Asysyariah
Asysyariah

tiga orang yang ditangguhkan (perang tabuk bagian ke 4)

13 tahun yang lalu
baca 16 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)

 

Rasulullah n bersama pasukan muslimin mulai mendekati kota Madinah. Beberapa penduduk kota berlarian menyambut beliau, begitu pula wanita dan anak-anak yang hendak menyambut beliau, suami dan ayah-ayah mereka. Anak-anak itu dengan gembira mendendangkan nyanyian:
Telah muncul purnama kepada kami dari Tsaniyatil Wada’…
Kemudian Rasulullah n memasuki masjid dan shalat dua rakaat. Demikianlah kebiasaan beliau setelah melakukan perjalanan jauh.
Setelah itu, mulailah berduyun-duyun orang-orang yang tertinggal menemui beliau mengajukan uzur tidak ikut serta dalam Perang Tabuk. Sebagian dari mereka diterima oleh beliau dan urusan batinnya diserahkan kepada Allah l.
Di antara sahabat, ada beberapa orang yang sengaja mengikat tubuh mereka di tiang-tiang masjid. Rasulullah n melihat mereka dan bertanya, “Siapa yang mengikat dirinya di tiang masjid?”
Sahabat lain menjawab, “Itu Abu Lubabah dan teman-temannya, karena mereka tidak ikut berperang bersama Anda, wahai Rasulullah. Mereka ingin Anda sendiri yang melepaskan mereka.”
Rasulullah n berkata, “Demi Allah, aku tidak akan melepaskan dan tidak pula menerima uzur mereka, sampai Allah l sendiri yang melepaskan mereka. Mereka tidak suka ikut bersamaku dan tidak mau berperang bersama kaum muslimin.”
Ketika sampai perkataan Rasulullah n kepada sahabat-sahabat tersebut, mereka berkata, “Kami pun tidak akan melepaskan diri kami hingga Allah l sendiri yang melepaskan kami.”
Kemudian turunlah firman Allah l:
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 102)
Setelah ayat ini turun, Nabi n pun menemui mereka, melepaskan tali yang membelit mereka dan menerima uzur mereka. Tak lama kemudian, mereka datang menemui Rasulullah n sambil membawa harta mereka dan berkata, “Wahai Rasulullah, inilah harta kami. Bersedekahlah dengan harta ini dan mintakanlah ampunan untuk kami.”
Beliau menjawab, “Saya tidak diperintah mengambil harta kalian.” Lalu turun ayat:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, serta berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (At-Taubah: 103)
Kemudian, datang pula tiga orang sahabat yang mulia: Ka’b bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin ar-Rabi’, g. Mereka tidak ikut mengikat diri mereka bersama Abu Lubabah dan teman-temannya. Mereka merasa tidak punya alasan yang memberatkan hingga tertinggal dari Rasulullah n. Mereka hanya menyampaikan bahwa mereka tidak ikut serta. Akhirnya, Rasulullah n menyerahkan urusan mereka kepada Allah l.
Kejadian ini bisa kita ketahui dari penuturan sahabat yang mulia, Ka’b bin Malik z, berikut ini.
“Saya tidak pernah tertinggal dari Rasulullah n dalam peperangan yang beliau lakukan kecuali Perang Tabuk. Walaupun saya pernah tertinggal dari Perang Badr, tapi Rasulullah n tidak mencela saya dan siapa pun yang tertinggal, karena waktu itu kami mengira Rasulullah n keluar hanya untuk menghadang kafilah dagang Quraisy, walaupun akhirnya Allah l mempertemukan beliau dengan musuh-musuhnya tanpa kesepakatan sebelumnya.
Sungguh, saya telah ikut bersama Rasulullah n pada malam ‘Aqabah ketika kami sangat yakin kepada Islam. Saya tidak suka malam itu digantikan dengan peristiwa Badr, meskipun Badr lebih dikenang orang daripada malam itu.
Saya belum pernah merasa keadaan saya lebih kuat sama sekali dan lebih mudah daripada keadaan saya ketika tertinggal dari beliau dalam perang (Tabuk) tersebut. Demi Allah, saya belum pernah mengumpulkan dua kendaraan sama sekali dalam sebuah peperangan kecuali Perang Tabuk. Biasanya, bila hendak berangkat berperang, Rasulullah n melakukan tauriyah (berbuat atau mengatakan sesuatu untuk mengalihkan perhatian, red.) dengan hal-hal yang lain.
Setelah melakukan persiapan, walaupun serba minim, karena pada waktu itu adalah musim panas yang sangat buruk, kendaraan dan perbekalan serba kurang, Rasulullah n berangkat juga. Beliau menampakkan dan memerintahkan kaum muslimin agar mempersiapkan perlengkapan perang mereka. Beliau n menyampaikan terang-terangan ke mana arah yang beliau tuju dan lawan yang akan dihadapi, sehingga banyak yang menyertai Rasulullah n. Akan tetapi, tidak ada penulis yang mencatat—semacam sensus—jumlah mereka dengan pasti.
Kata Ka’b selanjutnya, “Ada yang ingin mengelak dan mengira pasti akan dapat bersembunyi dari beliau selama tidak turun wahyu Allah l tentang dia.”
Tak lama, ketika buah-buahan mulai masak, naungan mulai rimbun, Rasulullah n pun berangkat diikuti oleh kaum muslimin. Saya datang pagi-pagi untuk bersiap-siap bersama mereka, lalu pulang tetapi tidak melakukan apa-apa.
Saya berkata dalam hati, “Saya dapat segera menyiapkannya.”
Pagi harinya Rasulullah n dan kaum muslimin sudah mulai bergerak. Tetapi, saya masih belum mempersiapkan diri sedikit pun. Saya berkata dalam hati, “Saya akan mempersiapkan diri sesudah satu atau dua hari ini lalu menyusul mereka.”
Saya pun datang pagi-pagi, lalu kembali lagi sesudah mereka berangkat. Saya pulang dan belum juga berbuat apa-apa.
Saya datang dan pergi lagi tanpa melakukan sesuatu. Hal ini berlangsung terus-menerus sampai pasukan semakin jauh dari kota. Saya mulai bertekad menyusul mereka.
Duhai, kiranya saya memang melakukannya, namun belum juga ditakdirkan untuk saya. Suatu hari, saya keluar di antara orang banyak sesudah Rasulullah n dan pasukan muslimin berangkat. Saya pun berkeliling. Sungguh menyedihkanku, ternyata saya tidak melihat siapa-siapa kecuali orang-orang yang tertuduh munafik atau orang-orang lemah yang diberi uzur oleh Allah l.
Rasulullah n tidak menyebut-nyebut nama saya sampai beliau tiba di Tabuk. Setelah berada di Tabuk, mulailah beliau bertanya ketika duduk-duduk di antara pasukan, “Apa yang dikerjakan Ka’b?”
Salah seorang dari Bani Salimah berkata, “Wahai Rasulullah, dia ditahan oleh dua burdahnya dan melihat betapa bagusnya burdah itu.”
Mu’adz bin Jabal z menukas, “Alangkah buruknya ucapanmu. Demi Allah, wahai Rasulullah. Kami tidak mengetahui tentang dia kecuali yang baik-baik saja.” Rasulullah n pun diam.
Kemudian, Ka’b bin Malik melanjutkan, “Ketika sampai berita bahwa Rasulullah n dan kaum muslimin bersiap-siap untuk kembali, muncullah keinginanku mencari-cari tipuan. Saya berkata dalam hati, “Dengan apa kira-kira saya dapat lolos dari kemarahan beliau nanti?” Saya pun meminta saran dari seluruh keluarga saya.
Tatkala diberitakan bahwa Rasulullah n sudah mulai kembali, hilanglah kebatilan (kebohongan). Saya pun tahu, tidak akan mungkin lolos dengan sedikit kebohongan saja dari beliau selamanya. Akhirnya, saya mengumpulkan sikap jujur untuk beliau.
Esok harinya, Rasulullah n dan pasukan pun sampai di Madinah. Penduduk berduyun-duyun menyambut beliau. Biasanya, kalau baru tiba dari safar beliau selalu singgah lebih dahulu di masjid dan shalat dua rakaat, kemudian duduk menghadapi orang banyak yang datang mengajukan uzur dan meminta maaf atas ketertinggalan mereka. Setelah itu, datanglah orang-orang yang tertinggal itu dan mulailah mereka mengajukan alasan serta bersumpah. Jumlah mereka sekitar delapan puluh orang. Rasulullah n menerima alasan mereka, membai’at, dan memintakan ampunan buat mereka serta menyerahkan rahasia mereka kepada Allah l.
Saya datang menemui beliau dan mengucapkan salam. Beliau tersenyum masam kepada saya seraya berkata, “Kemarilah!” Saya pun melangkah sampai duduk di hadapan beliau, lalu beliau berkata, “Mengapa engkau tertinggal? Bukankah engkau sudah membeli kendaraan?”
Kata saya, “Betul. Sungguh, demi Allah, wahai Rasulullah. Seandainya saya duduk dengan orang lain di dunia ini, pastilah Anda melihat saya akan lolos dari kemarahannya dengan satu alasan. Sungguh, demi Allah, saya diberi kemampuan berdebat. Tetapi demi Allah, seandainya saya berbicara kepada Anda hari ini dengan satu kebohongan, lalu Anda meridhai saya, pastilah Allah l akan membuat Anda marah kepada saya. Sungguh, seandainya saya berbicara kepada Anda dengan jujur niscaya Anda melihatnya ada pada saya. Saya betul-betul berharap pemaafan Allah l dalam masalah ini.
Tidak. Demi Allah, saya tidak punya uzur sama sekali. Saya tidak pernah merasa keadaan saya lebih kuat dan lebih mudah sama sekali dibandingkan ketika saya tertinggal dari Anda.”
Kemudian Rasulullah n berkata, “Adapun dia ini, sudah berkata jujur. Berdirilah sampai Allah l memberi keputusan tentangmu.”
Saya pun berdiri, dan berdatanganlah orang-orang Bani Salimah menyusul sambil mengatakan, “Demi Allah, kami tidak pernah lihat engkau berbuat kesalahan sebelum ini, engkau sungguh lemah. Mengapa engkau tidak meminta uzur kepada Rasulullah n sebagaimana orang-orang yang tertinggal meminta uzur kepada beliau? Sudah cukup dosamu itu dengan Rasulullah n memintakan ampun untukmu.”
Demi Allah, mereka terus-menerus mendorong saya sampai saya berkeinginan rujuk dan mendustakan diri sendiri. Kemudian saya katakan kepada mereka, “Apakah ada orang yang mengalami keadaan seperti ini bersama saya?”
Kata mereka, “Ya, ada dua orang. Mereka mengucapkan hal yang sama seperti engkau dan dikatakan kepada mereka seperti yang diucapkan kepadamu.”
Saya pun bertanya, “Siapa mereka?”
Kata mereka, “Murarah bin ar-Rabi’ al-‘Amri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi.” Mereka menyebutkan dua orang saleh yang pernah ikut perang Badr. Mereka adalah teladan bagiku. Saya pun tetap melanjutkan sikap saya setelah mereka menyebut dua orang saleh ini.
Rasulullah n mulai melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga di antara orang-orang yang tertinggal. Akhirnya, orang banyak mulai menjauhi kami. Keadaan pun berubah, sampai saya merasa diri saya asing di bumi ini (Madinah). Seolah-olah tanah (Madinah) ini bukan seperti yang saya kenal. Dan kami merasakannya selama lima puluh hari.
Kedua sahabatku merasa hina dan hanya berdiam diri di rumah mereka sambil menangis. Sedangkan aku yang lebih muda dan lebih tabah, selalu keluar dan ikut shalat bersama kaum muslimin, berkeliling di pasar-pasar dalam keadaan tidak seorang pun mengajakku bicara. Saya mencoba mendatangi Rasulullah n untuk mengucapkan salam kepada beliau ketika beliau duduk di majelisnya seusai shalat.
Saya bertanya dalam hati, “Apakah beliau menjawab salamku atau tidak?” Saya berusaha shalat di dekat beliau sambil mencuri-curi pandang. Kalau saya menekuni shalat saya, beliau menghadap ke arahku. Tapi kalau saya menoleh ke arah beliau, beliau membuang muka.
Sampai ketika saya merasakan kekakuan orang banyak ini semakin lama, saya berjalan lalu memanjat pagar rumah Abu Qatadah. Dia adalah anak paman saya dan orang yang paling saya cintai. Saya mengucapkan salam kepadanya, tapi demi Allah, dia tidak menjawab salam saya.
Saya pun berkata, “Wahai Abu Qatadah, saya sumpahi engkau demi Allah, bukankah engkau tahu bahwa saya mencintai Allah l dan Rasul-Nya?” Dia tetap diam. Saya ulang menyumpahinya, tapi dia diam. Saya pun mengulangi lagi.
Akhirnya, Abu Qatadah berkata, “Allah l dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Air mata saya mulai berlinang. Saya pun mundur dan turun dari pagar itu.
Abu Qatadah tidak mengatakan ya atau tidak. Sepatah kata tidaklah dianggap bicara. Bagaimana Ka’b tidak menangis, saudara sepupu yang sangat dicintainya, tidak menjawab salam dan pertanyaannya, padahal dia sudah menuntutnya dengan sumpah, yang jelas-jelas sebagai perkara ibadah. Di samping itu, pertanyaan Ka’b dengan sumpah itu sama artinya menuntut sebuah persaksian. Akan tetapi, Abu Qadatah tidak mau bersaksi walaupun dia mengetahui Ka’b mencintai Allah l dan Rasul-Nya.
Suatu hari, tatkala saya sedang berjalan di sebuah pasar kota Madinah, tiba-tiba seorang nabthi (orang Arab yang bercampur dengan Romawi dan ajam [non-Arab] sehingga nasabnya tercampur dan bahasanya rusak) dari penduduk Syam yang biasa membawa makanan untuk dijual di Madinah bertanya, “Siapa yang bisa menunjukkan kepada saya Ka’b bin Malik?”
Orang banyak serentak menunjuk ke arah saya. Akhirnya dia menemui saya dan menyerahkan sepucuk surat dari Raja Ghassan.
Ternyata isinya, “Amma ba’du,… Sebetulnya sampai berita kepadaku bahwa temanmu (Muhammad n) mengucilkanmu. Allah tidak akan menjadikanmu tetap di tempat yang hina dan tersia-sia. Datanglah kepada kami niscaya kami memuliakanmu.”
Akan tetapi, beliau z adalah orang yang beriman kepada Allah l dan Rasul-Nya serta mencintai Allah l dan Rasul-Nya. Dalam keadaan terkucil, terasing, dan tidak diajak bicara, bahkan oleh kerabat yang sangat dicintai, kalau saja beliau orang yang lemah iman, tentu dengan segera menyambut tawaran itu.
Setelah membacanya saya pun berkata, “Ini juga musibah,” lalu saya menyalakan tungku dan membakarnya.
Demikianlah seharusnya yang dilakukan oleh orang yang ingin menyelamatkan diri dari fitnah: menghancurkan sesuatu yang menjadi sebab timbulnya fitnah bagi dirinya.
Empat puluh malam mulai merambat. Tak lama, datang utusan Rasulullah n menemui saya dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah n memerintahkan engkau agar menjauhi istrimu.”
Saya bertanya, “Apakah saya harus menceraikannya atau apa yang saya lakukan?” Katanya, “Tidak. Engkau hanya diperintah agar menjauhinya dan jangan mendekatinya.” Seperti itu juga yang disampaikan kepada dua sahabat saya itu.
Kemudian saya katakan kepada istri saya, “Kembalilah kepada keluargamu. Tinggallah di sana sampai Allah l memutuskan perkara ini.”
Datanglah istri Hilal bin Umayyah menemui Rasulullah n, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin Umayyah seorang laki-laki renta dan tidak punya pelayan. Apakah Anda tidak suka kalau saya melayaninya?” Kata beliau, “Tidak, tapi dia tidak boleh mendekatimu.”
Wanita itu berkata, “Sungguh, demi Allah, dia tidak ada keinginan lain kepada sesuatu. Demi Allah, dia terus menangis sejak awal kejadian ini sampai hari ini.”
Sebagian keluarga saya berkata, “Sebaiknya engkau meminta izin kepada Rasulullah n tentang istrimu sebagaimana diizinkan untuk istri Hilal bin Umayyah agar dia melayanimu.”
Saya pun berkata, “Demi Allah, saya tidak akan meminta izin untuknya kepada Rasulullah n. Apa kira-kira yang akan saya katakan, seandainya saya minta izin kepada Rasulullah n, padahal saya seorang pemuda?”
Akhirnya, tinggallah saya dalam kondisi demikian selama sepuluh hari, hingga genap lima puluh hari sejak Rasulullah n melarang kami semua.
Satu bulan lebih, wahyu tidak juga turun. Itulah salah satu rahasia hikmah Allah k dalam setiap urusan besar, sehingga kaum muslimin benar-benar merasa rindu kepada wahyu itu.
Seusai shalat shubuh di hari terakhir (kelima puluh), ketika saya sedang berada di atas loteng rumah, persis seperti diterangkan Allah l, “Jiwa terasa sesak, dan bumi pun terasa sempit, padahal dia begitu luasnya,” saya mendengar suara teriakan di atas bukit cadas, dia berteriak sekeras-kerasnya, “Wahai Ka’b bin Malik, bergembiralah!”
Saya pun menyungkur sujud. Saya tahu, telah datang kelapangan dan Rasulullah n memberitahukan adanya taubat dari Allah l atas kami ketika shalat shubuh. Kaum muslimin berduyun-duyun memberi ucapan selamat kepada saya dan dua sahabat tersebut. Ada seseorang datang berkuda, ada pula dari bani Aslam berjalan cepat ke arah saya, mendaki gunung. Sedangkan suara lebih cepat dari kuda. Setelah pemilik suara itu datang, saya melepas baju saya dan memberikannya kepada orang itu sebagai hadiah atas berita gembira tersebut. Padahal, demi Allah, saya tidak punya baju yang lain pada hari itu. Akhirnya, saya meminjam sehelai baju dan mengenakannya lalu berangkat menemui Rasulullah n. Orang-orang pun berduyun-duyun mengucapkan selamat kepada saya, kata mereka, “Selamat, karena taubatmu diterima oleh Allah l.” Hal itu berlangsung sampai saya masuk ke dalam masjid. Ternyata Rasulullah n sudah dikelilingi oleh para sahabat lain.
Tiba-tiba Thalhah bin ‘Ubaidullah berlari kecil menyambut dan menyalami saya sambil mengucapkan selamat. Demi Allah, tidak ada satu pun Muhajirin yang berdiri selain dia. Saya tidak bisa melupakan hal ini dari Thalhah.”

Demikianlah keadaan mereka, yaitu orang-orang yang mencintai untuk saudaranya apa yang mereka cintai untuk dirinya. Mereka tidak iri atau dengki atas kelebihan yang Allah l limpahkan kepada saudara mereka, yaitu turunnya wahyu yang agung yang menerangkan bahwa taubat mereka diterima. Bahkan, mereka mengucapkan selamat sampai Ka’b masuk ke dalam masjid.
Ka’b melanjutkan ceritanya.
“Setelah saya mengucapkan salam kepada Rasulullah n, beliau berkata dengan wajah berseri-seri, ‘Bergembiralah dengan sebaik-baik hari yang telah engkau lewati sejak engkau dilahirkan ibumu’.”
Rasulullah n benar, karena Allah l telah menurunkan taubatnya dan taubat kedua temannya dalam Al-Qur’an yang dibaca. Rabb semesta alam yang mengucapkannya dan menurunkannya kepada Muhammad n, terpelihara dengan perantaraan Jibril dan terjaga sampai hari kiamat.
Tidak seorang pun selain para nabi, atau orang-orang yang disebut oleh Allah l dalam Al-Qur’an yang kisahnya terpelihara seperti kisah Ka’b dan dua sahabatnya. Kisah ini abadi dan senantiasa dibaca dalam Kitab Allah l, di bilik-bilik masjid, di mimbar-mimbar, dan di mana pun. Siapa yang membaca kisah ini, dia memperoleh sepuluh kebaikan dari setiap huruf Al-Qur’an yang dibacanya.

Ka’b berkata, “Wahai Rasulullah, apakah ini dari engkau atau dari sisi Allah l?”
Kata beliau, “Dari sisi Allah.” Dan kalau Rasulullah n gembira, wajahnya bersinar laksana kepingan bulan purnama.
Setelah duduk di hadapan beliau, saya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sebagai bukti taubat, saya menyerahkan harta saya untuk sedekah kepada Allah l dan Rasul-Nya n.”
Rasulullah n berkata, “Tahanlah sebagian hartamu, tentu itu lebih baik.”
Kata saya, “Sesungguhnya, saya menahan bagian yang saya peroleh dari Khaibar.”
Kemudian saya berkata lagi, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah l menyelamatkan saya tidak lain karena kejujuran. Termasuk taubat saya juga, saya tidak akan berbicara kecuali yang benar selama saya masih hidup.”
Demi Allah, saya tidak melihat ada seorang muslim yang Allah l beri ujian dalam hal kejujuran—sejak saya menyebutkan hal itu kepada Rasulullah n—yang lebih berat daripada yang diberikan kepada saya.
Belum pernah pula saya sengaja berdusta sejak mengatakan hal itu kepada Rasulullah n sampai hari ini. Sungguh, saya berharap Allah l memelihara saya dalam sisa-sisa umur saya.
Tak lama, Allah l menurunkan wahyu kepada Rasulullah n:
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 117—119)
Demi Allah, tidak pernah Allah l memberi nikmat yang lebih besar kepada saya—sesudah memberi saya hidayah kepada Islam—daripada kejujuran kepada Rasulullah n. Saya tidak akan berdusta kepada beliau, yang akibatnya saya binasa sebagaimana hak orang yang berdusta. Sungguh, Allah l berfirman tentang orang-orang yang berdusta itu, karena menurunkan wahyu yang berisi hal yang lebih buruk daripada yang ditujukan kepada yang lain.
Allah l berfirman:
“Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu.” (At-Taubah: 95—95)
Dan kefasikan adalah sebab tidak diperolehnya keridhaan Allah l.

Ka’b melanjutkan lagi kisahnya.
Dahulu kami bertiga ditunda dari mereka yang diterima oleh Rasulullah n ketika mereka bersumpah kepada beliau, lalu beliau membai’at serta memintakan ampunan untuk mereka. Rasulullah n menunda persoalan kami sampai Allah l memutuskannya. Itulah firman Allah l:
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka….” Maknanya bukan tertinggal dari peperangan, tapi ketertinggalan kami dan penundaan beliau terhadap urusan kami dari mereka yang telah bersumpah kepada beliau dan mengajukan alasan lalu beliau terima.”

Beberapa Faedah
1.    Seorang muslim boleh menceritakan dosanya sesudah taubat agar membangkitkan semangat orang lain untuk bertaubat, apalagi bila dosa itu tersebar dan diketahui orang banyak. Adapun dosa yang sifatnya rahasia atau yang terang-terangan tapi belum bertaubat, tidak boleh diceritakan agar tidak mendorong orang lain berbuat seperti itu, dan dia pun menjadi golongan orang-orang yang mujaharah (terang-terangan berbuat dosa).
2.    Seorang mukmin merasakan kepedihan ketika menelantarkan sebuah kewajiban.
3.    Seorang mukmin tidak akan mengejek saudaranya, tetapi membelanya, seperti yang dilakukan Mu’adz bin Jabal z terhadap Ka’b z.
4.    Memutuskan hubungan adalah obat yang ampuh untuk mengembalikan orang-orang yang menyimpang kepada kebenaran. Larangan yang ada berlaku dalam urusan dunia atau melampiaskan kejengkelan.
5.    Mukmin yang sempurna tidak akan menjual agamanya, walaupun diberi dunia dan seisinya.
6.    Sujud syukur ketika memperoleh kelapangan, seperti yang dilakukan Ka’b.
Wallahu a’lam.