(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman)
Dia beriman, berbaiat dan berhijrah. Dia berikan kebaikan untuk Allah dan Rasul-Nya dalam keislamannya, hingga dia beroleh janji, “Barangsiapa yang ingin melihat seorang bidadari, maka lihatlah wanita ini.”
Ummu Ruman bintu ‘Amir bin ‘Uwaimir bin Abdi Syams bin ‘Itab bin Udzainah bin Sabi’ bin Duhman bin Al-Harits bin Ghanm bin Malik bin Kinanah Al-Kinaniyah x1 adalah istri orang terbaik umat ini setelah Nabinya n, Abu Bakr Ash-Shiddiq z.
Sebelum datang masa Islam, Ummu Ruman adalah istri ‘Abdullah bin Al-Harits bin Sakhbarah bin Jurtsumatil Khair bin ‘Adiyah bin Murrah Al-Azdi. Allah I mengaruniakan pada mereka seorang anak bernama Ath-Thufail. Mereka tinggal di As-Surah. Selang beberapa waktu, Abdullah membawa istrinya ke Makkah untuk tinggal di sana. Sebagaimana kebiasaan kala itu, para pendatang bersekutu dengan para pembesar Makkah yang dapat melin-dunginya. Begitu pun ‘Abdullah bin Al-Harits. Dia bersekutu dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq.
Namun Ummu Ruman harus bertemu dengan kenyataan, Abdullah meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Sepeninggal Abdullah bin Al-Harits, Abu Bakr z datang meminangnya dan membawa Ummu Ruman dalam kehidupan rumah tangganya. Allah U menganugerahi pasangan ini Abdurrahman dan ‘Aisyah.
Hari terus bergulir, hingga cahaya Islam merekah di kota Makkah. Abu Bakr Ash-Shiddiq z adalah orang pertama yang membenarkan risalah. Tak ketinggalan Ummu Ruman menyatakan keimanannya dan turut berbaiat kepada Rasulullah n.
Keluarga yang sarat barakah. Ketika putri mereka, ‘Aisyah x berumur enam tahun, datang Rasulullah n untuk meminang ‘Aisyah. Jadilah putri Ummu Ruman ini seorang wanita yang penuh kemuliaan sebagai Ummul Mukminin. Namun saat itu, ‘Aisyah masih tetap berada dalam asuhan ayah ibunya, dalam keluarga yang penuh kebaikan, hingga saatnya turun perintah hijrah.
Ketika itu, Rasulullah n dan Abu Bakr z lebih dulu berangkat hijrah, sementara Ummu Ruman beserta keluarga Abu Bakr masih tinggal di Makkah. Barulah setelah Rasulullah n menetap beberapa saat di Madinah, beliau mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi’ c untuk menjemput keluarga beliau, berbekal 500 dirham dan dua ekor unta. Abu Bakr juga mengutus Abdullah bin ‘Uraiqith dengan membawa dua atau tiga ekor unta, dan menulis surat kepada putranya, Abdullah bin Abi Bakr, untuk membawa Ummu Ruman beserta ‘Aisyah dan Asma`. Mereka pun bertolak menuju Madinah bersama-sama. Saat itu, Zaid dan Abu Rafi’ membawa Fathimah, Ummu Kultsum, dan Saudah bintu Zam’ah. Zaid juga menjemput istri dan anaknya, Ummu Aiman dan Usamah bin Zaid.
Setiba di Madinah, keluarga Abu Bakr tinggal beberapa lama di kampung Bani Al-Harits bin Al-Khazraj. Suatu hari, ‘Aisyah yang kala itu berusia sembilan tahun tengah menikmati permainan bersama teman-teman sepermainannya. Tiba-tiba Ummu Ruman datang memanggilnya. ‘Aisyah segera datang tanpa mengetahui apa maksud ibunya memanggilnya. Ummu Ruman menggamit tangan ‘Aisyah yang masih terengah-engah itu ke depan pintu rumah. Diambilnya sedikit air, diusapnya wajah dan kepala putrinya, lalu diajaknya ‘Aisyah masuk. Ternyata di sana telah berkumpul para wanita Anshar. Mereka menyambut ‘Aisyah dengan doa keber-kahan. Ummu Ruman menyerahkan ‘Aisyah pada mereka yang dengan segera mendandani ‘Aisyah. Ternyata hari itu adalah hari istimewa, saat bertemunya putri Ummu Ruman dengan Rasulullah n, suaminya.
Ummu Ruman tetap mengiringi kehidupan putrinya. Bahkan juga ketika tersebar berita dusta tentang ‘Aisyah yang mengguncang rumah tangga Rasulullah n, sepulang beliau dari peperangan Bani Al-Mushthaliq. ‘Aisyah yang turut dalam perjalanan itu, semenjak kepulangannya jatuh sakit sampai sebulan lamanya hingga tak mengetahui isu yang beredar menyang-kut dirinya. Dia hanya merasa janggal dengan sikap Rasulullah n yang begitu dingin. Dia tak merasakan sentuhan kelembutan dari Rasulullah n sebagaimana yang biasa beliau lakukan bila ‘Aisyah sedang sakit. Namun akhirnya, sampai pulalah kabar itu ke telinga ‘Aisyah dari Ummu Mishthah. Bertambah parahlah sakit ‘Aisyah.
Saat Rasulullah n menemuinya, ‘Aisyah pun meminta izin untuk tinggal sementara waktu bersama orang tuanya. Dia ingin mencari kepastian tentang berita yang tersebar itu dari mereka. Rasulullah n mengizinkannya.
Di hadapan ibunya, ‘Aisyah bertanya, “Wahai ibu, apa sebenarnya yang sedang dibicarakan orang-orang?” Dengan hati yang tak kalah sedihnya, Ummu Ruman me-nenangkan ‘Aisyah, “Tenanglah, duhai putriku. Demi Allah, teramat jarang seorang wanita yang cantik di sisi seorang suami yang begitu mencintainya, sementara dia memiliki madu, melainkan dia akan diperbincangkan.”
“Subhanallah!” sahut ‘Aisyah, “Berarti benar orang-orang membicarakan hal itu?” Pecahlah tangis ‘Aisyah malam itu tanpa henti hingga pagi menjelang. Air matanya tak berhenti mengalir. ‘Aisyah masih terus menangis.
Sampai pada akhirnya, Allah I turunkan dari atas langit pernyataan tentang kesucian dirinya dari tuduhan dusta yang dihembuskan oleh kaum munafikin dalam ayat 11 sampai 19 Surah An-Nuur.
Ummu Ruman, istri Ash-Shiddiq, ibunda Ash-Shiddiqah ini kembali ke hadapan Rabbnya pada masa Rasulullah n, dengan meninggalkan banyak kebaikan. Ketika jasadnya telah diturunkan ke dalam kubur, Rasulullah n bersabda, “Barangsiapa yang ingin melihat seorang bidadari surga, maka lihatlah Ummu Ruman.”
Ummu Ruman bintu ‘Amir, semoga Allah I meridhainya ….
Wallahu ta’ala a’lamu bish shawab.
Sumber Bacaan:
q Al-Ishabah, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (8/206-209)
q Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (hal. 1935-1937)
q Kitab Azwajin Nabi, karya Al-Imam Muhammad bin Yusuf Ash-Shalihi Ad-Dimasyqi (hal. 83-84, 111-117)
q Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/276)
q Tahdzibul Kamal, karya Al-Imam Al-Mizzi (35/358-361)
Catatan Kaki:
1 Nasab Ummu Ruman dari ayahnya hingga Kinanah banyak diperselisihkan oleh para ahli tarikh, namun mereka bersepakat bahwa dia dari Bani Ghanm bin Malik bin Kinanah.