Asysyariah
Asysyariah

upaya salaf dalam menyucikan jiwa

4 tahun yang lalu
baca 11 menit
Upaya Salaf dalam Menyucikan Jiwa

Menyucikan jiwa dari kotoran yang melekat adalah misi utama diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَقَدۡ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذۡ بَعَثَ فِيهِمۡ رَسُولًا مِّنۡ أَنفُسِهِمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ

“Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, serta mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali Imran: 164)

Oleh karena itu, apabila kita cermati agama Islam yang mulia ini, dari sisi akidah, ibadah, akhlak, perintah, dan larangannya, semua mengarah pada pembersihan jiwa.

Baca juga: Prinsip-Prinsip Tazkiyatun Nufus

Akidah tauhid, misalnya. Apabila tauhid telah tertanam kokoh dalam kalbu seseorang, niscaya najis kesyirikan akan lenyap dari dirinya. Dia tidak akan menggantungkan nasibnya dan menyandarkan urusannya selain kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dirinya ridha dengan keputusan Allah subhanahu wa ta’ala. Hatinya pun tenteram dengan mengingat-Nya. Dia akan selalu berhati-hati ketika akan bertindak dan berucap karena yakin akan pemantauan Allah subhanahu wa ta’ala.

Demikian pula amalan shalat dan zakat, Allah subhanahu wa ta’ala syariatkan untuk mewujudkan kesucian jiwa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (al-Ankabut: 45)

Di samping itu, shalat juga membersihkan dosa, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ، مَا تَقُولُونَ ذَلِكَ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ؟ قَالُوا: لاَ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا. قَالَ: فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا

“Apa pendapat kalian apabila ada sebuah sungai di (hadapan) pintu salah seorang kalian; ia mandi padanya sehari lima kali, apa yang kalian katakan tentang hal itu, (apakah) masih tersisa kotorannya?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak tersisa kotorannya sedikit pun.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Seperti itulah perumpamaan shalat lima waktu, Allah menghapus dengannya dosa-dosa.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Baca juga: Shalat, Antara Diterima dan Tidak

Adapun yang berkaitan dengan zakat, Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan,

خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (at-Taubah: 103)

Jadi, dengan mengeluarkan zakat dan sedekah, seseorang akan dibersihkan dari dosa dan sifat-sifat yang tercela. Inilah sekelumit contoh yang menegaskan bahwa syariat Islam datang untuk membersihkan jiwa-jiwa dari beragam kotoran yang melekat pada dirinya.

Bahkan, di antara faedah pelaksanaan hukuman had atas pelaku kejahatan adalah sebagai penghapus dosa kejahatan yang dilakukannya. Di samping itu, akan menimbulkan efek jera bagi pelakunya dan menjadi peringatan bagi orang yang tergerak ingin melakukan kejahatan serupa. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَصَابَ ذَنْبًا فَأُقِيمَ عَلَيْهِ حَدُّ ذَلِكَ الذَّنْبِ فَهُوَ كَفَّارَتُهُ

“Barang siapa melakukan dosa lalu ditegakkan atasnya hukuman had terhadap dosa tersebut, hal itu adalah penebus dosanya.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad, dan al-Bukhari dalam at-Tarikh dari Khuzaimah bin Tsabit radhiallahu anhu. Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakannya sahih dalam ash-Shahihah no. 2317)

Agar Dekat dengan Allah dan Meraih Harapan

Jiwa tidak akan meraih cita-citanya yang mulia, yaitu surga dengan beragam kenikmatan yang ada di sana, sampai ia bersih dan baik. Hal itu karena Allah Mahabaik dan tidak menerima selain yang baik. Demikian pula, surga adalah tempat yang baik dan diperuntukkan bagi orang-orang yang baik. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan sambutan para malaikat terhadap penghuni surga tatkala mereka memasukinya,

وَسِيقَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوۡاْ رَبَّهُمۡ إِلَى ٱلۡجَنَّةِ زُمَرًاۖ حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءُوهَا وَفُتِحَتۡ أَبۡوَٰبُهَا وَقَالَ لَهُمۡ خَزَنَتُهَا سَلَٰمٌ عَلَيۡكُمۡ طِبۡتُمۡ فَٱدۡخُلُوهَا خَٰلِدِينَ ٧٣

“Dan orang-orang yang bertakwa kepada Rabb mereka dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula). Hingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka, berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya, ‘Kesejahteraan (dilimpahkan) atas kalian. Kalian telah baik, maka masukilah surga ini, sedangkan kamu kekal di dalamnya’.” (az-Zumar: 73)

Baca juga: Jalan Menuju Surga

Apabila jiwa telah baik dan bersih, ia akan dekat dengan Allah subhanahu wa ta’ala sehingga beragam penghambaan yang tulus akan muncul dari dirinya. Hatinya akan terpenuhi kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Lisannya tak terputus dari menyebut nama-Nya. Hatinya tak pernah berhenti mengingat-Nya. Anggota tubuhnya pun selalu terlihat tunduk dan patuh kepada-Nya.

Orang yang melihatnya akan tenteram dan dipenuhi perasaan cinta kepadanya. Sebab, tenteramnya manusia terhadap seseorang itu sesuai dengan tenteramnya orang tersebut dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Inilah sesungguhnya kenikmatan dunia yang tak bisa ditandingi oleh kenikmatan apa pun.

Buah yang indah tersebut tidak akan didapat oleh orang yang bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan merendahkan dirinya dengan menyimpang dari syariat. Orang seperti ini justru akan dijauhkan dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala sebatas penyimpangannya. Oleh karena itu, muncullah kesenjangan antara dia dan Allah subhanahu wa ta’ala, demikian pula antara dia dan manusia yang lain. Andaikata dia meraih seluruh kenikmatan duniawi, niscaya belumlah mampu untuk menggantikan kesenjangan ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, “Orang yang terpenjara adalah yang hatinya terpenjara dari (cinta dan mengenal) Rabb-nya. Orang yang tertawan adalah yang ditawan oleh hawa nafsunya.” (al-Wabilush Shayyib)

Baca juga: Godaan Hawa Nafsu

Tidaklah seorang hamba mendapat hukuman yang lebih berat daripada kekakuan hati dan jauhnya dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Salafush Shalih dan Kesucian Jiwa

Pendahulu umat ini yang saleh tahu persis bahwa kebahagiaan yang hakiki terjaminkan dengan usaha pembersihan jiwa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا ٩ وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا ١٠

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 9—10)

Dengan demikian, beragam upaya dilakukan demi tercapainya tujuan yang mulia ini. Akan tetapi, upaya tersebut tidak keluar dari batasan yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Di antara usaha tersebut adalah:

  1. Menyucikan jiwa dengan mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala dan membuang segala macam kesyirikan.

Ini tentu saja upaya yang paling wajib karena di atasnya dibangun kokohnya keislaman seseorang. Jiwa yang telah suci dengan tauhid akan selalu terbimbing. Sikap mawas diri akan tumbuh. Pengagungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala selalu mewarnai kehidupannya. Begitu pula kecintaan kepada-Nya akan tampak dalam segala gerak-geriknya.

Demikian pula membersihkan jiwa dari kesyirikan. Sebab, apabila kesyirikan melekat pada seseorang, hatinya menjadi sarang berbagai ketakutan dan keyakinan yang tidak mendasar. Hatinya juga menjadi rapuh karena ketergantungannya pada selain Allah subhanahu wa ta’ala.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selalu membersihkan jiwa para sahabat dari kesyirikan hampir dalam setiap kesempatan. Pernah pada suatu hari yang malamnya turun hujan, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat,

هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ، فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ بِالكَوْكَبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا، فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي وَمُؤْمِنٌ بِالكَوْكَبِ

“Tahukah kalian apa yang dikatakan oleh Rabb-mu?”

Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”

Nabi bersabda, “Allah berfirman, ‘Hamba-Ku di pagi hari ada yang beriman dan ada yang kafir kepada-Ku. Orang yang mengatakan, ‘Kami diberi hujan karena keutamaan dan rahmat dari Allah subhanahu wa ta’ala’, maka dia telah beriman kepada-Ku dan mengingkari (pengaruh) bintang-bintang (terhadap turunnya hujan). Adapun yang mengatakan, ‘Kami diberi hujan karena munculnya bintang ini dan itu’, ia telah kafir kapada-Ku dan memercayai bintang-bintang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

  1. Menyucikan diri dengan mengerjakan yang diwajibkan dan meninggalkan yang diharamkan.

Upaya ini adalah yang paling utama yang dilakukan oleh seorang setelah mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala. Landasan hal ini adalah hadits qudsi dalam Shahih al-Bukhari, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ

Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan atasnya’.”

Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu berkata, “Amalan yang paling utama adalah mengerjakan apa yang diwajibkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan menahan diri dari apa yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan niat yang baik terhadap apa yang di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.” (at-Tazkiyah baina Ahlis Sunnah wash Shufiyah)

Telah dimaklumi, di antara keutamaan amal-amal kebaikan yang dilakukan oleh hamba adalah menyebabkan dosa diampuni. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱلۡحَسَنَٰتِ يُذۡهِبۡنَ ٱلسَّيِّ‍َٔاتِۚ

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114)

Baca juga: Berlomba dalam Kebaikan

Demikian pula, meninggalkan dosa-dosa besar akan menyebabkan dosa seseorang diampuni. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

إِن تَجۡتَنِبُواْ كَبَآئِرَ مَا تُنۡهَوۡنَ عَنۡهُ نُكَفِّرۡ عَنكُمۡ سَيِّ‍َٔاتِكُمۡ وَنُدۡخِلۡكُم مُّدۡخَلًا كَرِيمًا ٣١

“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (an-Nisa: 31)

Baca juga: Jangan Meremehkan Dosa
  1. Mengerjakan amalan-amalan sunnah

Ini juga jalan yang lebar untuk meraih kesucian jiwa setelah seseorang melaksanakan kewajiban-kewajiban. Salafush Shalih sangat menjaga amalan-amalan sunah dengan beragam bentuknya. Mereka tidak mencukupkan diri dengan mengerjakan yang wajib saja. Sebagian mereka, saking nikmatnya shalat malam sampai mengatakan, “Tidaklah tersisa dari kelezatan dunia selain tiga hal: shalat malam, bertemu dengan saudara-saudara (seiman), dan shalat berjamaah.”

Baca juga: Simpanan yang Tak Akan Sirna

Salah seorang sahabat menangis ketika hendak meninggal. Ketika ditanya sebabnya, dia menjawab, “Demi Allah, aku tidaklah menangis karena dunia kalian, tidak pula karena berpisah dengan kalian. Namun, aku menangis karena (berpisah dengan) lamanya haus saat musim panas dan shalat (malam) di saat malam dingin yang panjang.” (at-Tazkiyah baina Ahlus Sunnah wash Shufiyyah, hlm. 13)

Maksudnya, ia menangis sedih karena akan berpisah dengan kebiasaan beramal puasa di siang yang terik dan shalat di malam-malam yang dingin.

  1. Selalu berzikir kepada Allah

Ini adalah amalan yang tidak mengenal waktu, tempat, dan bilangan tertentu, selain zikir setelah shalat, zikir pagi petang, dan semisalnya yang memiliki ketentuan. Amalan zikir, meskipun ringan di lisan, ia berat pada timbangan di hari kiamat.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak diragukan bahwa kalbu bisa berkarat seperti tembaga, perak, dan logam lainnya, sedangkan pembersihnya adalah zikir. Dengan zikir, kalbu akan seperti cermin yang putih mengilap. Apabila meninggalkan zikir, kalbu akan berkarat.” (al-Wabil ash-Shayyib, Ibnul Qayyim)

  1. Istigfar (meminta ampun) kepada Allah

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فِي قَلْبِهِ فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ صُقِلَ قَلْبُهُ…

“Sesungguhnya, apabila seorang mukmin melakukan dosa, ada titik hitam pada kalbunya. Jika ia bertobat, mencabut diri (dari dosa), dan beristigfar, kalbunya dibersihkan….” (Dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3441)

Baca juga: Cara Bertobat dari Maksiat

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Perbanyaklah beristigfar di rumah-rumah, di majelis-majelis, dan di mana pun kalian berada. Sesungguhnya kalian tidak tahu di mana ampunan itu turun.” (Tafsir Surah an-Nashr karya Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah)

  1. Berdoa

Di antara petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam demi tercapainya kebersihan jiwa adalah berdoa sebagai berikut.

اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُمَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا

“Wahai Allah, berilah ketakwaan pada diriku dan sucikanlah ia, Engkaulah sebaik-baik yang menyucikannya. Engkaulah yang mengurusinya dan memilikinya.” (HR. Muslim dari Zaid bin Arqam radhiallahu anhu)

Walhasil, kesucian jiwa akan didapat dengan menjalankan ketentuan syariat, yaitu mengerjakan perintah, menjauhi larangan dengan hati yang tulus, serta mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan generasi salafush shalih. Kesucian jiwa tidak dicari dengan perkara-perkara bid’ah yang bertentangan dengan agama. Hal ini seperti yang dilakukan oleh kelompok Sufi yang membuat-buat berbagai wirid, zikir, amalan, dan aturan dalam ibadah yang sama sekali jauh dari petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Baca juga: Siapakah Sufi?

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dalam kitabnya, Talbis Iblis, telah mengupas tuntas tentang kesesatan kaum Sufi dan jauhnya mereka dari ilmu yang haq (benar). Padahal beberapa tokoh besar yang diklaim bagian dari kelompok mereka, seperti al-Junaid, Abu Sulaiman ad-Darani, dan semisalnya, dengan tegas telah mengharuskan berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam segala hal.

Al-Junaid berkata, “Ilmu kita terkait dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Barang siapa tidak menghafal Al-Kitab, tidak menulis hadits, dan tidak mempelajari fikih, ia tidak bisa dijadikan teladan.”

Abul Husain an-Nuri berkata kepada sebagian temannya, “Siapa yang engkau lihat dia mengaku berada pada sebuah keadaan bersama Allah subhanahu wa ta’ala, yang keadaan itu mengeluarkannya dari batasan ilmu syariat, jangan engkau dekati.” (Talbis Iblis secara ringkas)

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.