bagian ke-2
Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Keistimewaan Nabi Sulaiman
Setelah Allah subhanahu wa ta’ala memuji-muji Nabi Dawud ‘alaihissalam, menerangkan apa yang diterima dan dirasakan oleh beliau, Allah subhanahu wa ta’ala memuji pula putra Nabi Dawud, yaitu Sulaiman ‘alaihissalam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan Kami karuniakan kepada Dawud, Sulaiman.” (Shad: 30)
Maksudnya, Kami memberinya karunia kepda Dawud berupa Sulaiman, dan Kami jadikan pandangan matanya sedap kepada Sulaiman.
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam adalah sebaik-baik hamba Allah subhanahu wa ta’ala, karena beliau memiliki sifat yang mengharuskannya dipuji. Beliau adalah hamba yang selalu kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam setiap keadaannya, dengan pengabdian, inabah, cinta, zikir, doa, dan merendahkan diri serta bersungguh-sungguh mencari ridha Allah subhanahu wa ta’ala, bahkan mendahulukannya dari segala sesuatu.
Terkait dengan hal ini, sebagian ulama menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan Kami karuniakan kepada Dawud, Sulaiman, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Rabbnya), (Ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore,
Maka ia berkata, ‘Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Rabbku sampai kuda itu hilang dari pandangan.’
‘Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku.’ Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu. (Shad: 30-33)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Dia adalah sebaik-baik hamba” adalah Sulaiman ‘alaihissalam, karena memang memiliki sifat yang mengharuskannya dipuji, bahwa dia,
“Sesungguhnya dia amat taat (kepada Rabbnya),” selalu kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam setiap keadaannya, dengan pengabdian, inabah, cinta, zikir, doa, dan merendahkan diri serta bersungguh-sungguh mencari ridha Allah subhanahu wa ta’ala, bahkan mendahulukannya dari segala sesuatu.
Oleh sebab itulah, ketika diperlihatkan kepadanya kuda-kuda pacuan yang bagus dan tenang, yang selalu mengangkat salah satu kakinya ketika berdiri tegak, sehingga menjadi pemandangan yang menarik, keindahan yang menakjubkan, khususnya bagi mereka yang sangat memerlukannya, seperti para raja. Kuda-kuda itu tidak henti-hentinya diperlihatkan kepada beliau sampai matahari terbenam, hingga beliau lupa shalat dan zikir di sore hari.
Akhirnya, beliau pun berkata dalam keadaan menyesali yang telah lalu, sekaligus mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena apa yang telah melalaikan beliau dari zikir kepada-Nya, serta demi mendahulukan cintanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala daripada cinta kepada yang lain,
“Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda).”
Kata أَحْبَبَتُ (menyukai) mengandung makna آثَرْتُ (mementingkan). Artinya, aku lebih mementingkan kesenangan الخَيْرِ (terhadap barang yang baik), yang umumnya berupa harta, sedangkan di sini maknanya ialah kuda;
“Sehingga aku lalai mengingat Rabbku sampai kuda itu hilang dari pandangan.”
Firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku,” mereka pun membawanya kembali;
فَطَفِقَ “Lalu,” mulailah
“Ia potong kaki dan leher kuda itu.”
Artinya, beliau mulai menebaskan pedangnya ke kaki dan leher kuda itu. Ibnu Jarir rahimahullah dalam tafsirnya memilih pendapat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma yang menafsirkan ayat ini dengan mengusap leher dan kaki kuda tersebut. Tidak mungkin beliau ‘alaihissalam akan menyiksa hewan dan membuang harta tanpa alasan selain hanya lalai shalat karena memerhatikan kuda yang tidak berdosa itu.
Akan tetapi, Ibnu Katsir rahimahullah mengomentarinya sebagai berikut.
Pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Jarir ini perlu diteliti kembali, karena bisa jadi dalam syariat mereka boleh berbuat demikian. Apalagi jika dilakukan dengan alasan marah karena Allah subhanahu wa ta’ala, karena membuatnya lalai hingga habis waktu shalat.
Oleh sebab itulah, ketika beliau tinggalkan semua itu karena Allah subhanahu wa ta’ala, Allah subhanahu wa ta’ala menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik, yaitu angin yang bertiup menurut perintahnya ke tempat-tempat yang pulang pergi jauhnya sebulan perjalanan.
Wallahu a’lam.
Telah dipaparkan pada edisi sebelumnya bahwa dunia ini adalah ladang ujian bagi setiap manusia. Adapun yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian yang paling mulia sesudah mereka dan berikutnya.
Itulah sunnatullah pada hamba-hamba-Nya. Bahkan, setiap mereka yang telah menyatakan diri beriman, tidak akan lepas dari berbagai ujian, besar ataupun kecil, banyak ataupun sedikit.
Kadang, ada manusia yang lolos menghadapi ujian berupa kesulitan, tetapi gagal menghadapi ujian berupa kesenangan. Begitu pula sebaliknya, dan ada pula yang berhasil menghadapi dua bentuk ujian tersebut.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala pada surat Shad ayat 34,
“Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman,” yakni Kami menimpakan bala dan cobaan kepadanya,
“dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit),”
Ahli tahqiq meriwayatkan tentang maksud ayat ini dalam beberapa bentuk, di antaranya;
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam mengetahui rencana mereka, lalu memerintahkan awan untuk menjaganya dari gangguan setan. Tidak lama ternyata anak itu tergeletak di atas kursi beliau dalam keadaan mati. Nabi Sulaiman sadar akan kekeliruannya, yaitu tidak bertawakal kepada Rabbnya menghadapi gangguan setan. Beliau akhirnya meminta ampunan kepada Rabbnya dan bertobat.
Mulailah beliau mendatangi istrinya satu per satu malam itu juga. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang mengandung, kecuali seorang istri yang melahirkan anak yang cacat.
Kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi Yang jiwaku di Tangan-Nya, andaikata beliau mengatakan ‘Insya Allah’, niscaya benar-benar akan lahir anak-anak yang menjadi mujahid di jalan Allah subhanahu wa ta’ala sebagai ahliahli berkuda, semuanya.”
Namun, dalam kisah tersebut banyak kejanggalan yang tidak sesuai dengan kedudukan beliau sebagai Nabi Allah subhanahu wa ta’ala.
Kata Ibnu Katsir rahimahullah, “Sanad kisah ini kuat sampai pada Ibnu ‘Abbas, tetapi lahiriahnya dinukil beliau—kalaupun sahih—dari ahli kitab, sedangkan di kalangan ahli kitab itu ada kelompok yang tidak meyakini kenabian Sulaiman ‘alaihissalam. Jadi, yang tampak adalah bahwa mereka berdusta terhadap beliau.
Sebab itulah di dalam riwayat tersebut terdapat berita yang mungkar, bahkan yang paling beratnya adalah cerita tentang istri-istri Nabi Sulaiman yang didatangi oleh setan. Sebab, yang masyhur adalah bahwa jin/setan itu tidak diberi kekuasaan mendekati mereka, bahkan Allah subhanahu wa ta’ala melindungi mereka dari setan tersebut, sebagai kemuliaan dan penghormatan terhadap Nabi-Nya ‘alaihissalam.”[1]
Oleh sebab itu, sebagian ahli tahqiq menguatkan bahwa ujian yang dimaksud adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya, sebagaimana dalam bentuk kedua di atas.
Kata para ‘ulama, “Asy-Syiqq adalah jasad yang diletakkan di atas kursi Nabi Sulaiman ‘alaihissalam sebagai hukuman atas kelalaian beliau mengucapkan ‘Insya Allah,’ karena sangat antusias dan dikalahkan oleh harapan yang sangat besar.”
Beberapa Faedah
Dalam kisah ini ada beberapa faedah, di antaranya sebagai berikut.
Inilah yang selalu diharapkan dan senantiasa diminta oleh para nabi dan orang-orang yang saleh yang mengikuti mereka.
Ia berkata, “Wahai Rabbku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi.” (Shad: 35)
Ini menunjukkan pula bolehnya meminta kekuasaan dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi dengan syarat adanya kesiapan dan kekuatan menunaikan haknya.
Wallahu a’lam.
[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang ayat ini.