Asysyariah
Asysyariah

usaha, doa, sebab, dan takdir

13 tahun yang lalu
baca 16 menit
Usaha, Doa, Sebab, dan Takdir

Usaha, Doa, Sebab, dan Takdir

Usaha, Bagian dari Takdir

Usaha adalah bagian dari takdir. Tidak ada kontradiksi antara usaha dan takdir. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Jika pengejar akhirat mengetahui bahwa akhirat tidak akan digapai melainkan dengan keimanan, amal saleh, dan meninggalkan lawannya (amal buruk), ia akan bersemangat dan bersungguh-sungguh merealisasikan keimanan dan memperbanyak wujud-wujud keimanan yang terperinci. Ia akan bersungguh-sungguh melakukan amalan saleh yang akan mengantarkan dirinya menuju akhirat. Sisi yang lain, ia akan meninggalkan kekufuran dan kemaksiatan. Ia akan segera bertaubat jika terjatuh dalam dosa.

Jika pemilik ladang mengetahui bahwa hasil kerjanya tidak akan berhasil melainkan dengan menanam dan mengairinya disertai dengan pengawasan ketat, ia akan bersemangat dan bersungguh-sungguh melakukan segala cara untuk menumbuhkan tanamannya, memaksimalkannya, dan mencegah hama penyakit.
Jika pelaku produksi mengetahui bahwa hasil-hasil produksi, dengan berbagai ragam jenis dan manfaatnya, tidak akan berhasil didapatnya melainkan dengan mempelajari disiplin ilmu produksi dan menguasainya, lalu mempraktikkannya, ia akan berusaha dan bersungguh-sungguh.

Barang siapa mengharapkan keturunan atau membiakkan hewan ternaknya, tentu ia akan bekerja dan berusaha. Demikianlah pada seluruh urusan.” (ar-Riyadh an-Nadhirah, as-Sa’di, hlm. 125—126)

Adapun dalil yang menjelaskan wajibnya si hamba berusaha sangat banyak. Antara lain:
1. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, riwayat Muslim (4/2025).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ، احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا؛ وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ؛ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dibandingkan mukmin yang lemah, dan masing-masing mempunyai kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk hal yang bermanfaat untukmu. Mohonlah pertolongan dari Allah dan jangan merasa lemah. Jika ada sesuatu menimpa dirimu, jangan ucapkan, ‘Andai saja saya melakukan begini, tentu akan menjadi begini dan begitu.’ Namun ucapkanlah, ‘Telah ditakdirkan Allah, apa yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki, Dia pasti melakukannya.’ Sesungguhnya ucapan ‘andai saja’, akan membuka amalan setan.”

  1. Hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, riwayat al-Bukhari (10/179) dan Muslim (4/1740).

Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu pernah berangkat menuju Syam. Setibanya di wilayah Sargh, beliau disambut oleh para panglima perang, Abu Ubaidah bin al-Jarrah beserta sahabat-sahabat lainnya. Mereka menyampaikan berita kepada Umar bahwa di negeri Syam sedang terjangkiti satu wabah. Umar lalu memerintahkan untuk mengundang para sahabat dalam rangka bermusyawarah. Mulai dari kalangan Muhajirin, lalu kalangan Anshar, kemudian kaum Quraisy. Dari musyawarah tersebut, Umar memutuskan untuk kembali pulang.
Lalu Umar radhiallahu ‘anhu mengumumkan, “Sesungguhnya aku akan kembali besok pagi, bersiap-siaplah besok.” Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiallahu ‘anhu bertanya, “Apakah untuk lari dari takdir Allah?” Umar menjawab,

لَوْ غَيْرُكَ قَالَهَا، يَا أَبَا عُبَيْدَةَ نَعَمْ، نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ اللهِ إِلَى قَدَرِ اللهِ، أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَتْ لَكَ إِبِلٌ فَهَبَطَتْ وَادِيًا لَهُ عُدْوَتَانِ إِحْدَاهُمَا خَصْبَةٌ وَالْأُخْرَى جَدْبَةٌ، أَلَيْسَ إِنْ رَعَيْتَ الْخَصْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللهِ وَإِنْ رَعَيْتَ الْجَدْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللهِ؟

“Andai saja bukan kamu yang mengatakannya, wahai Abu Ubaidah. Ya, kita lari dari takdir Allah subhanahu wa ta’ala menuju takdir Allah subhanahu wa ta’ala yang lain. Apa pendapatmu, jika engkau mempunyai ternak unta lalu singgah di sebuah lembah yang memiliki dua sisi. Satu sisi yang subur, sisi yang lain gersang. Bukankah dengan takdir Allah juga jika engkau menggiringnya ke sisi yang subur? Bukankah dengan takdir Allah juga engkau menggiringnya ke sisi yang gersang?”

Setelah itu, datanglah Abdurrahman bin Auf radhiallahu ‘anhu yang sebelumnya tidak hadir karena ada keperluan. Ia berkata, “Sesungguhnya aku memiliki ilmu tentang masalah ini. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jika kalian mendengar terjadi wabah di suatu daerah, janganlah mendatanginya. Jika kalian berada di suatu daerah yang sedang terjangkiti wabah, janganlah meninggalkannya untuk lari’.”

Umar pun memuji Allah subhanahu wa ta’ala, lalu bertolak (kembali ke Madinah).

Orang Cerdas

Orang yang benar-benar cerdas akan berusaha menghindari takdir dengan takdir juga, menghadapi takdir dengan takdir pula. Tidak akan mungkin kita menjalani kehidupan melainkan dengan cara ini. Rasa lapar dan haus, kedinginan, seluruh hal yang menakutkan dan membahayakan, adalah takdir. Seluruh makhluk berusaha untuk terhindar dari hal tersebut dengan takdir juga.

Demikianlah kondisi hamba yang memperoleh taufik dan petunjuk. Ia pasti berusaha untuk terhindar dari “takdir” siksa di akhirat dengan “takdir” taubat, iman, dan amal saleh. (ad-Da’u wad Dawa’, Ibnul Qayyim, hlm. 27)

Perlu diingat, yang mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala telah mencatat takdir makhluk, lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi,” beliau juga yang mengatakan, “Beramallah, karena masing-masing akan dimudahkan untuk apa yang diciptakan untuknya.” Lalu:

“Apakah kamu beriman kepada sebagian dari Al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain?” (al-Baqarah: 85)

(al-Iman bil Qadha, Muhammad bin Ibrahim, hlm. 127—129)

Doa, Bagian dari Takdir

Soal: Sesuatu yang dimohon dalam doa, jika memang telah ditakdirkan untuk terjadi, pasti terjadi. Sama saja, apakah si hamba berdoa ataukah tidak. Jika memang sudah ditakdirkan untuk tidak terjadi, tidak akan mungkin akan terjadi, baik si hamba memohon maupun tidak.

Jawab:
Sekelompok orang memandang benar pernyataan di atas. Mereka kemudian tidak ingin berdoa dan mengatakan, “Tidak ada manfaatnya berdoa!”

Mereka sendiri, dengan kejahilan dan kesesatan, pasti akan mengalami kontradiksi. Menerima pendapat mereka sama saja menghilangkan seluruh bentuk sebab. Coba saja ditanyakan kepada salah seorang dari mereka, “Jika kenyang dan puas dari dahaga memang telah ditakdirkan untukmu, pasti terjadi, apakah engkau makan ataukah tidak? Jika memang sudah ditakdirkan untuk tidak kenyang, tidak akan mungkin terjadi, apakah engkau makan ataukah tidak?”

“Jika memang telah ditakdirkan engkau memiliki anak, pasti terjadi baik engkau berhubungan badan dengan istri maupun tidak. Jika memang sudah ditakdirkan engkau tidak memiliki anak, pasti tidak akan terjadi. Lalu, apa guna menikah?” Demikian juga hal-hal yang lain.

Pertanyaannya, “Apakah hal di atas akan diucapkan oleh seseorang yang berakal? Seorang manusia? Bahkan, hewan ternak sekalipun memiliki fitrah untuk melakukan ‘sebab’ untuk mempertahankan hidupnya. Dengan demikian, hewan lebih berakal dan lebih bisa memahami dibandingkan dengan kelompok ini. Mereka layaknya hewan ternak, bahkan lebih sesat jalannya.”

Ada kelompok lain, sedikit lebih pandai daripada kelompok pertama. Mereka berpendapat, “Berdoa adalah ibadah murni. Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan pahala bagi hamba yang mau berdoa. Berdoa tidak memiliki pengaruh terhadap apa yang diminta, dari sisi mana pun.”

Menurut mereka, berdoa atau tidak adalah sama saja, tidak akan memberikan pengaruh terhadap apa yang diminta. Hubungan doa dan terjadinya keinginan, menurut mereka, sama dengan hubungan diam dengan terjadinya keinginan.

Ada kelompok lain yang berpendapat, “Doa hanyalah murni pertanda, yang ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala sebagai tanda terpenuhinya keinginan. Barang siapa diberi taufik untuk berdoa, hal itu sebagai tanda bahwa keinginannya telah terpenuhi.” Sama halnya dengan awan hitam pekat di musim penghujan yang menjadi tanda bahwa hujan akan turun. Dengan demikian, ketaatan hanyalah pertanda adanya pahala, bukan sebab. Kekufuran dan maksiat hanyalah pertanda siksa, bukan sebab.

Masih menurut kelompok ini, tindakan memecahkan bukanlah “sebab” pecah, tindakan membakar bukan juga “sebab” kebakaran, dan melakukan perbuatan membunuh bukanlah “sebab” kematian. Hanya sebatas pertanda saja.
Pendapat semacam ini berseberangan dengan akal dan daya indra, bertentangan dengan syariat dan fitrah, serta berhadapan dengan segenap pemikir. Orang berakal juga menertawakan mereka.

Yang benar, sesuatu yang ditakdirkan Allah subhanahu wa ta’ala juga memiliki “sebab-sebab” yang juga ditakdirkan. Berdoa termasuk “sebab” sehingga segala sesuatu tidak hanya ditakdirkan tanpa adanya “sebab”. Akan tetapi, ia ditakdirkan beserta “sebabnya”. Pada saat si hamba melaksanakan “sebab”, apa yang ditakdirkan akan terjadi. Namun, jika ia tidak melaksanakan “sebab”, yang ditakdirkan pun tidak terjadi.

Hal ini sama dengan kenyang yang ditakdirkan terjadi dengan sebab makan, puas dari dahaga dengan sebab minum, memiliki anak dengan sebab berhubungan badan, menuai panen dengan sebab menanam benih, dan matinya hewan dengan sebab disembelih. Demikian juga, masuk ke dalam surga ditakdirkan dengan melakukan amalan saleh, dan masuk ke dalam neraka dengan sebab melakukan kejahatan.

Kesimpulannya, berdoa termasuk “sebab” terbesar. Jika sesuatu yang ditakdirkan dapat terjadi dengan “sebab” doa, tidaklah benar untuk dinyatakan, “Tidak ada manfaatnya berdoa!” Sebagaimana tidak dapat dibenarkan untuk mengatakan, “Tidak ada manfaatnya makan dan minum. Tidak ada gunanya seluruh aktivitas dan perbuatan.”

Tidak ada “sebab” lain yang melebihi manfaat doa. Tidak pula ada “sebab” lain yang melebihi doa dalam hal mewujudkan keinginan. Oleh karena itu, para sahabat—sebagai generasi yang paling mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya serta generasi yang paling mengerti tentang agama—sangat kuat mewujudkan doa sebagai “sebab”, syarat-syarat dan adabnya, jika dibandingkan dengan orang lain.

Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu selalu memohon pertolongan dengan berdoa ketika menghadapi musuh. Doa merupakan bala tentaranya yang terbesar. Beliau radhiallahu ‘anhu sering mengingatkan pasukannya, “Sesungguhnya kalian tidak memperoleh kemenangan dengan jumlah yang banyak. Akan tetapi, kalian mendapat kemenangan hanyalah dengan pertolongan dari langit.”

Beliau juga sering menyampaikan, “Sesungguhnya aku tidak meragukan tentang dikabulkannya doa, namun aku khawatir hilangnya keinginan untuk berdoa. Apabila kalian mendapatkan kemudahan untuk berdoa, sesungguhnya dikabulkannya doa selalu mengiringi doa.”

Barang siapa memperoleh jalan untuk berdoa, doa itu akan dikabulkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

Dan Rabbmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Ghafir: 60)

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah: 186) (ad-Da’u wad Dawa’, Ibnul Qayyim, hlm. 22—24)

Asy-Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah doa memiliki pengaruh mengubah catatan takdir manusia yang telah ada sebelum ia diciptakan?”

Beliau menjawab, “Tidak diragukan lagi, doa dapat memberikan pengaruh untuk mengubah catatan takdirnya. Namun, perubahan itu pun telah tercatat juga sebagai takdir dengan sebab doa. Jangan mengira, jika Anda berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala berarti Anda telah meminta sesuatu yang tidak tercatat sebagai takdir! Doa juga telah tercatat sebagai takdir. Demikian juga hasil dari doa tersebut telah tercatat sebagai takdir.

Oleh sebab itu, kita menyaksikan ada orang yang membacakan doa untuk orang sakit, kemudian sembuh. Kisah pasukan perang yang ditugaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dalil akan hal ini. Mereka singgah untuk bertamu di sebuah kampung, namun mereka tidak dijamu sebagai tamu. Lalu, ditakdirkan kepala kampung tersebut digigit oleh ular berbisa. Kemudian mereka memohon orang yang dapat membacakan doa untuk si kepala kampung. Akan tetapi, para sahabat mengajukan syarat, yaitu upah untuk melakukannya. Mereka lalu menyerahkan sekawanan kambing. Salah seorang sahabat lantas berangkat untuk membacakan al-Fatihah.

Setelah itu, si sakit langsung berdiri seolah-olah ia baru saja lepas dari ikatan. Maksudnya, seperti seekor unta yang terlepas tali kekangnya. Benar, bacaan sahabat tersebut memiliki pengaruh untuk kesembuhan si sakit.

Kesimpulannya, doa memang memiliki pengaruh, namun tidak mengubah takdir. Perubahan tersebut pun termasuk bagian dari takdir, yang terjadi dengan sebuah “sebab” yang juga telah ditakdirkan. Demikian juga seluruh “sebab”, ia memiliki pengaruh pada “akibat” dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala. Maka dari itu, “sebab” adalah takdir yang tercatat, “akibat” pun takdir yang tercatat. (Fatawa Aqidah, Fahd bin Nashir, hlm. 234)

Keterikatan serta Keterkaitan Takdir dan Sebab

Takdir tidak berbenturan dengan sebab yang syar’i dan qadari. Hal ini karena “sebab” termasuk takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Mengaitkan dan mengikatkan antara sebab dan akibat adalah konsekuensi dari hikmah-Nya, sebagai sifat Allah subhanahu wa ta’ala yang paling tinggi, yaitu sifat yang ditetapkan sendiri oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk diri-Nya pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an.

Contoh sebab qadari adalah firman-Nya:

“Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal. Lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya. Maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya tiba-tiba mereka menjadi gembira. Dan sesungguhnya sebelum hujan diturunkan kepada mereka, mereka benar-benar telah berputus asa. Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati.

Sesungguhnya (Rabb yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (ar-Rum: 48—50)

Contoh sebab syar’i adalah firman-Nya:

“Wahai ahli kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (al-Maidah: 15—16)

Seluruh bentuk perbuatan yang ditentukan balasannya oleh Allah subhanahu wa ta’ala, baik pahala maupun siksa, termasuk sebab syar’i, jika dilihat dari sisi bahwa seorang hamba dituntut untuk melaksanakannya. Juga dapat dikatakan sebagai sebab qadari, jika dilihat dari aspek terjadinya berdasarkan takdir dan qadha dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Cara Pandang Manusia Terhadap Sebab

Terkait dengan posisi “sebab”, ada tiga cara pandang yang muncul di permukaan.
1. Kelompok nufat (pengingkar).

Mereka mengingkari pengaruh dan peran “sebab”. Mereka menyatakan, “Sebab hanyalah sebatas tanda yang ada pada saat terjadinya sesuatu, bukan sebagai penyebabnya.” Mereka berpendapat, “Pecahnya kaca yang dilempar batu terjadi ketika batu mengenai kaca, bukan disebabkan oleh lemparan batu.”
Kelompok ini menyelisihi dalil dan menentang daya indra. Mereka telah mengingkari hikmah Allah subhanahu wa ta’ala yang menghubungkan antara sebab dan akibat.

  1. Kelompok ghulat (berlebihan).

Mereka menetapkan pengaruh dan peran “sebab”, namun meyakininya secara berlebihan. Mereka menyatakan, “sebab” dapat memberikan pengaruh dengan sendirinya tanpa kehendak Allah.

Kelompok ini tergelincir dan terjatuh dalam dosa kesyirikan. Dengan keyakinan ini, mereka menetapkan adanya “pencipta” selain Allah subhanahu wa ta’ala. Pendapat ini juga berseberangan dengan dalil dan daya indra.

Al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ menerangkan bahwa tidak ada pencipta selain Allah subhanahu wa ta’ala.

Secara kenyataan, kita juga menyaksikan dengan jelas, kadang-kadang terjadi “sebab” namun tidak muncul “akibat”nya, seizin Allah subhanahu wa ta’ala tentunya. Contohnya, Nabi Ibrahim q yang tidak terbakar ketika dilemparkan ke dalam kobaran api. Api pun menjadi dingin dan keselamatan, beliau tidak terbakar.

  1. Kelompok wasath (berada pada kebenaran).

Mereka memperoleh petunjuk yang lurus kepada kebenaran. Mereka berada pada posisi di antara kedua kelompok sebelumnya. Mereka mengambil sisi kebenaran dari dua kelompok sebelumnya. Mereka menyatakan, “sebab” memang memiliki pengaruh dan peran pada “akibat”, namun tidak secara sendirinya. Hal itu terjadi dengan kekuatan dan kemampuan yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada “sebab” tersebut.

Kelompok ini adalah kelompok yang adil. Mereka diberi taufik pada kebenaran dengan memadukan antara dalil, akal, dan daya indra. Sebagaimana halnya takdir tidak berbenturan dengan sebab syar’i dan qadari, demikian juga takdir tidak berbenturan dengan kehendak dan kemampuan yang dimiliki oleh seorang hamba untuk melakukan perbuatan. Jadi, setiap makhluk memiliki kehendak dan kemampuan. Ia sendiri yang berbuat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 152)

“Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).” (an-Nisa’: 66)

“Barang siapa mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-sekali tidaklah Rabbmu menganiaya hamba-hamba(Nya).” (Fushshilat: 46)

“Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya).” (al-Qalam: 25)

Akan tetapi, sebagai makhluk ia tidak dapat berdiri dan terpisah secara sendirian dalam kehendak, kemampuan, dan perbuatannya. Sama halnya, “sebab” tidak dapat berdiri sendiri dalam menghasilkan “akibat”. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) melainkan jika dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (at-Takwir: 28—29)

Kehendak, kemampuan, dan perbuatan adalah sifat yang melekat pada makhluk. Oleh karena itu, kehendak, kemampuan, dan perbuatannya pun adalah makhluk juga. Hal ini karena sifat mengikuti yang disifati. Maka dari itu, Dzat yang menciptakan makhluk, Dia pula yang menciptakan sifat makhluk. (Taqrib at-Tadmuriyah, Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 105—107)

  1. Contoh Perpaduan Antara Takdir dan Kehendak Hamba

Penjelasannya demikian; jika seorang hamba menegakkan shalat, berpuasa, dan melakukan kebajikan, atau ia berbuat kemaksiatan, dialah pelaku kebajikan atau kemaksiatan tersebut. Perbuatannya, tanpa setitik keraguan, terjadi berdasarkan pilihan dan keinginannya sendiri. Secara pasti, ia merasakan dirinya tidak “dipaksa” untuk melakukan atau tidak melakukannya. Ia pun meyakini dengan pasti, jika mau, ia tidak akan melakukannya.

Sebagaimana penjelasan di atas merupakan kenyataan bahwa seperti itulah yang dinashkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al-Qur’an dan oleh Rasul-Nya dalam sunnahnya. Dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah, amalan kebaikan dan keburukan yang diperbuat oleh hamba dinisbahkan dan dilekatkan pada diri hamba itu sendiri. Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya juga memberitakan, merekalah pelaku perbuatan itu sesungguhnya. Mereka akan memperoleh pujian dan pahala jika yang diperbuat kebaikan. Sebaliknya, mereka akan mendapatkan celaan dan siksa jika yang diperbuat keburukan.

Maka dari itu, telah jelas dan terang, tanpa ada keraguan, seluruh perbuatan hamba dilakukan oleh mereka sendiri, dengan pilihan mereka sendiri. Jika mau, mereka lakukan. Jika mau, mereka tinggalkan. Hal ini dapat dibuktikan secara akal, daya indra, syariat, dan kenyataan. (Tanbihat al-Lathifah, as-Sa’di, hlm. 82—83)

Secara akal, tidaklah mungkin Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan siksa atas si hamba karena perbuatan yang ia “dipaksa” melakukannya. Kalau bukan karena pilihan dan kehendak si hamba sendiri, tidak mungkin ia terbebani syariat.

Secara daya indra, si hamba merasakan sendiri pada dirinya secara pasti, ia tidak dalam keadaan “dipaksa” untuk berbuat atau tidak berbuat.

Secara syariat, banyak ayat dan hadits yang menyandarkan perbuatan itu kepada si hamba. Di antaranya adalah:

“Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) atas amalan mereka.” (az-Zalzalah: 6)

Secara kenyataan, kita menyaksikan sendiri bahwa orang yang mengerjakan shalat, puasa, dan lainnya adalah si hamba, bukan Rabb. Maka dari itu, hambalah yang secara hakiki langsung berbuat. (Ta’liqat Yasin ‘alal Wasithiyyah, hlm. 231)

Ditulis oleh al-Ustadz Mukhtar Ibnu Rifai