Asysyariah
Asysyariah

untaian mutiara hadits nabawiyyah

13 tahun yang lalu
baca 15 menit

TENTANG PERGAULAN SUAMI ISTRI

“Aku seorang wanita yang telah berkeluarga dan memiliki putra yang hampir berusia 2 tahun,” demikian ucapan seorang istri mengawali pengaduan dan pertanyaannya kepada Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-Utsaimin t. “Permasalahanku dengan suamiku, ia telah mengusirku dari rumah sebanyak dua kali dan sekarang kali yang ketiga. Namun setiap kali diusir, aku selalu kembali kepadanya seraya meminta agar ia memperbaiki pergaulannya denganku. Juga agar ia membiarkan putranya hidup dekat dengan ayahnya dan dalam asuhannya. Namun ia tetap berbuat jelek terhadapku serta pelit dalam memberikan nafkah kepadaku dan putranya. Ia pun melarangku untuk punya anak lagi padahal aku dalam keadaan sehat wal afiat, alhamdulillah. Ia juga melarangku mengunjungi keluargaku. Ia sering masuk rumah dengan tiba-tiba tanpa mengucapkan salam untuk mengejutkanku. Sekarang aku dan putraku tinggal di rumah orangtuaku. Ia sendiri tak pernah menanyakan tentang diriku, tidak pula tentang putranya. Aku takut sekiranya aku telah berbuat dosa yang membuat Allah l murka. Berilah fatwa kepadaku semoga Allah l membalas kebaikan anda.” Demikian si wanita menutup permasalahannya.

Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-Utsaimin t memberikan jawaban, “Permasalahan antara engkau dan suamimu tidak mungkin diselesaikan kecuali dengan kembali kepada kebenaran dan bergaul yang baik di antara kalian berdua sebagaimana Allah l berfirman:

“Bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) dengan cara yang ma’ruf.” (An-Nisa: 19)

Juga firman-Nya:

“Dan mereka (para istri) memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Tidak mungkin tegak perkara di antara suami istri terkecuali bila masing-masingnya merelakan sebagian haknya tidak terpenuhi dengan semestinya. Masing-masingnya tidak mempersulit yang lain, mudah dan ringan urusannya. Ia sabar dengan apa yang didapatkannya dari pasangannya berupa kekakuan, serta ia membantu pasangannya dalam keadaan sempit dan lapang.

Nasihatku kepada suamimu, agar ia bertaubat kepada Allah k dari perbuatan yang telah dilakukannya, agar ia bergaul kepadamu dengan cara yang ma’ruf, dan menegakkan kewajibannya, sehingga kehidupan suami istri di antara kalian bisa dibangun di atas bentuk yang paling sempurna. Adapun engkau, sepantasnya menghadapi sikapnya dengan sabar dan mengharap pahala dari Allah l. Terlebih lagi di antara kalian telah ada anak, dan urusannya niscaya akan menjadi lebih berat bila terjadi perpisahan….” (Fatawa Manarul Islam, 1/53 sebagaimana dinukil dalam Fatawa ‘Ulama fi ‘Isyratin Nisa’, hal. 25-26)

Wanita lain mengadu, “Aku telah menikah sejak 25 tahun yang lalu dan memiliki beberapa anak lelaki dan perempuan. Aku banyak mendapatkan permasalahan dalam hubungannya dengan suamiku. Ia sering merendahkan aku di hadapan anak-anakku dan di hadapan kerabat, bahkan orang yang jauh. Ia sama sekali tidak menghargai aku tanpa ada sebab. Aku pun tidak merasa lega (tidak tenang) terkecuali bila ia keluar rumah. Padahal suamiku tersebut mengerjakan shalat dan takut kepada Allah l. Aku berharap anda akan menunjukkan kepadaku jalan yang selamat. Jazakumullah khairan.”

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibn Baz t menjawab, “Engkau wajib bersabar dan menasihati suamimu dengan cara yang paling baik serta mengingatkannya kepada Allah l dan hari akhir. Mudah-mudahan ia menerima nasihat tersebut, mau kembali kepada kebenaran dan meninggalkan akhlaknya yang buruk. Namun bila ia tidak melakukannya maka ia menanggung dosa, sementara engkau beroleh pahala yang besar karena kesabaranmu menghadapi gangguannya. Semestinya engkau mendoakan kebaikan untuk suamimu dalam shalatmu dan dalam kesempatan lainnya, agar Allah l memberinya hidayah kepada kebenaran serta menganugerahkan kepadanya akhlak yang utama. Juga agar Allah l melindungimu dari kejelekannya dan kejelekan selainnya. Engkau juga wajib untuk menghisab dirimu dan istiqamah dalam agamamu. Sebagaimana engkau wajib bertaubat kepada Allah l dari kejelekan-kejelekan yang muncul darimu dan dari kesalahanmu terhadap hak Allah l, hak suamimu, ataupun pada hak selainnya. Karena bisa jadi apa yang menimpamu disebabkan kemaksiatan-kemaksiatan yang pernah engkau perbuat[1]. Bukankah Allah l berfirman:

“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka hal itu disebabkan perbuatan tangan kalian sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahan kalian.” (Asy-Syura: 30)

Tidak ada larangan bila engkau meminta kepada ayah suamimu, ibunya, saudara lelakinya yang tua, atau siapa yang dipandang dari mereka di kalangan karib kerabat dan tetangga untuk menasihati dan mewasiatinya agar memperbaiki pergaulannya dengan istrinya, dalam rangka mengamalkan firman Allah l:

“Bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) dengan cara yang ma’ruf.” (An-Nisa: 19)

Juga firman-Nya k:

“Dan mereka (para istri) memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 288)

Semoga Allah l memperbaiki keadaan kalian berdua, memberi hidayah kepada suamimu dan mengembalikannya kepada kebenaran. Semoga Allah l mengumpulkan kalian berdua di atas kebaikan dan petunjuk, sesungguhnya Dia Maha Dermawan lagi Mulia.” (Al Fatawa, Kitabud Da’wah 2/213,214 sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, 2/687-688)

Di sisi lain, ada kasus seorang istri yang terkadang berucap jelek kepada suaminya. Ia mempertanyakan sendiri tentang urusannya kepada Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibn Baz t, “Terkadang aku mengucapkan ucapan yang jelek kepada suamiku yang menyulut kemarahannya, hingga ia pun memboikotku. Sementara aku tidak sanggup meminta maaf kepadanya karena gengsiku yang tinggi. Apakah benar bila suamiku bermalam dalam keadaan marah kepadaku maka aku terkena dosa?”

Dijawab oleh Asy-Syaikh yang mulia t, “Engkau wajib meminta keridhaan suamimu dan mengupayakan agar ia memaafkan apa yang engkau perbuat. Engkau sendiri jangan terus-menerus di atas kesalahan. Bahkan upayakan agar suamimu ridha, mudah-mudahan dia mau memaafkan apa yang telah engkau perbuat. Ini yang lebih utama.

Nabi n bersabda:

إِذَا دَعَى الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya namun si istri tidak mendatangi suaminya, lalu si suami bermalam dalam keadaan marah kepadanya, niscaya para malaikat akan melaknat si istri sampai ia berada di pagi hari.”[2]

Maka wajib bagi seorang istri untuk taat kepada suaminya dan tidak menyelisihi suaminya.” (Majalah Ad-Da’wah no. 1639 sebagaimana dinukil dalamFatawa ‘Ulama fi ‘Isyratin Nisa’, hal. 239)

Fadhilatusy Syaikh Shalih ibn Fauzan ibn Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya, “Apa pendapat anda tentang istri yang tidak mendengar ucapan suaminya, tidak menaati suaminya, dan suka menyelisihi dalam banyak urusan, seperti keluar rumah tanpa disuruh suaminya, dan terkadang keluar rumah secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan suaminya?”

Dijawab oleh Fadhilatusy Syaikh hafizhahullah, “Wajib bagi seorang istri menaati suaminya dengan cara yang ma’ruf. Haram baginya bermaksiat kepada suaminya. Tidak boleh ia keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya.

Nabi n bersabda:

إِذَا دَعَى الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ، فَأَبَتْ أَنْ تَجِيئَ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya namun si istri menolak untuk datang, lalu si suami bermalam dalam keadaan marah kepadanya niscaya para malaikat akan melaknat si istri sampai ia berada di pagi hari.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Beliau n juga bersabda:

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya disebabkan besarnya hak suami terhadapnya.”[3]

Allah l berfirman:

“Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita dikarenakan Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Oleh sebab itu, wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara dirinya ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Dan istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuznya maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. …” (An-Nisa: 34)

Dalam ayat di atas, Allah l menerangkan bahwa lelaki memiliki hak kepemimpinan terhadap wanita, dan bila seorang istri berbuat kejelekan/nusyuz kepada suaminya maka si suami berhak memberlakukan terhadap istrinya tahapan-tahapan seperti yang disebutkan dalam ayat guna mengembalikan/menyadarkan si istri. Hal ini termasuk yang menunjukkan wajibnya taat kepada suami dalam perkara yang ma’ruf dan haramnya istri menyelisihi suaminya tanpa haq.” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih ibn Fauzan, 3/164-165 sebagaimana dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, 2/678-679)

Beberapa permasalahan di atas merupakan sedikit dari sekian banyak problem yang muncul di antara suami istri terkait pergaulan yang berlangsung di antara mereka. Walaupun firman Allah l:

“Bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) dengan cara yang ma’ruf.” (An-Nisa: 19)

mereka dapati dalam lembaran mushaf yang mereka baca dan telah sering mereka lewati, namun dalam pengamalan ternyata tidak mudah terealisir.

Perintah bergaul yang ma’ruf dalam ayat di atas mencakup ucapan dan perbuatan. Sehingga sudah menjadi kemestian bagi seorang suami untuk bergaul yang ma’ruf dengan istrinya. Ia menjadi teman hidup yang baik, tidak menyakiti istrinya, mencurahkan kebaikan kepada istrinya, bermuamalah dengan baik. Termasuk di dalamnya ia memberikan nafkah, pakaian dan semisalnya. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 172)

Seorang istri juga dituntut untuk bergaul baik dengan suaminya dengan memenuhi hak-hak suaminya, taat dalam kebaikan dan tidak mengingkari kebaikan suami.

Bila masing-masingnya bergaul dengan baik kepada pasangannya, masing-masingnya berupaya memenuhi apa yang menjadi kewajibannya, niscaya akan terwujud rumah tangga yang sakinah, penuh mawaddah dan rahmah, sebagaimana janji Ar-Rahman:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya; Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri agar kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya (beroleh sakinah) dan dijadikan-Nya di antara kalian mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)

Banyak hadits Rasul n yang mulia berbicara tentang pergaulan suami istri. Beberapa di antaranya ingin kami rangkumkan di sini untuk pembaca, walaupun hampir semuanya pernah kami bawakan dalam rubrik ini, namun tidak apa-apa kita ulang. Bukankah ini ilmu? Dan bukankah ilmu itu perlu diulang-ulang (muraja’ah)?

Abu Hurairah z berkata, “Sungguh Rasulullah n pernah bersabda:

اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ

“Berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri) karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, dan sungguh tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Bila engkau berupaya meluruskannya, engkau akan mematahkannya[4]. Namun bila engkau biarkan ia akan terus-menerus bengkok, maka berwasiatlah dengan kebaikan kepada para wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)

Dalam satu riwayat Al-Imam Al-Bukhari (no. 5184):

الْمَرْأَةُ كَالضِّلَعِ، إِنْ أَقَمْتَهَا كَسَرْتَهَا وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ

“Wanita itu seperti tulang rusuk, jika engkau meluruskannya engkau akan mematahkannya. Jika engkau bernikmat-nikmat dengannya engkau bisa melakukannya, namun padanya ada kebengkokan.”

Dalam satu riwayat Al-Imam Muslim (no. 3631):

إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، لَنْ تَسْتَقِيْمَ لَكَ عَلَى طَرِيْقٍ، فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ، وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلاَقُهَا

“Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk sehingga ia tidak akan terus-menerus lurus kepadamu di atas satu jalan. Jika engkau bernikmat-nikmat dengannya engkau bisa melakukannya, namun padanya ada kebengkokan. Jika engkau memaksa meluruskannya engkau akan mematahkannya. Dan patahnya adalah talaknya.” [5]

Abdullah ibnu Zam’ah z menyebutkan dari Nabi n:

لاَ يَجْلِدُ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جِلْدَ الْعَبْدِ ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ اليَوْمِ

“Janganlah salah seorang dari kalian memukul istrinya seperti memukul seorang budak kemudian ia menggauli istrinya pada akhir siang[6].” (HR. Al-Bukhari no. 5204)

Abu Hurairah z berkata, “Rasulullah n bersabda:

لاَ يَفْرُكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, karena jika ia benci dengan satu perangai darinya maka bisa jadi ia senang dengan perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 3633)[7]

Aisyah x berkata: Rasulullah n memanggilku tatkala orang-orang Habasyah sedang bermain-main dengan tombak pendek mereka pada hari Id. Beliau berkata kepadaku, “Wahai Humaira’, apakah kamu ingin melihat permainan mereka?” “Iya,” jawabku. Beliau pun memberdirikan aku di belakang beliau ,lalu menundukkan kedua pundak beliau untukku agar aku bisa melihat permainan orang-orang Habasyah tersebut. Aku pun meletakkan daguku di atas pundak beliau dan menyandarkan wajahku ke pipi beliau. Aku melihat permainan mereka dari atas kedua pundak beliau. Beliau berkata, “Wahai Aisyah! Kamu belum puas melihat permainan mereka?” “Belum,” jawabku.

Dalam satu riwayat:

Hingga ketika aku telah bosan, beliau berkata, “Cukup?” “Iya,” jawabku. “Kalau begitu pergilah”, kata beliau. Aisyah mengabarkan, “Sebenarnya aku tidaklah senang melihat permainan mereka, namun aku ingin agar tersampaikan kepada para wanita tentang keberadaan beliau terhadapku dan kedudukanku dari diri beliau dalam keadaan aku wanita yang masih muda. Maka kadarkanlah diri kalian (wahai para suami)???? seperti kadar wanita yang masih muda usianya, yang masih senang dengan permainan.”[8] (HR. Al-Bukhari no. 950, 5190, Muslim no. 2061, 2062, 2063, dan An-Nasa’i dalam ‘Isyratun Nisa’no. 65)

Abu Hurairah z menyatakan bahwa Rasulullah n bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ وَلاَ تَأْذَنُ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidak halal bagi seorang istri berpuasa (sunnah) dalam keadaan suaminya ada di rumah terkecuali dengan izin suaminya, dan tidak boleh ia mengizinkan seorang masuk ke rumah suaminya terkecuali bila suaminya memperkenankan.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026, 2367)

Dari Abu Hurairah z, ia menyampaikan bahwa Rasulullah n bersabda:

دِيْناَرًا أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَدِيْناَرًا أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ وَدِيْنَارًا تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارًا أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ

“Satu dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau nafkahkan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada seorang miskin, dan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk istri/keluargamu, maka yang paling besar pahalanya adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk istri/keluargamu.” (HR. Muslim no. 995)

Aisyah x berkata, “Pernah aku minum dalam keadaan aku haid, kemudian aku menyerahkan gelas minuman tersebut kepada Nabi n. Beliau pun meletakkan mulutnya pada bekas tempat mulutku, lalu meminumnya. Pernah pula aku menggigit sepotong daging dalam keadaan haid, kemudian aku memberikannya kepada Nabi n. Beliau pun meletakkan mulut beliau pada bekas tempat mulutku (untuk menggigit daging tersebut).” (HR. Muslim no. 690)

Demikianlah…. Karena keterbatasan halaman yang ada, hadits-hadits yang masih tersisa akan kami bawakan dalam edisi mendatang, Insya Allah.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


[1] Ada kisah menarik dalam hal ini. Ibnul Arabi t berkata: Abul Qasim bin Hubaib berkata: Telah mengabarkan kepadaku di Al-Mahdiyyah, dari Abul Qasim As-Sayuri, dari Abu Bakr bin Abdirrahman, ia berkata, “Adalah Asy-Syaikh Abu Muhammad bin Zaid memiliki ilmu yang mendalam dan kedudukan yang tinggi dalam agama. Beliau memiliki seorang istri yang buruk pergaulannya terhadap beliau. Istrinya ini tidak sepenuhnya memenuhi haknya, bahkan mengurang-ngurangi dan menyakiti beliau dengan lisannya. Maka ada yang berbicara kepada beliau tentang keberadaan istrinya, namun beliau memilih tetap bersabar hidup bersama istrinya. Beliau pernah berkata, ‘Aku adalah orang yang telah dianugerahkan kesempurnaan nikmat oleh Allah l dalam kesehatan tubuhku, pengetahuanku, dan budak yang kumiliki. Mungkin istriku ini diutus sebagai hukuman atas dosaku. Aku khawatir bila aku menceraikannya akan turun kepadaku hukuman yang lebih keras daripada apa yang selama ini aku dapatkan darinya’.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 5/65)

[2] HR. Al-Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 3526

[3] HR. Ahmad 4/381, dishahihkan dalam Irwa’ul Ghalil no. 1998 dan Ash-Shahihah no. 3366.

[4] Bila engkau, wahai suami, menginginkan dari istrimu agar ia meninggalkan kebengkokannya niscaya akhir dari perkara adalah engkau akan berpisah dengannya. (Fathul Bari, 6/445)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t berkata, “Dipahami dari hadits ini bahwasanya tidak boleh membiarkan istri di atas kebengkokannya, apabila ia melampaui kekurangan yang merupakan tabiatnya dengan melakukan maksiat atau meninggalkan kewajiban. Adapun dalam perkara-perkara mubah, ia dibiarkan apa adanya. Dalam hadits ini menunjukkan disenanginya penyesuaian diri guna memikat, mengambil, dan mendekatkan hati pasangan hidup. Sebagaimana hadits ini menunjukkan pengaturan terhadap para istri dengan memaafkan mereka dan bersabar atas kebengkokan mereka. Siapa yang meluruskan mereka dengan paksa, niscaya akan terluputkan darinya kemanfaatan yang bisa diperoleh dari istri. Sementara tidak ada seorang lelaki pun yang tidak merasa butuh kepada wanita guna beroleh ketenangan (sakinah) dengannya dan untuk menolongnya dalam kehidupannya. Sehingga bisa dikatakan: bernikmat-nikmat dengan wanita (istri) tidak akan sempurna kecuali dengan bersabar terhadap mereka.” (Fathul Bari, 9/306)

[5] Hadits-hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada para wanita/istri, berbuat baik kepada mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak mereka, menanggung dengan sabar kelemahan akal mereka, tidak disenanginya mentalak mereka tanpa ada sebab dan tidak boleh terlalu berambisi/dengan paksa meluruskan mereka. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 10/42)

[6] Jima’ dianggap baik dilakukan bila disertai dengan kecenderungan jiwa dan kesenangan. Sementara istri yang dipukul dengan keras, hatinya akan lari dari suaminya. Lalu bagaimana ia bisa melayani suaminya dengan baik saat jima’? Sehingga di sini ada isyarat tentang tercelanya memukul istri dengan pukulan yang keras. Kalaupun terpaksa harus memukul dalam rangka mendidik istri, maka hendaknya dengan pukulan yang ringan yang tidak berakibat istri menjauh dari suami. (Fathul Bari, 9/377)

[7] Jika si suami mendapati dari istrinya satu perangai yang tidak disukainya, niscaya ia akan dapati perangai/sifat lain yang disenangi.

Al-Imam Al-Qurthubi t ketika menafsirkan ayat:

 

“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena bisa jadi kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan pada sesuatu itu kebaikan yang banyak.” (An-Nisa: 19)

Beliau berkata, “Firman Allah (yang artinya) ‘Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka …’ karena parasnya yang buruk misalnya, atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka dianjurkan bagi si suami untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rezki di tengah mereka berupa anak-anak yang shalih.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 5/65)

[8] Ketika itu Aisyah berusia sekitar 15 tahun atau lebih. (Fathul Bari, 9/344)

Hadits ini menerangkan kelembutan yang ada pada diri Rasulullah n, kasih sayang beliau, akhlak beliau yang baik, pergaulan beliau yang ma’ruf dengan keluarga, istri, dan selainnya. (Al-Minhaj, 6/424)