Asysyariah
Asysyariah

tradisi baik yang tinggal kenangan

13 tahun yang lalu
baca 15 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan)

Segala puji syukur bagi Allah l semata yang telah melimpahkan berbagai kenikmatan dan keutamaan kepada para hamba-Nya, baik nikmat dunia maupun agama, terutama nikmat diutusnya Rasul-Nya n yang mulia dengan membawa syariat yang sempurna. Allah l berfirman:
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama meskipun orang-orang musyrik benci.” (ash-Shaff: 9)
Allah l juga memberikan kesempurnaan bagi syariat yang mulia ini, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah: 3)
Rasulullah n bersabda:
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun yang diutus sebelumku melainkan wajib baginya untuk menunjukkan kepada umatnya seluruh kebaikan yang ia ketahui dan memperingatkan mereka dari seluruh kejelekan yang ia ketahui.” (HR. Muslim dari Ibnu Umar c)
Beliau n juga menyampaikan dan menjelaskan syariat ini kepada umatnya dengan sempurna, sebagaimana sabdanya:
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ، إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
“Tidaklah tersisa sesuatu pun yang dapat mendekatkan diri ke jannah dan menjauhkan dari api neraka melainkan sungguh telah dijelaskan kepada kalian.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Kabir)
Oleh karena itu, al-Imam Ibnu Katsir t berkata dalam Tafsir-nya, “Ini adalah nikmat Allah l yang paling agung bagi umat ini. Allah l telah menyempurnakan agama mereka sehingga mereka tidak membutuhkan agama yang lainnya (dalam beribadah kepada-Nya). Mereka juga tidak membutuhkan nabi yang lain selain Nabi n yang diutus kepada mereka. Oleh karena itu, Allah l menjadikan beliau n sebagai penutup para nabi dan mengutus beliau n kepada seluruh alam, baik golongan jin maupun manusia (sampai datangnya hari kiamat). Maka dari itu, tidak ada sesuatu yang halal selain apa yang beliau n halalkan. Tidak ada pula sesuatu yang haram selain yang beliau n haramkan. Tidak ada agama selain apa yang beliau n syariatkan. Berita apapun yang telah beliau n sampaikan (kepada umatnya) adalah benar dan tidak mengandung kedustaan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/14)
Allah l mengabarkan hakikat diutusnya Rasulullah n dalam firman-Nya:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (al-Anbiya: 107)
Al-Imam Ibnu Katsir t menjelaskan makna ayat ini, “Allah l mengutus beliau n sebagai rahmat bagi mereka semua. Barang siapa menerima rahmat ini dan mensyukuri nikmat ini niscaya ia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Barang siapa menolak dan menentangnya niscaya akan rugi di dunia dan akhirat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/179)
Beliau n diutus kepada umatnya dalam keadaan kerusakan akidah, ibadah, dan muamalah telah merata tersebar. Meskipun demikian, masih ada beberapa tradisi baik yang mereka warisi dari nenek moyangnya, seperti menghormati kedua orangtua, saudara, tetangga, dan tamu. Demikian pula kepribadian suka membantu, memberi hadiah, dan lainnya.
Oleh karena itu, Rasulullah n bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِاُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْاَخْلَاقِ
“Hanya saja aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, Ibnu Sa’d, dan al-Hakim dari Abu Hurairah z, dihasankan oleh al-Albani t dalam ash-Shahihah no. 45)
Seperti itu juga keadaan bangsa Indonesia pada umumnya yang terdiri dari berbagai suku dan beragam bahasa. Mereka juga memiliki banyak tradisi, mayoritasnya berbau kesyirikan, khurafat, dan tahayul yang bertentangan dengan agama Islam yang mulia.
Di masyarakat kita, masih ada beberapa tradisi yang secara global dibenarkan oleh syariat, meskipun penerapannya harus diluruskan agar tidak melampaui batasan agama. Di antara tradisi-tradisi yang baik yang ditetapkan oleh syariat Islam secara global adalah sebagai berikut.

1. Menghormati orang tua
Menghormati orang tua mencakup kedua orang tua, yaitu bapak-ibu dan orang yang lebih tua umurnya. Diajarkan oleh orang-orang tua untuk beradab atau bersopan-santun terhadap mereka, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan. Sampai-sampai, dalam bahasa Jawa, ada tingkatan-tingkatan berbahasa. Bahasa yang dipakai oleh seseorang terhadap teman seumurnya berbeda dengan bahasa yang dia pakai kepada kedua orang tuanya, orang yang lebih tua umurnya, atau yang lebih tinggi kedudukannya dalam hal jabatan atau keilmuan.
Demikian juga dalam hal perbuatan. Ada ketentuan-ketentuan tradisi yang cukup hanya diluruskan penerapannya, seperti jika berbicara tidak boleh sambil mengangkat tangan dan duduk di tempat yang lebih tinggi atau sama, tidak boleh makan dan minum mendahului mereka. Ini adalah beberapa sisi kebaikan yang harus dipertahankan dan ditingkatkan.
Allah l berfirman:
“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’.” (al-Isra: 23—24)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di t menjelaskan, “Firman Allah l ﮝ ﮞ maknanya adalah berbuat baiklah kalian kepada keduanya dengan segala jenis kebaikan, baik berupa ucapan maupun perbuatan, karena dengan perantaraan keduanya Allah l mewujudkan seorang hamba. Oleh karena itu, keduanya memiliki hak kecintaan, kebaikan, dan kedekatan (dari anak tersebut), yaitu hal-hal yang menuntut untuk lebih dikuatkan akan haknya mereka dan wajibnya berbuat baik terhadap mereka.”
Adapun firman Allah l:
“Janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’…”
Beliau t mengatakan, “Ini adalah hal teringan yang menyakitkan mereka (sehingga Allah l melarangnya). Dengan larangan ini, Dia l memperingatkan akan hal-hal lain yang menyakiti (hati keduanya). Dengan demikian, maknanya adalah jangan engkau menyakiti keduanya dengan sesuatu yang paling ringan sekalipun.
Adapun firman Allah l:
“Dan ucapkanlah kepada mereka berdua perkataan yang mulia…”
maknanya, kata beliau t, “Berbicaralah dengan ucapan yang dicintai oleh keduanya. Beradablah serta berlemah-lembutlah dengan ucapan yang sopan dan bagus yang menyenangkan hati keduanya. Jadikanlah jiwa keduanya tenang dengannya. Cara mewujudkannya berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan, sarana, dan waktu.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 456)
Rasulullah n juga menuntunkan satu adab yang mulia, yaitu adab terhadap orang yang lebih tua umurnya, sebagaimana dalam sabdanya:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا
“Bukan dari kami orang yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati orang tua.” (HR. at-Tirmidzi dan lainnya dari Anas bin Malik z, disahihkan oleh al-Albani dengan keseluruhan jalurnya dalam ash-Shahihah no. 2196)
Termasuk adab terhadap orang yang lebih tua adalah tidak mendahului mereka dalam berbicara. Itulah adab yang diajarkan oleh Rasulullah n. Dari Abu Sa’id Samurah bin Jundub z, ia berkata:
قَدْ كُنْتُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ n غُلَامًا فَكُنْتُ أَحْفَظُ عَنْهُ فَمَا يَمْنَعُنِي مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا أَنَّ هَا هُنَا رِجَالًا هُمْ أَسَنُّ مِنِّي
“Sungguh di masa Rasulullah n aku adalah anak kecil. Aku menghafal dari beliau. Tidak ada yang menghalangi aku untuk berbicara selain bahwa masih ada orang-orang yang lebih tua umurnya daripada diriku.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dalam pemberian hadiah pun orang yang lebih tua umurnya didahulukan, sebagaimana sabda Rasulullah n:
أَرَانِي فِي الْمَنَامِ أَتَسَوَّكُ بِسِوَاكٍ فَجَذَبَنِي رَجُلَانِ أَحَدُهُمَا أَكْبَرُ مِنَ الْآخَرِ فَنَاوَلْتُ السِّوَاكَ الْأَصْغَرَ مِنْهُمَا فَقِيلَ لِي: كَبِّرْ؛ فَدَفَعْتُهُ إِلَى الْأَكْبَرِ
“Aku bermimpi dalam tidurku bahwa aku sedang bersiwak. Kemudian datang kepadaku dua orang laki-laki, salah satunya lebih tua. Aku berikan siwakku kepada yang lebih muda, namun dikatakan kepadaku, ‘Dahulukan yang lebih tua.’ Akhirnya, aku memberikan siwak itu kepada yang lebih tua.” (HR. Muslim)
Tatkala makan dan minum, hendaknya orang yang lebih tua juga didahulukan, lebih-lebih jika banyak jumlahnya, kecuali jika yang tua berada di sebelah kiri orang yang memberi. Dari Sahl bin Sa’d as-Sa’idi z:
أُتِيَ بِشَرَابٍ فَشَرِبَ مِنْهُ وَعَنْ يَمِينِهِ غُلَامٌ وَعَنْ يَسَارِهِ الْأَشْيَاخُ فَقَالَ لِلْغُلَامِ: أَتَأْذَنُ لِي أَنْ أُعْطِيَ هَؤُلَاءِ؟ فَقَالَ الْغُلَامُ: لَا وَاللهِ، يَا رَسُولَ اللهِ، لَا أُوثِرُ بِنَصِيبِي مِنْكَ أَحَدًا. قَالَ: فَتَلَّهَ رَسُولُ اللهِ ى فِي يَدِهِ
“Diambilkan minuman untuk Rasulullah n, beliau pun meminum sebagiannya. Di sebelah kanan beliau ada anak kecil dan di sebelah kiri ada beberapa orang tua. Beliau n berkata kepada anak kecil tersebut, ‘Apakah engkau mengizinkan aku memberikan (minuman ini) kepada mereka?’ Anak tersebut menjawab, ‘Tidak. Demi Allah, aku tidak akan memberikan bagianku darimu kepada seorang pun.’ Kemudian Rasulullah n meletakkan minuman itu di tangan anak kecil tersebut.” (Muttafaqun ‘alaih)

2. Gotong-royong
Dalam kehidupan masyarakat kita, ketika membangun sarana dan prasarana umum seperti masjid, jalan, saluran, jembatan, dan yang lain, mereka mengerjakannya dengan cara gotong-royong (ta’awun). Bahkan, mereka memiliki slogan ‘Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.’
Hal ini termasuk tradisi yang baik yang harus dipertahankan dan ditingkatkan karena syariat Islam yang mulia dan sempurna membenarkan dan meluruskannya.
Allah l memerintah hamba-hamba-Nya;
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, serta jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (al-Maidah: 2)
Rasulullah n membuat permisalan ta’awun kaum muslimin dalam kebaikan dan ketakwaan sebagaimana bangunan yang sebagiannya mengokohkan sebagian yang lain. Beliau n bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Orang mukmin terhadap orang mukmin lainnya ibarat sebuah bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.” (Muttafaqun ‘alaih)
Bukan itu saja. Kepedulian mereka terhadap tetangga, saling menghormati di antara mereka, diwujudkan dengan saling menolong, saling memberi hadiah, saling mengunjungi, dan lainnya.
Rasulullah n bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Permisalan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling merahmati, dan saling mengasihi, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh tersebut merintih sakit, rasa sakit tersebut juga akan dirasakan oleh seluruh anggota tubuh lainnya. Ia pun tidak bisa tidur di waktu malam dan tubuhnya demam.” (Muttafaqun ‘alaih dari an-Nu’man bin Basyir c)
Dari Ibnu Umar c, dari Aisyah x, ia berkata, Rasulullah n bersabda:
مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril q senantiasa berwasiat kepadaku tentang tetangga, sampai-sampai aku menyangka bahwa tetangga itu akan ikut mewarisi.” (Muttafaqun ‘alaih)
Rasulullah n juga bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ
“Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak daging, perbanyaklah kuahnya dan berikanlah (sebagiannya) kepada tetanggamu.” (HR. Muslim dari Abu Dzar z)
Rasulullah n bersabda:
واللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Allah l senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba itu membantu saudaranya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Demikian juga upaya memelihara ketertiban dengan amar ma’ruf nahi mungkar dan menjaga keamanan bersama dengan melakukan ronda (siskamling). Ini adalah salah satu realisasi sabda Rasulullah n:
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا. فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا
“Permisalan orang yang mengingkari kemungkaran dan orang yang melakukannya seperti suatu kaum yang menaiki sebuah kapal. Sebagian mereka berada di bagian atas dan sebagian berada di bawah. Ketika orang-orang yang di bawah meminta air minum kepada orang-orang yang di atas, mereka tidak menghiraukannya. Orang-orang yang di bawah lalu berkata, ‘Kalau kita membuat satu lubang saja di tempat kita ini, kita tidak akan mengganggu orang-orang yang ada di atas kita.’ Apabila orang-orang yang di atas membiarkan apa yang mereka inginkan, akan binasalah mereka semua. Namun, jika orang-orang yang di atas menghalanginya, mereka semua akan selamat.” (HR. al-Bukhari dari an-Nu’man bin Basyir c)
Rasulullah n juga melarang seseorang menyakiti tetangganya dengan ucapan atau perbuatan. Beliau n bersabda:
وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ. قِيلَ: وَمَنْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ
“Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!” Lalu ditanyakan kepada beliau n, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau n menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguan-gangguannya.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah z)

3. Musyawarah
Asy-Syaikh Hammad bin Ibrahim t, “Tidak ada keraguan dan kebimbangan bahwa musyawarah—yaitu berserikatnya orang-orang yang berakal dalam keilmuan dan pemahaman mereka—termasuk sebab mendapatkan pendapat yang benar dan tepat, karena sekumpulan ulama itu lebih pantas untuk benar (pendapatnya) daripada orang yang sendirian (dengan pendapatnya). Juga karena orang yang diajak bermusyawarah itu seringkali mengingatkanmu akan hal-hal yang engkau lupa.” (ash-Shawarif, hlm. 150)
Tatkala terjadi suatu kejadian atau permasalahan dalam kehidupan masyarakat, para pemuka akan segera mengadakan musyawarah dengan warganya untuk mencari solusi yang terbaik dengan dasar ‘musyawarah untuk mufakat’, yaitu memusyawarahkan sesuatu untuk mencari solusi dengan kata sepakat dalam masalah tersebut.
Langkah ini dibenarkan oleh Allah l, sebagaimana Allah l sendiri memerintah Rasul-Nya n dalam firman-Nya:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah.” (Ali Imran: 159)
Allah l juga berfirman:
ﮞ ﮟ ﮠ
“Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” (asy-Syura: 38)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di t dalam tafsirnya mengatakan, “Urusan-urusan mereka yang terkait dengan agama dan dunia dimusyawarahkan di antara mereka. Bukan satu orang mengambil keputusan dengan pendapatnya dalam urusan bersama. Hal ini tidak terjadi melainkan sebagai perwujudan dari persatuan umum, persaudaraan, kasih sayang, dan kecintaan di antara mereka, serta sempurnanya pendapat-pendapat mereka.”
Al-Izz bin Abdis Salam t berkata, “Sesungguhnya Allah l tidak mengumpulkan seluruh kebenaran dan ketepatan itu pada satu orang. Oleh karena itu, disyariatkan musyawarah karena kebenaran dan ketepatan itu terkadang tampak jelas bagi satu kaum tetapi tidak diketahui oleh kaum yang lain. Sungguh al-Imam asy-Syafi’i t ditanya, ‘Di mana ilmu itu semuanya?’ Beliau t menjawab, ‘Di alam semuanya.’ Maksudnya, Allah l memisah-misahkan ilmu itu pada para hamba-Nya dan tidak mengumpulkannya pada diri satu orang saja.” (Ahkamul Jihad, hlm. 95)
Gotong-royong (ta’awun) dan musyawarah adalah wujud kepedulian, ketertiban, ketenangan, dan kecintaan dalam kehidupan masyarakat. Adapun pola kehidupan liberal dan individual akan merusak tatanan kehidupan bermasyarakat yang baik, sopan, dan beradab, sehingga menjadi beringas, brutal, dan anarkis. Nas’alullaha al-‘afiyah was salamah minal khudzlan (Kita memohon kepada Allah l kesehatan dan keselamatan dari kehinaan).

4. Rasa malu
Secara umum, pendidikan atau tarbiyah yang dilakukan oleh para orang tua—sebelum terjadi pergeseran dan penyimpangan—kepada anak-anaknya, laki-laki atau perempuan, khususnya anak gadis mereka, baik di Jawa maupun di luar Jawa, menanamkan rasa malu (al-haya) pada diri anak-anaknya. Rasa malu untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang akan menjatuhkan harkat dan martabat mereka.
Al-Imam an-Nawawi t mengatakan bahwa para ulama berkata, “Hakikat rasa malu adalah akhlak (kepribadian) yang mendorong seseorang untuk menjauhi perbuatan-perbuatan yang jelek dan menghalanginya dari perbuatan mengurangi hak setiap yang memiliki hak.”
Oleh karena itu, Rasulullah n bersabda:
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Rasa malu tidaklah mendatangkan selain kebaikan.” (Muttafaqun ‘alaih dari Imran bin Hushain z)
Dalam riwayat al-Imam Muslim yang lain:
الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ
“Rasa malu itu baik semuanya.”
Al-Hafizh Ibnu Rajab t berkata, “Ketahuilah bahwa rasa malu (al-haya) ada dua macam.
a. Rasa malu yang menjadi tabiat asli seseorang
Rasa malu yang seperti ini adalah perangai mulia yang dilimpahkan oleh Allah l kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Nabi n bersabda:
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Rasa malu itu tidak akan mendatangkan selain kebaikan.”
Hal ini karena rasa malu tersebut akan menghalangi seseorang melakukan hal-hal yang buruk dan hina. Selain itu, rasa malu ini juga akan mendorong pemiliknya melakukan berbagai bentuk kepribadian yang tinggi dan mulia sehingga hal ini termasuk bagian dari iman.
b. Rasa malu yang timbul karena mengenal Allah l, keagungan-Nya, dan keyakinan bahwa Allah l sangat dekat dengan para hamba-Nya.
Dia l senantiasa melihat dan mendengar (seluruh aktivitas para hamba). Ilmu-Nya meliputi perkara yang tampak dan tidak tampak. Maka dari itu, rasa malu yang tumbuh dari keyakinan yang seperti ini termasuk keimanan yang tinggi. Bahkan, termasuk derajat (agama yang paling tinggi) yaitu al-ihsan. (al-Jami’, hlm. 501)
Namun, tradisi-tradisi yang baik tersebut tinggal kenangan. Ia telah berubah menjadi kerusakan, kebobrokan, kerendahan, dan kehinaan. Anak-anak sudah tidak memiliki adab sopan-santun kepada orang tua. Orang tidak memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan tetangganya. Demikian juga, rasa malu telah hilang dari diri mereka, kecuali orang yang dirahmati oleh Allah l.
Allah l berfirman:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)
Jika rasa malu sudah dicabut dari hati, akan muncul berbagai perbuatan kerusakan, kerendahan, dan kehinaan. Rasulullah n bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya termasuk perkara yang masih didapati oleh manusia dari para nabi terdahulu adalah: Apabila engkau sudah tidak punya rasa malu, berbuatlah sesukamu.” (HR. al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud z)
Rusaknya tatanan kehidupan masyarakat disebabkan oleh kejahilan dan kemaksiatan serta miskinnya kepedulian para orangtua dalam mendidik anak-anaknya dengan didikan agama. Terlebih lagi, lembaga-lembaga pendidikan yang ada, dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, sangat kurang perhatiannya terhadap penanaman akidah yang benar dan akhlak yang baik.
Keadaan yang sangat memprihatinkan ini, masih ditambah oleh media massa seperti televisi, radio, internet, koran, tabloid, dan majalah yang penuh dengan acara dan hal-hal yang merusak moral kaum muslimin, karena mayoritas media tersebut mengemban misi Yahudi dan Nasrani. Allah l berfirman:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (al-Baqarah: 120)
Wallahu a’lam.