Merebaknya kejahatan seksual kian memprihatinkan. Namun, sedikit yang menyadari bahwa semua itu bersumber dari tersebarnya kerusakan akibat diumbarnya aurat wanita di tempat-tempat umum.
Bocah yang masih ingusan atau kakek yang telah renta bisa menjadi pelaku kejahatan karena mereka secara terus-menerus ‘dipaksa’ mengonsumsi pemandangan yang bukan haknya.
Ironisnya, sebagian korban adalah bocah perempuan yang belum mengerti apa-apa. Artikel berikut barangkali bisa menjadi renungan untuk kita semua.
Agama Islam datang memuliakan, memelihara, dan menjaga kaum wanita dari terkaman serigala yang berwujud manusia. Islam juga menjaga hak-hak wanita, mengangkat harkat dan martabatnya.
Islam menjadikan wanita berserikat dengan lelaki dalam hak memperoleh warisan. Islam mengharamkan perbuatan mengubur anak perempuan hidup-hidup. Islam mewajibkan adanya izin dari pihak wanita apabila hendak dinikahkan oleh walinya. Wanita pun diberikan kebebasan mengatur dan mengurusi hartanya apabila memiliki kecakapan.
Islam menuntut seorang suami untuk menunaikan kewajiban yang banyak berkaitan dengan istrinya. Islam mewajibkan seorang ayah dan karib kerabat wanita untuk memberinya nafkah ketika ia membutuhkan.
Islam mewajibkan wanita untuk menghijabi dirinya dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya agar tidak menjadi barang dagangan murahan yang bisa dinikmati oleh setiap orang.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Apabila kalian meminta sesuatu kepada para istri Nabi, mintalah dari balik tabir. Hal itu lebih suci bagi hati-hati kalian dan hati-hati mereka.” (al-Ahzab: 53)
Allah subhanahu wa ta’ala pun berfirman,
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta wanita-wanita kaum mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka di atas tubuh mereka. Hal itu lebih pantas bagi mereka untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) hingga mereka tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (al-Ahzab: 59)
Dia Yang Mahatinggi berfirman,
Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah, “Hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka serta tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya.
Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua)….” (an-Nur: 31)
Ayat Allah subhanahu wa ta’ala, (kecuali apa yang biasa tampak darinya) ditafsirkan oleh sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa yang dimaksudkan adalah pakaian luar[1]. Sebab, pakaian luar tidak mungkin ditutupi kecuali (yang bersangkutan harus) mengalami kesulitan besar.
Sementara itu, Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam pendapatnya yang masyhur menafsirkannya dengan wajah dan dua telapak tangan.
Namun, yang lebih kuat adalah tafsiran Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Sebab, ayat hijab yang disebutkan sebelumnya menunjukkan wajibnya menutup wajah dan kedua telapak tangan. Selain itu, wajah termasuk perhiasan wanita yang paling utama, maka penting sekali untuk ditutup.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Wajah dan dua telapak tangan (wanita) biasa terbuka di awal Islam. Kemudian turun ayat hijab yang mewajibkan wanita menutup wajah dan dua telapak tangannya.
Sebab, membuka wajah dan dua telapak tangan di hadapan selain mahram termasuk sebab kejelekan terbesar. Di samping itu, hal tersebut menjadi pendorong terbesar bagi seorang wanita untuk membuka bagian tubuh yang lain.
Apabila wajah dan dua telapak tangan dihiasi dengan celak dan pacar (inai) atau hiasan lainnya yang mempercantik penampilan, dalam keadaan seperti ini membuka wajah dan dua telapak tangan (di hadapan laki-laki yang bukan mahram, pent.) diharamkan menurut kesepakatan ulama.
Sementara itu, keumuman wanita pada zaman ini menghiasi dan mempercantik wajah dan dua telapak tangannya. Dalam kondisi ini, dua pendapat yang semula berbeda[2] bersepakat menyatakan keharaman membuka wajah dan dua telapak tangan.
Adapun yang dilakukan oleh kaum wanita pada hari ini dengan membuka tutup kepala, leher, dada, lengan atas, betis, dan sebagian pahanya (ketika keluar rumah atau di hadapan laki-laki yang bukan mahram, pent.) adalah perbuatan mungkar menurut kesepakatan kaum muslimin. Hal ini tidak diragukan sedikit pun oleh orang yang memiliki ilmu agama yang paling rendah sekalipun.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan mungkar ini begitu besar. Dampaknya demikian mengerikan. Kita memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar memberi taufik kepada pimpinan kaum muslimin agar melarang perbuatan ini, menghentikannya, dan mengembalikan wanita pada hijab yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan, serta menjauhkan wanita dari sebab-sebab keburukan.
Di antara dalil masalah ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan jangan bertabarruj (berhias) sebagaimana tabarruj orang-orang jahiliah terdahulu.” (al-Ahzab: 33)
“Dan wanita-wanita tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak ingin menikah lagi, tidak ada dosa bagi mereka untuk menanggalkan pakaian luar mereka tanpa bermaksud tabarruj dengan menampakkan perhiasan.
Apabila mereka menjaga kehormatan diri (dengan tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan keburukan), itu lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (an-Nur: 60)
Dalam ayat yang pertama, Allah subhanahu wa ta’ala memerintah wanita untuk tetap tinggal dalam rumahnya. Sebab, keluarnya mereka dari rumah umumnya menimbulkan fitnah (kerusakan).
Sementara itu, dalil-dalil syar’i menunjukkan bolehnya wanita keluar dari rumah saat ada keperluan, dengan mengenakan hijab dan menjauhi sebab kerusakan.
Akan tetapi, hukum asalnya adalah mereka tinggal di rumah. Itu lebih baik bagi mereka dan lebih menjauhkan mereka dari keburukan.
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala melarang mereka bertabarruj seperti tabarruj orang-orang jahiliah, yaitu menampakkan kebagusan dan keelokan yang membuat lelaki tergoda.
Dalam ayat yang kedua, Allah subhanahu wa ta’ala membolehkan para wanita yang sudah tua dan tidak memiliki keinginan menikah untuk melepaskan pakaiannya, yakni tidak mengenakan hijab. Akan tetapi, dengan syarat tidak tabarruj dengan memamerkan perhiasannya.
Jadi, apabila mengenakan perhiasan, mereka harus berhijab dan tidak diperkenankan menanggalkannya. Apabila wanita yang sudah tua diberikan ketentuan demikian, sementara kita tahu mereka tidak lagi membuat lelaki tergoda dan umumnya tidak membangkitkan syahwat lelaki, lantas bagaimana halnya dengan wanita-wanita muda, remaja-remaja belia yang dapat membuat lelaki tergoda?
Baca juga:
Dalam ayat yang sama, Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan, apabila wanita yang sudah tua menjaga kemuliaan dirinya dengan tetap berhijab, itu lebih baik bagi mereka, sekalipun mereka tidak bertabarruj dengan memamerkan perhiasan.
Semua ini demikian jelas dan gamblang menekankan wanita agar berhijab ketika keluar rumah, tidak membuka wajahnya di hadapan lelaki yang bukan mahramnya dan menjauhi sebab-sebab kerusakan.
Wallahu al-musta’an.
(Dialihbahasakan oleh Ummu Ishaq al-Atsariyyah dari kitab Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah, 4/308—309)
[1] Jadi, yang boleh ditampakkan oleh wanita ketika keluar rumah hanyalah pakaian luar yang menutupi seluruh tubuhnya. (-pent.)
[2] Pendapat yang mengatakan wajah dan dua telapak tangan harus ditutup dan pendapat yang menyatakan tidak harus ditutup. (-pent.)