Jika kita menyampaikan sebuah pertanyaan sederhana, “Seperti apakah kriteria seorang suami ideal itu?” bisa jadi jawabannya akan beragam. Setiap orang akan menjawab sesuai dengan impian dan dambaannya. Tidak mudah memang untuk menyempitkan makna ideal pada pribadi seorang suami, sebab seluruh kriteria yang baik-baik akan coba disematkan pada pribadinya. Menjadi suami ideal memang tidaklah mudah.
Walaupun demikian, ibarat sedang menempuh sebuah perjalanan menuju satu titik tertentu, seorang suami mesti mempunyai peta yang representatif, rute yang jelas, dan estimasi waktu yang tepat. Bagaimanapun juga, menjadi suami ideal adalah realisasi dari perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bagi seorang istri pun, suami yang nyata beritikad untuk menjadi ideal tentu sangat spesial di hatinya. Berbeda halnya dengan seorang suami yang tidak bersungguh-sungguh dalam berusaha, pasti kurang bernilai di hadapan istrinya.
Berikut ini, penulis mencoba untuk menyusun beberapa kriteria suami ideal yang didambakan oleh seorang istri. Usaha ini tentu terbilang sederhana. Membandingkan dengan pengalaman sebagian pembaca yang telah sekian lama menjalani kehidupan rumah tangga, kajian ini hanyalah ibarat menggarami lautan. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala mencurahkan taufik-Nya. Amin.
Inilah kriteria terpenting untuk menjadi suami ideal! Rumus lugasnya; jika seorang suami giat dan gemar beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tentu ia pun akan menjadi suami yang sangat memerhatikan hak-hak istrinya. Suasana rumah pasti menjadi tenteram, sejuk, dan nyaman ketika ibadah menjadi sumber kekuatannya.
Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan qiyamul lail sampai telapak kaki beliau bengkak dan pecah-pecah! Lihat pula bagaimana semangat beliau untuk berpuasa! Bayangkanlah kedermawanan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senang bersedekah! Semua itu beliau lakukan dengan sepengetahuan istri-istri beliau. Istri-istri beliau pun semakin cinta kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan indahnya, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan seorang suami yang gemar beribadah di tengah malam dalam sabdanya,
“Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada seorang suami yang bangun malam untuk shalat. Ia pun tak lupa membangunkan istrinya. Jika istrinya enggan, ia memercikkan air (dengan penuh cinta) di wajah istrinya.” (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Indah sekali, bukan?
Seorang istri tentu rela dan ikhlas ditinggalkan oleh suaminya hingga larut malam. Ia rela untuk tidak makan malam bersama sang suami. Ia rela memulai malamnya tanpa suami di sisinya. Sebab, sang suami bersama warga desa—misalnya—tengah beribadah dengan menggali sebuah kuburan untuk tetangganya yang meninggal dunia di sore harinya.
Namun, alangkah merana dan sedihnya hati seorang istri ketika harus menanti kedatangan sang suami sampai tertidur dengan menempelkan pipi di tangan, di atas meja makan. Harapannya tidak lebih hanyalah agar bisa makan malam bersama. Ternyata sang suami malah bercanda ria bersama teman-temannya di sebuah warung di ujung desa, tanpa memberi tahu sang istri. Nas’alullah as-salamah (Kita memohon keselamatan kepada Allah).
Tentu berbeda perasaan seorang istri yang menyaksikan sang suami memulai hari dengan melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an, dengan perasaannya ketika menyaksikan sang suami mengawali hari dengan membaca koran.
Ringkasnya, seorang suami yang gemar beribadah tentu membuahkan sensasi yang menyejukkan hati sang istri.
Karakter kedua yang banyak diharapkan kaum istri adalah suami dengan perangai yang lembut. Lembut dalam bertutur kata, lembut dalam bersikap, ataupun lembut dalam suasana tegang sekalipun.
Seorang suami yang ideal tentu tidak akan “berlindung” di balik alasan-alasan umum semacam, “Memang watakku seperti ini!”, “Aku kan berasal dari daerah ini”, atau alasan-alasan lain. Sebab, syariat Islam berlaku untuk setiap waktu dan di seluruh tempat.
Semestinya seorang suami ideal memahami bahwa wanita diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan perangai yang halus, sensitif, penuh perasaan, dan mudah terluka. Dengan demikian, ia akan berusaha menyikapi istrinya dengan penuh kelembutan dan cinta.
Suatu saat, Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha bersama beberapa istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di atas kendaraan. Seorang pengendali kendaraan berada di depan untuk mengatur arah gerak kendaraan tersebut. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menceritakan kepada kita tentang pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat itu kepada si pengendali,
“Wahai Anjasyah, pelan-pelanlah terhadap kaca-kaca tersebut dalam mengendalikan.” (HR. Muslim no. 2323)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Para ulama mengatakan, kaum wanita disebut kaca karena perasaan mereka yang lemah. Mereka disamakan dengan kaca yang lemah dan mudah pecah.” (Syarah Shahih Muslim)
Jika istri Anda sedang marah atau dalam keadaan emosi, janganlah membalas dengan sikap marah juga. Berikan senyum tulus untuknya, dekati, peluk, belai rambutnya, dan bisikkanlah kata-kata mesra. Sekeras apa pun hati seorang istri—walau seperti karang—ia pasti akan luluh dan menangis bahagia jika Anda mencurahkan sentuhan kelembutan untuknya.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki banyak istri. Seperti apakah bentuk perhatian yang diberikan oleh beliau untuk para ibunda kaum muslimin? Hampir setiap hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui seluruh istri beliau di rumahnya masing-masing. Beliau mengucapkan salam, menanyakan kabar, membelai, dan mencium, namun tidak sampai berhubungan badan. Beliau melakukannya kepada seluruh istrinya, sampai beliau tiba di rumah istri yang memperoleh giliran menginap. (Lihat Aunul Ma’bud hadits no. 2135)
Setiap istri pasti selalu ingin diperhatikan secara penuh oleh suaminya. Oleh karena itu, penuh perhatian menjadi kriteria ideal seorang suami di mata seluruh istri. Untuk itu, langkah penting yang mesti dilakukan oleh seorang suami adalah mempelajari dan memahami kebiasaan-kebiasaan istrinya. Dengan demikian, seorang suami dapat menyesuaikan diri sehingga mampu bersikap secara tepat kepada istrinya.
Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan kepada ‘Aisyah, “Sungguh, aku bisa membedakan saat engkau sedang senang kepadaku atau sedang marah.”
“Dari mana Anda bisa mengetahuinya?” tanya ‘Aisyah.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, “Jika sedang senang kepadaku, engkau selalu mengatakan, ‘Tidak, demi Rabb Muhammad!’. Namun, dalam keadaan marah, engkau akan mengucapkan, ‘Tidak, demi Rabb Ibrahim’.”
Ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anha pun mengatakan, “Benar, demi Allah, wahai Rasulullah. Aku tidak akan meninggalkan kecuali nama Anda saja.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, “Dari hadits ini, dapatlah dipahami bahwa seorang suami harus mempelajari perbuatan dan ucapan istrinya. Hal ini terkait dengan sikap senang dan marah seorang istri kepada suaminya. Setelah itu, suami bisa memilih sikap sesuai dengan qarinah (tandatandanya).” (Fathul Bari)
Dalam keadaan haid (menstruasi), psikis seorang istri tengah dalam kondisi labil. Pembawaannya selalu ingin marah meski ia sendiri pun tidak mengerti, apa sebabnya ia marah? Pekerjaan rumah malas diselesaikan. Mungkin makanan dan minuman yang telah dipersiapkan oleh istri pun berubah rasa. Wajah cemberut dan masam adalah ciri khas seorang istri ketika sedang menstruasi. Oleh sebab itu, sebagai suami ideal, ia harus memerhatikan siklus haid istrinya. Harapannya, saat menstruasi tiba, ia tidak akan kaget dengan muka masam sang istri.
Setiap istri pasti mengakui kekurangan yang ada pada dirinya. Tidak ada istri yang sempurna tanpa cacat. Setiap istri pun ingin selalu dibimbing dan diarahkan oleh suaminya. Hal ini termasuk yang banyak diidamkan oleh kaum istri.
Seorang suami yang mampu adil di dalam menimbang kelebihan dan kekurangan istrinya. Seorang suami yang selalu menyebutkan kelebihan sang istri. Seorang suami yang mudah melupakan dan memaafkan kesalahan yang dilakukan oleh istri. Suami yang selalu mengungkit-ungkit “dosa masa lalu” istri adalah suami yang dibenci oleh istri. Na’udzu billah.
Cobalah Anda, wahai suami, meresapi sepenuh hati sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
“(Laksanakanlah wasiat dariku) dengan bersikap baik kepada kaum istri. Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah atasnya. Jika ingin meluruskannya, engkau pasti akan mematahkannya. Jika engkau biarkan, ia tetap bengkok. (Laksanakanlah wasiat dariku) dengan bersikap baik kepada kaum istri!” (HR. Muslim no. 1468)
Sebagai manusia biasa, seorang istri pun bisa saja melakukan kesalahan. Bahkan, mungkin bagi Anda kesalahan itu amatlah besar. Namun, selama kesalahan itu masih bisa dimaklumi untuk kemudian diperbaiki, mengapa Anda tidak mencoba untuk mengingat-ingat kembali jasa, pengorbanan, dan pelayanan yang telah diberikan oleh istri selama ini?
Ingat-ingatlah ketika istri Anda bersabar melayani ketika Anda sedang terbaring sakit! Ingat-ingatlah bagaimana ia berjuang untuk mengandung, melahirkan, menyusui, dan merawat anak-anak Anda! Bayangkanlah kembali pengorbanan istri untuk bisa menerima Anda sebagai suami! Bayangkanlah kepayahan istri yang setia mempersiapkan makanan, minuman, pakaian, dan segala keperluan Anda!
Bukankah baginda dan junjungan Anda pernah bersabda,
“Janganlah seorang mukmin membenci mukminah. Jika ia membenci sebuah perangainya, tentu ia senang dengan perangai yang lain.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu no. 1469)
Karakter seorang suami yang banyak diidam-idamkan oleh kaum istri! Walaupun kaum istri menyadari betapa berat tugas suami di luar rumah untuk mencari nafkah, namun pasti akan terasa spesial jika sang suami tidak segan dan sungkan melakukan pekerjaan rumah. Kaum istri tidak menuntut hal semacam ini di setiap waktu. Jika dilakukan tepat pada momentumnya, kebanggaan akan memenuhi hati seorang istri.
Ibunda ‘Aisyah pernah ditanya oleh seorang tabi’in bernama al-Aswad bin Yazid an-Nakha’i tentang rutinitas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam jika sedang berada di rumah. Ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab,
“Beliau selalu membantu istri-istrinya. Jika telah mendengar kumandang azan, beliau segera menyambutnya.” (HR. al-Bukhari no. 5363)
Alangkah berbunga-bunga hati seorang istri jika menyaksikan suaminya memperbaiki genteng rumah yang pecah, mengganti lampu, memperbaiki pagar rumah, mengecat dinding kamar, mencuci kendaraan, membersihkan selokan, atau aktivitas semisalnya. Istri akan memerhatikan dengan penuh kasih saat suami sedang mengerjakan hal-hal tersebut.
Apakah hal ini diperintahkan oleh syariat? Tentu! Di dalam Musnad al- Imam Ahmad (6/121) disebutkan, ketika ditanya tentang aktivitas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah, Ibunda ‘Aisyah menjawab,
“Beliau menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki sendal, dan melakukan pekerjaan sebagaimana kaum laki-laki bekerja di rumah.” (Dinyatakan sahih oleh al-Albani di dalam ash-Shahihah no. 671 dan asy-Syaikh Muqbil di dalam ash-Shahihul Musnad 2/476)
Bahkan, di dalam riwayat lain (HR. Ahmad 6/256) ditambahkan, “Beliau juga memerah susu kambing dan melayani dirinya sendiri.”
Subhanallah! Beginilah wujud tawadhu’ Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang suami.
Memang, tidak semua pekerjaan rumah harus dilakukan oleh seorang suami. Namun, pilihlah momentum dengan cerdik agar istri selalu merasa diperhatikan oleh suami.
Al-Hafizh Abul Fadhl al-‘Iraqi rahimahullah menerangkan, “Adapun membantu istri dalam tugas khusus mereka—secara zahir—tidaklah masuk dalam pengertian hadits di atas. Tidak mungkin istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan diam dan membiarkan beliau melakukannya.” (Tharhu at-Tatsrib 8/181)
Sebagai makhluk yang lemah, seorang wanita sangat memerlukan rasa aman. Suami dengan tipe pemberani tentu menjadi pilihan setiap wanita. Wanita memang mengharapkan seorang suami yang mampu memberikan rasa nyaman, mengayomi, melindungi, dan menjaganya sepenuh hati. Setiap kali berada di samping suami, hatinya selalu merasakan ketenteraman.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah figur seorang suami yang gagah berani. Dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu (riwayat al-Bukhari dan Muslim), dikisahkan bahwa suatu malam penduduk kota Madinah dikejutkan oleh suara gaduh yang berasal dari luar kota Madinah. Sejumlah sahabat bergegas berangkat menuju arah suara untuk memastikan, apa yang sedang terjadi? Di dalam perjalanan, mereka bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah kembali dari arah suara seorang diri. Dengan menunggang kuda dan membawa pedang tajam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan,
“Tidak ada yang perlu kalian takutkan! Tidak ada yang perlu kalian takutkan!”
Bayangkan saja! Saat larut malam, seorang istri membangunkan sang suami yang sedang tidur di sampingnya. Istrinya menyampaikan, ”Ada suara aneh dari arah dapur, Mas.” Bukannya bangun, suami justru mengatakan, “Nggak ada apa-apa.”Atau suami malah deg-degan dan kecemasan tampak di wajahnya. Bukan seperti ini yang diharapkan oleh istri!
Bukankah lebih baik lagi jika sang suami segera bangun kemudian menuju ke dapur, sehingga ia kembali menemui istrinya dan menyampaikan, “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya beberapa ekor tikus saja yang menjatuhkan sebuah piring melamin.”
Alangkah bangganya seorang istri dengan suami yang demikian! Jika kepada seekor tikus saja seorang suami “takut”, bagaimana mungkin sang istri bisa merasakan kenyamanan dan perlindungan?
Ada lagi satu hal yang perlu dibudayakan oleh suami di hadapan istri; berani mengaku salah. Kebenaran tentu lebih dijunjung tinggi dibandingkan “harga diri”. Mengapa kita sebagai seorang suami terus disandera oleh gengsi, hingga sulit untuk mengucapkan maaf di hadapan istri?
Sungguh, semakin tawadhu’ seorang hamba di hadapan kebenaran, akan semakin mulia derajatnya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Berani mengaku salah tidak akan menurunkan wibawa sama sekali. Justru istri akan semakin sayang ketika suaminya berani mengaku salah.
Renungkanlah pelajaran berharga dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut! Pada saat istri beliau—Ibunda ‘Aisyah—menjadi bahan berita dusta kaum munafikin, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang suami sangat bersedih. Wahyu dari langit belum juga turun. Hingga suatu saat, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Ibunda ‘Aisyah dan membimbing,
“Wahai ‘Aisyah, sungguh aku telah mendengar kabar demikian dan demikian. Jika dirimu memang bersih dari tuduhan itu, Allah subhanahu wa ta’ala pasti akan menyucikan dirimu. Jika dirimu memang terjatuh dalam kesalahan, beristighfar dan bertobatlah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sesungguhnya seorang hamba yang mengakui kesalahannya kemudian bertobat, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan menerima tobatnya.” ( HR. Al-Bukhari no. 2661 dan Muslim no. 2770)
Apakah bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini berlaku pada kaum istri saja? Jawabannya tentu tidak! Apa beratnya meminta maaf kepada istri yang telah lama menanti sejak pagi karena suami telah berjanji akan mengantarnya ke rumah salah seorang kerabatnya? Apa susahnya untuk mengatakan, ”Maafkanlah aku, istriku. Aku memang telah berbuat salah karena melupakan janjiku padamu.”
Meminta maaf tentu lebih ringan daripada harus mencari-cari seribu alasan. Wallahul muwaffiq.
Canda adalah bumbu penyedap dalam rumah tangga. Sebagian ulama menyatakan, canda itu ibarat garam dalam makanan. Jika kurang, makanan akan menjadi kurang sedap. Namun, jika berlebihan, rasa makanan pun akan menjadi rusak.
Yang dimaksud dengan canda di sini adalah canda yang secukupnya, canda yang tidak mengandung unsur dusta, canda yang berkualitas. Seorang istri sangat ingin dicandai dan diguraui oleh suaminya untuk sekadar menghilangkan penat dan beban di hati. Andakah suami si pecanda itu?
Dalam sebuah perjalanan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada seluruh sahabat untuk berjalan lebih dahulu. Apa yang beliau lakukan? Ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak Ibunda ‘Aisyah untuk berlomba lari. Saat itu Ibunda ‘Aisyah yang menjadi pemenangnya. Namun, beberapa waktu kemudian setelah bertambah berat badan Ibunda ‘Aisyah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali mengajak Ibunda ‘Aisyah untuk berlomba lari. Kali ini Nabi Muhammad yang tampil sebagai pemenang dan beliau bersabda,
“Kemenangan ini untuk menebus kekalahan yang dahulu.” (HR. Abu Dawud dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)
Subhanallah! Inilah rumah tangga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rumah tangga yang dipimpin oleh suami terbaik di atas muka bumi ini. Beliau bercanda dan bergurau bersama istri-istrinya. Bahkan, terkadang beliau hanya ikut tertawa ketika menyaksikan canda tawa istri-istri beliau.
Ibunda ‘Aisyah pernah membuat makanan harirah (sejenis sup). Ketika itu Ibunda Saudah sedang berada bersama di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibunda ‘Aisyah mempersilakan Ibunda Saudah untuk menyantap hidangan tersebut, namun ditolak dengan halus.
“Kalau tidak berkenan untuk menyantapnya, aku akan mengoleskannya di wajah Anda,” kata Ibunda ‘Aisyah kepada Ibunda Saudah.
Ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anha pun mengoleskan sup itu di wajah Ibunda Saudah. Posisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri sedang duduk di antara keduanya. Apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Beliau hanya tertawa menyaksikan kedua istrinya bercanda dengan saling membalas, mengoleskan sup di wajah yang lain. Sampai akhirnya terdengar suara Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, barulah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Pergilah dan bersihkanlah badan kalian. Sesungguhnya Umar akan masuk.” (HR. al-Qathi’i dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil di dalam ash-Shahihul Musnad 2/487)
Di tengah kesibukan seorang wanita sebagai istri dan ibu, Anda sebagai suami semestinya mampu menghadirkan kejutan-kejutan kecil yang menyejukkan hati. Anda dituntut untuk bisa menawarkan hiburan-hiburan dalam bentuk canda yang mencairkan suasana.
Buatlah istri Anda tertawa bahagia! Buatlah istri Anda tersenyum ceria! Kado kecil berisi sepasang sendok garpu mungil dengan tulisan tangan “Aku Sayang Kamu” barangkali bisa Anda coba. Besar kemungkinan istri Anda akan tertawa.
Suami Adalah Qawwam
Tulisan ini memang terbilang sederhana. Tulisan seringkas ini tentu belum bisa mewakili kajian tentang kriteria suami ideal. Yang perlu digarisbawahi dan dicetak tebal adalah tidak perlu saling menyalahkan. Toh, setiap pasangan juga punya kesalahan. Apakah ada di antara kita yang selamat dari kesalahan?
Tulisan ini bukanlah alat untuk menyanjung atau menjatuhkan seseorang. Tulisan ini hanyalah secarik pembelajaran bahwa tugas seorang suami memang tidaklah mudah.
Rumah tangga sering diibaratkan sebagai biduk atau bahtera yang berlayar di atas samudra luas. Siapakah yang bertanggung jawab sepenuhnya?
Suami adalah nakhoda, istri dan anak-anak harus selalu membantu dan mendukung. Setiap orang mempunyai hak dan tanggung jawab. Seorang suami adalah qawwam. Ia harus mengingat sabda Rasulullah di dalam hadits Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma,
“Seorang suami adalah pemimpin untuk seluruh anggota keluarganya dan dia akan dituntut pertanggungjawabannya tentang keluarganya.” (HR. al-Bukhari no. 893 dan Muslim no.1829)
Karena itu, kita berharap bahwa menjadi suami ideal bukanlah sekadar angan yang berkepanjangan. Amin ya Mujibas Sa’ilin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar Ibnu Rifai