(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar)
Ribuan nelayan dan masyarakat lainnya di pesisir timur Lampung begitu antusias mengikuti Nadran atau Pesta Laut 2010 yang puncaknya diadakan Rabu (28/4/2010) di Labuhan Maringgai, Lampung Timur.
Ritual ini diisi dengan penaburan sesaji ke tengah laut. Sesaji ini berupa kepala kerbau, makanan, dan alat-alat rumah tangga. Perahu pembawa sesaji dan kapal-kapal pengiring didesain meriah dengan ragam hiasan janur kuning, padi, dan umbul-umbul.
Pada acara ini, masyarakat yang hadir sempat terlihat berebutan mengambil air yang diyakini berkhasiat tinggi. Air di dalam bak besar ini telah didoakan terlebih dahulu dan dicelupi sebilah keris pusaka. Jika air ini disiramkan ke perahu, diyakini bisa mendatangkan rezeki.
Diadakannya ritual Nadran ini pun bertepatan dengan mulai masuknya musim timur. Musim ini, di kalangan nelayan, dikenal sebagai musim sulit atau paceklik. Musim yang laut dianggap tidak bersahabat dan kerap berombak tinggi ini, biasanya berlangsung hingga Desember.
Di tempat lain di Pulau Jawa, tepatnya Laut Selatan, terdapat prosesi adat laut yang dinamakan hajat laut. Pada acara itu seekor kerbau atau kepalanya beserta sesajian lainnya diantarkan ke laut. Upacara itu selalu dilaksanakan pada hari Senin atau Kamis menjelang Selasa atau Jumat Kliwon pada bulan Muharam (Sura). Selasa dan Jumat Kliwon dianggap sebagai hari nahas sehingga nelayan tidak boleh melaut.
Ketika sesaji menyentuh permukaan laut, belasan orang melompat dari perahunya dan menyerbu sesaji. Mereka berebut menciduk air laut di bawah dan di sekitar sesaji untuk disiramkan ke perahu masing-masing. Mereka percaya bahwa menyiram perahu dengan air itu akan mendatangkan berkah berupa hasil tangkapan ikan yang berlimpah dan dijauhkan dari malapetaka saat melaut. Uba rampe (materi isi) sesaji ternyata juga dicari orang. Konon, itu juga menjadi perlambang murahnya rezeki bagi yang mendapatkannya. Itulah pemuncak acara hajat laut yang ditunggu-tunggu para nelayan di kawasan itu.
Sekilas gambaran dari dua acara di atas adalah contoh tradisi sedekah laut yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia, dengan perbedaan dan ragam nama serta istilah tentunya. Masing-masing mengusung alasannya. Tradisi sedekah laut ataupun sedekah bumi, atau tradisi-tradisi serupa, seringkali dilaksanakan dengan proses penyembelihan hewan tertentu. Syariat Islam menilai tradisi-tradisi semacam itu sebagai tradisi yang mesti dihilangkan. Apa sebabnya? Marilah bersama kita menyimak sedikit penjelasan di bawah ini.
Kebodohan, Sumber Petaka
Kebodohan terhadap prinsip-prinsip dasar beragama bak kabut tebal yang menyelimuti kehidupan kaum muslimin. Semakin jauh kita dari masa kenabian, semakin dalam kita terperosok dalam kubangan kejahilan. Setiap berlalu sebuah zaman, pastilah zaman berikutnya lebih buruk. Berita yang benar, tanpa kedustaan dan keraguan, menerangkan bahwa umat Islam akan mengikuti pola kehidupan kaum Yahudi dan Nasrani, sejengkal demi sejengkal, sehasta lalu sehasta. Sampai-sampai jika mereka masuk mengikuti berkeloknya lubang binatang tanah, pastilah akan diikuti oleh umat Islam. Sungguh sangat menyedihkan.
Pantas sekali jika seorang muslim—yang benar-benar memahami tujuan diangkatnya Muhammad n sebagai seorang nabi dan rasul—merasa sesak dada dan bersedih hati ketika menyaksikan kenyataan pahit yang menimpa umat Islam. Yang baik dianggap buruk, yang buruk diperjuangkan atas nama kebaikan. Sebagian umat tidak mampu lagi mengenal hal ma’ruf sebagai sesuatu yang ma’ruf, tidak pula mengingkari sesuatu yang mungkar. Orang jujur seringkali didustakan, sementara orang berdusta dianggap jujur. Sikap khianat pada seseorang malah terhitung amanah, sementara banyak orang yang mempertahankan amanah justru dituduh berkhianat. Sungguh benar sabda Rasulullah n.
Dari sekian macam bentuk kebodohan sekaligus upaya pembodohan umat adalah masih dipertahankannya upacara-upacara, ritual, dan perayaan dalam bentuk menyembelih hewan atau binatang untuk selain Allah l. Sesaji-sesaji yang kental dengan warna kepercayaan animisme, persembahan-persembahan yang nyata menjadi warisan dari agama Hindu dan Budha, dan tuntutan dari dukun dan paranormal untuk menyembelih jenis hewan tertentu adalah sesuatu yang akrab di telinga. Kewajiban kita adalah memerangi bentuk-bentuk kesyirikan semacam ini, yaitu penghambaan kepada makhluk yang lemah dengan mengalirkan darah hewan sembelihan.
Haramnya Menyembelih Hewan untuk selain Allah l
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushabi membuat bab dengan judul “Diharamkannya menyembelih untuk selain Allah.” Kemudian beliau membawakan firman Allah l:
ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ
Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (al-An’am: 162—163)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t berkata, “Wa nusuki maknanya adalah sembelihanku….” (Taisir al-Karim ar-Rahman hlm. 282)
Juga firman Allah l:
ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah.” (al-Kautsar: 2)
Dari Ali bin Abi Thalib z, Rasulullah n bersabda:
لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ
“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.” (HR. Muslim no. 1978)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushabi berkata, “Dari dalil-dalil di atas dapat diambil pemahaman bahwa menyembelih adalah ibadah, dan ibadah tidak boleh dilakukan selain untuk Allah l. Barang siapa memalingkannya untuk selain Allah l, dia telah melakukan syirik akbar. Barang siapa menyembelih untuk selain Allah l, seperti untuk jin, kuburan, atau yang lain, dia pantas mendapatkan laknat dan dijauhkan dari rahmat Allah l, melainkan jika dia bertaubat karena siapa yang bertaubat, Allah l akan menerima taubatnya.” (al-Qaulul Mufid hlm. 126)
Masuk Neraka karena Seekor Lalat
Dari Thariq bin Syihab, (beliau menceritakan) bahwa Rasulullah n pernah bersabda, “Ada seorang lelaki yang masuk surga gara-gara seekor lalat. Ada pula lelaki lain yang masuk neraka gara-gara lalat.”
Mereka (para sahabat) bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi, wahai Rasulullah?”
Beliau n menjawab, “Ada dua orang lelaki yang melewati daerah suatu kaum yang memiliki sesembahan selain Allah k. Tidak ada seorang pun yang diperbolehkan melewati daerah itu melainkan dia harus berkorban sesuatu untuk sesembahan tersebut. Mereka mengatakan kepada salah satu di antara dua lelaki itu, ‘Berkorbanlah.’ Dia menjawab, ‘Aku tidak punya apa-apa untuk dikorbankan.’ Mereka pun mengatakan, ‘Berkorbanlah walaupun dengan seekor lalat.’ Dia pun berkorban dengan seekor lalat sehingga mereka pun memperbolehkannya lewat dan meneruskan perjalanan. Karena itulah, dia masuk neraka. Mereka juga mengatakan kepada lelaki yang kedua, ‘Berkorbanlah.’ Dia menjawab, ‘Tidak pantas bagiku berkorban untuk sesuatu selain Allah k.’ Mereka pun memenggal lehernya dan karena itulah dia masuk surga.” (HR. Ahmad dalam az-Zuhd [no. 15 & 16], Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [1/203], dari Thariq bin Syihab, dari Salman al-Farisi z secara mauquf dengan sanad yang sahih)
Perhatikanlah hadits di atas dengan baik!
Tradisi atau ritual penyembelihan binatang adalah ibadah sehingga harus dilaksanakan sesuai dengan aturan Allah l, baik dalam hal tujuan, waktu, tempat, maupun niatnya. Adalah sebuah dosa besar, bahkan dosa terbesar, saat seorang hamba menyembelih hewan untuk selain Allah l. Entah untuk memohon bantuan makhluk gaib, harmonisasi manusia dengan alam, meredakan amarah makhluk halus, atau sebab-sebab kesyirikan lainnya.
Menyembelih hewan dalam rangka ritual adalah perbuatan yang tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah l. Barang siapa melakukannya, Allah l akan melaknatnya. Pelakunya telah melakukan kemusyrikan. Apabila ia mati dalam keadaan tidak bertaubat, ia akan dihukum kekal di dalam neraka. Surga haram baginya. Seluruh amalnya akan musnah bagaikan debu yang beterbangan. Penyesalan dan kesedihan, itulah kesudahan yang akan dia rasakan pada hari kemudian.
Dari sini, kita bisa mengetahui bahwa tradisi atau ritual semacam ini adalah tindakan yang sangat membahayakan. Perbuatan yang mereka lakukan bukan menolak bala, tetapi justru mengundang murka Allah l.
Contoh terbaru adalah ritual penyembelihan korban terkait dengan bencana meletusnya gunung Merapi. Paguyuban Kebatinan Tri Tunggal (PKTT) Yogyakarta menggelar ritual tolak bala pada Senin (8/11/2010) malam. Ritual yang bernama asli Kuat Maheso Luwung Saji Rojosunya tersebut dimaksudkan agar warga Yogyakarta dan sekitarnya terhindar dari marabahaya akibat letusan Merapi. Ritual yang dipusatkan di sekitar kawasan Tugu ini diawali dengan mengarak kerbau bule. Puncak acara diisi dengan pemotongan seekor kerbau bule dan sembilan ayam jago jurik kuning sebagai sesaji untuk makhluk-makhluk halus. Kepala kerbau dan sembilan jago jurik kuning itu rencananya akan dibawa ke lereng Merapi untuk ditanam di sana.
Apakah Alasan Mereka?
Sebagian pelaku kesyirikan dalam bentuk menyembelih untuk selain Allah l terkadang mengemukakan beberapa alasan untuk membenarkan perbuatan mereka. Di antaranya adalah pernyataan, “Bagaimana mungkin perbuatan ini dikatakan syirik, padahal ketika menyembelih saya mengucapkan ‘Bismillah’?”
Yang pasti, orang semacam ini tidak mengerti hakikat syirik, sebagaimana halnya ia tidak mengerti tentang tauhid. Dalam hal ini, hukum tidak hanya ditetapkan berdasarkan mengucapkan basmalah atau tidak. Namun, niat dan tujuan pun mengambil peran besar. Apalah arti kalimat basmalah yang diucapkan, apabila di dalam hati, seseorang yang menyembelih berniat dan bertujuan untuk mendekatkan diri, mengagungkan, menghormati, dan memohon pertolongan kepada makhluk. Ia berharap keinginannya terkabul, dan takut jika hal yang diinginkan tidak terwujud. Hatinya berpaling kepada selain Allah l.
Syaikhul Islam t berkata, ”Telah diketahui bahwa sesuatu (hewan yang disembelih) yang diperuntukkan bagi selain Allah l yang disebutkan secara jelas adalah diharamkan. Demikian pula jika hanya diniatkan karena hal ini sama dengan niat-niat lain dalam ibadah. Meskipun dengan melafadzkan lebih kuat, namun yang menjadi hukum asal adalah tujuan.” (al-Iqtidha, hlm. 286)
Syaikhul Islam t berkata, ”Dengan demikian, jika dia menyembelih hewan untuk selain Allah l dalam rangka mendekatkan diri, hal tersebut diharamkan meskipun dia mengucapkan ‘bismillah’, sebagaimana yang dilakukan oleh sekelompok kaum munafik umat ini. Mereka adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada para wali dan bintang-bintang dengan cara menyembelih serta membakar dupa, atau yang semisalnya.” (al-Iqtidha hlm. 291)
Ash-Shan’ani t berkata, ”Apabila orang tersebut beralasan bahwa ia menyembelih dan menyebut nama Allah atasnya, jawablah, ‘Jika memang sembelihan tersebut untuk Allah l, apa alasannya engkau mendekatkan hewan sembelihanmu di pintu kubur orang yang engkau pilih dan engkau yakini? Apakah engkau ingin mengagungkannya?’ Jika ia menjawab, ‘Ya,’ sampaikanlah kepadanya, ‘Penyembelihan ini untuk selain Allah l. Bahkan, engkau telah mempersekutukan Allah l bersama yang lain. Jika engkau tidak ingin mengagungkannya, apakah engkau ingin mengotori pintu kubur dan menyebabkan najisnya orang-orang yang masuk ke dalamnya?! Engkau, sebenarnya mengetahui secara yakin bahwa pada dasarnya engkau tidak menginginkan hal tersebut. Engkau tidak berniat selain niat yang pertama. Tidak pula engkau keluar meninggalkan rumahmu selain untuk tujuan tersebut dan untuk berdoa kepada mereka.’ Hal yang mereka lakukan ini adalah kesyirikan, tanpa diragukan sedikitpun.” (Tathhirul I’tiqad hlm. 72—73)
Asy-Syaikh ar-Rajihi menambahkan dalam catatan kaki, “Karena sebagian kaum musyrikin terkadang mengucapkan ‘bismillah.’ Apabila dia mengucapkan ‘bismillah’—namun dengan hewan sembelihan tersebut dia bermaksud taqarrub (mendekatkan diri) kepada penghuni kubur, jin, malaikat, atau yang lain—dia adalah pelaku kesyirikan. Meskipun dia mengucapkan ‘bismillah’ seribu kali, tidak ada gunanya karena yang menjadi ukuran adalah keyakinan dan tujuan, bukan sekadar pengucapan.”
Benarkah sebagai Bentuk Syukur?
Sebagai contoh kasus adalah pawai budaya dan larung sesaji berisi kepala kambing yang mewarnai tradisi Kupatan dan sedekah laut di Perairan Rembang, Jawa Tengah.
Usai pawai budaya, sesaji yang berisi antara lain kepala kambing, tumpeng, kembang tiga rupa, dan rantang makanan, dilarung ke laut. Kepala kambing yang dilarung harus dari kambing jantan. Dipilihnya kambing untuk larung sesaji, karena hewan tersebut menurut anggapan mereka adalah simbol cita-cita nelayan setempat untuk mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Mahakuasa.
Masyarakat setempat meyakini bahwa usai larung sesaji hasil tangkapan ikan akan melimpah. Sebagian lainnya mengatakan bahwa prosesi larung sesaji di Perairan Rembang itu adalah bentuk syukur nelayan karena mendapatkan hasil tangkapan ikan yang cukup menggembirakan selama setahun terakhir.
Melihat alasan sebagian mereka bahwa larung tersebut adalah bentuk syukur, ada beberapa hal yang janggal dan aneh yang patut dipertanyakan.
1. Benarkah pawai budaya dan larung sesaji sebagai tanda syukur?
2. Seperti itukah Islam mengajarkan untuk bersyukur?
3. Syukur adalah ibadah. Adakah tuntunan dari Rasulullah n untuk bersyukur dalam bentuk larung sesaji?
Islam menentukan bentuk-bentuk syukur dengan sempurna dan lengkap. Syukur diwujudkan dengan hati, lisan, dan perbuatan anggota badan. Semuanya harus dilakukan dengan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah l dan dibimbingkan oleh Rasulullah n. Tidak ada satu pun ayat dan hadits yang menjelaskan bentuk syukur dalam bentuk pawai budaya dan larung sesaji. Di masa hidup Nabi Muhammad n, sering dan terlalu banyak kenikmatan yang diberikan oleh Allah l, padahal wilayah Islam luas membentang, menyeberang lautan, menguasai sungai dan daratan. Namun, beliau n tidak pernah mencontohkan perbuatan larung sesaji! Ini jika Islam dijadikan tolok ukur berpikir.
Alasan lain, Sumber Pendapatan Daerah
Alasan lain untuk tetap mengadakan tradisi ritual dalam bentuk sesaji, menyembelih hewan tertentu, adalah sebagai objek wisata dan sumber pendapatan daerah. Contohnya adalah acara Pati Ka Ata Mata, Ritual di Puncak Kelimutu, Kawasan Taman Nasional Kelimutu, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Bentuknya adalah upacara adat memberi makan bagi arwah leluhur atau orang yang sudah meninggal.
Prosesi ritual diawali oleh sembilan mosalaki yang mewakili sembilan suku dengan pakaian tradisional membawa sesaji ke dakutatae, sebuah batu alam sebagai tugu tempat sesaji. Sesaji yang dipersembahkan adalah nasi, daging hewan kurban (babi), moke (semacam tuak lokal), rokok, sirih pinang, dan kapur.
Setelah pemberian makan leluhur yang dilakukan oleh para mosalaki, para pengunjung kemudian ditawari oleh mosalaki untuk turut menikmati sesaji sebagai tanda bersukaria bersama para leluhur. Tahapan ritual itu lalu dilanjutkan dengan gawi, menari bersama para mosalaki tersebut mengelilingi tugu batu.
Sejumlah pelaksana ritual mengatakan, Pati Ka Ata Mata yang digelar dimaksudkan untuk menaikkan doa kepada arwah leluhur—selain untuk menolak bala, juga agar wilayah Ende dijauhkan dari bencana serta disuburkan alamnya sehingga dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Dari mitos yang diyakini turun-temurun oleh masyarakat Ende Lio, kawasan puncak Danau Kelimutu adalah tempat tinggal atau berkumpulnya para arwah orang yang sudah meninggal. Pintu gerbang (pere konde) Danau Kelimutu dijaga oleh Konde Ratu, sang penguasa.
Kegiatan ini digelar sebagai bentuk pelestarian budaya daerah. Dari upacara adat yang telah berlangsung turun-temurun, pemberian makan kepada leluhur yang hanya dilakukan di tiap rumah warga, kampung, atau suku, kini menjelma menjadi upacara adat di puncak Kelimutu yang melibatkan suku-suku Lio. Selanjutnya, ritual ini akan digelar rutin setiap tahun. Tradisi ini juga menjadi agenda pariwisata Ende.
Mahasuci Allah dari apa yang mereka perbuat! Apakah lubang dan lorong sempit kesyirikan dijadikan sebagai sumber pendapatan? Perilaku durhaka dan sikap menantang Dzat Pencipta dipilih sebagai jalan untuk meraih kemakmuran dunia? Tidak! Tidak akan mungkin! Justru bencana dan malapetaka yang akan dituai. Kesempitan hidup dan kebinasaan yang akan menjemput.
Seandainya penduduk sebuah negeri beriman dan bertakwa, niscaya berkah dari langit dan bumi akan dibuka seluas-luasnya.
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ
“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (al-A’raf: 96)
Sungguh menyedihkan. Ya Allah, kami berlepas diri dari apa yang mereka lakukan.
Mengharap Berkah dari Jalan yang Halal
Mencari sumber penghasilan dan pendapatan adalah sesuatu yang lumrah. Bahkan, syariat Islam memerintahkannya, dengan cara-cara yang baik dan halal. Menciptakan lapangan kerja dan mengembangkan potensi ekonomi daerah adalah perbuatan terpuji. Namun, yang harus diperhatikan bentuk-bentuknya haruslah sesuai dengan ketentuan Allah l dan Rasul-Nya n.
Allah l berfirman:
ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada Allah kamu menyembah.” (al-Baqarah: 172)
Allah l juga berfirman:
ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭﭮ
Katakanlah, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” (al-A’raf: 32)
Kedua ayat di atas adalah dasar berpikir bahwa penghasilan, ekonomi, dan pendapatan untuk daerah haruslah berasal dari sumber-sumber yang baik. Lalu, kebaikan apa yang hendak dicari untuk pendapatan daerah dengan cara mengembangkan dan melestarikan situs-situs sejarah yang dikeramatkan? Apakah demi pendapatan daerah, akidah kaum muslimin terjual murah—dengan memberikan kesempatan dan peluang bagi mereka untuk berharap dan meminta kepada selain Allah l?
Lihat dan perhatikanlah! Berapa jumlah dana yang dikucurkan? Betapa besar biaya yang dikeluarkan. Untuk apa, wahai saudaraku? Hanya untuk mendirikan dan memperindah situs-situs kuburan yang dikeramatkan. Hanya demi merenovasi dan memperhias lokasi-lokasi pemujaan dan pengagungan makhluk. Untuk peribadatan kepada selain Allah l. Sungguh menyedihkan sekali.
Tidak mungkin berkah dan rahmat menyelimuti negeri ini jika ekonomi dan pendapatan daerahnya diambil dari jalan-jalan kemusyrikan. Karena berkah dan rahmat hanyalah diturunkan oleh Allah l untuk hamba-Nya yang beriman dan bertakwa, mentauhidkan Allah l, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
Contoh Tradisi Menyembelih di Luar Syariat Islam
Sebagai contoh adalah acara simah laut yang diadakan di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Upacara adat para nelayan ini digelar setiap tahun, saat memasuki musim angin barat. Upacara ini menurut mereka adalah bentuk permohonan keselamatan bagi para nelayan, selain sebagai pengharapan agar hasil tangkapan ikan lebih banyak. Selama tiga hari setelah acara simah laut dilangsungkan, para nelayan pantang melaut. Baru pada hari keempat para nelayan itu boleh kembali melaut mencari ikan.
Prosesnya dimulai dengan menyiapkan sebuah perahu. Di dalam perahu tersebut diletakkan aneka wadai (sebutan masyarakat setempat untuk kue tradisional seperti cucur, apem), wajik, bubur merah, bubur putih, dan juga telur. Kepala kerbau juga menjadi salah satu kelengkapan sesajian yang akan dihanyutkan ke laut menggunakan perahu kecil.
Setelah itu, salah satu pemuka masyarakat membacakan doa. Selepas didoakan, beberapa nelayan mengangkat perahu yang berisi sesaji mendekati pantai. Dari arah laut, perahu-perahu nelayan merapat menjemput sesajian tersebut.
Dikawal perahu-perahu nelayan, perahu berisi sesajian itu diangkat ke salah satu kapal kayu dan dibawa berlayar menjauhi pantai. Kapal sesajian itu kemudian dilayarkan ke tengah laut pada jarak sekitar satu kilometer dari bibir pantai.
Kaum perempuan bergotong royong memasak aneka penganan untuk sesaji dan daging dari hewan kurban. Pemilihan hewan kurban disesuaikan dengan kemampuan warga, bisa kambing atau sapi. Bagian kepala hewan kurban ini kemudian dihanyutkan ke tengah laut, sementara daging dimasak untuk kemudian disantap bersama oleh penduduk dan pengunjung yang hadir.
Contoh selanjutnya adalah Macceratasi, sebuah upacara adat masyarakat nelayan tradisional di Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan. Upacara ini sudah berlangsung sejak lama dan terus dilakukan secara turun-temurun setahun sekali. Beberapa waktu lalu, upacara ini kembali digelar di Pantai Gedambaan atau disebut juga Pantai Sarang Tiung.
Prosesi utama Macceratasi adalah penyembelihan kerbau, kambing, dan ayam di pantai kemudian darahnya dialirkan ke laut dengan maksud memberikan darah bagi kehidupan laut. Dengan pelaksanaan upacara adat ini, masyarakat yang tinggal sekitar pantai dan sekitarnya berharap mendapatkan rezeki yang melimpah dari kehidupan laut. Kerbau, kambing, dan ayam dipotong. Darahnya dilarungkan ke laut. Itulah bagian utama dari prosesi Macceratasi.
Contoh berikutnya adalah tradisi adat masyarakat Karempuang, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Di sana, ayam adalah sajian utama termasuk dalam hal hewan sesajian.
Masyarakat Karempuang memang memiliki tradisi memotong ayam secara massal pada acara selamatan tahunan. Selamatan ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur atas hasil panen yang melimpah dan pertanda musim awal cocok tanam.
Dalam ritual ini, masyarakat adat berpuasa selama tujuh hari, tidak memakan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Ayam yang akan dijadikan sesaji dalam ritual ini adalah sepasang ayam jantan dan betina pilihan, berbulu merah, putih, hitam, dan kuning. Sebelum ayam dipotong, pemangku adat wanita, sanro, terlebih dahulu melakukan ritual yang juga dihadiri pemangku adat tertinggi, pengelak. Berbagai bahan untuk keperluan ritual disiapkan, di antaranya minyak kemiri dan beras.
Dupa dan kemenyan pun dibakar. Pemangku adat lalu membacakan mantra dan doa-doa meminta berkah dan keselamatan. Ritual ini berlangsung selama hampir dua jam.
Ritual pun selesai dilakukan. Kaum laki-laki membawa ayam ini menuju bukit batu yang letaknya tidak jauh dari rumah adat. Di atas bukit inilah ayam dipotong dan isi perutnya dibersihkan. Darah yang menetes dari leher ayam ditampung dengan daun dan mangkok.
Darah ayam adalah persembahan untuk roh leluhur penjaga hutan, dengan harapan hutan tetap memberi kesuburan.
Bahan untuk Diskusi Ringan
Di sekitar kita sebenarnya masih banyak tradisi dan ritual dalam bentuk menyembelih binatang. Apa pun alasannya, selama kegiatan tersebut tidak ditopang dan dilandasi oleh ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad n, kegiatan tersebut bukan bagian dari ajaran Islam. Islam memerintahkan untuk memerangi serta berupaya untuk memberantas tradisi dan ritual semacam itu.
Sebagai penutup, saya akan menghadirkan beberapa pertanyaan sebagai bahan diskusi. Pertanyaan ini sangat membantu pembuktian bahwa tradisi dan ritual menyembelih binatang semacam itu mengandung unsur-unsur kesyirikan.
1. Benarkah di dalam tradisi dan ritual tersebut binatang disembelih karena dan untuk Allah l?
2. Apakah benar tidak ada keyakinan adanya kekuatan lain yang mendatangkan manfaat maupun mudarat selain Allah l? Jika benar, bagaimana jika acara tersebut tidak dilakukan? Bukankah di dalam hati akan timbul kekhawatiran dan kecemasan bahwa hasil panen atau melaut akan berkurang, selalu jauh dari keselamatan, bala dan musibah datang silih berganti?
3. Apakah yang terjadi jika binatang yang disembelih tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan? Atau, jika acara tersebut dilaksanakan bukan pada waktunya?
Pastinya, bagi para pelaku dan pengikut tradisi dan ritual tersebut, rasa berharap dan takutnya telah mendua. Meski ia mengaku melakukannya untuk dan karena Allah l, namun harapan, sikap pengagungan, dan sikap takutnya, ia berikan pula kepada selain Allah l.
Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari noda-noda kesyirikan.
Ya Allah, curahkanlah rahmat dan taufik-Mu agar kami dan saudara-saudara kami tetap berada di atas jalan-Mu yang lurus.