juga firman-Nya:

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (Asy-Syura: 52-53)
5. Allah I memberitakan bahwa Rasulullah n beramar ma’ruf nahi mungkar, menghalalkan yang thayyib dan mengha-ramkan yang khabits, sebagaimana dalam firman-Nya:

“Dan rahmat-Ku Mahaluas meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”. (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur`an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-A’raf: 156-157)
6. Allah I telah memerintahkan Rasul-Nya dengan segala kebaikan dan melarang-nya dari segala kemungkaran. Menghalalkan setiap perkara yang baik dan mengharamkan setiap perkara yang jelek.
Telah tsabit (pasti) dalam kitab Ash-Shahih bahwa Nabi n bersabda:

“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan menjadi keharusannya untuk menunjuki umat kepada segenap kebaikan yang dia ketahui untuk mereka dan melarang mereka dari segenap kejelekan yang dia ketahui untuk mereka.”
Telah tsabit pula riwayat dari ‘Irbadh bin Sariyyah z, dia berkata: Rasul n pernah menasehati kami dengan sebuah nasihat yang membuat hati bergetar dan mata berlinang. Kami (para shahabat) berkata: “Wahai Rasulullah, (apa yang anda sampaikan) seolah-olah adalah pengarahan dari seseorang yang hendak berpisah. Lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami?” Maka beliau berkata:

“Saya wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan menaati (penguasa). Sesungguhnya siapa saja yang hidup sepeninggalku dia akan menyaksikan banyak perselisihan. Karenanya, hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin sepeninggalku yang mendapat petunjuk. Peganglah Sunnahku dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Hati-hatilah kalian dengan perkara (agama) yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah sesat.”
Telah tsabit pula, bahwa beliau n bersabda (yang artinya): “Tidaklah aku meninggalkan sesuatu yang bisa menjauhkan kalian dari neraka melainkan telah aku ceritakan pada kalian.”
Beliau juga bersabda:

“Aku tinggalkan kalian di atas (jalan) yang putih, malamnya bagaikan siangnya. Tidak ada (seorangpun) yang menyimpang darinya sepeninggalku melainkan dia akan binasa.”
Dalil-dalil yang menunjukkan prinsip agung ini sangatlah banyak  dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, dan disebutkan oleh para ulama dalam buku-buku mereka dengan judul Kitab Al-I’tisham bil Kitab was Sunnah, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, Al-Baghawi, dan yang selain mereka.
Barangsiapa berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dia termasuk wali-wali Allah yang bertakwa, hizbullah yang beruntung dan pasukan-Nya yang selalu menang.
Sebagian ulama Salaf, seperti Al-Imam Malik t dan lainnya, pernah mengatakan: “As-Sunnah bagaikan kapal Nabi Nuh, siapa yang menaikinya dia selamat dan siapa yang tertinggal (tidak menaikinya) maka dia tenggelam.”
Al-Imam Az-Zuhri t pernah berkata: “Para ulama kita yang dahulu pernah mengatakan: ‘Berpegang teguh dengan As-Sunnah adalah keselamatan’.”
Bila prinsip ini telah diketahui, maka cara yang dengannya Allah I menunjuki orang yang sesat, membimbing orang yang menyimpang dan membuat ahli maksiat bertaubat, haruslah dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, yang dengannya Allah I mengutus Rasulullah n. Kalau seandainya cara tersebut kurang mencukupi untuk hal ini, berarti agama (yang dibawa) Rasul adalah kurang dan perlu disempurnakan.
Perlu diketahui bahwa amalan-amalan shalih (pasti) diperintahkan oleh Allah I, baik berupa perintah wajib atau mustahab; dan amalan-amalan jelek (pasti) dilarang oleh Allah I.
Sebuah amalan bila mengandung maslahat dan mafsadah, maka Allah Maha Hikmah. Bila maslahatnya lebih dominan daripada mafsadahnya maka Dia pun mensyariatkannya. Namun bila mafsadahnya lebih dominan daripada maslahatnya maka hal tersebut tidak Dia syariatkan, bahkan dilarang. Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya:

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)
Juga firman-Nya:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya’.” (Al-Baqarah: 219)
Oleh karena itulah Allah I mengha-ramkan keduanya (khamr dan perjudian) setelah itu.
Demikianlah, setiap amalan yang dipandang seseorang dapat mendekatkan diri kepada Allah I namun tidak disyariatkan oleh Allah I dan Rasul-Nya, maka pasti mudharatnya lebih besar daripada manfaat-nya. Kalau seandainya manfaatnya lebih besar daripada mudharatnya, tentu tidak akan diabaikan oleh Allah I. Sebab Allah I Maha Hikmah, tidak akan mengabaikan kemaslahatan-kemaslahatan agama, dan tidak pula meluputkan kaum mukminin dari segala yang dapat mendekatkan diri kepada Rabbul ‘Alamin.
Bila prinsip ini telah jelas, maka kita bertanya kepada sang penanya: Sesung-guhnya Syaikh tersebut bermaksud untuk membuat taubat sejumlah orang yang sepakat untuk berbuat dosa besar. Namun hal itu (keinginan Syaikh tersebut) tidak mungkin (terwujud) kecuali dengan cara-cara bid’ah yang disebutkan tadi. Ini semua menunjukkan bahwa Syaikh tadi jahil tentang cara-cara dakwah yang syar’i yang dengan itu para ahli maksiat bertaubat atau (Syaikh tadi) tidak mampu menerapkannya. Sebab Rasulullah n, para shahabatnya, para tabi’in, dahulu mereka mendakwahi orang-orang yang lebih jelek dari orang-orang yang didakwahi oleh Syaikh tadi, baik itu orang kafir, orang fasik, maupun ahli maksiat, dengan menggunakan cara-cara yang syar’i, tidak memerlukan cara-cara bid’ah.
Tidak boleh dikatakan: “Cara-cara syar’i yang Allah mengutus Rasulullah n dengannya tidak ada yang bisa membuat ahli maksiat bertaubat.” Sebab telah diketahui dengan pasti dari penukilan yang mutawatir bahwa umat yang jumlahnya tidak terhitung (hanya Allah I yang mampu menghitungnya) telah bertaubat dari kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan dengan cara-cara yang syar’i, tidak dengan cara perkumpulan bid’ah seperti yang disebutkan tadi.
Bahkan generasi awal umat ini dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik – dalam keadaan mereka sebagai sebaik-baik wali Allah I yang bertakwa dari kalangan umat ini– mereka bertaubat kepada Allah I dengan cara-cara yang syar’i, tidak dengan cara yang bid’ah. Negeri-negeri kaum musli-min dan pedalaman-pedalamannya, baik dahulu maupun sekarang dipenuhi oleh orang yang bertaubat kepada Allah I, bertak-wa kepada-Nya, dan melaksa-nakan apa yang dicintai dan diri-dhai oleh Allah I dengan cara-cara syar’i, tidak de-ngan cara bid’ah tadi….” sampai akhir penjelasan beliau yang ber-harga ini. (Maj-mu’ Al-Fatawa, 11/620-631)
Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin  Abdullah bin Baz t, salah satu ulama besar masa kini juga menjelaskan
: “Telah dimaklumi bahwa pedoman-pedoman (dalam dakwah) ini telah dilaksanakan oleh Nabi kita Muhammad n pertama kali di Makkah, kemudian di Madinah. Tidak akan baik akhir umat ini kecuali dengan apa yang membuat baik generasi awalnya, sebagaimana hal ini dikatakan oleh ahlu ilmi wal iman. Di antaranya adalah Al-Imam Malik bin Anas t, beliau mengucapkan kalimat ini dan diterima oleh ulama sezamannya dan ulama setelahnya. Mereka semua menyepakatinya…
Maknanya, apa yang telah membuat baik generasi awal umat ini yaitu dengan mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya n, cara ini pula yang akan membuat baik generasi akhir umat ini sampai hari kiamat.
Barangsiapa hendak memperbaiki masyarakat Islam atau masyarakat lain di dunia ini selain dengan cara, wasilah, dan pedoman-pedoman yang telah membuat baik generasi awal umat ini, maka dia telah salah dan berucap tanpa kebenaran.
Tidak ada jalan lain untuk memperbaiki umat manusia dan menegakkan mereka di atas jalan yang lurus kecuali dengan jalan yang ditempuh oleh Nabi kita Muhammad n, kemudian jalan yang ditempuh oleh para sha-habat yang mu-lia, kemudian para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari ini.” Demi-kian penjelasan beliau t. Lihat Fatawa Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, 1/249.

Cara-cara Dakwah Menurut Manhaj Salaf
Wasilah dakwah Islamiyyah Salafiyyah sangatlah banyak, amat mencukupi untuk menyebarkan agama ini, membimbing dan menunjuki segenap umat manusia yang memiliki latar belakang dan karakter yang beragam.
Dakwah Salafiyyah tidak membutuhkan wasilah-wasilah bid’ah yang menjamur di tengah-tengah kaum muslimin belakangan ini. Karena mereka yakin bahwa cara-cara syar’i yang dicontohkan oleh Rasulullah n dan para shahabatnya adalah cara yang tepat dan cepat dalam berdakwah kepada Allah I.
Di antara wasilah dakwah Nabawiyyah adalah:
1. Khutbah-khutbah
Khutbah ini meliputi khutbah Jumat maupun khutbah ‘Ied. Dengan wasilah ini sang da’i bisa memberikan pengarahan kepada umatnya, baik dalam masalah akidah, tauhid, ibadah, akhlak, maupun muamalah yang dibutuhkan umat. Dia juga bisa meluruskan beragam paham dan aliran yang menyim-pang dan membahayakan umat.
2. Halaqah-halaqah ilmu
Ini adalah wasilah yang senantiasa digunakan oleh para ulama dahulu maupun sekarang. Dengan cara ini sang da’i bisa mengkaji secara mendalam berbagai bidang ilmu syar’i. Dia bisa memberi kajian tafsir, hadits, akidah, tauhid, manhaj, fikih, akhlak dan yang lainnya. Dengan cara ini para mad’u (orang yang didakwahi) bisa mendalami secara mendalam pula kajian-kajian di atas.
Dalam halaqah ilmu akan muncul tanya jawab dan diskusi ilmiah, yang dengan itu orang-orang yang hadir dapat menambah wacana dan wawasan keilmuan yang syar’i.
3. Fatwa-fatwa ulama
Dengan wasilah ini, segenap kaum muslimin dapat menyampaikan segala macam problem yang mereka hadapi, baik yang berkaitan dengan masalah agama maupun masalah dunia. Dengan wasilah ini para ulama dan para da’i dapat membimbing dan meluruskan umat di atas syariat Islam yang murni.
Dengan cara ini pula akan terjadi interaksi antara ulama dengan umatnya, yang dengan itu akan semakin erat hubungan antara keduanya. Dan inilah salah satu kunci kesuksesan membentuk generasi Islam Rabbani.
4. Jihad fi Sabilillah
Dengan syarat dan ketentuan yang sesuai dengan syariat, jihad adalah cara efektif untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Hal ini sangat nampak pada sejarah Islam masa lalu yang mencapai zaman keemasan. Islam tersebar ke Timur dan Barat dunia melalui amalan besar ini, jihad fi sabilillah.
Masih banyak lagi cara-cara syar’i Rabbani untuk penyebaran Islam melalui dakwah ilallah. Setiap orang yang mengkaji, menelaah dan memperhatikan Al-Qur`an, sejarah Nabi n dan sejarah Salafus Shalih akan mengetahui dengan jelas permasalahan ini. Dan dia akan yakin bahwa cara-cara syar’i sangat mencukupi kebutuhan dakwah Islamiyyah Salafiyyah sepanjang masa dan tempat. Wallahul muwaffiq.

Apakah Wasilah-wasilah Modern Masa Kini Terlarang?
Prinsip bahwa wasilah dakwah adalah tauqifiyyah tidak berarti menghalangi para da’i ilallah untuk menggunakan alat-alat modern atau cara-cara masa kini yang terus ada dan berkembang. Hanya saja hal-hal tersebut harus ditimbang dari sudut syar’i. Kalau tidak ada pelanggaran syariat maka tidak mengapa dan masuk dalam kaidah besar para ahli fiqih yang berbunyi:

“Wasilah itu mempunyai hukum sama dengan tujuan.”
Namun bila di dalamnya terdapat mudharat atau pelanggaran syariat, maka tidak boleh digunakan dan dakwah Islamiy-yah Salafiyyah tidak kenal bahkan mengecam kaidah Yahudiyyah dan Ikhwaniyyah:

“Tujuan menghalalkan segala cara.”
Bila pada wasilah tadi terdapat dua fungsi, yang satu untuk perkara syar’i dan yang satunya untuk perkara haram, maka sang da’i dapat menggunakannya untuk kepentingan yang syar’i saja.
Di antara sarana masa kini yang dapat digunakan untuk penyebaran dakwah Salafiyyah Nabawiyyah adalah:
1. Majalah, buletin, selebaran, radio, dan penerbitan kitab
Fadhilatusy Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah wa syafaahu di dalam sambutannya untuk penerbitan majalah Manabirul Huda Al-Jazair menjelaskan:
“…Sesungguhnya sebab yang paling besar dan kuat untuk merealisasikan tujuan-tujuan (yang mulia) tersebut adalah dengan menggunakan wasilah-wasilah yang disya-riatkan dan mengarahkannya untuk mema-hamkan umat, khususnya para pemuda, seperti kitab, kaset, selebaran, majalah, dan radio, sehingga pemahaman yang lurus ini sampai kepada setiap individu umat dan kepada setiap keluarga.
Dengan syarat, orang-orang yang menanganinya adalah ahli ilmu yang bermanfaat, yang bertakwa, dan ikhlas karena Allah Rabbul ‘alamin…”
Perlu juga ditambahkan pada penerbitan majalah:
1.    Tidak menerima iklan yang murni untuk bisnis, seperti iklan madu, minyak gosok, minyak wangi, warung sate, dan yang semisalnya.
2.    Tidak boleh me-muat gambar-gambar yang menunjukkan sisi duniawi yang glamour, seperti gambar-gambar gedung pencakar langit yang menggambarkan keme-gahan sebuah kota metro-politan, apalagi gambar makhluk bernyawa yang jelas keharamannya.
3.    Bukan untuk tujuan komersial murni. Kalau tujuan utama adalah dakwah ilallah, namun ada sisi keuntungan duniawi dari hasil penjualannya maka tidaklah mengapa.
4.    Pengurusnya harus laki-laki. Adapun para wanita maka dapat dialokasikan ke bagian khusus kewanitaan dengan syarat tetap di bawah kepengurusan laki-laki.
Demikian ringkasan penjelasan Syaikhuna Abdurrahman Al-’Adani hafizha-hullah wa syafaahu (semoga Allah menjaga dan menyembuhkan beliau), ketika penulis bertanya langsung kepada beliau di Masjid Mazra’ah, Dammaj, Yaman, semasa penulis masih belajar di Darul Hadits. Wallahul muwaffiq.
2.  Pembentukan Ma’had (Pondok Pesantren)
Wasilah ini sesungguhnya sudah ada di zaman ulama dahulu. Bahkan sebagian ulama ada yang secara khusus menulis buku bertema “sejarah madrasah.”
Demikian pula para ulama di masa sekarang, baik dengan sistem mulazamah –dan ini yang banyak manfaatnya– ataupun dengan sistem klasifikasi per kelas dengan target dan waktu tertentu. Target dan waktu ini bukanlah untuk membatasi waktu menun-tut ilmu, namun sebagai persiapan untuk masuk ke jenjang beri-kutnya secara bertahap. Seperti yang dilakukan para ulama besar di zamannya ketika mendiri-kan Jami’ah Islamiyyah Madinah.
Wasilah ini terma-suk yang dibolehkah oleh Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi dalam sambutan beliau untuk majalah Al-Jazair.
Penulis pernah ber-tanya kepada Asy-Syaikh Abdurrahman Al-’Adani tentang dirasah (penga-jaran) di madrasah dengan sistem klasikal (dibuat per kelas). Beliau menjawab: “Tidak ada larangan dalam hal ini, sebab para ulama dahulu pernah melakukannya. Dan dirasah di masjid-masjid afdhal (lebih utama).” Demikian khulashah (ringkasan) jawaban beliau. Jazahullah khairan.
Masih banyak lagi contoh-contoh wasilah dakwah masa kini yang mungkin dapat digunakan. Yang penting adalah tidak ada unsur pelanggaran syariat di dalamnya.
Akhirul kalam, semoga tulisan ini menjadi pencerahan wawasan terhadap dakwah Islamiyyah Salafiyyah dan mudah-mudahan dapat diambil manfaatnya oleh penulis sendiri dan segenap kaum muslimin. Wallahu a’lam bish-shawab.