Asysyariah
Asysyariah

walimah al-urs

9 tahun yang lalu
baca 9 menit
Walimah al-Urs

Setelah ijab qabul sepasang pengantin, biasanya karib kerabat, handai taulan, dan orang-orang di sekitar, diundang untuk jamuan makan. Acara makan-makan ini dikenal dengan walimah al-urs. Dalam semua pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, diadakan walimah al-urs, kadang dengan jamuan daging dan pernah pula tanpa daging, sesuai dengan kemampuan dan kelapangan saat itu.

Walimah pernikahan merupakan perkara yang disyariatkan dan seperti disebutkan di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri melakukannya. Bahkan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah Abdurrahman ibnu Auf radhiallahu ‘anhu untuk mengadakan walimah atas pernikahannya dengan seorang wanita Anshar. Berikut ini kisahnya dari hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.

Suatu hari Abdurrahman ibnu Auf radhiallahu ‘anhu menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan tampak bekas wewangian wanita berwarna kuning kemerah-merahan pada pakaiannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum tahu bahwa Abdurrahman telah menikah bertanya heran, “Ada apa denganmu?” atau “Wewangian apa ini?”

Abdurrahman pun menjelaskan, “Wahai Rasulullah, saya telah menikah dengan seorang wanita Anshar. “

“Apa mahar yang engkau berikan?” tanya Rasulullah.

“Emas seberat biji kurma,” jawab Abdurrahman.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendoakan keberkahan untuknya dan mengatakan,

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

Adakanlah walimah, walaupun hanya dengan seekor kambing.” (HR . al-Bukhari dalam Shahihnya)

Ada pula perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu yang menikahi Fathimah putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Buraidah ibnul Hushaib radhiallahu ‘anhu berkisah sebagai berikut.

Sejumlah orang Anshar berkata kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, “Lamarlah Fathimah putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Mengikuti saran orang-orang Anshar, Ali pun memberanikan diri mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengucapkan salam kepada beliau. Rasulullah bertanya, “Apa keperluanmu, wahai Ali?”

Ali menjawab, “Aku menginginkan Fathimah putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Marhaban wa ahlan,” kata Rasulullah, tidak menambah selain ucapan tersebut.

Ali bin Abi Thalib lalu keluar dari rumah beliau dan menemui sekelompok orang-orang Anshar yang tengah menantinya. “Bagaimana hasilnya?” tanya mereka penasaran.

“Aku tidak tahu, Rasulullah hanya berkata, ‘Marhaban wa ahlan’,” jawab Ali.

Mereka berkata, “Sudah cukup bagimu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salah satu dari keduanya. Beliau memberimu al-ahl dan al-marhab.”

Setelah berlalu beberapa waktu dan Ali telah menikahi Fathimah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا عَلِيُّ، إِنَّهُ لاَ بُدَّ لِلْعَرُوْسِ مِنْ وَلِيْمَةٍ

“Wahai Ali, harus diadakan walimah untuk pengantin.”

Sa’d berkata menawarkan bantuannya, “Saya punya domba (bisa disembelih untuk hidangan walimah).” Sekelompok orang Anshar ikut membantu Ali. Mereka mengumpulkan beberapa sha’ dzarrah.

Pada malam pengantin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Ali, “Jangan kamu melakukan apa-apa sampai kamu menemuiku.” Kemudian Rasulullah meminta diambi lkan air dalam wadah, lalu beliau berwudhu dalam wadah tersebut. Setelahnya beliau mencurahkan air bekas wudhu beliau ke tubuh Ali dan berdoa[1],

اللَّهُمَّ بَارِكْ فِيْهِمَا وَبَارِكْ لَهُمَا فِي بِنَائِهِمَا

“Ya Allah, berkahilah dalam pernikahan keduanya, dan berkahilah keduanya dalam malam pengantin keduanya.”[2]

Boleh Walimah Tanpa Hidangan Daging

Hidangan makanan berupa daging memang lazim kita jumpai dalam jamuan walimah. Bisa jadi, kita akan heran saat menghadiri walimah tanpa ada daging yang disajikan. Padahal yang punya hajat boleh menyajikan makanan apa pun sesuai dengan kemampuannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, sebagaimana disinggung di atas, pernah mengadakan walimah tanpa daging. Berikut ini kisahnya.

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam singgah selama tiga malam di sebuah tempat yang terletak antara Khaibar dan Madinah guna berpengantinan dengan Shafiyah bintu Huyai. Aku mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimah beliau. Dalam jamuan walimah tersebut tidak ada roti, tidak pula daging. Di atas tanah dibentangkan alas dari kulit yang telah disamak, lalu disajikan di atasnya kurma, keju, dan minyak samin. Orang-orang yang hadir pun kenyang dengan hidangan yang ada.” (HR . al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)

Hidangan Walimah Boleh Dibantu Orang Lain

Hidangan walimah tidak harus ditanggung sendiri oleh yang punya hajat. Bahkan, disenangi bagi orang-orang yang memiliki kelapangan untuk membantu menyiapkan hidangan apabila yang punya hajat memang tidak mampu.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Ali radhiallahu ‘anhu yang telah dibawakan di atas dan hadits Anas radhiallahu ‘anhu tentang kisah pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Shafiyah bintu Huyai. Saat dibentangkan di atas tanah hamparan dari kulit, diumumkanlah, “Siapa yang memiliki kelebihan makanan, hendaknya dia mendatangkannya ke kami.”

Berdatanganlah orang membawa keju, membawa kurma, dan membawa minyak samin….”

Sunnah dalam Walimah

Ada beberapa bimbingan sunnah yang perlu diperhatikan oleh yang mengadakan walimah, di antaranya:

  1. Walimah diadakan tiga hari setelah dukhul (masuk dan bertemunya pengantin lelaki dengan perempuan).

Demikian yang ternukil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Shafiyah, diadakan walimah pada hari ketiga. (HR . Abu Ya’la)[3]

  1. Mengundang orang-orang saleh dalam jamuan walimah, tanpa membedakan dia miskin atau kaya. Sebab, Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا، وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِيٌّ

“Janganlah kamu berteman kecuali dengan seorang mukmin. Dan janganlah memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa.” (HR . Abu Dawud, at-Tirmidzi, dll.)[4]

Haram hukumnya apabila dalam walimah hanya diundang orang-orang kaya dan meninggalkan orang-orang miskin. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ يُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيمنعهَا الْمَسَاكِي

“Hidangan yang paling buruk adalah hidangan walimah yang di dalam jamuannya hanya diundang orang-orang kaya, dan orang-orang miskin terhalangi menikmatinya (tidak diundang).” (HR . Muslim dalam Shahihnya)

  1. Hidangan walimah dengan seekor kambing atau lebih kalau memang ada kelapangan.

Haditsnya jelas tentang kisah pernikahan Abdurrahman bin Auf radhiallahu ‘anhu yang telah dibawakan di atas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

           “Adakanlah walimah, walaupun hanya dengan seekor kambing.” (HR . al-Bukhari dalam Shahihnya)

Ada lagi hadits lain yang menunjukkan hal ini. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu sebagai orang yang selalu dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau adalah pelayan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kembali menyampaikannya kepada kita,

مَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ أَوْلَمَ عَلَى امْرَأَةٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَى زَيْنَبَ، فَإِنَّهُ ذَبَحَ شَاةً.

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghidangkan makanan walimah atas pernikahannya dengan seorang pun dari istri-istri beliau sebagaimana hidangan walimah yang beliau sajikan saat menikahi Zainab bintu Jahsy[5]. Saat itu beliau menyembelih seekor kambing.” (HR . al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)

Pengantin Melayani Hadirin

Biasanya dalam acara walimah, pengantin duduk manis di pelaminannya. Pengantin perempuan di tempat khusus para wanita dan pengantin lelaki di tempat para lelaki[6]. Namun, tidak ada larangan pengantin ikut melayani tamu undangan, seperti mengambilkan piring, menuangkan air minum, dan sebagainya. Hal ini dilakukan oleh istri Abu Usaid as-Sa’idi radhiallahu ‘anhu. Saat walimahnya yang dihadiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia sendiri yang membuatkan makanan walimah dan dia pula yang menghidangkannya. (HR . al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)

cincin

“Cincin Kawin” dalam Catatan

Ada beberapa kebiasaan menyimpang yang kerap terjadi di tengah kita dalam pesta pernikahan, di antaranya apa yang disebut cincin kawin.

Dalam acara pernikahan, biasanya pengantin lelaki bertukar cincin dengan pengantin perempuan. Lalu cincin itu dikenakan di jari kelingking pengantin. Padahal kebiasaan ini bukanlah dari Islam, melainkan dari agama Nasrani. Sementara itu, kita—orang Islam— dilarang menyerupai orang-orang kafir, termasuk Nasrani, dalam kebiasaan mereka yang khusus.

Selain jatuh dalam perbuatan tasyabbuh, pemakaian cincin ini juga ada yang memaksudkan untuk mengikat cinta di antara suami istri, suami mencintai istrinya dan istri mencintai suaminya. Hal ini adalah bentuk kesyirikan karena pemakaian cincin bukanlah sebab syar’i untuk mengikat cinta dan bukan pula sebab qadari. Maksudnya, tidak ada hubungan sebab akibat yang dibenarkan oleh hukum syariat dan hukum alam, antara memakai cincin kawin dan rasa cinta.

Ada anggapan bahwa selama cincin itu dikenakan oleh suami berarti pernikahannya dengan istrinya tetap terjaga. Sebaliknya apabila suami melepaskan cincin kawin berarti ada sesuatu dalam pernikahannya. Apabila sampai niat dan keyakinan seperti ini ada pada si pemakai, jelas hukumnya syirik ashghar. Namun, apabila tanpa keyakinan demikian, dia hanya sekedar memakai karena tradisi di masyarakatnya, dia jatuh dalam perbuatan tasyabbuh.

Ada lagi satu kemungkaran cincin kawin tersebut, yaitu apabila cincin terbuat dari emas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang lelaki memakai cincin dari emas, sebagaimana hadits berikut ini,

نَهَى عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari memakai cincin emas.” (HR . al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya) (Lihat al-Qaul al-Mufid Syarhu Kitab at-Tauhid, 1/78)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah


[1] Doa lain untuk pengantin adalah,

بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ

[2] Lihat kitab Adab az-Zafaf, hlm. 175, karya al-Imam al-Albani.

HR Ahmad 5/359, dll. Kata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah tentang sanadnya dalam Fathul Bari, “La ba’sa bih.” Kata al-Imam al-Albani rahimahullah, dalam catatan kaki Adabuz Zafaf hlm. 145, “Rijalnya tsiqat, rijal al-Imam Muslim, selain Abdul Karim. Sejumlah orang-orang tsiqat meriwayatkan darinya, Ibnu Hibban membawakannya dalam kitabnya ats-Tsiqat, 2/183.”

Kata al-Hafizh dalam at-Taqrib, “Dia maqbul/diterima.”

Kisah lengkapnya diriwayatkan oleh Ibnu Sa`d (8/20—21), ath-Thabarani dalam al-Kabir (1/112/1) dengan sanad hasan, dan Ibnu Asakir (12/88/2).

[3] Sanadnya hasan sebagaimana disebutkan dalam Fathul Bari (9/199) dan secara makna ada dalam Shahih al-Bukhari.

[4] Al-Hakim berkata, “Sahih sanadnya”, dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat catatan kaki Adab az-Zafaf.

[5] Saat menikah dengan Zainab, hidangan walimahnya lebih istimewa.

[6] Harus dipisah tamu lelaki dan perempuan di tempat masing-masing agar tidak terjadi ikthilath yang diharamkan. Pengantin lelaki tentu tidak boleh didudukkan di ruang khusus para wanita.

Sumber Tulisan:
Walimah al-Urs