Pertempuran hari kedua sudah berhenti, korban bertambah banyak dari kedua pasukan.
Pada hari ketiga, kaum muslimin dan pasukan Persia kembali berhadapan. Jarak antara kedua pasukan ini tidak berubah, hampir satu mil. Di pihak kaum muslimin telah gugur hampir dua ribu orang, sementara di pihak lawan sudah terbunuh sepuluh ribu orang.
Kata Sa’d, “Siapa yang mau memandikan para syuhada silakan, dan siapa yang mau menguburkan mereka, segeralah kubur dengan sisa-sisa darah di tubuh mereka.”
Kemudian kaum muslimin menguburkan saudara-saudara mereka di belakang barisan muslimin.
Yaumu ‘Imas
Malam itu, Qa’qa’ bin ‘Amr berjaga sambil mengawasi pasukannya yang ditinggalkannya kemarin. Kemudian dia memerintah mereka, apabila matahari terbit, hendaklah maju seratus orang disusul seratus orang berikutnya. Kalau datang Hisyam dari Syam, itulah yang diharapkan. Kalau belum, mereka harus memperbarui harapan kaum muslimin. Pasukan menjalankan perintah, yang tanpa mereka sadari, ternyata itulah yang Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan untuk mereka.
Setelah matahari muncul di hari ketiga itu, Qa’qa’ kembali mengawasi dari kejauhan. Matanya yang tajam melihat kepala-kepala kuda bergerak-gerak di kejauhan. Qa’qa’ bertakbir, diikuti oleh kaum muslimin, “Bala bantuan datang.”
Sementara itu, pasukan Persia sudah memperbaiki keadaan gajah-gajah mereka sehingga di hari ‘Imas itu kembali menimbulkan bencana bagi pasukan muslimin.
Pada hari ‘Imas, seorang prajurit musuh maju ke tengah-tengah lapangan di antara kedua pasukan tersebut. Dia menantang agar satu prajurit muslim maju untuk bertanding satu lawan satu dengannya.
Dari barisan muslimin, seorang laki-laki bernama Syibr bin ‘Alqamah maju menyambut tantangannya. Laki-laki ini berwajah buruk dan tubuhnya pendek. Dia berkata, “Wahai kaum muslimin, dia telah berbuat adil menantang satu lawan satu!”
Akan tetapi, tidak ada satu pun dari barisan muslimin yang maju menghadapi orang ajam itu.
“Demi Allah, seandainya kamu tidak merendahkanku, pasti aku maju menerima tantangannya.”
Ketika dia melihat tidak seorang pun yang menghalanginya, dia segera menghunus pedangnya dan melangkah maju.
Melihat laki-laki ini, orang Persia itu segera maju dan turun menghadapinya. Orang Persia itu mengangkat dan membanting prajurit muslim itu kemudian menindihnya dan mulai mencabut pedangnya untuk menyembelih si muslim. Tidak disadari oleh prajurit Persia itu bahwa kakinya terbelit tali kekang kudanya.
Ketika si Persia itu menghunus pedangnya untuk menyembelih Syibr, tiba-tiba kuda itu mengangkat kedua kakinya. Akibatnya, tali kekang itu menarik kaki prajurit Persia tersebut dan membuatnya terjatuh. Prajurit muslim itu berdiri di dada si Persia. Terdengar teriakan dari barisan muslimin, membuat Syibr semakin berani, “Bersoraklah sekehendak kamu, demi Allah, saya tidak akan membiarkannya sampai berhasil membunuhnya lalu merampas perlengkapannya.”
Akhirnya dia berhasil membunuh prajurit Persia itu dan membawa semua barang perlengkapan si Persia yang sudah tewas kepada Panglima Sa’d. Kemudian, Sa’d menyerahkan barang-barang itu kepadanya. Kemudian prajurit itu menjualnya seharga dua belas ribu dirham.
Ketika Sa’d melihat jalannya pertempuran, ternyata gajah-gajah itu kembali mencerai-beraikan barisan muslimin dan berbuat seperti kemarin. Dia bertanya, “Apa yang bisa membunuh gajah itu?”
Ada yang menjawab, “Mata dan belalai, kalau sudah hilang, gajah-gajah itu tidak ada gunanya.”
Kemudian dia memanggil Qa’qa’ dan ‘Ashim, “Selesaikan gajah putih itu oleh kamu berdua.”
Setelah itu, Sa’d memanggil Hammal dan Rubayyil dari Bani Asad, “Kamu berdua, selesaikan gajah yang abu-abu itu,” perintah Sa’d.
Qa’qa’ dan ‘Amr segera menyiapkan tombak mereka dan mendekat bersama beberapa prajurit berkuda dan jalan kaki, “Dekati gajah putih itu.”
Akhirnya, gajah putih itu berhasil mereka bunuh dan yang abu-abu berhasil dilukai. Kedua gajah itu menjerit seperti jeritan babi. Gajah putih itu mati, sedangkan yang abu-abu lari dan menceburkan diri ke dalam sungai ‘Atiq.
Melihat gajah putih itu mati, sedangkan yang abu-abu lari, gajah-gajah lain segera mengikuti gajah abu-abu itu. Gajah-gajah itu menerobos pasukan Persia hingga pasukan itu kocar-kacir. Mereka terus berlari membawa peti-peti tempat para sais yang sudah tewas semuanya, sampai tiba di Madain.
Setelah gajah-gajah itu pergi, tinggallah pasukan Persia berhadapan dengan kaum muslimin dengan apa yang ada pada mereka. Pedang-pedang dan tombak serta desingan panah berkecamuk lagi.
Pertempuran masih berlangsung seru sampai hari mulai gelap. Kedua pasukan tetap saling menyerang, tidak seperti kemarin. Malam itu, selesai shalat Isya, pasukan muslimin maju kembali menyerang pasukan Persia. Saking hebatnya suasana pertempuran, tidak ada yang bersuara kecuali seperti bergumam, sehingga malam itu dinamakan lailatul hariri.
Kaum muslimin bertempur hebat dengan pedang di tangan mereka dari permulaan malam sampai menjelang subuh. Mereka benar-benar menumpahkan kesabaran mereka menghadapi musuh, menang atau syahid. Malam itu juga dikenal sebagai lailatul qadisiyah. Tidak terjadi pertempuran di malam hari kecuali malam itu (lailatul hariri).
Malam itu kaum muslimin membagi pasukan mereka menjadi tiga barisan, yaitu barisan pasukan jalan kaki, tombak dan pedang, barisan pemanah dan barisan berkuda yang berada di depan pasukan jalan kaki. Semua pasukan menyerang, dan bertambah hebat serangan itu di waktu subuh. Malam itu tidak kurang dari sepuluh ribu dari pasukan musuh yang terbunuh, selain yang sudah tewas hari-hari sebelumnya.
Begitu sengitnya pertempuran, hingga berita tentang jalannya pertempuran terputus, tidak sampai kepada Sa’d dan Rustum.
Malam itu, Sa’d menghabiskan malamnya dengan gelisah, menunggu berita pasukannya, bagaimana keadaan mereka? Berapa yang terluka, atau syahid, ataukah berhasil mengalahkan musuh? Akhirnya, beliau habiskan malam itu dengan shalat dan doa, memohon pertolongan dan petunjuk dari Allah subhanahu wa ta’ala, sampai subuh.
Hari Keempat (Yaumul Qadisiyah)
Pagi hari keempat itu, pertempuran sengit bukan semakin berkurang, melainkan bertambah hebat. Kaum muslimin semakin tinggi semangat tempur mereka. Yang mereka cari hanya ridha Allah subhanahu wa ta’ala, menang atau syahid. Sayatan pedang, tusukan tombak dan panah, serta luka yang menganga di sekujur tubuh, seakan-akan menjadi obat kuat yang menambah tenaga mereka berlipat ganda.
Persenjataan dan bekal yang jauh di bawah pasukan Persia, keterampilan dan seni tempur yang tidak pernah mereka pelajari seperti halnya pasukan musyrik ini, tidak membuat mereka jeri terhadap ‘nama besar’ Persia yang pernah mengalahkan Romawi dan mencuri Salib besar milik Kerajaan Bizantium itu.
Menang atau mati sebagai syuhada dan meraih surga, itulah tekad mereka. Didorong niat mengharap ridha Allah subhanahu wa ta’ala dan membuktikan janji-Nya yang pasti benar, lewat lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang benar lagi dibenarkan, mereka semakin gigih menyerang.
Lebih dari dua ratus ribu kekuatan musyrik Persia seakan-akan tidak ada artinya di hadapan mereka. Teknik perang dan persenjataan yang lengkap lawan tidak menyurutkan keberanian mereka, tetapi justru menambah kekuatan mereka.
Apalagi yang mereka cari? Tidak ada lain, menang dan Islam tersebar atau mati sebagai syahid dan ditunggu bidadari surga.
Inilah yang tidak ada di hati budak-budak api itu. Inilah yang tidak pernah terbetik dalam benak para pecinta dunia. Mereka menganggap materi adalah segalanya, yang akan membuat mereka dan kekuasaan mereka abadi. Ternyata tidak.
Kekuatan tubuh mereka, perlengkapan dan jumlah pasukan yang jauh lebih banyak dari pasukan muslimin, ternyata tidak ada artinya. Sebab, yang mereka lawan bukanlah kekuatan manusia biasa. Yang mereka lawan adalah kekuatan iman yang ada di dalam dada kaum muslimin, yang lebih kokoh dari gunung yang tinggi menjulang. Allah subhanahu wa ta’ala yang menggerakkan tangan, kaki dan tubuh mereka mengayunkan pedang, mengejar dan menerjang musuh mereka.
Pedang-pedang Allah subhanahu wa ta’ala itu semakin kuat mendesak musuh mereka. Serangan mereka semakin sengit, lebih-lebih gempuran para komandan pasukan muslimin. Semua punya cita-cita dan tujuan yang sama, menang dan Islam tersebar, atau mati sebagai syuhada.
Qa’qa’ dan saudaranya, ‘Ashim, Khalid bin ‘Urfuthah yang mewakili panglima Sa’d, Dhirar bin al-Azwar, Jarir bin ‘Abdillah al-Bajali, dan Thulaihah al-Asadi—yang sempat murtad lalu kembali ke dalam Islam—serta ‘Amr bin Ma’dikarib, punya peran yang sangat penting dalam pertempuran hari itu. Mereka menjadi bintang pertempuran sengit siang hari keempat tersebut.
Di tengah-tengah pasukan itu banyak sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang yang pernah mendengar janji pasti dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar lagi dibenarkan. Memang tidak ada wahyu yang turun, atau Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi panglima di depan mereka. Akan tetapi, janji yang pernah diucapkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti terbukti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
Akan datang kepada manusia suatu masa, mereka akan berperang. Lalu dikatakan kepada mereka, “Apakah di tengah-tengah kalian ada yang pernah menyertai (bersahabat dengan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Mereka berkata, “Ya,” maka diberilah mereka kemenangan.
Kemudian mereka berperang, lalu dikatakan kepada mereka, “Adakah di tengah-tengah kalian orang yang pernah menyertai sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Mereka menjawab, “Ya,” maka mereka juga diberi kemenangan. (HR. al-Bukhari (359) dan Muslim (2532) dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu.)
Dalam pasukan muslimin, masih banyak sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian pula murid-murid mereka dari kalangan tabi’in.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menyatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan menyerahkan perbendaharaan Kerajaan Persia kepada kaum muslimin untuk mereka nafkahkan di jalan Allah subhanahu wa ta’ala.
Itu semua sudah ditakdirkan dan disiapkan oleh Allah ‘azza wa jalla bagi orang-orang yang beriman. Allah subhanahu wa ta’ala akan mewariskan bumi ini untuk orang-orang yang senantiasa tunduk dan menaati-Nya.
Kemenangan itu menyertai kesabaran, dengan semua jenis kesabaran. Inilah yang selalu terpatri dalam hati orang-orang yang beriman. Inilah yang tidak ada dalam hati orang-orang musyrik Persia.
Pagi itu, setelah semalaman mereka tidak tidur sekejap pun, Qa’qa’ mengingatkan pasukannya, “Sungguh, kekalahan adalah sesudah waktu ini, bagi yang memulai (menyerang) pada hari ini. Maka dari itu, bersabarlah dan bertahanlah, karena kemenangan itu bersama kesabaran.”
Saat itu juga mendekatlah Hilal bin ‘Ulaffah, Malik bin Rabi’ah, al-Kalih bin adh-Dhabbi, Dhirar bin al-Khaththab dan Dhirah bin al-Hudzail, Ghalib, Thulaihah, dan ‘Ashim kepada Qa’qa’. Kemudian mereka bersama-sama bergerak menyerbu ke arah pengawal Rustum.
Beberapa kabilah lain melihat kejadian ini, berseru, “Jangan sampai mereka lebih berani mati daripada kalian dan jiwa mereka lebih tidak peduli akan urusan dunia daripada kalian. Karena itu, berlombalah dengan mereka.”
Mereka pun bergerak menyerang pasukan lawan di hadapan mereka. ‘Utbah bin Nahhas, Furat bin Hayyan, Mu’anna bin Haritsah, dan Sa’id bin Murrah bangkit memompa semangat orang-orang suku Rabi’ah, “Kalian lebih tahu tentang Persia dan lebih berani di masa lalu. Apa yang menghalangi kalian untuk tidak berani seperti dahulu?”
Mereka segera bangkit menyerbu lebih semangat.
Kedua pasukan betul-betul mengerahkan seluruh kekuatan mereka. Kaum muslimin sudah menetapkan pilihan, menang dan Islam tersebar, atau mati syahid. Karena itu, mereka bertempur seakan-akan telah mati rasa sakit di tubuh mereka.
Pertempuran saat itu benar-benar dahsyat dan mengerikan. Jantung orang-orang musyrik seakan-akan pecah karena ketakutan melihat semangat kaum muslimin. Hilang akal mereka. Tidak berguna keterampilan dan persenjataan mereka.
Mana Jalenus, Rustum, Hurmuzan, yang kata mereka satu saja di antara panglima ini sama kekuatannya dengan seribu prajurit?
Siang itu bumi seolah-olah terpanggang panas matahari. Angin kencang bertiup menerbangkan debu pasir dan rumputan kering ke arah pasukan Persia. Kemah besar Rustum diterjang angin hingga menjungkirbalikkan singgasananya. Rustum yang sudah dihantui ketakutan dan dugaan akan kekalahan pasukannya semakin bertambah kalut. Melihat kemahnya hancur, dia segera menuju bighalnya yang datang dengan sejumlah harta.
Akan tetapi, sebelum melarikan diri, Rustum mencoba mengelabui pasukan muslimin dengan bersembunyi di balik bighal.
Hilal bin ‘Ulaffah mendekati bighal dan memotong tandu yang ada di atas bighal. Rustum bersembunyi di bawah tandu itu, tetapi tidak terlihat dan disadari oleh Hilal. Kemudian Hilal memotong tandu itu. Rustum segera berlari menuju sungai ‘Atiq dan menceburkan diri ke dalamnya.
Hilal segera mengejarnya dan melompat ke dalam sungai, bahkan berhasil menangkap kaki Rustum yang sudah berenang. Hilal menyeret Rustum ke tepi sungai dan memukul kening Rustum sampai Rustum mati.
Kemudian Rustum yang sudah mati diseret oleh Hilal dan dilemparkannya ke bawah kaki bighal. Kemudian Hilal menaiki singgasana Rustum dan berseru, “Demi Rabb Ka’bah, aku sudah membunuh Rustum. Kemarilah.”
Kaum muslimin berlari mendekatinya dan mengelilinginya, lalu bertakbir. Semakin pecah hati kaum musyrikin ketika mengetahui panglima mereka sudah terbunuh. Kegoncangan merasuki jiwa mereka yang sudah semakin kalut ketakutan.
Jalenus memerintahkan mundur, tetapi tetap dikejar oleh pasukan muslimin. Ketika sampai di sebuah tempat dan merasa aman dari kejaran kaum muslimin, mereka berpesta. Saat itulah mereka diserbu oleh kaum muslimin. Jalenus akhirnya dibunuh oleh Zuhrah bin Hawiyah.
Hurmuzan dan Mahran ar-Razi serta komandan perang Persia lainnya juga tewas di tangan pasukan muslimin. Tiga puluh ribu prajurit yang tergabung dalam pasukan rantai, mencoba melarikan diri ke sungai, tetapi tidak satu pun dari mereka yang selamat, karena kaum muslimin segera menyergap mereka. Semua pasukan rantai tewas.
Pasukan Persia lainnya segera lari meninggalkan gelanggang pertempuran, tetapi dikejar oleh pasukan muslimin. Hari itu, tidak kurang dari seratus ribu prajurit Persia terbunuh. Belum lagi yang tewas tadi malam, hampir sepuluh ribu orang. Sementara itu, di barisan muslimin, yang gugur sebagai syuhada hampir tiga ribu orang, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati mereka.
Di siang hari, mereka lebih ganas dari singa-singa padang pasir. Di malam hari terdengar dengungan suara mereka membaca al-Qur’an seperti dengungan lebah.
Menjelang usai pertempuran, Sa’d menemui Hilal dan bertanya, “Di mana lawanmu itu?”
“Aku lemparkan di bawah bighal,” katanya.
“Bawalah kemari dan ambil mana yang kamu mau dari perlengkapannya.”
Hilal mengambil semuanya dan diceritakan bahwa kemudian dia menjualnya seharga tujuh puluh ribu dirham. Dia tidak menemukan kopiah Rustum yang nilainya hampir seratus ribu dirham.
Pasukan Persia kalah total. Yang masih hidup digiring oleh pasukan muslimin menuju Jalula dan terus masuk ke Kotaraja Madain, tempat istana Kisra Persia.
Kemenangan itu sangat mengesankan kaum muslimin. Akan tetapi, tidak bagi para pemuja api setan itu. Mereka benar-benar terpukul.
Betapa tidak?
Bangsa yang dianggap terbelakang, tidak berbudaya, dan tidak mengenal peradaban seperti mereka yang sudah maju, ternyata berhasil meluluhlantakkan pasukan mereka dengan memberikan kekalahan yang memalukan?
Ya. Kekalahan yang memalukan dalam sejarah Persia (Iran). Di tangan bangsa yang tidak terkenal dalam sejarah saat itu.
Mereka tidak begitu kecewa ketika dikalahkan Romawi dan Salib besar berhasil direbut kembali oleh orang-orang Nasrani. Akan tetapi, bangsa Arab, yang hampir tidak diperhitungkan dalam sejarah dunia ketika itu? Berhasil menundukkan dua kerajaan besar dunia dalam waktu yang singkat?
Dari mana kekuatan mereka?
Tentu saja, dari hati mereka yang terisi iman yang lurus dan kokoh, sehingga menimbulkan kekuatan dahsyat bagai gugur gunung. Bagaimana mungkin mampu ditahan oleh budak-budak api yang memiliki hati yang rapuh, kosong dari keimanan?
Kekalahan ini akhirnya menimbulkan dendam berkarat dalam dada bangsa Persia, sampai hari ini.
(insya Allah bersambung, Faedah Kemenangan Qadisiyah, Perang Jalula)
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits