Asysyariah
Asysyariah

upaya mengagungkan sunnah nabi

13 tahun yang lalu
baca 12 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)

 

Rihlah (melakukan perjalanan) dengan tujuan memperoleh hadits atau ilmu agama Islam telah dilakukan oleh para sahabat semenjak masa Nabi n. Sebagian mereka melakukan rihlah karena ingin mendengarkan risalah baru yang dibawa Rasulullah n. Mereka ingin mendengarkan Al-Qur’an Al-Karim yang diwahyukan kepada Rasulullah n. Selain itu, ingin pula mempelajari Islam dari beliau n. Sebagian mereka meninggalkan keluarga selama beberapa hari dan menetap bersama Rasulullah n. Ini tergambar dari hadits Abu Sulaiman Malik ibnul Huwairits z. Dia berkata:
قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ n وَنَحْنُ شَبَبَةٌ فَلَبِثْنَا عِنْدَهُ نَحْوًا مِنْ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ النَّبِيُّ n رَحِيمًا فَقَالَ: لَوْ رَجَعْتُمْ إِلَى بِلَادِكُمْ فَعَلَّمْتُمُوهُمْ، مُرُوهُمْ فَلْيُصَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا وَصَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا، وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
Kami, beberapa pemuda, menetap bersama Nabi n (di Madinah) selama dua puluh malam. Adalah Nabi n bersikap penyayang. Beliau n bersabda, “Apabila kalian pulang ke negeri kalian, bimbinglah masyarakat negeri kalian. Perintahkan mereka agar shalat ini pada waktu ini dan shalat itu pada waktu itu. Apabila tiba waktu shalat, adzanlah dan hendaklah yang tertua di antara kalian menjadi imam.” (HR. Al-Bukhari no. 675)
Dalam riwayat lain disebutkan:
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“…Dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 631)
Jabir bin Abdillah al-Anshari z, seorang sahabat yang mulia, pernah bertutur bahwa telah sampai kepadanya sebuah hadits dari seseorang yang mendengarnya langsung dari Rasulullah n. Dia lantas membeli seekor unta dan pergi ke negeri Syam menungganginya. Perjalanan ditempuhnya selama satu bulan. Setiba di Syam, dia menemui Abdullah bin Unais z. Dia katakan kepada penjaga pintu, “Katakan kepadanya, Jabir (menanti) di depan pintu.” Penjaga itu pun menyampaikannya kepada Abdullah bin Unais z. Kemudian Abdullah bin Unais z menyapa, “Ibnu Abdillah?” “Ya,” jawab Jabir. Keluarlah Abdullah bin Unais z menemui Jabir bin Abdillah z. Keduanya lalu berpelukan. Jabir lantas mengungkapkan, “Telah sampai kepadaku sebuah hadits yang berasal darimu. Sesungguhnya engkau mendengarnya dari Rasulullah n. Aku khawatir aku dan engkau meninggal sebelum aku mendengarnya. Abdullah bin Unais z menjawab, “Aku telah mendengar (hadits tersebut) dari Rasulullah n yang bersabda:
يَحْشُرُ اللهُ النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عُرَاةً ….
“Allah mengumpulkan manusia pada hari kiamat dalam keadaan tidak berpakaian….” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, juga disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dalam Kitabul ‘Ilmi, Bab Al-Khuruj fi Thalabil ‘Ilmi)
Bagaimana pula dengan Abu Ayub Al-Anshari z? ‘Atha bin Abi Rabah pernah berkisah tentang sahabat mulia yang satu ini. Katanya, “Abu Ayub menemui ‘Uqbah bin ‘Amir z yang menetap di Mesir. Dia hendak menanyakan kepada ‘Uqbah perihal satu hadits yang pernah didengar ‘Uqbah dari Rasulullah n. Tatkala Abu Ayub tiba di rumah Maslamah bin Mukhallad al-Anshari, yang menjabat Gubernur Mesir waktu itu, diberitahukanlah kedatangan Abu Ayub kepadanya. Maslamah pun bergegas menyambutnya dan keduanya berpelukan saat bertemu kali pertama. Abu Ayub ditanya, “Apa yang menyebabkan engkau datang kemari?” Jawabnya, “Sebuah hadits yang aku dengar berasal dari Rasulullah n.” Lantas Maslamah menunjuk seseorang yang bisa mengantarkan Abu Ayub ke tempat ‘Uqbah bin ‘Amir. Setiba di tempat ‘Uqbah, Abu Ayub ditanya, “Apa yang menyebabkan engkau datang kemari?” Jawab Abu Ayub, “Sebuah hadits yang berasal dari Rasulullah n perihal (adab) menutupi (cacat/aib) seorang mukmin.” Kata Uqbah, “Ya. Aku telah mendengar Rasulullah bersabda:
مَنْ سَتَرَ مُؤْمِنًا فِي الدُّنْيَا عَلَى كُرْبَتِهِ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang menutupi (tidak menyebarkan) kejelekan seorang mukmin di dunia, Allah akan menutupi kejelekannya pada hari kiamat nanti.”
Setelah mendengar pernyataan ‘Uqbah bin ‘Amir, Abu Ayub pun berucap, “Engkau benar.” Lantas dia pun pamit dan pulang ke Madinah. (Shuwarun min Shabril Ulama ‘ala Syada’idil ‘Ilmi wat Tahshil, Shalahuddin bin Mahmud as-Sa’id, hlm. 45—46)
Demikianlah para sahabat g. Mereka menampilkan keberanian untuk menempuh perjalanan jauh nan penuh aral melintang, dan tentu saja, tingkat kesulitan yang jauh lebih tinggi dibanding zaman sekarang. Semua itu mereka tempuh walau hanya untuk mendapatkan satu hadits. Lantaran ini pula, Al-Imam Ash-Shahabi, Abdullah bin Mas’ud z pernah berkata, “Seandainya aku mengetahui ada orang yang lebih berilmu daripada diriku tentang Kitabullah, niscaya aku akan menaiki unta mendatanginya.” Begitu pula sahabat-sahabat mulia lainnya.
Demikian halnya dengan para tabi’in yang mulia. Sa’id bin Musayib t, pernah mengatakan, “Sungguh aku pernah melakukan perjalanan sehari semalam hanya untuk mendapatkan satu hadits.”
Dari Katsir bin Qais, dia mengatakan bahwa dirinya pernah bermajelis di sisi Abu Darda’ z di sebuah masjid Damaskus. Datanglah seorang laki-laki dan berkata, “Wahai Abu Darda’, aku datang dari Madinah untuk menjumpaimu berkaitan dengan satu hadits. Telah sampai kepadaku berita bahwa hadits yang engkau beritakan itu dari Nabi n.” Abu Darda’ lalu bertanya, “Apakah kedatanganmu karena ada keperluan dagang?” Jawab laki-laki itu, “Tidak.” “Atau karena keperluan lainnya?” tanya Abu Darda’ lebih lanjut. Jawabnya, “Tidak.” Menanggapi hal itu, Abu Darda’ berucap, “Sungguh aku telah mendengar Rasulullah n bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa yang menempuh satu jalan dalam rangka mencari ilmu, Allah akan memudahkan untuknya jalan menuju surga.”
Sampai-sampai ada yang meriwayatkan perkataannya, “Apabila kami telah mendengar satu riwayat di Basrah dari para sahabat Rasulullah n, kami tidak ridha hingga kami berkendara menuju Madinah dan mendengarkan riwayat tersebut langsung dari lisan-lisan para sahabat.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/15—16)
Kisah rihlah guna mendapatkan hadits atau ilmu agama telah banyak dipaparkan oleh para ulama. Cukup sudah sebagai bukti betapa kemuliaan umat ini ditinggikan dengan amalan rihlah yang mulia. Sebab, bagaimanapun, rihlah yang ditempuh para ulama merupakan bentuk penjagaan terhadap As-Sunnah. Melalui rihlah itulah As-Sunnah terkumpul dan tersusun dengan baik.
Sesungguhnya, pemeliharaan dan penjagaan para sahabat g, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka rahimahumullah terhadap hadits nan mulia, serta rihlah untuk mendapatkannya, merupakan bentuk upaya mendapatkan ketinggian dalam isnad. Selain itu, untuk menegaskan secara pasti perihal kesahihan dari apa yang telah didengarnya. Bahkan bagi mereka juga sebagai bentuk tatsabbut (klarifikasi) terhadap seorang perawi yang meriwayatkan hadits atau peristiwa tertentu. Karena itu, salah satu kekhususan yang paling penting dari umat Nabi Muhammad n adalah isnad. Melalui isnad inilah, proses penyampaian ilmu-ilmu syariat dari generasi salaf kepada generasi berikutnya terlaksana. Senyatanya, isnad merupakan syarat utama dan pertama dalam ilmu penukilan, walaupun yang dinukil hanya satu kalimat. Oleh karena itu, generasi yang datang kemudian (khalaf) akan bergantung kepada generasi terdahulu (salaf) lantaran adanya isnad.
Isnad secara bahasa terambil dari wazan أَفْعَلَ. Makna isnad adalah:
إِضَافَةُ الشَّيْءِ إِلَى الشَّيْءِ
“Menyandarkan sesuatu kepada sesuatu yang lain.”
Adapun secara istilah, isnad memiliki dua penggunaan.
1.    Mengangkat hadits kepada yang mengatakannya, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Jamaah. Adapun menurut Al-Manawi, arti أَسْنَدْتُهُ إِلَى فُلَانٍ (aku telah mengisnadkan kepada fulan) adalah aku telah mengangkat hadits kepadanya dengan menyebutkan penukilnya. Menurut Al-Jurzani, isnad yaitu seorang muhaddits menyebutkan:
حَدَّثَنَا فُلَانٌ عَنْ فُلَانٍ عَنِ النَّبِيِّ n
“Fulan telah menyampaikan hadits kepada kami dari fulan, dari Nabi n.”
2.    Memiliki makna as-sanad, yaitu jalan yang menyampaikan kepada matan (hadits). (Lihat ‘Ulumul Hadits, Muhammad Abu al-Laits al-Khair Abadi, hlm. 31)
Isnad merupakan salah satu kekhususan yang utama bagi umat ini. Kekhususan ini tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya. Dalam Tarikh Naisabur karya Al-Hakim an-Naisaburi t, disebutkan dari Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali—lebih dikenal sebagai Ishaq bin Rahawaih—bahwa dia berkata, “Apabila Abdullah bin Thahir—Gubernur Khurasan pada masa Abbasiah, wafat tahun 230 H—bertanya kepadaku tentang sebuah hadits, aku menyebutkannya kepadanya tanpa sanad. Lalu dia bertanya tentang sanad hadits tersebut seraya mengatakan, “Meriwayatkan sebuah hadits tanpa disertai isnad termasuk perbuatan az-zamna (orang-orang berpenyakit). Sungguh, isnad hadits merupakan karamah (kemuliaan) dari Allah l bagi umat Muhammad n’.”
Isnad merupakan bagian agama yang agung kedudukannya. Al-Hafizh Al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad—ketika menyebutkan biografi Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad al-Amin al-Bukhari—telah meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada murid Abdullah bin al-Mubarak, Abdan bin Utsman, bahwa dia berkata, “Aku telah mendengar Abdullah bin al-Mubarak berkata:
الْإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Isnad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada isnad, seseorang akan mengatakan apa yang dia kehendaki.”
Seiring terjadinya fitnah pada umat, banyaknya pemalsuan hadits, dan kedustaan atas nama Nabi n, isnad menjadi satu prinsip yang harus diteguhkan. Dengan mengetahui para periwayat sebuah hadits, akan diketahui apakah hadits tersebut kuat atau lemah, benar atau dusta. Jika para periwayat hadits tersebut adalah orang-orang yang adil, haditsnya diterima. Jika tidak, haditsnya ditolak. Ibnu Sirin t pernah mengungkapkan bahwa mereka dahulu tidak menanyakan tentang isnad. Namun, tatkala terjadi fitnah, mereka mengatakan, “Sebutkan rijal (para periwayat hadits) kalian. Mereka melihat kepada Ahlus Sunnah maka diambil hadits mereka. Dan mereka melihat kepada ahlul bid’ah maka mereka tidak mengambil haditsnya.”
Muhammad bin Sirin t juga mengungkapkan:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka dari itu, perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian.” (Muqaddimah Shahih Muslim)
Pernyataan Muhammad bin Sirin t di atas merupakan sepenggal nasihat emas bagi kaum muslimin. Nasihat untuk tidak meremehkan sumber pengambilan nilai-nilai Islam. Betapa banyak kaum muslimin yang terperosok dalam kesesatan lantaran salah mengambil dan mempelajari agama Islam. Bisa jadi, materi kajian yang disampaikan adalah sama, yaitu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, namun tatkala mubalig yang menyampaikan penjelasan ayat dan hadits tersebut memiliki pemikiran dan keyakinan yang menyelisihi salafus shalih, nilai-nilai Islam yang diajarkan pun menjadi tidak benar. Hadits-hadits lemah dan palsu pun dijadikan pegangan dalam mengamalkan Islam. Muara semua itu adalah terseretnya umat kepada kesesatan. Wal ‘iyadzu billah.
Ali bin Abi Thalib z berkata, “Nabi n bersabda:
لَا تَكْذِبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ النَّارَ
“Janganlah kalian berdusta atas namaku. Barang siapa berdusta atas namaku, dia akan masuk neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 106)
Anas bin Malik z berkata:
إِنَّهُ لَيَمْنَعُنِي أَنْ أُحَدِّثَكُمْ حَدِيثًا كَثِيرًا أَنَّ النَّبِيَّ n قَالَ: مَنْ تَعَمَّدَ عَلَيَّ كَذِبًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Sesungguhnya yang menghalangiku menyampaikan banyak hadits kepada kalian adalah bahwasanya Nabi n bersabda, “Barang siapa dengan sengaja berdusta atas namaku, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 108)
Salamah z berkata, “Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
‘Barang siapa berbicara atas namaku, padahal aku tidak pernah mengucapkannya, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka’.” (HR. Al-Bukhari no. 109)
Menurut Ibnu Hajar al-’Asqalani t dalam Fathul Bari (1/253), yang dimaksud “Janganlah kalian berdusta atas namaku” (dalam hadits Ali z) adalah kedustaan yang bersifat umum, meliputi seluruh kedustaan secara mutlak. Jadi, maknanya adalah “Janganlah kalian menisbahkan kedustaan itu kepadaku.”
Adapun menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t, berdusta atas nama Allah l dan Rasul-Nya tidak seperti berdusta atas nama selain keduanya. Berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya sudah memuat unsur hukum syar’i, atau berkait dengan sifat Allah k yang tidak sahih dari-Nya. Maka dari itu, dusta semacam ini merupakan kedustaan terbesar atas nama Allah l. Allah l berfirman:
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah….” (Al-An’am: 93)
Setelah itu, kedustaan yang diatasnamakan Nabi n (termasuk dalam kategori ini). Kedustaan atas nama Nabi n di dalam syariat sama kedudukannya dengan kedustaan atas nama Allah l.
Adapun hadits Anas bin Malik z:
مَنْ تَعَمَّدَ عَلَيَّ كَذِبًا…
“Barang siapa dengan sengaja berdusta atas namaku….”
membatasi kemutlakan dua hadits sebelumnya. Oleh karena itu, apabila seseorang dengan sengaja meniatkan berdusta atas nama Rasulullah n berarti dia telah mengubah apa yang telah disyariatkan atau dia menghalalkannya. Sungguh hal yang semacam ini akan mengeluarkannya dari Islam. Faedah lain dari hadits-hadits tersebut adalah seseorang tidak boleh menyampaikan hadits dhaif melainkan bila hendak menyampaikan perihal kedhaifannya, karena dikhawatirkan setelah mendengar hadits dhaif tersebut akan ada orang yang mengamalkannya. Ini tentu saja berbahaya. Adapun hadits yang maudhu’ (palsu), tentu lebih dahsyat lagi bahayanya. (Syarhu Shahih al-Bukhari, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 1/281—285)

Hakikat Mengagungkan Sunnah Nabi n
Sesungguhnya Allah l telah memerintahkan kaum muslimin untuk menaati Rasulullah n. Allah l berfirman:
“Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir’.” (Ali ‘Imran: 32)
Allah l berfirman pula:
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (An-Nisa’: 80)
Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah z, dari Nabi n, beliau n bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Setiap umatku akan masuk surga kecuali yang enggan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?” Jawab beliau n, “Barang siapa menaatiku dia masuk surga, sedangkan orang yang durhaka kepadaku maka sungguh dia telah enggan.” (HR. Al-Bukhari no. 7280)
Allah l telah memerintahkan kaum muslimin untuk mengikuti Rasulullah n. Hal ini bahkan dijadikan sebagai syarat bila hendak mendapatkan kecintaan-Nya. Allah l berfirman:
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Bahkan, Allah l memerintahkan manusia untuk mengikuti Rasulullah n sebagai cara untuk memperoleh hidayah. Allah l berfirman:
“Katakanlah: ‘Wahai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk’.” (Al-A’raf: 158)
Allah l juga telah menjadikan Rasulullah n sebagai teladan terbaik bagi seluruh umat. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Ayat ini memberikan isyarat bahwa orang yang beriman dan menghendaki ganjaran dari Allah l hendaklah menjadikan Rasulullah n sebagai teladan dalam segala aspek kehidupan. Tiadalah hakikat meneladani, menaati, dan mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah n melainkan menunaikan apa yang diperintahkan dan mencegah apa yang dilarang oleh Allah l dan Rasul-Nya n. (‘Ulumul Hadits, Muhammad Abu Al-Laits, hlm. 41—42)
Inilah hakikat mengagungkan As-Sunnah An-Nabawiyah, yaitu menghidupkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari dengan senantiasa mengikhlaskannya karena Allah l.
Wallahu a’lam, walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.