Asysyariah
Asysyariah

umar ibnul khaththab radhiallahu ‘anhu (17) : hari-hari berdarah di qadasiyah

8 tahun yang lalu
baca 10 menit

Dengan taufik dan pertolongan Allah ‘azza wa jalla, pertempuran akhirnya berhenti. Siapa yang menang dan yang kalah telah jelas. Sebuah kemenangan gemilang bagi kaum muslimin, dan kekalahan memalukan bagi musuh-musuh Allah ‘azza wa jalla.

Perang Qadisiyah benar-benar sebuah pertempuran yang dahsyat. Tiga hari pertama, pasukan Persia sanggup bertahan menghadang serangan kaum muslimin, bahkan sempat membuat kaum muslimin kewalahan dengan bantuan pasukan gajah mereka.

Belum pernah kaum muslimin menghadapi pertempuran sehebat itu selama berhari-hari. Biasanya, mereka menaklukkan lawan dalam pertempuran hebat sehari saja. Mengapa bangsa Persia begitu kuat dan semangat bertahan? Tidak lain adalah karena Perang Qadisiyah ini merupakan penentu hidup matinya Kerajaan Sasanid. Kalau mereka kalah, lenyaplah Persia, padamlah api suci di kuil-kuil pemujaan mereka. Kalau mereka menang, mereka betul-betul akan memusnahkan dan melenyapkan bangsa Arab dari percaturan dunia.

Selain tekad mempertahankan keangkuhan kekuasaan dan paganisme yang menjadi budaya bangsa, mereka merasa kuat karena dipimpin oleh Rustum. Selain ahli nujum (tukang ramal), dia juga seorang ahli perang tersohor, dengan pengalaman tempur yang luas. Ditambah pula jumlah personil yang besar, lebih dari seratus ribu pasukan inti, dengan persenjataan dan perbekalan yang lengkap. Bahkan, setiap hari dikirimi pula bantuan oleh Yazdajird dari kota raja. Ternyata kekuatan dan persenjataan mereka tidak ada artinya menghadapi tentara-tentara yang sudah mendaftarkan dirinya untuk membeli surga yang dijual oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Ya, Allah subhanahu wa ta’ala memang memberitakan bahwa Dia menjual surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Surga yang berisi kesenangan abadi yang belum pernah terbetik dalam benak manusia, belum pernah pula terlihat ataupun terdengar oleh mereka.

Dengan surga itu, Allah ‘azza wa jalla membeli jiwa raga dan harta orang-orang yang menyatakan dirinya beriman.

Dan…

Orang-orang yang sudah menyatakan keimanannya itu serempak menyambut penawaran tersebut. Dengan pertolongan Allah ‘azza wa jalla, ‘kehebatan’ pasukan Persia harus takluk di hadapan tentara-tentara Allah ‘azza wa jalla. Runtuh sudah kesombongan mereka. Lenyap sudah kekuasaan dinasti Sasanid.

Dan kebatilan itu pasti lenyap, cepat atau lambat.

 Berita dari Qadisiyah

Di Madinah, Amirul Mukminin ‘Umar al-Faruq senantiasa mencari berita tentang keadaan Sa’d dan pasukannya di Qadisiyah.

Suatu hari, seorang penunggang kuda terlihat mendekati gerbang Madinah dengan cepat. ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu segera memapak penunggang kuda itu dan bertanya tentang kaum muslimin di Qadisiyah.

“Allah subhanahu wa ta’ala telah memberi kemenangan kepada kaum muslimin dan mereka memperoleh ghanimah yang sangat banyak,” kata orang itu sambil terus bercerita tanpa mengetahui bahwa lawan bicaranya adalah Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu.

Siapakah ‘Umar hingga setiap orang harus mengenalnya?

Ya, siapakah ‘Umar? Inilah yang selalu dinasihatkannya kepada dirinya sendiri.

Sambil terus bercerita dari atas kudanya, sementara ‘Umar mengiringinya sambil berjalan kaki, mereka memasuki kota Madinah.

Di dalam kota, kaum muslimin memberi salam sambil menyebut kedudukan beliau, “Assalaamu ‘alaika, wahai Amirul Mukminin.”

Penunggang kuda yang baru datang terperangah dan merasa malu, “Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati Anda, wahai Amirul Mukminin. Mengapa Anda tidak menerangkan jati diri Anda, wahai Khalifah?”

“Engkau tidak bersalah, wahai saudaraku.”

Subhanallah. ‘Engkau tidak bersalah, wahai saudaraku’, ucapan ini hampir mustahil terdengar spontan keluar dari sebagian pembesar ketika tidak ‘dianggap’ dan tidak menerima penghormatan yang sesuai dengan kedudukannya. Bahkan, tidak jarang mereka yang diperlakukan seperti ini, menyimpan kejengkelan ketika disepelekan dan tidak dihormati sebagaimana layaknya.

Inilah ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, penguasa sepertiga belahan dunia. Kemudian, ‘Umar radhiallahu ‘anhu menulis surat agar Sa’d tetap di tempatnya.

 Beberapa Hasil Penting

Perang Qadisiyah boleh dikatakan sebagai penentu jalannya sejarah di wilayah timur. Dengan kemenangan pasukan muslimin ini terjadi perubahan total dalam kehidupan baik politik maupun agama penduduk secara umum, dan Persia khususnya.

Kekalahan tentara Persia mengakibatkan lenyapnya kekuasaan dinasti Sasan di Irak yang kemudian menjadi salah satu unit politik dan geografi daulah Islamiyah.

Peristiwa Qadisiyah menggariskan perubahan Irak dan dakwah Islam di sana. Irak akhirnya langsung berada di bawah kekuasaan Khalifah Rasyidah yang membantu kaum muslimin menyebarkan dakwah Islam.

Usai pertempuran, empat ribu prajurit Rustum masuk Islam. Bahkan, beberapa kabilah Arab di tepi sungai Eufrat datang menampakkan keislaman mereka di hadapan Sa’d bin Abi Waqqash. Kemudian, beberapa penduduk Irak dan pembesarnya juga berdatangan masuk Islam.

Kemenangan pasukan muslimin di Qadisiyah adalah awal kemenangan Islam di wilayah tersebut. Yang paling penting adalah jatuhnya ibu kota Persia, Madain. Kemudian perang Jalula dan jatuhnya Hulwan tahun itu juga.

Beberapa wilayah Irak yang ditaklukkan Khalid bin al-Walid dan al-Mutsanna bin Haritsah radhiallahu ‘anhuma melanggar perjanjian, selain penduduk Baniqia, Basma, dan Ulais. Setelah kaum muslimin menang dalam Perang Qadisiyah, mereka kembali kepada kesepakatan perjanjian tersebut. Mereka mengajukan alasan bahwa mereka melanggar perjanjian itu karena tekanan tentara Persia. Kaum muslimin menerima pengakuan mereka untuk melunakkan hati mereka.

Akhirnya, ahlu sawad dan para petani serta yang lainnya menjadi ahli dzimmah. Dengan demikian, keamanan di Irak semakin stabil dan menjadi negara Islam.

Ghanimah yang diperoleh kaum muslimin dari perang Qadisiyah ini berlimpah. Di antaranya adalah bendera perang Persia yang dibuat dari kulit harimau, yang lebarnya kira-kira 24 m per segi (6x4m) dan diikatkan pada tiang yang tinggi bersambung-sambung. Bendera itu dihiasi dengan batu-batu permata dan mutiara.

 Merebut Kotaraja Madain

Sa’d masih tetap di Qadisiyah selama dua bulan, hingga seluruh pasukan bisa memulihkan tenaga dan semangat mereka. Selain itu, tindakan tersebut sangat membantu terjaganya stabilitas keamanan dan kehidupan masyarakat setempat.

Kemudian, Sa’d mulai bertolak menuju wilayah barat Madain dengan arahan dari Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu.

Sa’d mulai membagi pasukannya. Sebagian ditinggalkan untuk menjaga wanita dan anak-anak kaum muslimin serta keamanan pasukan induk dari arah belakang.

Bulan Dzulhijjah 15 H, Sa’d tiba di Bahrasir. Kota itu ternyata memiliki tembok yang tinggi dan pertahanan yang kuat. Sa’d mengirim beberapa pasukan menelusuri wilayah itu. Sama sekali tidak ditemukan jejak-jejak pasukan Persia. Yang ada hanya sekitar seratus ribu petani wilayah tersebut.

Sa’d mengirim surat meminta pendapat Khalifah Umar radhiallahu ‘anhu. Ternyata Khalifah ‘Umar menyerahkan urusan penduduk tersebut kepada Sa’d. Akhirnya Sa’d memaafkan mereka, bersikap lemah lembut kepada mereka, dan bergaul dengan baik bersama mereka. Para petani hanya dikenai pajak. Sawah ladang mereka tetap diakui sebagai milik mereka. Semua gembira dan menerima ketetapan Islam serta merasa damai.

Kemudian, Sa’d mengutus Salman al-Farisi kepada penduduk Bahrasir menawarkan kepada mereka salah satu dari tiga pilihan; Islam, jizyah, atau pedang. Ternyata mereka memilih pedang dan menolak dua tawaran pertama dengan sengit dan marah.

Pasukan Persia segera menyiapkan manjaniq (pelontar peluru) untuk memukul mundur kaum muslimin. Sa’d mulai mengepung Bahrasir dan bersiap menggempur mereka. Dua puluh manjaniq kaum muslimin digelar, begitu pula kendaraan tempur yang terbuat dari kulit, kayu, dan kepingan besi. Kepungan ini menekan penduduk Bahrasir, hingga mereka kehabisan bekal. Akhirnya, mereka melarikan diri menuju Madain timur.

Sa’d berhasil memasuki Bahrasir dan menempatkannya di bawah kekuasaan Daulah Islam. Peristiwa ini terjadi pada bulan Shafar tahun 16 H.

Pasukan muslimin tiba di Ctesifon, Madain timur. Akan tetapi, mereka masih belum bisa memasuki kota itu karena terhalang Sungai Tigris. Ketika Yazdajird mengetahui bahwa pasukan muslimin telah hampir tiba di ibu kota kerajaannya, dia segera menuju Hulwan. Di sana, dia tinggal bersama para pembesar kerajaan dan keluarganya.

Selama beberapa hari, Sa’d berusaha mencari perahu untuk menyeberang. Sebab, orang-orang Persia telah mengangkat titi penyeberangan dan menahan perahu di tepi Sungai Tigris sebelah timur. Sebagian jembatan ada yang dibakar musnah. Hal ini sempat menggelisahkan pasukan muslimin karena mereka tidak mempunyai sarana untuk menyeberang.

Seorang penduduk pribumi menunjukkan jalan tembus ke kota. Akan tetapi, Sa’d ragu-ragu untuk melewati jalan itu. Ketika masih dalam keadaan demikian, kaum muslimin dikejutkan oleh luapan Sungai Tigris yang membawa lumpur dan kotoran.

Sa’d adalah Sa’d, salah seorang murid dari madrasah nubuwah yang langsung dididik oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kesulitan itu tidak membuat Sa’d putus asa dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak membuatnya kalah.

Sa’d mulai memikirkan situasi ini dan bermusyawarah dengan pasukannya. Malam hari, Sa’d bermimpi melihat kuda-kuda kaum muslimin melintasi Sungai Tigris, padahal banjir demikian hebatnya.

Sa’d bertekad akan menyeberangi sungai itu bersama pasukannya. Dia menceritakan mimpinya. Ternyata sambutan kaum muslimin demikian semangat, “Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi keteguhan pada kami dan Anda di atas petunjuk, laksanakan.”

Panglima Sa’d memberi komando agar seluruh pasukan bersiap-siap menyeberang. Beliau mengatur strategi dengan menempatkan pasukan berkuda kaum muslimin di kepala jembatan di timur Sungai Tigris. Mereka harus mampu menghancurkan pasukan musuh yang berjaga di sisi timur itu.

Sa’d memerintahkan agar pasukan pelopor dan pemukul melaksanakan taktik yang direncanakannya. Yang pertama menyeberang adalah 60 prajurit komando ahwal yang dipimpin oleh ‘Ashim bin ‘Amr. Pasukan ini berhasil menerobos rintangan dan menghancurkan pasukan musuh yang berjaga di Furadh lalu menguasai daerah itu.

Kemudian disusul pasukan kharsa yang dipimpin Qa’qa’ bin ‘Amr. Kedua pasukan ini menjadi kepala jembatan di atas dermaga timur Sungai Tigris dan menjadi pengawal penyeberangan pasukan muslimin.

Setelah merasa aman—dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala—dengan berhasilnya taktik tersebut, Sa’d mulai memerintah seluruh pasukan untuk menyeberang dengan aman sambil berdoa, “Kami meminta pertolongan kepada Allah, bertawakal kepada-Nya. Cukuplah Allah bagi kami dan Dia sebaik-baik Pelindung. Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.”

Kemudian Sa’d memajukan kudanya memasuki sungai Tigris diikuti seluruh kaum muslimin, tidak ada satu pun yang tertinggal. Akhirnya mereka berjalan di Sungai Tigris itu seakan-akan sedang berada di daratan.

Mereka menyeberang sambil berbincang, santai. Tidak ubahnya seperti ketika di daratan. Itulah ketenangan dan rasa aman yang merupakan buah kepercayaan penuh kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan yakin akan janji serta pertolongan-Nya.

Salman al-Farisi berjalan bersama Sa’d radhiallahu ‘anhuma. Dia mendengar Sa’d berkata, “Cukuplah Allah bagi kami dan Dia sebaik-baik Pelindung. Demi Allah, Allah subhanahu wa ta’ala pasti menolong wali-Nya dan pasti Allah subhanahu wa ta’ala akan memenangkan agama-Nya. Pasti Allah subhanahu wa ta’ala mengalahkan musuh-musuh-Nya, jika di dalam pasukan tidak ada kejahatan atau dosa yang mengalahkan kebaikan pemiliknya.”

Sa’d sendiri dikenal sebagai orang yang doanya terkabul. Beliau mendoakan keselamatan dan kemenangan bagi pasukannya.

Pasukan muslimin menyeberang dengan aman dan santai, tidak ada yang kehilangan dan tidak ada yang tenggelam. Sungguh, tidak pernah terbayangkan oleh penduduk Persia, Bahrasir khususnya, bahwa mereka merasa aman dengan benteng alami, yaitu Sungai Tigris. Mereka yakin terlindung dari serangan kaum muslimin. Lebih-lebih lagi, mereka sudah menahan perahu untuk menyeberang, membakar jembatan, dan ditambah pula Sungai Tigris sedang meluap hebat.

Ketika melihat pasukan muslimin ternyata sudah berada di tepian timur sungai itu, mereka terkejut luar biasa. Rasa takut dan bayang-bayang kematian segera menyelinap dan meruntuhkan semangat tempur prajurit api setan itu. Akhirnya mereka lari tanpa membawa sesuatu.

Dua pasukan pemukul yang lebih dahulu tiba segera memasuki kota. Ternyata, kota itu sepi dan hanya ada beberapa orang yang berusaha berlindung di sebuah istana putih. Kedua pasukan itu mengepung istana sampai Sa’d dan pasukan induknya tiba.

Kemudian, Sa’d mengutus Salman kepada mereka yang berlindung di istana putih itu menawarkan salah satu dari tiga pilihan; Islam, jizyah, atau perang. Mereka memilih jizyah dan tunduk di bawah perlindungan kaum muslimin. Sa’d menerima dan berdamai dengan mereka. Akan tetapi, beliau menyisihkan keluarga Kisra dan yang ikut bersama mereka, karena dijadikan sebagai ghanimah untuk kaum muslimin dan Baitul Mal.

Sa’d memasuki istana itu sampai menuju balairung, kemudian membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala,

كَمۡ تَرَكُواْ مِن جَنَّٰتٖ وَعُيُونٖ ٢٥  وَزُرُوعٖ وَمَقَامٖ كَرِيمٖ ٢٦ وَنَعۡمَةٖ كَانُواْ فِيهَا فَٰكِهِينَ ٢٧  كَذَٰلِكَۖ وَأَوۡرَثۡنَٰهَا قَوۡمًا ءَاخَرِينَ ٢٨

“Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan. Dan kebun-kebun serta tempat-tempat yang indah-indah. Dan kesenangan-kesenangan yang mereka menikmatinya. Demikianlah, Kami wariskan semua itu kepada kaum yang lain.” (ad-Dukhan: 25—28)

Kemudian tempat itu dijadikan masjid.

(insya Allah bersambung)

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits