Anda pernah mendengar atau bahkan mungkin telah menghapal dan mengamalkan doa berikut?
“Ya Allah! Jadikanlah untuk kami rasa takut kepada-Mu yang dengannya dapat menghalangi dan mencegah kami untuk berbuat berbagai maksiat kepada-Mu.
Anugerahkanlah kepada kami ketaatan kepada-Mu yang dengannya dapat menyampaikan kami kepada surga-Mu.
Berikan pula keyakinan yang dengannya terasa ringan bagi kami segala musibah yang menimpa kami.
Berilah kenikmatan dan manfaat kepada kami dengan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami selama Engkau menghidupkan kami.
Jadikanlah semua itu sebagai pewaris dari kami.
Jadikan pula balasan kami kepada orang yang menzalimi kami dengan balasan yang sesuai untuknya (tidak melampaui batas).
Tolonglah kami terhadap orang-orang yang memusuhi kami.
Jangan Engkau jadikan musibah kami menimpa agama kami.
Jangan pula Engkau jadikan dunia menjadi tujuan dan keinginan kami yang terbesar.
Jangan sampai dunia menjadi puncak dari ilmu kami.
Jangan jadikan orang yang tidak menyayangi kami dapat menguasai kami.”
Untaian doa yang bermakna luar biasa, bukan? Coba Anda cermati baik-baik artinya. Sebuah doa ma’tsur (ada atsarnya) yang pernah dilantunkan dan diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di antara sekian banyak doa yang lainnya.
Sahabat yang mulia, Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, menyampaikan kepada kita tentang pengamalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap doa di atas,
“Jarang sekali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dari majelis sampai beliau berdoa dengan doa-doa ini untuk para sahabat beliau.”
Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3502) dan al-Hakim (1/258).
At-Tirmidzi berkata tentang hadits ini, “Hasan gharib”.
Al-Hakim menyatakan sahih dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
Hadits ini derajatnya sahih menurut al-Albani rahimahullah sebagaimana dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, Shahih al-Jami’, dan al-Misykat.
Maksud ucapan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma di atas adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kerap mengucapkan doa-doa di atas sebelum beliau berdiri meninggalkan majelis. Hanya sesekali beliau tidak membaca doa-doa tersebut.
Kandungan Doa
Coba kita tengok kalimat yang terkandung dalam doa di atas.
Dalam senandung doa yang agung di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon dianugerahi khasyah, rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Sebab, kalbu yang berperan sebagai pimpinan bagi tubuh[1] itu bila dipenuhi dengan khasyah. Kalbu akan mengekang anggota tubuh yang lain dari berbuat maksiat. “Jadikanlah untuk kami rasa takut kepada-Mu yang dengannya dapat menghalangi dan mencegah kami untuk berbuat berbagai maksiat kepada-Mu.”
Sebaliknya, kalbu yang kosong dari khasyah akan berselancar dalam maksiat. Tiada rasa takut yang mengekang dan tidak pula khawatir akan akibat yang akan diperoleh. Yang ada di benak hanyalah bagaimana memuaskan jiwa dengan hawa nafsu syahwatnya.
Berikutnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon dalam untaian doa indahnya, “Anugerahkanlah kepada kami ketaatan kepada-Mu yang dengannya dapat menyampaikan kami kepada surga-Mu.”
Surga adalah cita-cita tertinggi dan teragung setiap insan yang mengaku beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dialah negeri asal yang dirindukan, tempat tinggal awal bapak manusia, Adam ‘alaihissalam.
Surga dengan segala kenikmatannya tidaklah bisa dicapai dengan amalan ketaatan semata, karena amalan kita tidak sebanding dengan nikmatnya surga. Amal kita terlalu sedikit nilainya untuk membeli surga. Bayangkan, kita beramal sedikit lagi ringan, sementara ganjaran yang disiapkan di surga demikian besar.
Satu contohnya adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
“Shalat dua rakaat fajar lebih baik daripada dunia seisinya.” (HR Muslim no. 1685)
Karena pahalanya yang sangat besar bersamaan dengan ringannya shalat ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menyatakan,
“Dua rakaat tersebut lebih aku cintai daripada (perhiasan) dunia seluruhnya.” (HR. Muslim no. 1686)
Contoh lain adalah hadits tentang dilipatgandakannya amalan kebaikan sebagaimana disampaikan lewat sahabat yang mulia, Abdullah ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya beliau menyatakan,
“Barang siapa berkeinginan untuk berbuat satu kebaikan namun dia tidak melakukannya, niscaya Allah akan mencatat keinginan baik tersebut sebagai satu kebaikan yang sempurna di sisi-Nya. Jika dia berkeinginan berbuat satu kebaikan lalu dia melakukannya, niscaya Allah akan mencatatnya sebagai sepuluh kebaikan di sisi-Nya, (dan Allah akan melipatgandakannya) sampai tujuh ratus kali lipat, bahkan sampai berlipat-lipat yang sangat banyak… (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Amal ketaatan hanyalah sebab, adapun masuk surga bisa tercapai berkat rahmat Allah subhanahu wa ta’ala kepada si hamba. Allah subhanahu wa ta’ala merahmati si hamba karena dia telah menempuh sebab untuk masuk ke surga-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala pun memasukkannya ke dalam surga.
Karena surga itu hanya dicapai dengan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala , seorang hamba tentu tidak layak merasa telah berbuat sesuatu yang besar dengan amalannya dan merasa pantas masuk surga karena telah beramal ini dan itu.
Sungguh, apa pun yang kita lakukan dan bagaimana pun besarnya amalan ketaatan kita, tetap saja tidak sebanding dengan ganjaran yang diperoleh di surga. Allah subhanahu wa ta’ala memberi lebih banyak dan sangat banyak daripada apa yang kita lakukan.
Yang diminta selanjutnya adalah ‘keyakinan’. Yakinlah bahwa tidak ada yang dapat menolak ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala. Yakinlah bahwa tidaklah menimpa kita suatu musibah kecuali telah ditetapkan-Nya dalam takdir-Nya.
Apa yang ditakdirkan-Nya tidak lepas dari hikmah dan maslahat bersamaan dengan adanya tambahan pahala untuk si hamba yang terkena musibah.
Dengan keyakinan seperti ini terasa mudahlah semua musibah dunia, dikarenakan yakin adanya balasan pahala. Si hamba yang yakin tidak menjadi gundah-gulana dengan apa yang menimpanya dan tidak pula terlalu bersedih.
Yang terucap dari lisannya saat menimpanya sesuatu yang tidak mengenakkan adalah kalimat yang syar’i ,
“Allah telah menakdirkan dan apa saja yang Dia kehendaki Dia lakukan.”
Sebagaimana bimbingan Sang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang sahih riwayat al-Imam Muslim dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
Jika sesuatu menimpamu (yang tidak kamu sukai atau tidak sesuai dengan keinginanmu), janganlah kamu katakan, “Seandainya aku melakukan itu, niscaya hasilnya akan begitu dan begitu.” Akan tetapi, katakanlah, “Qaddarullah wa masya’a fa’ala…”
Pendengaran dan penglihatan dengan alatnya masing-masing merupakan nikmat yang besar yang dianugerahkan Allah subhanahu wa ta’ala untuk para hamba. Demikian pula kekuatan tubuh, apalagi bila digunakan untuk menaati Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa untuk pendengaran, penglihatan, dan kekuatan tersebut,
“Berikanlah kenikmatan dan manfaat kepada kami dengan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami selama Engkau menghidupkan kami.”
Indra yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan tidak hanya telinga dan mata, tetapi dalam permohonan di atas keduanya disebutkan secara khusus tanpa menyebut indera yang lain, karena memang petunjuk-petunjuk yang menyampaikan kepada ma’rifatullah (mengenal Allah subhanahu wa ta’ala) dan mentauhidkan-Nya hanyalah dicapai lewat jalan keduanya (mata dan telinga).
Burhan/bukti yang nyata diperoleh dari ayat-ayat sam’iyah (wahyu berupa al-Qur’an dan as-Sunnah) dan dilakukan lewat jalan mendengar. Ayat-ayat yang dipancangkan di ufuk dan di jiwa-jiwa (ayat-ayat kauniyah berupa makhluk-makhluk ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala) diperoleh lewat penglihatan.
Menurut Ibnul Malik, permohonan tamattu’ (beroleh kenikmatan) dengan pendengaran dan penglihatan juga bermakna meminta agar keduanya tetap sehat (tidak rusak/mengalami cacat) sampai meninggal dunia.
Seorang hamba memohon tamattu’ dengan keduanya karena khawatir dirinya terjatuh pada jalan orang-orang yang Allah subhanahu wa ta’ala tutup kalbu mereka dan Allah subhanahu wa ta’ala jadikan di atas pendengaran dan penglihatan mereka terdapat ghisyawah/penutup sebagaimana dalam ayat,
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai kalbu tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka pun punya telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (al-Araf : 179)
Ketika dicapai ma’rifatullah lewat mata yang melihat dan telinga yang mendengar, tentu berkonsekuensi si hamba harus menegakkan ibadah kepada sang Rabb. Dia pun harus memohon kekuatan kepada sang Rabb agar memungkinkan baginya melaksanakan ibadah kepada-Nya, karena ‘tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah’.
Ath-Thibi berkata, “Yang dimaukan dengan kekuatan adalah kekuatan seluruh anggota tubuh dan indra, atau seluruhnya.”
Selanjutnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon,
“Jadikan (semua itu) pewaris bagi kami,” yakni tetap ada pada kami sampai meninggal.
Kisah Al-Imam Al-Albani rahimahullah
Al-Imam al-Albani rahimahullah setelah membawakan hadits,
“Umur umatku antara 60 tahun sampai 70 tahun, sedikit di antara mereka yang melampaui umur tersebut.”[2]
Ibnu Arafah berkata, “Aku termasuk yang sedikit tersebut.”
Beliau rahimahullah memberikan komentar terhadap ucapan Ibnu Arafah di atas, “Aku juga termasuk yang sedikit tersebut. Umurku telah melebih 84 tahun. Aku memohon kepada al-Maula (yakni Allah subhanahu wa ta’ala) agar termasuk orang yang panjang umurnya dan baik amalannya.
Namun, sungguh. bersamaan dengan itu hampir-hampir aku mengangankan kematian, tatkala melihat kaum muslimin ditimpa musibah berupa penyimpangan dalam hal agama dan kehinaan yang turun kepada mereka sehingga mereka termasuk orang-orang yang rendah.
Akan tetapi, tentu amat jauh bagiku untuk mengangankan hal tersebut, sementara hadits Anas radhiallahu ‘anhu ada di hadapanku sejak aku masih muda remaja. Tidak pantas bagiku untuk mengatakan kecuali sebagaimana yang diperintah oleh Nabiku shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‘Ya Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan ini baik bagiku dan wafatkanlah aku bila kematian lebih baik bagiku.’[3]
Seraya berdoa dengan doa yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepadaku,
Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala memberikan keutamaan dengan mengabulkan permohonanku dan memberiku kenikmatan serta manfaat dengan seluruhnya (pendengaran, penglihatan dan kekuatan).
Sampai saat ini (sebelum beliau meninggal dunia –pent.) aku terus menerus diberi kemampuan untuk meneliti, mentahqiq, dan menulis dengan penuh semangat yang jarang ada yang menandinginya.
Aku tetap bisa mengerjakan shalat nafilah dengan berdiri. Aku menyetir mobil sendiri dengan jarak tempuh yang jauh, dengan laju kecepatan yang membuat sebagian orang-orang tercinta[4] menasihatiku untuk menguranginya.
Aku sampaikan hal ini sebagai bentuk pengamalan ayat,
(bukan untuk menyombongkan diri–pent.).
Aku berharap kepada al-Maula subhanahu wa ta’ala agar menambahkan kepadaku keutamaan-Nya; dan menjadikan semua itu sebagai pewaris dariku; mewafatkan aku dalam keadaan muslim, di atas sunnah yang aku telah menazarkan hidupku untuk sunnah dalam bentuk berdakwah dan menulis; agar menggabungkan aku bersama para syuhada dan shalihin. Mereka itulah adalah sebaik-baik teman. Sungguh, Allah Maha Mendengar lagi Mengabulkan doa.” (Dinukil dari Fawaid wa ‘Ibar min Hayah al-Imam al-Albani, hlm. 287)
Sebab, apabila melampaui batas berarti dia berpindah dari keadaan terzalimi menjadi orang yang zalim. Sementara itu, ada peringatan dalam hadits,
“Berhati-hatilah kalian dari kezaliman, karena kezaliman itu adalah kegelapan demi kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Muslim)
Apa jadinya apabila Allah subhanahu wa ta’ala membiarkan kita dengan musuh kita, tidak menolong kita?
Jika Allah subhanahu wa ta’ala menolong kita, tidak akan ada yang dapat mengalahkan, sebagaimana firman-Nya,
“Jika Allah menolong kalian, tidak ada yang dapat mengalahkan kalian. Namun, apabila Allah menghinakan kalian (tidak menolong bahkan membiarkan kalian), siapa lagi yang dapat menolong kalian setelah-Nya? Karena itu, hendaknya hanya kepada Allah-lah orang-orang beriman itu bertawakal.” (Ali ‘Imran: 160)
Kebaikan agama adalah modal keselamatan di akhirat. Apa jadinya apabila modal tersebut rusak karena musibah yang menimpanya?
Karena itu, kita diajari untuk memohon kepada Rabb agar yang menimpa kita bukan musibah yang mengenai agama sehingga mengurangi, melunturkan, atau merusaknya. Di antara musibah dalam hal agama ialah penyimpangan dari al-haq, keyakinan yang buruk, memakan makanan yang haram, malas beribadah, dan semisalnya.
Dunia dinamakan dunia karena dua sebab.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Akhirat itu lebih baik bagimu daripada yang awal (dunia).” (adh-Dhuha: 4)
Hal ini digambarkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad rahimahullah dari al-Mustaurid ibnu Syaddad radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tempat cambuk salah seorang dari kalian di surga lebih baik daripada dunia berikut isinya.”
Tempat cambuk, tempat tongkat yang pendek lagi kecil, di surga nanti lebih baik daripada dunia berikut isinya dari awal sampai akhirnya. Itulah nilai dunia (tidak ada apa-apanya). (Syarhu Riyadhish Shalihin, Ibnu Utsaimin, 2/249)
Demikian rendahnya nilai dunia. Tidak sepantasnya dunia menjadi tujuan hidup, target utama, prioritas tertinggi, dan yang dipikirkan siang malam.
Karena itu, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon pertolongan Sang Khaliq agar mencari harta dan kedudukan tidak menjadi tujuan yang terbesar dalam kehidupan. Yang diminta ialah agar amalan akhirat dan mengejar keutamaannya menjadi tujuan yang utama dan terbesar.
Jangan pula, ya Allah, Engkau jadikan puncak ilmu kami adalah urusan dunia sehingga tidak ada yang kami tahu dan kami pikirkan kecuali urusan dunia. Justru yang kami mohon adalah Engkau jadikan kami memikirkan keadaan akhirat, mempelajari ilmu yang terkait dengan-Mu dan negeri akhirat.
Jangan sampai kami dikuasai oleh orang-orang kafir dan zalim; atau jangan jadikan orang zalim sebagai pemimpin kami, karena seorang yang zalim tidak akan menyayangi rakyatnya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Nukilan dari Tuhfah al-Ahwazi, kitab ad-Da’wah, bab 80 disertai tambahan yang banyak dari beberapa rujukan)
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang kalbu (jantung),
“Sesungguhnya di dalam tubuh itu adalah segumpal daging. Jika baik daging tersebut, baik pula seluruh tubuh. Sebaliknya jika rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging tersebut adalah kalbu. (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari sahabat yang mulia an-Nu’man ibnu Basyir radhiallahu ‘anhu)
[2] HR. at-Tirmidzi dalam Sunannya, al-Bazzar dalam Musnadnya, Ibnu Hibban dalam Shahihnya, dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu.
[3] Muttafaqun ‘alaih.
[4] Di antaranya ialah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah (-ed.)