Asysyariah
Asysyariah

tidak mesti solusinya perceraian

13 tahun yang lalu
baca 9 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan)

Al-Muhsin adalah salah satu dari nama-nama Allah Yang Mahamulia dan Mahasempurna1. Dia memerintahkan untuk berbuat ihsan (baik) kepada siapa pun dengan dasar syariat yang sempurna. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (an-Nahl: 90)
Allah l juga berfirman:
“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah: 195)
Demikian pula Rasulullah n bersabda,
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah l mewajibkan ihsan (berbuat baik) dalam segala hal. Apabila kalian hendak membunuh, bunuhlah dengan baik. Apabila kalian hendak menyembelih (hewan), sembelihlah dengan baik pula. Hendaknya seseorang menajamkan pisaunya dan memberi kemudahan bagi sembelihannya.” (HR. Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Rajab t berkata, “Hadits ini menunjukkan wajibnya berbuat baik dalam seluruh amalan. Akan tetapi, kebaikan itu tergantung pada setiap pelaku. Kebaikan di dalam melakukan kewajiban-kewajiban yang lahir dan yang batin adalah melakukannya secara total sehingga kadar ini hukumnya wajib. Adapun kebaikan dalam amalan yang lahir dan batin dengan menyempurnakan hal-hal yang sunnah, hal tersebut bukan perkara yang wajib, melainkan sunnah.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/381)
Al-Imam Nawawi t berkata, “Hadits ini adalah salah satu hadits yang mengandung dasar-dasar agama, karena menunjukkan keumuman berbuat baik (ihsan). Bisa jadi, perintah berbuat baik terhadap orang yang akan dibunuh atau hewan yang akan disembelih (di dalam hadits ini) hanyalah sekadar contoh atau sekadar untuk menjelaskan.”
Di antara orang-orang yang berhak kita beri kebaikan adalah istri-istri kita. Atas bantuan mereka, dengan izin Allah l, kita bisa melakukan kebaikan dan mendapatkan keutamaan. Allah l berfirman:
“Tidak ada balasan kebaikan melainkan kebaikan (pula).” (ar-Rahman: 60)
Kemudian Rasulullah n bersabda,
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً، وَخَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Orang-orang yang beriman yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik terhadap istrinya.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah z, disahihkan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1232)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t berkata, “Orang yang paling baik adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya, karena keluarga adalah orang-orang yang terdekat dan paling berhak mendapat kebaikan. Jika engkau memiliki suatu kebaikan, hendaknya keluargamu yang paling merasakan kebaikan itu.
Hal ini berkebalikan dengan perbuatan sebagian orang di zaman sekarang ini. Ada orang yang berbuat buruk terhadap keluarganya, namun bisa berbuat baik terhadap orang lain. Ini adalah kesalahan yang sangat besar. Semestinya, keluarga adalah orang-orang yang paling berhak menerima kebaikan dari anggota keluarganya. Maka dari itu, hendaknya seseorang berbuat baik kepada keluarganya, karena mereka bersamanya pada waktu malam dan siang, baik dalam keadaan sepi maupun ramai. Jika engkau mendapatkan suatu hal yang bermanfaat, berbagilah dengan mereka. Jika engkau berbahagia, mereka pun akan bersama dalam kebahagiaanmu. Jika engkau sedih, mereka juga akan bersama dalam kesedihanmu. Hendaknya muamalahmu kepada mereka lebih baik dibandingkan kepada selainnya.” (Syarh Riyadh ash-Shalihin 2/64)
Berbuat baik kepada mereka terbagi menjadi dua macam:
1. Lahir, seperti nafkah (makan dan minum), pakaian, tempat tinggal, dan lain sebagainya.
Allah l befirman:
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu (istri) dengan cara yang ma’ruf (baik).” (al-Baqarah: 233)
Rasulullah n bersabda,
وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan mereka (para istri) memiliki hak yang wajib kalian tunaikan, yaitu hak nafkah (makan dan minum) dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Muslim dari Jabir z)
Dari Hakim bin Mu’awiyah, dari ayahnya (Mu’awiyah bin Haidah) z, ia berkata:
يَا رَسُولَ اللهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟ قَالَ: أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعَمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
“Aku bertanya kepada Rasulullah n, ‘Wahai Rasulullah, apa hak seorang istri terhadap suaminya?’ Beliau menjawab, ‘Kamu beri makan apabila kamu makan, kamu beri pakaian apabila kamu berpakaian. Jangan pukul wajahnya, jangan menjelek-jelekkan dia (seperti ‘Mudah-mudahan Allah menjadikanmu jelek’), dan jangan boikot dia (karena kedurhakaannya) selain di dalam rumah’.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dihasankan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah)
Namun, hak-hak itu wajib ditunaikan oleh para suami sesuai dengan kemampuan mereka dengan cara yang baik.
Allah l berfirman,
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (ath-Thalaq: 7)

2. Batin, seperti pendidikan (tarbiyah), muamalah, dan lainnya.
Allah l berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (at-Tahrim: 6)
Rasulullah n bersabda,
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ مَا فِي الضِّلْعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
“Berwasiatlah kalian kepada para istri dengan wasiat yang baik, karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika kamu memaksa meluruskannya, niscaya akan patah. Jika kamu membiarkannya, ia akan tetap bengkok. Maka dari itu, berwasiatlah kepada istri (dengan wasiat yang baik).” (Muttafaqun alaih dari Abu Hurairah z)
Ummu Abdillah hafizhahallah berkata, “Termasuk wasiat yang paling mulia dan agung bagi istri adalah mengajarinya dan berusaha memahamkannya tentang urusan agama. Tarbiyah tersebut hendaknya dilakukan dengan lemah lembut karena Nabi n bersabda, ‘Tidaklah kelemahlembutan itu ada pada sesuatu melainkan akan menjadikannya tampak indah, dan tidaklah kelemahlembutan itu dicabut dari sesuatu melainkan akan menjadikannya tampak jelek’.”
Sebagian suami—semoga Allah l memberikan petunjuk kepada mereka—kurang bagus dalam hal mendidik istrinya. Dia mengajarkan sesuatu kepada istrinya materi-materi yang bukan tingkatannya. Jika istri tersebut tidak melakukannya, maka akan celaka. Oleh karena itu, hendaknya suami bertakwa kepada Allah l (dalam mendidik istrinya), dan hendaknya dia menyadari bahwa Allah l lebih berkuasa daripada dirinya di dalam mengatur seorang wanita yang lemah. Nabi n pun menyerupakan wanita seperti botol kaca (yang mudah pecah), sedangkan sirah (sejarah) Nabi n yang wangi semerbak tidak pernah terwarnai dengan kekerasan terhadap istri, bahkan lemah lembut, santun, dan mudah. (Nashihati lin Nisa’, 164—165)
Demikian pula hak mereka untuk mendapatkan sikap-sikap yang baik, yang Allah l berfirman,
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (al-Baqarah: 228)
Rasulullah n bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga dia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (Muttafaqun alaih dari Anas bin Malik z)
Ibnu Abbas c berkata, “Sungguh, aku senang berdandan untuk istriku sebagaimana aku senang dia berdandan untukku.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim)

Mereka Bukan Makhluk yang Sempurna
Istri-istri yang salehah adalah harapan dan dambaan setiap muslim, sebagaimana Allah l berfirman,
“Wanita yang salehah adalah yang taat kepada Allah dan menjaga dirinya ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).” (an-Nisa’: 34)
Rasulullah n juga bersabda,
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia itu perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan kehidupan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Amr c)
Namun, harus kita sadari bahwa sebaik-baik wanita di dunia tetaplah manusia biasa yang tidak akan lepas dari kekurangan. Bahkan, istri merupakan ujian dan cobaan bagi suaminya yang diberikan oleh Allah l. Sebagaimana Allah l berfirman di dalam kitab-Nya yang mulia,
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya istri-istri dan anak-anak kalian bisa menjadi musuh kalian, maka berhati-hatilah terhadap mereka. Dan jika kalian memaafkan, tidak memarahi, dan mengampuni (mereka), maka Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (at-Taghabun: 14)
Rasulullah n bersabda,
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ لَنْ تَسْتَقِيمَ لَكَ عَلَى طَرِيقَةٍ، فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ، وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلَاقُهَا
“Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Dia tidak akan senantiasa lurus di atas suatu jalan seperti keinginanmu. Jika kamu bersenang-senang dengannya, dalam keadaan ada pada dirinya kebengkokan, dan apabila kamu memaksa untuk meluruskannya, niscaya kamu akan mematahkannya, dan mematahkannya berarti menalaknya.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata, “Seorang wanita jika suaminya ingin bersenang-senang dengannya, berarti dia bersenang-senang dengan istrinya dalam kebengkokan (kekurangan) sehingga dia rela dengan yang dia dapatkan. Apabila ia ingin benar-benar meluruskannya, maka sang istri tidak akan senantiasa lurus dan suami tidak mampu meluruskannya. Jika sang istri lurus/istiqamah dalam agamanya, maka dia tidak akan lurus dalam perkara yang tabiat asli menuntutnya. Sang istri tidak akan terus-menerus lurus sesuai dengan yang dikehendaki oleh suaminya, bahkan pasti ada penyelisihan dan kekurangan dari dirinya.” (Syarh Riyadh as-Shalihin 2/56)
Tatkala kita mendapati kekurangan dan kekeliruan pada istri-istri kita, kita harus sadar bahwa mereka adalah manusia biasa, bukan makhluk yang sempurna. Allah l memerintahkan kepada kita untuk bersikap adil secara umum, termasuk bersikap adil terhadap istri-istri kita. Sebagaimana di dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Maidah: 8)
Demikian pula Rasulullah n membimbing kita, bagaimana kita menghadapi kekurangan-kekurangan istri kita dalam sabdanya:
لاَ يَفْرُكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istrinya). Apabila dia membenci/tidak menyukai suatu kepribadian/perangai darinya, niscaya dia akan ridha/senang terhadap kepribadian yang lainnya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata, “Jika seorang istri pada suatu ketika membantah perintahmu, akan tetapi (ingatlah) dia telah berbuat baik dengan sekian banyak kebaikan. Apabila dia pada suatu malam mendurhakaimu, akan tetapi (ingatlah) dia telah menaatimu pada sekian banyak malam. Apabila dia telah berbuat sesuatu yang tidak semestinya kepada anak-anakmu, namun (ingatlah) dia telah banyak berbuat baik kepada mereka. Demikianlah sikap yang semestinya terhadap mereka. Apabila istrimu berbuat jelek kepadamu, maka jangan kamu lihat perbuatan jeleknya pada waktu itu, akan tetapi perhatikan perbedaan dia yang telah lalu dan juga yang akan datang, kemudian hukumilah dengan adil!” (Syarh Riyadh as-Shalihin 2/59)
Oleh karena itu, jika keributan, perselisihan, dan ketidaksamaan dalam satu perkara diselesaikan dengan perceraian, belum tentu merupakan solusi yang tepat.

Catatan kaki:

1 Nabi n bersabda,
إِنَّ اللهَ مُحْسِنٌ فَأَحْسِنُوا
“Sesungguhnya Allah adalah Muhsin (Yang Maha berbuat kebaikan), maka berbuat baiklah kalian.” (HR. Ibnu Abi Ashim dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Jami’ ash-Shaghir no. 1823 dan Silsilah ash-Shahihah no. 469)