Kaum Nabi Nuh ‘alahis salam yang kafir ditenggelamkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam air bah yang sangat dahsyat. Semuanya binasa, termasuk putra Nabi Nuh ‘alahis salam yang sebenarnya masih disayanginya.
Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan kepada beliau kepastian akan ditenggelamkannya kaumnya serta memerintahkan agar jangan mengatakan sesuatu kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena mereka sesungguhnya benar-benar sangat zalim.
Mulailah Nabi Nuh ‘alahis salam membuat kapal. Setiap kali pemimpin kaumnya melewati Nabi Nuh ‘alahis salam, mereka mengejeknya. Nabi Nuh ‘alahis salam berkata kepada mereka, ”Jika kalian mengejek kami saat ini, maka kami (pun) akan mengejek kalian (nanti) apabila bencana menimpa kalian.”
Allah subhanahu wa ta’ala mewahyukan kepada Nabi Nuh ‘alahis salam bahwa jika waktunya telah tiba dan seluruh permukaan bumi yang terjauh sekalipun telah memancarkan air, agar beliau segera mengangkut seluruh jenis hewan berpasang-pasangan, jantan dengan betina agar tetap berlanjut jenis (spesies) keturunan mereka. Sebab, tidak mungkin mengangkut semuanya ke atas kapal. Hikmahnya adalah melestarikan jenis hewan-hewan yang telah diciptakan Allah subhanahu wa ta’ala dan ditundukkan untuk kemaslahatan manusia. Juga mengangkut orang-orang yang beriman bersama beliau, laki-laki dan perempuan. Memang kenyataannya tidak ada yang beriman kepada Nabi Nuh ‘alahis salam melainkan sedikit sekali.
Allah subhanahu wa ta’ala juga memerintahkan Nabi Nuh ‘alahis salam untuk membawa keluarga beliau kecuali orang yang sebelumnya telah berlaku ketetapan atasnya sebagai orang yang celaka.
Setelah menaikkan semua yang diperintahkan, beliau berkata kepada mereka, “Sebutlah nama Allah subhanahu wa ta’ala setiap kali berlayar atau berhenti. Karena semua sebab itu, betapapun besarnya, adalah karena kelembutan Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak akan sempurna (pengaruh) sebab-sebab itu kecuali dengan (izin) Allah subhanahu wa ta’ala.”
Pada waktu itu, Allah subhanahu wa ta’ala jadikan bumi memancarkan mata air-mata air serta memerintahkan langit agar menumpahkan air (hujan) sehebat-hebatnya. Maka bertemulah air itu dan mengalir ke tempat-tempat yang rendah. Sedikit demi sedikit air mulai naik menggenangi tempat-tempat yang tinggi, hingga menenggelamkan puncak-puncak gunung.
Sementara itu, kapal Nabi Nuh ‘alahis salam berlayar menembus gelombang yang menggunung di kiri kanannya. Dalam keadaan yang mencekam ini, Nabi Nuh ‘alahis salam melihat putranya yang kafir dan masih menganut agama kaumnya, ternyata masih menjauhi ayahnya meskipun sudah demikian keadaannya.
Beliau melihatnya seperti yang lain, berlarian menyelamatkan diri dari air bah yang melanda negeri mereka. Nabi Nuh ‘alahis salam dengan penuh kasih sayang memanggil putranya,
“Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” (Hud: 42)
Akan tetapi, putranya tetap dalam keangkuhannya, dalam situasi yang semestinya hilang ketololan itu kecuali orang yang hatinya benar-benar telah tertutup. Ia berkata kepada ayahnya, seperti disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
“Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menyelamatkanku dari air bah ini.” (Hud: 43)
Tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka bahwa air itu akan terus naik menenggelamkan puncak-puncak gunung setinggi apa pun. Nabi Nuh ‘alahis salam berkata pula,
“Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah, selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” (Hud: 43)
Gunung ataupun menara dan lain-lainnya tidak akan dapat melindungi siapa pun, kecuali mereka yang mendapat rahmat dari Allah subhanahu wa ta’ala. Rahmat-Nya dalam situasi yang demikian tentunya sudah jelas hanya untuk mereka yang ikut dalam kapal bersama Nabi Nuh ‘alahis salam.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan gelombang pun menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Hud: 43)
Anak Nabi Nuh ‘alahis salam itu pun termasuk orang-orang yang ditenggelamkan Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala menenggelamkan seluruh orang yang kafir serta menyelamatkan Nabi Nuh ‘alahis salam dan orang-orang yang beriman. Semua kejadian ini menjadi bukti bahwa ajaran tauhid, risalah, berita kebangkitan (hidup sesudah mati), dan agama yang dibawa Nabi Nuh ‘alahis salam adalah haq (pasti kebenarannya). Sedangkan mereka yang menyelisihi atau menentang beliau adalah batil.
Kejadian ini juga merupakan dalil akan adanya balasan di dunia bagi orang-orang beriman berupa keselamatan dan kemuliaan, serta kebinasaan dan kehinaan bagi orang-orang yang kafir (menentang).
Setelah tujuan utama ini tercapai, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan langit untuk menghentikan hujannya serta memerintahkan bumi agar menelan airnya. Air pun disurutkan (berkurang) sedikit demi sedikit. Bahtera (kapal) Nabi Nuh ‘alahis salam berlabuh di atas bukit al-Judi, sebuah bukit terkenal di daerah Mosul, Irak (daerah Mesopotamia dahulu).
Semua ini menjadi dalil bahwa seluruh gunung yang ada telah ditenggelamkan dan dilanda oleh air bah ini. Nabi Nuh ‘alahis salam sangat berduka terhadap apa yang menimpa putranya. Beliau berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan penuh kelembutan dan ketundukan,
“Wahai Rabbku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.” (Hud: 45)
Yakni, Engkau perintahkan agar aku membawa keluargaku bersamaku, dan Engkau adalah penyayang yang paling baik. Maka Allah subhanahu wa ta’ala pun berkata,
“Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu.” (Hud: 46)
Yaitu, keluarga yang telah dijanjikan akan keselamatan mereka. Karena sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah membatasi keadaan atau sifat keluarga yang dimaksudkan itu dengan firman-Nya,
“Kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan atasnya.” (Hud: 40)
Allah subhanahu wa ta’ala jelaskan pula,
“Sesungguhnya ini adalah perbuatan yang tidak baik.” (Hud: 46)
Yakni, doamu untuk keselamatan putramu yang menganut agama masyarakatnya ini bukanlah perbuatan yang baik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikatnya). Sesungguhnya Aku memperingatkanmu agar tidak termasuk orang-orang yang jahil (tidak berilmu).” (Hud: 46)
Ini adalah teguran Allah subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Nuh ‘alahis salam, didikan dan nasihat atas permintaannya yang semata-mata terdorong oleh kasih sayang seorang ayah kepada putranya.
Dari sini bisa diambil pelajaran juga, yang wajib diperhatikan dalam doa seperti itu hendaknya dilandasi oleh ilmu dan keikhlasan dalam mengharapkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.
Nabi Nuh ‘alahis salam pun berkata, sebagaimana diceritakan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Wahai Rabbku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada-Mu sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakikatnya). Dan seandainya Engkau tidak memberi ampun kepadaku dan tidak menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi. Difirmankan, ‘Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu. Dan umat yang Kami beri kesenangan kepada mereka (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami’.” (Hud: 47—48)
Beliau pun turun dan Allah subhanahu wa ta’ala memberi berkah pada anak keturunannya. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan anak cucu Nabi Nuh ‘alahis salam sebagai orang-orang yang melanjutkan keturunan. Maka akhirnya anak-anak Yafuts putra Nabi Nuh ‘alahis salam menyebar di belahan bumi bagian timur, keturunan Ham di sebelah barat, dan anak keturunan Sam di tengah-tengah (antara timur dan barat).
(bersambung, insya Allah)
ditulis oleh al-Ustadz Idral Harits